Jumat, 15 Januari 2021

#SingleOnSite - Episode 3 Tidak Baik-Baik Saja

    Hampir 10 tahun sudah Sekartaji bekerja sebagai admin billing. Dengan kurun waktu selama itu dan di posisi yang sama memang bukanlah prestasi yang gemilang. Sejak usia 18 tahun ia mengabdi di perusahaan overburden itu, namun tidak banyak yang berubah. Gaji di atas UMR, itulah yang cukup untuk menjadi alasan perempuan itu bertahan.
    Pagi-pagi sekali saat fajar belum berani lahir, halimun belum hilang sempurna, dan dingin masih merangkul kuat. Sekar sudah menjejaki jalanan menuju halte bus terdekat. Ia memperhitungkan langkah kaki, jarak, dan waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai di halte. Setelah itu ia menghitung dengan waktu yang tersisa sembari melihat jam di tangan kirinya, saat mengingat-ingat jadwal keberangkatan bus, ia panik dan sedikit berlari agar tidak tertinggal. Safety shoes, helmet, vest, dan ransel berisi travel toiletries & buku catatan cukup membuatnya merasa kewalahan ketika berlari. Tetapi, untuk mencapai sesuatu, memang harus berusaha sekeras demikian bukan?
    Di pagi yang tenang itu, Sekar sudah harus berkejaran dengan waktu. Tidak ada kompromi. Jika waktu sedang terhimpit, yang lapang pun seketika berubah menjadi sempit. Bus dengan nomor lambung 118 berhenti tepat di depan halte, ia masih berlari di belakang bus sambil melambai-lambaikan tangan berharap driver bisa melihat dari spion. Lampu sein kanan sudah terlihat, bus tampak sudah ingin segera meninggalkan halte sesaat setelah penumpang terakhir menutup pintu. Sekar hampir menyerah, tapi tekadnya mencegah. Sebelum benar-benar kalah, baginya pantang untuk berserah. Sembari berlari dengan tenaga yang tersisa, dalam benak gadis itu membacakan mantra-mantra yang ia yakini mampu membuat detik seakan berhenti. Hening, hingga sepersekian detik kemudian di belakangnya melajulah beberapa mobil yang dengan kecepatan lumayan tinggi menguasai jalan, mereka datang seperti arak-arakan yang sedang melaju kencang.
    Dengan mantra-mantra dalam otaknya, Sekar merasakan betapa mobil-mobil yang melaju itu sedang menjadi superhero yang membantunya membekukan waktu sejenak, waktu bagi bus 118 yang sepertinya belum memiliki kesempatan untuk merebut barang sedikit badan jalan, dan disanalah semangat untuk mengejarnya berhasil. 
    Terengah-engah gadis itu membuka pintu bagian belakang bus, mengatur nafas perlahan, meletakkan atribut-atribut yang memungkinkan untuk di lepas, lalu duduk di salah satu seat kosong di sebelah kanan. Beberapa rekan seperti sudah terbiasa dengan pemandangan itu, dan beberapa yang lain masih mengoceh mengomentari ia yang hampir setiap hari terlambat.
    "Begadang terus." Seru Pak Kalbi dengan nada menyindir. Sekar memilih memejamkan mata setelah memasang seat belt lalu bersiap untuk tidur. Kegemarannya yang sudah banyak orang tau adalah tidur saat perjalanan. Di bus, di mobil, di becak, di angkot, di pesawat, di kapal, di delman, di bajaj, di kereta, bahkan di motor pun ia selalu merasa mengantuk. Sesuatu yang beberapa orang menyayangkannya, karena ia akan melewatkan banyak hal. Tetapi, begitulah Sekar. Baginya, bus pagi memang waktu yang sempurna untuk tidur. Merasakan keheningan pagi yang didominasi suara-suara para pekerja yang sudah berjuang mengalahkan ayam. Rasanya tidur adalah reward untuk diri sendiri yang sudah berhasil bangun pagi.
    Di sudut lain namun pada bus yang sama, ada Acay yang memperhatikan kehadiran Sekar. Isi kepalanya lagi-lagi menemukan ketidaksukaannya pada gadis itu.
    "Dasar pemalas." Batinnya. Namun aroma vanilla menyeruak dari tubuh gadis itu, menguasai seisi bus, menghanyutkan Acay menjauh dari fokusnya. Aroma ini tidaklah asing, mengingatkan Acay pada sesuatu di masa lampau, tapi bahkan ia tak ingat persis kenangan apa itu.
    Namun, konsentrasi Acay untuk mengingat-ingat apa yang indentik dengan aroma ini terganggu oleh Jendra. Lelaki berisik ini sudah membuat gaduh suasana di bus, ia membangunkan Sekar dan meghujani Sekar dengan ragam pertanyaan. 
    "Apa sih Jend?" Sekar yang sudah setengah tertidur kesal dengan Jendra yang duduk di belakangnya. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Sekar, juga terus mengoceh tak kenal sungkan.
    "Kenalin lah, nanti kamu juga kukenalin ke temanku."
    "Nggak pokoknya."
    "Ayolah, please."
    "Nggak bisa Jend." Sekar kurang nyaman mengatakan bahwa sahabatnya, Jube, sudah menikah.
    "Jangan-jangan kamu masih cemburu ya aku pengen kenal temanmu."
    "Jangan ngadi-ngadi ya." Sekar langsung melotot, hilang kantuknya seketika. Kesal sekali ia dengan Jendra yang beberapa bulan sebelumnya memang sempat mendekatinya. Melihat reaksi Sekar, Jendra tertawa terbahak-bahak. Di kursi belakang, Acay hanya geleng-geleng kepala, heran melihat perilaku temannya.
    Pagi ini kabut tebal menyelimuti kota. Jarak pandang terbatas, ditambah penerangan yang belum begitu sempurna di jalan-jalan. Matahari perlahan-lahan naik, namun terasa tidak begitu terang. Khusus hari ini memang Acay harus bekerja di main office dikarenakan listrik di sub office tempatnya biasa bertugas sedang ada maintenance yang diperkirakan akan memakan waktu hampir satu hari full. Bukan ide buruk bekerja di main office, tetapi juga bukan hal yang menyenangkan pula. Jadi seperti orang asing, ya itulah hal yang paling membuatnya malas ke kantor ini.
    “Loh sar, dideportasi dari KM 111?” Mas Dewan menyapa ketika melihat Acay berjalan menuju pintu masuk.
    “Visa expired mas.” Acay menjawab santai sembari tetap melangkah menuju mesin finger print.
    Setelah mengobrol dengan satu dua orang, Acay dipanggil Pak Beno ke ruangannya. Pak Beno meminta Acay untuk melapor ke bagian HR & safety agar menyiapkan apa saja yang ia butuhkan selama di main office, termasuk menyerahkan form keterangan izin bekerja sementara. Entah mengapa regulasi ingin bekerja sehari saja seribet ini, batinnya. Padahal ini masih di perusahaan yang sama.
    Sebelum Acay menuju ke bagian HR, samar-samar ia mendengar gaduh di bagian kubikal lantai 3. Beberapa suara ia kenali dengan jelas, dari sumber suara yang segaduh itu ia memprediksi lebih dari 5 orang ada disana. Keributan di pagi hari, bahkan ia rasa diantara mereka ada yang belum sarapan.
    “Tolong pak ditandatangani sekarang, kerjaan saya banyak.” Rengek Sekar, dengan nada sopan dan santai.
    “Ya terserah saya, intinya kamu goblok, pantes nggak laku-laku.” Suara seorang lelaki diikuti suara tawa yang lain. Mendengar kalimat yang kasar itu, Acay geram. Apalagi saat Sekar hanya menanggapinya dengan tertawa seolah tidak tersinggung sama sekali. Acay yang melihat kejadian itu langsung berniat turun karena tak nyaman.
    Belum banyak anak tangga yang Acay jejaki, tiba-tiba di sampingnya melintas seseorang yang terburu-buru dan secara refleks ia amati tengah menangis. Sekar yang beberapa detik yang lalu tampak santai ternyata tidak baik-baik saja. Setengah berlari ia membawa selembar kertas sambil terisak tanpa suara. Sekilas terlintas sepertinya ia gagal menahan apa yang ia sembunyikan sejak tadi. Lalu, dari belakang Acay pun turut setengah berlari. Ia menuju toilet, sembari menutup wajahnya dengan kertas yang ia bawa. Acay terpaku di bawah anak tangga. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba menghinggapi isi kepalanya. Ia menunggu Sekar dengan sabar, hingga beberapa menit setelahnya, Sekar sudah berjalan dari lorong toilet, kembali seperti biasanya. Matanya masih tampak merah, tetapi intonasi bicaranya justru bersemangat. Ia menyapa beberapa orang di kubikal lantai dasar, tanpa ada tanda-tanda bahwa dirinya baru saja terluka.


To be continue...

L.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts