Tampilkan postingan dengan label Jika Kita Tidak Berpisah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jika Kita Tidak Berpisah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Agustus 2022

10.08.2022

Cinta? Perasaan yang paling sulit dipahami manusia dengan akal.

Seberapa banyak, seberapa keras, seberapa niat pun, usaha akan terus menjadi sia-sia. 

Melupakan mungkin perkara kecil, tetapi ada hal-hal lain yang dengan mudah menguasai memori di waktu dan tempat yang bisa jadi tidak tepat, tidak siap.

Aku menjadi gagap dan bodoh.

Jangan menyapa.

Jumat, 17 Juni 2022

Frekuensi Radio

Setiap malam tiba, sebelum mereka sama-sama tertidur, keduanya berbagi bincang via telepon. Entah apa saja topik yang muncul, anehnya tak pernah habis, setidaknya tak pernah membosankan pula. Mereka berdua seperti dua angka frekuensi radio yang dipertemukan tanda koma. Teramat cocok, seirama, mudah disatukan tanpa perlu banyak usaha.

Minggu, 12 Juni 2022

Mempersilakan

Malam itu tamu hadir mengetuk pintu rumahku yang gaduh.
Suara musik kencang beradu dengan suara teve yang tidak kalah seru.
Aku membukanya, membiarkan si tamu masuk dan menyuguhinya kudapan.
Satu jam kemudian, rumahku hening.
Kumatikan musik, kukecilkan volume teve, kubiarkan hanya suaranya yang mengudara.
Dinding, lantai, langit-langit, dikuasai suaranya. Yang lebih parah, aku dipengaruhi suara itu. Kupercaya, kuyakini, kuimani.
Sampai pada titik aku lupa, dia harus pulang.

Apalagi yang kubisa selain mempersilakan?


LM

Kamis, 26 Mei 2022

Tahun Ke-6

Jika ini adalah Sekolah Dasar, seharusnya aku sudah lulus kali ini. Waktu 6 tahun terakhir terasa berat, namun juga singkat. Hari-hari seolah ditipu oleh waktu yang membuat pikiranku terjebak di antah-berantah kemudian tersesat, terombang-ambing pada keputusan-keputusan mendadak yang orang lain pun belum siap menerimanya.
Bukan tidak berusaha, hanya saja aku belum berhasil. Waktu menipuku, tetapi ia kemudian mengikhlaskan dicuri oleh pikiran yang tak pernah luput merawat namamu. Namamu yang muncul lalu diekori oleh kalimat andai-berandai "Jika Kita Tidak Berpisah". Lalu apa? Menurutmu itu lebih baik? Belum tentu, bodoh.

Minggu, 17 April 2022

Bab 12 Mengecilkan Mimpi

Latar, kembali jadi alasan kenapa bersama Riza terasa lebih cocok bagi Lania, pun sebaliknya. Dari obrolan singkat sore itu antara Riza, Lania, dan Kailani muncul sebuah ide yang seperti gayung bersambut. Keinginan ketiga orang itu untuk lanjut S1.

“Tapi apa bisa seminggu sekali?”

“Dua minggu sekali malah.”

“Ada emang ilmunya?”

“Anggap aja ada ya kan.” Kailani makhluk paling santai yang tidak banyak berpikir. Sementarakedua lawan bicaranya cukup penuh pertimbangan.

“Masalahnya 4 tahun itu lama cuy.”

“Lebih lama kalau lu nggak ngelakuin apa-apa.” Celetukan Kailani yang langsung membuat Riza dan Lania saling pandang, kedua sorot itu bertemu seolah mengiyakan ucapan Kailani barusan.

“Mumpung kita masih muda.”

“Kamu maksudnya?”

“Iya lah, kalau lu jelas nggak muda lagi.”

Ternyata topik itu bukan hanya isapan jempol, cukup waktu sehari, mereka bertiga sudah melangkah ke step selanjutnya, mencari tahu informasi di laman website kampus, mencari-cari ragam info yang terkait dengan kampus, mulai dari fakultas, jurusan, kemungkinan menyerap ilmu dengan jam perkuliahan yang minim, dan sebagainya.

Pada saat pendaftaran, Kailani dengan yakin memilih Management. Sedang Riza dan Lania dibingungkan oleh jurusan yang ingin dipilih. Riza yang hendak memilih Ilmu Hukum, sedang Lania Sastra Inggris. Lalu keduanya kembali dibingungkan oleh pilihan Teknk Mesin.

“Kamu yakin?” Lania mencoba memastikan.

“Kita sudah kerja bertahun-tahun di bagian itu. Yakin mau ambil teknik lagi? Sanggup?” Lania kembali memastikan. Riza terdiam, ia belum tahu akan mengambil apa. Belum lagi suara Kailani yang seperti hantu menghujani Riza dan Lania dengan logika-logika berpikirnya tentang jurusan yang ia pilih.

“Ok, aku ambil hukum” Riza dengan lantang.

“Ok. Aku Sastra Inggris.”

“Itu FKIP sayang. Kamu mau jadi guru?”

“Ya nggak sih. Tapi kayaknya itu paling cocok.”

“Kita sama aja, biar jam perkuliahannya sama.”

“Kenapa harus sama?”

“Biar kita sekelas, biar bareng.” Riza mencoba meyakinkan.

Dengan mempertimbangkan cita-cita masa kecilnya sebagai pengacara, Lania akhirnya memilih jawaban iya.

“Okay. Ilmu Hukum. Not bad.”

Lebih kurang 2 minggu setelah segala macam usaha itu dilakukan, mereka bertiga sudah harus menjalani test masuk, dari tertulis, wawancara, hingga kesehatan. Bolak-balik menempuh jarak ratusan kilometer itu dilakukan dengan waktu yang cukup padat, sampai pada masa dimana semua sudah sedikit lebih melegakan. Hanya tinggal menunggu masa ospek yang sepertinya sulit mereka hadiri.

Hari itu keduanya pergi ke sebuah warung makan, berbincang banyak tentang esok, masa depan, segala hal baik yang terencana indah, karir, hidup, kesuksesan, segala macam kenaifan hidup dengan berjaya hari itu. Bersemi di pikiran keduanya yang bertemu di udara. Saat-saat dimana kita adalah kata yang seringkali muncul di sela-sela kalimat mengandung esok. Kita yang sepertinya akan mudah.

“4 tahun lagi kita lulus, mungkin aku akan mudah berkarir. Lebih percaya diri menghadapi lingkungan yang isinya manusia-manusia yang terlampau bangga dengan almamaternya.”

“4 tahun lagi mungkin kita sudah menikah.” Lania membuat perut Riza melilit.

“Ya mungkin. Tapi aku masih umur berapa 4 tahun lagi.”

“28, aku 24.”

“Terlalu muda kan?”

“Atau boleh 2 tahun setelah itu.”

“Jadi mau tinggal disini? Lama?” Lania menggeleng.

“Aku tetap pengen keluar dari sini. Segera.”

“Tapi kuliah menahan kita selama 4 tahun.”

“Risiko.”

“Kamu mau pergi kemana?”

“Yang jauh, berkarir di hal yang aku suka. Passionku.”

“Ninggalin aku dong.”

“Makanya ayok kita sama-sama.”

“Aku udah merelakan apa yang aku pengen saat aku masuk kerja disini. Inj terasa lebih realistis dan menghasilkan. Dan kita nggak punya privilege untuk mengejar apa itu passion. Idealisme dalam keadaan ini bukan pilihan yang tepat sayang.”

Lania terdiam, ia merasa kurang setuju dengan jalan pikir Riza. Walaupun bisa jadi itu benar. Sejenak ia merasa lelaki itu mengecilkan mimpi-mimpinya walaupun tanpa sengaja.



To be cont...

Minggu, 10 April 2022

Bab 11 El Real

Mana yang lebih hebat? Barca atau Madrid? Messi atau CR7? Pertanyaan yang akan dijawab berbeda antara Lania dan Riza. Lania yang gemar Barca karena diperkenalkan mantan kekasihnya, dan Riza yang menggemari Real Madrid sejak bocah. Riza adalah CR7 wanna be, ya terlalu kentara dari potongan rambut hingga jersey yang seringkali ia kenakan. Saat bermain futsal maupun sepak bola pun, Riza tampak meniru beberapa gaya idolanya itu, termasuk merk dan motif sepatu yang ia kenakan di lapangan. Hari itu Riza dan Lania janji temu pagi-pagi sekali. Entah kemana, Riza hanya mengatakan sesuatu yang tidak spesifik tetapi sulit Lania tolak. Mata Lania yang terbiasa bangun siang saat hari libur kali ini harus dengan terpaksa ia buka seterang mungkin. Menghampiri Riza di depan gerbang yang tampak rapi, rambutnya disisir dengan gel, kaosnya disetrika licin, belum lagi saat didekati Riza seperti seseorang yang mampu membuat Lania lebih semangat membuka mata. Aroma cokelat dari tubuhnya berbenturan dengan aroma floral pada pakaian, belum lagi aroma kopi pada lotion yang bisa ia pakai.

Menyusuri jalanan kota dari kawasan kost hingga tugu obor, memutar ke Tanjung Tengah hingga kembali bertemu kawasan kost, lalu kembali lagi ke arah selatan mencari sebuah tempat yang ternyata toko olahraga.

“Ini apa sayang?”

“Tangan.”

“Salah.”

“Jari?”

“Salah.”

“Apa?” Lania mulai tidak tertarik menjawab.

“Ini sepuluh, sepuluh kali Real Madrid juara liga champion. La Decima.”

“Sinting ya?”

Memasuki toko itu, Riza langsung memisahkan diri. Ia menyatroni bapak-bapak bertubuh tinggi berambut putih yang jika ditaksir usianya memasuki lima puluhan.

“Yang sepuluh sudah ada belum sih?”

“Belum ada mas, paling seminggu lagi.”

“Ya udah seminggu lagi saya kesini ya.”

Lania berjalan keluar toko berpikir transaksi itu selesai, namun cukup lama ia menunggu di luar, Riza tak kunjung datang. Lania kembali masuk, dan menyisur area etalase dan rak sebelah kiri toko. Kekasihnya itu duduk disana. Memegang sebuah sepatu berwarna hijau stabilo yang Lania tau persis itu yang dikenakan Neymar di pertandingan terakhir. Lalu di sebelahnya pula, bercokol sebuah sepatu berwarna putih bercorak oranye yang Lania juga tau adalah sepatu hang dikenakan CR7 dua nusim sebelumnya.

“Sayang yang ini nggak ada ukurannya.” Riza berbicara sendiri sembari mengangkat sepatu berwarna putih. Lania tidak berkomentar.

“Karena adanya ini ya sudahlah.” Riza berdiri, memamerkan kakinya yang mengenakan sepatu jijau stabilo itu di depan cermin. Berpose ke kanan dan ke kiri. Lalu setelah selesai, ia dengan yakin membawa sepatu itu ke bapak penjaga.Sebelum akhirnya menggamit sebuah bola yang ia pantulkan beberapa kali ke lantai.

“Ini juga deh.” Riza mengeluarkan kartu debit, lalu menenteng plastik berisikan sepatu dan bola.

“Yakin nggak salah beli?”

“Apa?”

Lania mengetuk-ngetuk plastik yang mmbungkus box sepatu.

“Apa? Neymar?”

Lania tertawa keras.

“Bancilona katamu.”

“Cuma sepatu latihan nggak apa-apa lah.”

“Iya nggak papa sih.” Lania dengan nada mengejek dan tersenyum menggoda.

“Apa?” Riza melirik. Lania makin kencang tertawa dibuatnya.

“Nggak apa-apa sayang, yang penting ini.” Riza lagi-lagi menunjukkan kedua tangan terbuka lebar ke depan wajah gadis itu.

“Sialan.” Lania membuang muka.

“La Decima.” Kali ini Riza berucap lantang dan penuh dengan tenaga. Diikuti suara cekikikkan yang mengganggu telinga Lania.



To be cont...

Senin, 04 April 2022

Bab 10 - Berdua

Baru sebulan terakhir Riza merasakan ia dan Lania penuh kecocokkan. Banyak bertemu, banyak mengobrol, pergi kemanapun berdua, di kantor pun masih sering mencuri-curi waktu membahas entah apa atau makan siang bersama. Riza dan Lania menjadi topik tak mengenakkan namun nekat makin pamer kemesraan yang tidak sedikit dari orang-orang sekitar mulai muak.

Pagi itu dua orang ini datang terlambat. Entah sengaja entah tidak, keduanya sudah merencanakan keterlambatan ini di malam hari, lalu esoknya berboncengan mengendarai motor beat karbu berwarna biru milik Lania hingga ke lingkungan trans, tepat berseberangan dengan kantor mereka yang dibatasi oleh jalan hauling. Keduanya berhasil menyeberang setelah menunggu hingga truk-truk besar bermuatan batu bara lewat. Hingga sarana-sarana kecil memperlambat gerakannya di titik tempat mereka berdiri lama. Keduanya berlarian seperti bocah, tentu saja sambil berpegangan, tertawa seolah debu-debu itu bukan lagi masalah. Tiba di pos security, keduanya diizinkan masuk setelah memasang wajah memelas. Berlarian kembali dari pos hingga ke office tanpa bersalah. Sambil terus bercengkerama namun genggaman mereka lepas, cukup tahu diri untuk tidak kentara. Dari kejauhan lebih kurang 10 meter dari tempat mereka berlari, bercokol segerombol orang yang meneriaki mereka di samping unit parkir. Teriakan yang bergema di udara, menembus lapangan kosong yang sampai ke telinga keduanya dengan amat jelas di beberapa kata. Dan Lania merekam itu di kepalanya, lalu tersenyum simpul kegirangan. Sesuatu yang cukup memalukan jika ditulis disini. Intinya, apapun yang terjadi selama itu berdua, dunia seakan tetap baik-baik saja.


**


 Jam makan siang keduanya bertemu kembali di depan office, berjalan beriringan menuju seberang jalan dekat tempat mereka memarkir motor. Ada warung kopi yang menyajikan indomie enak di sana. Melihat menu nasi kotak yang ah sudahlah, keduany sepakat memilih sedikit effort untuk makan di luar, walaupun saat siang bolong matahari amat terik dan debu makin tebal, mereka hirau. Lagi-lagi, selama berdua, semua jadi seperti tak apa.

“Pakai sayur.”

“Aku nggak.”

“Pakai.”

“Nggak mau.”

“Kamu lo kalau dikasi tau susah.” Riza mengoceh sembari melihat dengan tatapan penuh perhatian yang lagi-lagi Lania suka. Orang pertama yang peduli dengan apa yang ia makan, secara konsisten mengingatkan. Risih? Tentu tidak. Karena orang itu adalah Riza, orang yang bahkan kuku dan jemarinya Lania suka, sespesifik itu.


**


Waktu bertemu yang sepadat itu seolah belum cukup bagi keduanya, di usia hubungan yang belum lama, di masa-masa orang lain sedang sibuk mencemooh mereka, Riza justru membuat pergerakan lain, lebih kentara, lebih agresif. Ia memutuskan pindah kost yang tak jauh dari kost tempat Lania. Berjarak hanya beberapa rumah, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Selain bertemu di kantor, bertemu saat di rumah pun mereka lakukan, setiap hari, tanpa kecuali. Bertemu setiap hari, dan jatuh cinta setiap hari adalah hal yang gak pernah bisa Lania bendung. Riza terlalu luar biasa baginya, sikap hingga polah tingkahnya, suara hingga barisan giginya, Lania selalu berandai, boleh ia terpenjara disana?

Malam sehabis bertemu di warung pecel lele di depan komplek, mereka masih berbincang via telpon. Masih tak cukup rasanya. Selalu ingin bertemu. Selalu ingin bersama. Riza yang selalu senang mengobrol, Lania yang tak pernah mengeluh mendengarkan. Pun sebalikny, Lania seringkali membuat Riza mendengarkan cukup lama. Setelah merasa cukup mengantuk, dan perdebatan tentang siapa yang terlebih dahulu menutup telpon, Riza akhirnya mengalah dengan menutup telpon terlebih dahulu.

“Iya deh, aku tutup ya.

“Ok, good night.”

“Eh bentar.”

“Apalagi?”

“Jangan lupa isi botolmu.”

“Mager yang, lampu sudah mati juga.”

Telpon terputus.

Beberapa menit kemudian Riza tiba di depan pagar, lalu kembali menelpon Lania. Dengan terburu-buru Lania berlari keluar sembari menggamit jaket beludru yang tergantung di belakang pintu. Menghampiri Riza yang sudah siap menyodorkan sebotol air mineral yang setelah ia serahkan langsung ia tinggal pergi. Beberapa langkah setelahnya Riza berbalik dan berteriak.

“Habisin!”

Lania berdebar kencang, hatinya tak keruan. Riza sulit ia kendalikan terus tumbuh dalam dirinya. 



to be cont...


Rabu, 23 Maret 2022

Bab 9 Gayung

 Untuk pertama kali semenjak pindah, Lania sedikit lebih kenal dengan Dinda. Malam itu setibanya di kost, Lania dan Dinda berbincang di depan TV di ruang tengah. Lania berganti pakaian dengan dress pendek berwarna hijau andalannya, sedang Dinda dengan piyama floral yang masih baru. Lania membuat segelas kopi hitam, dan Dinda dengan serealnya. Kedua perempuan dengan tampilan dan selera yang berbeda.

“Kamu tau nggak Riza itu pernah naksir aku?” Sebuah obrolan pembuka yang nyaris membuat Lania menumpahkan kopinya.

“Oh ya? Serius?” Lania berpura-pura penasaran.

“Iya, dulu. Padahal dia tau aku pacar bosnya.” 

“Mas Pane?” 

“Iya, tau kan?”

“Kok dia berani?”

“Ya begitu deh, kayak sering ngechat, terus nanti ngerayu, gombal. Ah pokoknya gitu.”

“Kamunya gimana? Nggak suka?”

“Ya nggak lah, gila apa? Kan sudah ada cowokku.”

Lania mengangguk-angguk karena bingung merespon apa.

“Lagian Riza itu gayung tau.” Tambah Dinda. Lania mengerutkan kening pertanda tak paham dengan istilah itu.

“Semacam player gitu lah. Siapa aja diembat.” Kalimat yang menbuat Lania menelan ludah. 

“Oh gitu? Semua cewek single di kantor?”

“Hampir.”

Lania memundurkan kepalanya, memposisikan badanny sedikit bersandar pada sofa. Mendengarkan cerita Dinda yang dalam setengah jam sudah banyak mengeluarkan hal-hal yang bisa membuat Lania membayangkan bagaimana kota ini sedetail mungkin, berikut penghuninya.


**


Sepulang kerja, Lania langsung menuju dapur dan melirik makanan yang tersaji di meja. Mbak koki di kost memang juara, masakan yang dibuat tak pernah mengecewakan, setidaknya sebulan terakhir. Lania fokus melihat oseng tahu dan sawi putih yang dicampur dengan telur orek dan cabai. Mata Lania berkilat-kilat. Menu favoritnya. Ia berlari ke kamar, dan kembali dalam sekejap.

“Mbak Lan nggak mandi dulu?”

“Nanti saja mbak. Laper.” Langsung saja ia menyantap makanan itu tanpa peduli sekitar sedikitpun. Sampai akhirnya ponselnya berdering.

“Ya mas?”

“Dimana Lan?”

“Di kost.”

“Sibuk nggak?”

“Lagi makan. Ngomong aja.” Di balik telpon, Dharma bingung ingin memulai darimana. Lidahnya kelu, kalimat-kalimat yang ia rangkai sebelum menelpon tercekat. 

“Bener gosip itu Lan?” Lania yang tengah mengunyah sawi mendadak terhenti dan berpikir apa yang Dharma maksud. Namun itu tidaklah sulit. Hanya saja Lania tidak pernah berpikir bahwa Dharma akan tahu hal itu.

“Riza maksudmu?”

“Ya.” Sebagai teman lama Lania merasa tak perlu menyimpan rahasia dengan Riza.

“Iya mas.” Lania berbicara dengan nada setengah malu-malu.

“Kok bisa? Kamu kan baru pindah lan? Dan kamu nggak tau gimana dia.” Dharma berapi-api.

“Udah, sekarang kamu tinggalin dia. Dia nggak baik buat kamu.” Dharma semakin emosional saat ia ingat lelaki itu pernah mendekati Nona, bahkan belum lama ini.

“Tenang aja ma, aman kok.”

“Aman-aman gimana? Kamu sudah kena omongannya dia kayaknya.”

“Emang omongan gimana sih yang kamu bayangin?”

“Banyak. Yang pasti hal-hal taik yang bikin cewek bisa aja GR.”

“Kamu pikir aku orang yang semudah itu?”

“Ya siapa tau kali ini kamu lagi gila. Apalagi kudengar kamu udah berani pergi ke luar kota berdua.”

“Aku bisa jaga diri kok.”

“Lan, bahkan ke Nona aja dia berani. Nona lan. Pacarku. Kamu pikir deh.”

“Becanda kali ma.”

“Terserah kamu lah. Yang pasti aku sudah ngasih tau.” Telpon terputus.

Belum lama hubungan itu terjalin, sudah banyak kabar buruk perihal Riza. Dan dipikirkan bagaimanapun semua apa yang Lania dengar itu masuk akal. Ya, mungkin saat ini ia memang memilih orang yang salah, tetapi kesalahan itulah yang ia cari.



To be cont…


Senin, 21 Maret 2022

Bab 8 - Karaoke

Bisnis sedang tidak mudah, harga batu bara sedang tidak sabil. Imbasnya? Jam kerja dipangkas dan 75% karyawan dipulangkan lebih awal. Lania duduk di barisan tengah bus, sedang Riza di depannya. Sepanjang jalan dari hauling hingga jalan negara berkali-kali Riza mencuri-curi melihat ke belakang melalui sela-sela kursi. Namun, entah dipercobaan ke berapa keduanya berhasil mempertemukan sorot tepat jatuh di pupil satu sama lain. Hingga sulit keduanya menghindar dari salah tingkah yang untungnya mereka pikir tidak disadari sekitar. Pergerakan demi pergerakan dari Riza yang Lania cukup suka.

“Apa sih ja ngelirik-ngelirik kesini mulu.” Dinda yang duduk satu baris di belakang nyeletuk yang akhirnya membuat nyaris seisi bus menoleh.

Dengan rona malu Riza memutar kepalanya dan menghadap ke depan. Lania sulit menahan tawa, ia merasa itu cukup lucu namun ia jadi mengevaluasi, apakah memang bukan dia yang Riza lihat?

Bus berhenti tepat di depan jalan menuju kost Riza, namun ia memilih tidak langsung turun. Terus saja melaju hingga titik pemberhentian terakhir di tempat Lania biasa memarkir motor.

“Malam ini sibuk nggak?” Lania kaget karena tak sadar Riza mengekorinya hingga tempat parkir.

“Nggak sih.”

“Jam 8 ya, karaoke, ajakin temanmu yang lain.”

“Oh ok.” Lania tanpa pikir panjang mengiyakan. Bahkan ia tak tahu siapa saja yang akan ikut, atau apa saja yang mendasari Riza mengajaknya.


**


Riza mengirim pesan setengah jam sebelum berangkat.. Lania meluncur dari kost dan langsung menuju lokasi. Debarnya tak karuan menunggu saat-saat bertemu Riza, bukan kali pertama, tetapi rasanya masih sama.

“Mbak Lan, sini!” Dari depan pintu masuk seorang lelaki memanggil. Samar-samar baru Lania kenali ia adalah Kailani yang beberapa kali ia jumpai di kantor.

“Sendiri aja mbak?”

“Iya, Jeni kuajak nggak mau.”

Kailani merespons dengan anggukan dan senyum simpul.

Di salah satu sofa, Lania melihat sosok yang kurus, tinggi, berambut klimis dengan gel yang disisir rapi, fokus berbincang dengan perempuan di depannya, Dinda.

Lania dan Dinda saling menatap, keduanya terjebak dalam frekuensi canggung yang sulit dijelaskan.

“Kalian satu kost kan?”

“Iya.” Lania menjawab lirih.

“Kok nggak bareng aja?”

“Karena ga tahu dia ikut.” Suara Dinda datar namun tatapan matanya mengisyaratkan ketidaksukaan.

“Lebih tepatnya karena nggak akrab kali ya.” Lania melengkapi kalimat itu dengan tertawa seolah-olah itu lucu. Namun suasana jauh lebih canggung dibuatnya. 

Mereka berempat memesan sebuah ruangan small dan siap beradu lagu selama 120 menit. Lania duduk paling kiri, Dinda di tengah, lalu Kailani, dan paling kanan Riza. Tidak banyak pergerakan yang bisa dilakukan empat orang itu. Ruangan benar-benar pas. Sedari awal mulai, Riza dan Dinda beradu dengan lagu-lagu hits dari penyanyi luar. Sedang Kailani mahir dengan lagu-lagu band 2000-an. Kini giliran Lania, ragu-ragu ia memilih lagu favoritenya saat karaoke. Karena ia terbiasa dengan geng para penyamun yang karaoke benar-benar untuk hiburan dan jauh dari jaim. Kini ia kesulitan menentukan lagu apa yang pas dibawakan di depan orang-orang baru yang sudah memamerkan kebolehan menyanyi hingga selera musik yang menurut Lania, sorry, mainstream. Mainstream bagi anak-anak muda yang takut terlihat tidak keren. Melihat situasi itu, Lania mulai mencoba-coba memilih satu lagu.

Zaaaenaaal… Maafkanlah…

Lania memilih tidak melihat ke sekitar. Ia fokus menatap layar. Khidmat menyanyikan lirik demi lirik. Walaupun sulit ia merasa keren di situasi itu.

“Ah sial, nggak ada satupun yang excited dengan lagu dangdut yang seharusnya penuh keceriaan. Lania merasa minoritas.”

Bahkan di tengah-tengah lagu Dinda keluar, disusul Riza, beruntung Kailani tidak mengekori mereka pula. Zaenal usai, giliran lagu milik Dinda yang diputar namun perempuan itu belum jua kembali. Sekitar 2 menit lagu dimulai, Riza kembali lebih dulu, dan langsung membuat pergerakkan tak terduga, duduk tepat di samping Lania. Tepat setelah ia duduk, Dinda masuk dan merasa ganjil melihat itu. Walaupun Kailani sudah tidaklah kaget lagi.

Dari menit ke 34 hingga 120 menit habis, Riza dan Lania tak lepas memegang tangan satu sama lain. Tak peduli sekitar, tak peduli komentar. Ruangan kecil itu seakan hanya milik mereka berdua.


To be cont…




Rabu, 16 Maret 2022

Bab 7 Pasangan

 Suara printer, hentakan stempel, dering telepon, bisingnya ruang pemotong besiklakson alat angkat yang lalu lalang, suara-suara karyawan yang saling beradu di udara membuat Lania yang kurang tidur semakin pusing dibuatnya. Pesan masuk di BBMnya.

“Aman saja kan?” 

“Sejauh ini aman.”

“Ga ada yang curiga?”

“Ga ada.”

“Baguslah.”

Hingga pukul 10 pagi, Lania merasa suasana di kantor masih kondusif terkait bolosnya ia dan Riza. Belum ada aliran protes atau bully yang mengganggu, padahal itu sudah ia prediksi.

Lania membawa tumpukkan dokumen ke gedung utama untuk difotocopy. Dan di belakang mesin fotocopy tepat tempat duduk Riza. Ia ingin mundur melihat kekasih barunya itu bercokol disana, tetapi dua orang CS yang duduk di lobby pasti akan merasa itu pergerakan yang aneh. Lania memberanikan langkahnya.

Memasukkan user dan password, meletakkan kertas, menekan tombol copy, semua dilakukan Lania dalam keadaan setengah berdebar. Apalagi tak lama suara khas Riza tiba-tiba memanggilnya. Lania merasa ada dalam halusinasi, namun itu nyata.

“Lan.”

“Lan.”

“Lan.” Pada panggilan ketiga barulah Lania menengok. Riza memperlihatkan tulisan besar dalam excel di monitornya.

“I LOVE YOU”

Lania membuang pandangannya dari sana ke arah Riza yang terlihat tersenyum kecil dan ekspresi menggoda, Riza lalu cepat-cepat mengganti layar ke tampilan lain agar tidak ada yang melihat. Lania geleng-geleng kepala. Ia senang sekaligus malu. Namun di sisi lain, ia tak terbiasa dengan polah tingkah sedikit menjijikkan itu. Tak terbiasa sekaligus tersentuh. Kerumitan dalam kepala Lania menyerang dalam sekali nafas.

“Cieee. Jadi udah resmi? Cie cie cie.” Dari ruangan Bu Hamidah, Jeni berteriak memecah konsentrasi para karyawan yang tengah fokus di kubikal. Semua akhirnya mengarahkan fokus pada kedua orang yang diduga menjadi pasangan baru itu. Bu Hamidah hingga berlari ke luar ruangan mengekori Jeni. Wanita hampir pensiun itu menghampiri Lania lalu mendorong-dorong gadis itu dengan penuh tenaga diikuti suara cie cie cie yang teramat mengganggu. Sedang Kailani yang baru tiba dari pantry berlari mendorong-dorong Riza. Suasana yang lebih mirip pembullyan terhadap anak SMP itu terjadi sekitar 10 menit, suasana mengganggu dan membuat keduanya resah. Apa yang tersiar saat mereka berdua menghilang?

 

**

 

Di kokunitas kecil makan siang para ibu-ibu, akhirnya Lania bergabung disana. Menyusun formasi di lantai beralaskan kardus, menyantap nasi kotak dengan berbagai keluhan, belum lagi tambahan topik ghibah lain yang membuat mata mereka berkilat-kilat. Lania merasa minoritas yang tersingkir disana. Menggunakan bahasa banjar dengan dialek Tanjung yang kental mereka melempar cerita-cerita yang tak dipahami Lania.

“Diva ngalih ai sudah. Harga pupurnya haja berapa?”

“Maka kijil banar mun bepandiran lawan kosong satu.”

“Sorang kada kawa telawani am mun kaitu.”

“Gaji sorang gasan maisi bensin hunda-nya haja kada mayu.”

“Han kalu bida level.”

Lalu semuanya tertawa bersamaan. Lania semakin bingung, namun tak berniat untuk mencari tahu sampai saat topik yang ia pahami dimulai.

“Lain lagi mun nang hanyar ni, langsung gas tedapat baung.” Tiwi memulai.

“Paling ha mancuba-cuba lakiannya, satumat ai bajauh pulang.” Isna menanggapi.

“Maka kulihat status biniannya ngintu baisi pacar disana.”

“Iyaleh? Bisa ai tuh gasan beramian jua. Jurang sama tih bededua.”

“Panyakit nang diulah ngintu.”

Kembali mereka tertawa keras dengan sesuatu yang bagi Lania tidaklah lucu.

“Apaan sih, taik.” Batinnya.



to be cont...

Rabu, 09 Maret 2022

Bab 6 - Latar

Menemukan kehidupan lain dalam mata seseorang adalah kalimat bias yang gombal tetapi nyata dirasakan Lania sekarang. Riza yang penuh perhatian, penuh tanggung jawab, penuh cinta, seketika membuat Lania merasakan hal baru. Seperti jatuh cinta lagi dan lagi, setiap saat. Walaupun ia sulit merasakan sebahagia saat bersama Badawi, namun setidaknya secara logis sikap dan polah tingkah Riza jauh lebih baik. Sangat jauh.

Aku memang pernah lebih bahagia, tetapi tak pernah merasa sesempurna ini. Terima kasih.

Di perjalanan pulang, Riza dan Lania berbincang lebih banyak lagi. Perkenalan Lania dengan beberapa keluarga dekat Riza memang membuatnya sedikit mengerti gambaran kecil keluarga Riza. Dan itu nilai tambah bagi kekasihnya itu. Lelaki sederhana yang penuh tanggung jawab kepada keluarga yang punya beban menjadi anak pertama untuk adik-adiknya dan ibu yang harus menjadi buruh petik kopi di kampung. Riza adalah cara lain bagaimana Tuhan mengajari Lania tentang bentuk tanggung jawab, itulah yang Lania pikirkan di sela-sela obrolan mereka seputar keluarga.

Lalu, Lania pun tak enggan berbagi cerita seputar dirinya. Kehidupan menyebalkan yang ia lewati, masa kecil membagongkan, masa remaja penuh kegagalan, perjuangan hingga di titik sekarang. Namun, beberapa cerita ia biarkan tetap ada di kepalanya, hanya beberapa persen yang berani ia ceritakan. Termasuk perihal keluarga secara utuh.

“Ya, nanti kalau aku menikah dan misal suamiku harus pergi duluan dan aku punya anak, sebisa mungkin aku nggak akan menikah lagi.”

“Kenapa?”

“Ya aku nggak mau apa yang kejadian di aku, kejadian lagi di anakku.”

Riza menahan diri untuk bertanya lagi. Ia justru menghubungkan perkataan Lania dengan kejadian beberapa tahun silam. Ketika ibunya menikah lagi, rasanya seisi langit runtuh. Merasa dikhianati, merasa bersalah pada mendiang sang ayah, merasa sulit percaya pada siapapun, marah, kecewa, benci, pun sedih tak terbendung. Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Dan sayangnya, tak ada yang bisa ia lakukan sedikitpun. Alasan sang ibu cukup masuk akal, semua adalah faktor ekonomi yang juga masih sulit ia penuhi sebagai sulung.

Gambaran masa depan dari Lania disertai sedikit cerita masa kecilnya membuat Riza merasakan perasaan menghangat. Latar yang mirip, kisah yang hampir serupa, membuat mereka berdua ada frekuensi yang sama. Membayangkan esok yang sama. Berdua. Dan, ia suka dengan jalan pikir Lania.

 

*

 

Bersama dengan sanak keluarga, Dave datang mengunjungi Bertha malam itu. Membawakan sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru yang bisa mereka habiskan. Bertha yang tengah menunggu telpon dari Riza menanggapi Dave dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi di tempat lain.

“Kamu sehat kan?”

“Sehat, cuma agak ngantuk.”

“Mau istirahat sekarang?”

“Boleh?”

“Istirahat saja.” Dave beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang tengah. Bertha bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak pertanyaan. Sayangny, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Bertha ke kamarnya dan berusaha membaca situasi.

“Sampai kapan de?”

“Kamu sudah mau menikah.”

“Masih mau ingat-ingat si kampret itu?”

Bertha menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Dave yang berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Riza, Riza, Riza yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.

"Kenapa dia nggak mau sedikit berusaha kak?”



to be cont...

Senin, 07 Maret 2022

Bab 5 - Dusta

 Udara panas Samarinda dilawan oleh semangkuk pisang  ijo dan seporsi coto plus iga bakar di sebuah warung makan. Sepanjang turun dari angkot, Riza enggan melepaskan genggamannya dari tangan Lania. Satu hal yang paling disukai Lania adalah ini, sentuhan. Lania merasa ketika kekasihnya melakukan itu di tempat umum menandakan ada sebuah deklarasi bahwa perempuan ini adalah milikku dan bagi Lania itu penting.

“Suka?” Riza mendapati Lania senyum-senyum sendiri saat Riza semakin kuat memegang tangannya. Lania mengangguk merespons itu.

“Sesuka itu sama aku?” Lania kembali mengangguk. Satu hal yang Riza sukai dari Lania, kejujurannya. Sedari awal mengenal gadis itu, Riza sudah disuguhi hal-hal tak terduga termasuk sikap Lania yang tak segan menunjukkan rasa suka dan bahagianya ketika bersama Riza.

“Aku nggak pernah kenal perempuan seceria kamu.” Itu yang meluncur dari mulut Riza kala itu.

 

*

 

Tiba di sebuah hotel, Lania dan Riza memutuskan memesan satu kamar sebelum Riza beranjak ke rumah omnya di kawasan Pasar Impres Baqa.

“Nanti kamu ikut ya.” Lania patuh.

Keduanya kembali menyusuri jalanan Samatinda menggunakan angkot hingga tiba di kediaman Om Ubed.

“Kapan sampai?”

“Barusan om.”

“Ini siapa?”

“Teman.”

“Disini tinggal dimana?”

“Di rumah keluarganya om.” Lania dan Riza saling pandang setelah Riza menjawab itu. Dalam pandangan itu ditemukan sandi-sandi kode yang menyiratkan mereka harus konpak dalam menjawab dan beberapa jawaban diantaranya adalah bohong.

“Keluarganya daerah mana?” Om Ubed menatap tajam pada Lania seolah menunggu jawaban itu langsung dari gadis itu.

“Loa janan om.” Cuma itu daerah yang Lania tahu tentang Samarinda, dan dengan spontan meluncur begitu saja dari mulutnya walaupun tetap dengan terbata-bata.

Tante Levi, istri dari Om Ubed mempersilakan mereka minum teh hangat dan menikmati kudapan berupa kacang atom buatannya sendiri. Dari tempat itulah awal mula muncul kebiasaan, Lania memakan bagian luar kacang atom, sedang Riza bagian kacangnya. Sebuah kolaborasi yang saling menguntungkan.

 

**

 

“Saudara di Loa Janan itu siapamu?” Om Ubed ternyata belum usai dengan pertanyaan-pertanyaannyya.

“Sepupu om.”

“Kerja dimana?”

“Di tambang om.”

“Suda lama disini?” Dan masih banyak lagi pertanyaan demi pertanyaan yang memaksa Lania berbohong lagi, berbohong lagi.

 

**

 

“Dia HRD loh di kantornya.”

“Serius?”

“Ya, paling nggak kebohongan tadi kentara.”

“Sinting ya kamu. Kenapa harus bohong sih.”

Riza mengangkat pundak, wajahnya tak menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.

 

*

 

Kabar kedatangan Riza dan Lania di Samarinda tersiar cepat hingga sampai ke telinga Bertha, entah darimana asalnya. Yang jelas kedatangan Riza dengan perempuan lain sebelum mereka benar-benar berpisah membawa awan hitam bahkah petir bagi Bertha.

“Nggak bisa banget ya kamu tunggu sebentar lagi?”

“Kenapa harus kamu pamer-pamerin di depan keluargamu?”

“Agustus itu nggak lama.”

Berkali-kali Bertha mencba menghubungi Riza, namun tak jua ia mendapat jawaban. Ketika kekesalah membuncah, keluarlah kalimat-kalimat tidak perlu yang bertujuan menyakiti hati Riza.

“Aku nyesel transferin kamu uang, aku pikir niatmu pergi untuk keluargamu, tapi malah sama cewek lain. Kamu seniat itu ya mau langsung move on?”

Tak jua pesan itu mendapat tanggapan, sementara Bertha menangis sejadi-jadinya. Ada ego yang terlukai, ego harusnya ia yang move on terlebih dahulu, karena ia yang lebih siap dengan perpisahan inj.

 

*

 

Saat sudah kelelahan menangis, Bertha tertidur dengan mata sembab. Ia tiba-tiba terbangun dengan nada pesan yang memang sengaja ia setting cukup nyaring. Pesan dari Riza.

“Nggak kok, dia cuma mau bareng aja kesini. Bukan siapa-siapa.

Dusta yang sedikit menenangkan Bertha.



To be cont...

Sabtu, 05 Maret 2022

Bab 4 - Lagu Kita

  

Berbahagia, bisa jadi hanyalah kata. 

Semu, tak nyata. Begitulah kita.

Walau aku rindu, kau belumlah milikku, utuh.

Tinggal menunggu waktu, selamanya kita mengucap setia.

Mungkinkah?

 

Lirik lagu yang ditulis dengan penuh keraguan itu disambut Badawi dengan notasi-notasi indah. Dua orang dimabuk cinta itu akhirnya membuat sesuatu. Badawi berkali-kali menjelaskan apa saja yang ia inginkan dari karya berdua ini, namun Lania yang tak begitu paham musik ini tetap sulit memahami walupun ia tetap kekeuh ingin menyanyikan sendiri lagu itu.

“Aku nggak yakin hasilnya akan sesuai harapan yang.”

“Nggak apa-apa, ini kan untuk disimpan sendiri ay.”

Jadilah lagu itu dirampungkan dengan rekaman seadanya yang hanya satu kali take, dan hasilnya sudah pasti jauh dari ekspektasi.

 

*

 

Selepas isya, Lania bertemu Badawi dan rekan-rekan band lainnya di depan loby hotel. Ini mungkin akan jadi malam terakhir sebelum Lania memutuskan berhenti bernyanyi di pub itu dan ingin fokus dengan profesinya sebagai pekerja kantoran.. Malam itu ia mengenakan blazer broken white dan rambut yang dibiarkan tergerai keriting. Lania berencana untuk membawakan lagu mereka untuk kali pertama di panggung, sekaligus mungkin menjadi kali terakhir. Badawi memulai dengan memainkan intro, lalu Lania dengan khidmat menunggu masuk ke bait pertama. Baru di bait awal Lania sudah langsung digeruduk perasaan galau dan berat hati akan meninggalkan Badawi. Badawi yang tak kentara merasakan perasaan serupa justru tampil maksimal memainkan harmoni di tengah-tengah lagu. Suara mereka menyatu dalam lagu kita yang menjadi tanda akan hubungan indah keduanya. Tak peduli pengunjung suka atau tidak, Lania dan Badawi hanya berusaha membawakan lagu itu dengan penuh perasaan. Malam sedih itu dihabiskan Lania berdua dengan Badawi di atas rooftop di kost Lania hingga subuh. Ditemani sebotol wine dan beberapa bungkus kuaci dengan perisa greentea. Mereka banyak berbincang, berpegangan tangan, saling menguji beragam kemungkinan saat mereka berpisah nanti dan Badawi selalu meyakinkan hubungan mereka akan baik-baik saja.

 

*

 

Tinggal menghitung hari sebelum Lania meninggalkan kota itu, ia dengan yakin ingin mengukir banyak kenangan bersama Badawi yang dipacarinya sekitar 8 bulan itu. Lelaki yang usianya 3 tahun lebih muda.

Lebih sering bertemu di studio, berjalan-jalan sore, merayakan ulang tahun Badawi yang dihadiri lengkap rekan-rekan pemusik, membelikan cake berukuran jumbo, surprise di dalam studio, lalu membuat dokumentasi foto ala-ala ABG jatuh cinta yang lebih serupa prawedding membuat keduanya dilabeli pasangan beda usia namun sangat cocok. Dan bagi Lania, Badawi memang tipe idealnya, baik secara fisik maupun hal lain terutama tentang musik. 

 

*

 

Mengukur jalanan Simpang Empat, Pasar Minggu, Plajau, Pelabuhan. Mencari pecel pincuk, nasi goreng rajungan, bihun Acil Anggi, es teler, Lania dan Badawi berbincang sepanjang jalan tentang banyak hal. Masa-masa indah yang memang tidak selamanya. 2 minggu LDR, dengan mudah Badawi menganulir setiap ucapan manisnya tempo hari, ia dengan yakin meminta putus entah karena alasan apa, karena semua menjadi tidak masuk akal dan sulit diterima Lania. Parahnya, kata putus itu terucap setelah Badawi berjanji dengan yakin akan mengunjungi Lania di bulan berikutnya. Bullshit.

 

Lagu kita yang penuh keraguan pada akhirnya terbukti sangat layak diragukan. Selamanya? Terlalu muluk jika keduanya mengharapkan itu, karena jarak sekian Kilometer saja sudah sangat cukup menjadi alasan padahal masalah di kehidupan tentu akan lebih berat dari itu. Lania membenci Badawi, terkhusus malam itu dan bisa jadi akan terus berlanjut hingga malam-malam sesudahnya.

 


to be cont...

Bab 3 - Rumor

  

Karyawan baru, pasangan  baru, bahan baru, rumor baru, semangat baru.

Seisi Cempaka Office kini tengah ramai dengan konspirasi bolosnya 2 karyawan yang diduga tengah pergi berdua. Pembawa kabar pertama adalah Oka, dan yang lainnya adalah Slamet atasan Lania. Oka dan Slamet antusias memimpin sebuah rapat ghibah yang dihelat di meja kantin sepanjang coffee break. Dijamu seceret kopi dan sepiring kacang kulit, meja itu menjadi menarik bagi siapapun yang melintas. Agendanya jelas, Lania dan Riza. Beberapa dari mereka pada akhirnya bertaruh.

“100 ribu pertama mereka nggak pacaran. Aku kenal Lania cukup lama soalnya.” Dharma, teman  lama Lania sejak di Bontang.

“100 ribu kedua mereka pergi berdua tapi nggak pacaran. Karena memang setau aku Riza punya pacar.” Kailani, orang yang cukup dekat dengan Riza.

“200 ribu mereka pacaran tapi bakal putus kurang dari 3 bulan.” Slamet bersemangat.

“Jahat lu met.” Tigor mesam-mesem dengan taruhan Slamet.

“Aku yakin Riza nggak mungkin serius. Dan Lania juga kayaknya agak nggak beres nggak sih?” Slamet menambahkan.

“500 ribu mereka pacaran tapi akan backstreet beberapa saat dan akan cukup langgeng.” Oka dengan cukup yakin.

Disusul taruhan-taruhan dari orang-orang lainnya yang juga tak kalah antusias dengan setiap kemungkinan-kemungkinan yang ditulis detail di catatan milik Oka. Mereka bubar ketika bel tanda coffee break berakhir berbunyi.

 

*

Dharma dan Tigor masih belum puas dengan hasil rapat ghibah plus pertaruhan tadi karena ditutup sebelum beberapa hal ia rasa clear.

“Gor, ngerasa aneh nggak sih?”

“Aneh gimana?”

“Lania, kalau sampai beneran dia sama Riza parah sih. Kamu ngerti kan maksudku?” Dharma yang cukup lama mengenal Lania masih belum terima dengan kemungkinan itu. Tigor mengangguk.

“Tipe Lania itu kan biasanya yang alim, baik, kalem.”

“Maksudmu Rumi?”

“Ya setipe Rumi. Sedangkan Riza?” Dharma melihat ke arah Tigor, mereka seolah berada di pemikiran yang sama.

“Ya kan?” 

“Iya juga sih.” Tigor setuju dengan isi kepala Dharma yang bahkan tak perlu ia ungkapkan dengan kata-kata.

 

*

Di sisi lain di dalam office, beberapa ibu-ibu sedang berkumpul di depan sebuah meja yang di atasnya bercokol sebuah nampan berisi buah-buahan dan sambal rujak. Sulit dihindari, itu situasi paling menarik ghibah lain yang tentu saja versi ibu-ibu.

“Korban selanjutnya nggak sih?” Emma dengan antusias.

“Setelah gagal dapetin elu kan?” Jeni menyahut sembari mengunyah mangga muda di mulutnya.

“Kamu sempat juga ma?” Dinda bertanya kaget.

“Dipepet terus, sampai jijik sendiri.” Emma memperlihatkan ekspresi geli.

“Sama aku juga gitu.” Dinda menambahkan. Jeni dan Emma kompak melihat ke arah Dinda.

“Iya, beneran. Ngechat gombal-gombal dan sekalian saja kuberitahu Mas Pane.”

“Gila ya, padahal Mas Pane kan bosnya.” Jeni menggeleng-geleng.

“Nah itu dia. Memang agak sakit sih kayaknya.” Nona yang ada disana pun spontan mengalihkan ingatannya beberapa waktu silam saat Riza juga merayunya dengan modus serupa. Beruntungnya saat itu ia gesit memberitahu Dharma dan langsung dibentengi kekasihnya itu dengan berbagai macam petuah-petuah dan nasihat yang akhirnya membuat Dinda tak perlu membuang banyak tenaga meladeni sikap sok kecakepannya Riza.

“Aku jamin Lania bakal ditinggal kok.”

“Iya, paling juga Riza Cuma coba-coba.”

“Lania bilang dia punya pacar kok. Memang sama-sama aneh sih kayaknya.”

“Ya cocok sudah.” Yang satu main-main, yang satu pun sama. 

“Biarin lah, nanti juga kena batunya si Riza kalau terus-terusan coba-coba jadi player amatiran.”

“Setuju.”


to be cont...

Bab 2 - Perjodohan

Berlari dari kenyataan, menarik kembali sebuah keputusan, kembali pada masa paling indah sekaligus menyengsarakan, apa mungkin? Bahkan pilihan menjadi sengsara pun masih tak tampak menakutkan dibanding pernikahan ini.

 

Malam itu satu malam penuh Bertha tak bisa menghubungi Riza. Kekasih yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu seharusnya memang masih dalam genggamannya. Mereka belum putus bahkan ketika pernikahannya dengan Dave, lelaki pilihan orang tuanya itu tinggal menghitung hari. Bertha seperti tidak pernah rela melepaskan Riza yang sudah lebih dari 4 tahun menemaninya.

“Halo mas, Riza ada di kamarnya nggak? Soalnya kutelpon nggak bisa.” Bertha memberanikan diri menghubungi Oka, teman kost Riza yang jadi satu-satunya orang yang Bertha kenal. Lama perempuan itu menunggu balasan Oka, namun yang ia dapat jawaban yang tak sesuai harapannya. Ia merasa seperti dilupakan, padahal seharusnya ia yang melakukan itu lebih dahulu. Khawatir, hanyalah alasan yang paling mungkin ia pakai dibanding alasan curiga dan yang lainnya. Bertha gelisah sepanjang malam hingga beberapa hari kemudian, Riza benar-benar menghilang padahal sebelum itu Riza memintanya untuk mentransfer sejumlah uang.

Lamaran, foto prawedding, mengurus berkas ke KUA, persiapan gedung, katering, dekor, MUA, dokumentasi, seragam keluarga, tak mampu menyita pikiran Bertha seberat saat ia memikirkan Riza. Perasaan mereka berdua memang terlalu dalam, terlalu jauh, dan seharusnya, setidaknya bagi Bertha, tak mampu dipisahkan siapapun. Sayangnya, keadaan berkata berbeda.

 

Dalam kegelisahan, Bertha yang dalam hatinya pun diliputi rasa marah mulai mencoba mengalihkan pikirannya ke hal lain. Hal yang tetap membawanya pada ingatan tentang Riza, namun setidaknya tidak perlu memaksanya untuk terus menunggu kabar lelaki itu dengan putus asa. Bertha memusatkan emosinya dalam kepala, menatanya sedemikian rupa, dan mulai membuka folder “Personal” dalam laptopnya.

 

*

 

LDR, sebuah konsep hubungan yang sulit meyakinkan siapapun termasuk keluarga Bertha. 

“Cari yang lain saja.”

“Yang pasti-pasti saja.”

“Yang serius saja.”

Saja-saja lainnya yang membuat Bertha tersudut dan akhirnya mengiyakan saat ia harus diperkenalkan dengan Dave. Yang memang tidak begitu dengan paksaan, logika-logika sederhana yang jika dipikirkan ulang tidaklah salah. Riza tak mungkin bisa serius, sedangkan usia Bertha sudah menuju 25 tahun, usia yang dalam keluarga Bertha dinilai sangat terlambat jika belum menikah.

Pertemuan pertamanya dengan Dave ditemani Fitri, kakak ipar Bertha yang mengenal Dave saat berbisnis di Johor. Jadilah, ketika Dave datang ke Pekanbaru, Fitri mengatur segala macam hal agar keduanya bisa berkenalan. Sebuah restaurant di sebuah hotel di pusat kota Pekanbaru menjadi pilihan Fitri. 

Dengan cowl neck dress berwarna army dan rambut lurus yang dibiarkan tergerai, Bertha berjalan penuh percaya diri dengan stiletto berwarna hitam ditemani Fitri yang hanya mengantarkannya hingga loby hotel.

Saat melenggang menuju meja, Bertha sudah terfokus pada lelaki berjenggot tipis yang mengenakan tailored suit berwarna grey dan rambut tersisir rapi di sudut ruangan. Setelah berjarak sekitar 5 meter, lelaki itu berdiri dan melambaikan tangan pada Bertha.

“Hai.” Keduanya bersalaman dan Dave mempersilakan Bertha duduk. Malam itu menjadi malam yang membuat Bertha berpikir, mungkin perjodohan ini tidaklah terlalu buruk. Setelah malam itu, Bertha mulai membuka diri pada Dave dan seolah tidak pernah keberatan jika mereka melangkah ke hubungan yang lebih serius. Pikiran yang semakin menuju hari H, semakin ingin ia anulir. Bertha benci keputusannya.

 

*

 

 

Bab 1 - Wanita Paling Bahagia

Saat sedih bukanlah sedih, amarah bukanlah amarah, benci tak berarti benci, dan bahagia menjadi selamanya. Bagitulah saat bersamamu.

 

Membelah jalanan yang dikelilingi hutan Gunung Rambutan, Lania dan Riza tak hentinya berbagi dekap, cerita, dan jokes receh yang mempertemukan tawa keduanya di udara. Bolos dan menempuh perjalanan jauh berdua, setelah jadian kurang dari seminggu memang hal paling berani yang dilakukan Lania.

Udara malam yang dingin ditambah AC bus membuat keduanya tak berhenti terus saling mendekap. Saat tengah malam, Lania mengeluh kakinya kedinginan, dan Riza dengan sigap menggamit gulungan sepasang kaos kaki perempuan berwarna putih dengan aksen pink di bagian tungkai yang membuat Lania sedikit bertanya-tanya.

“Punya siapa?”

“Punyaku. Salah beli.”

“Oh.” Lania senyum mengangguk enggan membahasnya lagi, walaupun ia tak begitu percaya jawaban itu. Lania membiarkan Riza memasangkan kaos kaki itu. Ia memperhatikan wajah Riza yang hanya terlihat samar-samar lewat pantulan cahaya lampu jalanan yang menjadi sangat redup sampai ke dalam bus. Lelaki itu tampak sulit tidak membuatnya bahagia. Lania tak hentinya memasang wajah sumringah dan penuh cinta.

Banyak mengobrol membuat keduanya sukar menghindari topik-topik sensitif. Mantan pacar, masa lalu, alasan gagal, kadar perasaan, masih sayang dan tidak, keluarga, aib, dan lain-lain. Semua dengan leluasa mereka bahas tanpa batasan apapun dan tetap merasa nyaman. 

Namun, satu hal yang akhirnya membuat mood Lania berubah.

“Aku pergi kali ini pinjam uang Bertha.” Lania terdiam, ia kesal bukan main karena setahu dia Bertha adalah mantan kekasih Riza. Namun, hanya sesaat kalimat itu merusak suasana, dalam sekejap Lania bisa kembali membangun suasana seperti awal dan berusaha tidak lagi membahas itu dan menikmati perjalanan hingga tertidur.

“Kacang, Akua, Mijon. Kacang, Akua, Mijon.” Lania terbangun saat mendengar dan merasakan seseorang meletakkan sebungkus kacang dan minuman kemasan di kursinya. Ia mencari-cari dimana Riza namun tak kunjung menemukan tanda-tanda dimana lelaki itu. Sekeliling sudah ramai dengan orang-orang yang silih berganti masuk ke dalam bus berjualan segala macam makanan. Dari kacang-kacangan hingga nasi bungkus, dari minuman kemasan hingga es plastikan. Di luar bus juga tak kalah ramai, para penumpang bus mulai berhamburan turun dan tersebar di toilet, warung, mushola, dan beberapa bersantai di depan deretan bus sekedar untuk mengobrol atau merokok. Lania memutuskan turun dari bus dan mencari Riza.

Masih dengan kesadaran yang belum begitu sempurna Lania meninggalkan bus berharap tidak begitu sulit menemukan yang ia cari. Benar saja, dari kejauhan tampak lelaki dengan tubuh tinggi tengah memecah kerumunan. Pada dini hari Riza masih menjadi seseorang yang menarik di mata Lania, dengan kaos berwarna putih bergambar Nirvana, celana denim dengan sobekan di bagian lutut, sneakers berwarna navy, dan wajah yang tampak lebih cerah dibanding manusia-manusia lain yang Lania lihat saat itu membuat Lania tak sanggup menahan senyum dan perasaan berdebar yang sulit ia kendalikan. Jatuh cinta.

“Mau kemana?” Suaranya yang terdengar sedikit serak karena udara malam, senyum simpul yang tersungging, dan telapak tangannya yang dengan cepat mendarat di kepala Lania, membuat gadis itu tak punya persiapan untuk menghadapi kondisi itu. Jantungnya nyaris copot, hatinya menghangat sekaligus berdebar, perutnya melilit, dan respons terhadap semua itu jelas menjadi di luar pikirannya. Lania tak canggung memeluk Riza yang ada di depannya. Bukan baginya, mungkin bagi tubuhnya reaksi itulah yang paling natural terjadi saat itu. Riza pun membalas pelukan itu dengan dekap yang sama. Tak ada dingin, tak ada orang lain, waktu sedang dibekukan oleh wanita paling bahagia di muka bumi. Lania.

 

*

 

Belajar dari pengalaman dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. LDR? No way. Lania memusatkan pikirannya pada keyakinan kekasihnya berikutnya tidak boleh jauh, kalau bisa sedekat mungkin. Dan, ya tidak sulit. Dalam hitungan hari ia sudah tahu akan mengarahkan jebakan itu kemana, dan terhitung hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu ia mendapatkan orang itu. Sebuah proses yang tak bisa diprediksi siapapun, kilat, dan tentu saja mengundang banyak pertanyaan disana-sini. Lania? Ia sudah terbiasa dengan itu. Ia terbiasa tanpa pikir panjang memutuskan berpacaran dengan orang lain, dan biasanya tanpa pikir panjang pula ketika ingin putus. Baginya hubungan setidakpenting itu.

“Break? Memang dia pikir aku apa? Aku mau tunggu dia? Taik lah.” Lania kesal dengan bahasa kiasan yang digunakan Badawi saat meminta putus, semua diperhalus mungkin dengan tujuan agar tidak terlalu menyakiti walaupun pada akhirnya lebih menyakitkan bagi Lania.

“Kalau kita jodoh pasti balik kok.”

“Ogah.”

“Aku masih perlu bantuan uang kuliah orang tuaku, jadi mau nggak mau aku harus nurut.”

“Alasan.”

“Padahal liburan kali ini aku rencana kesana.”

“Halah lamis.”

“Mereka nggak setuju karena kamu kerja di pub.”

“Kamu sendiri kerja disana bangsat.”

“Mereka pengen calonku PNS.”

Kalimat itu yang menghentikan segala macam perdebatan dalam batin Lania. Oh okay, PNS? Jelas itu bukan dia. Kalimat itu yang pada akhirnya memukul mundur Lania dan memaksanya menjadi lebih terima dengan alasan-alasan tidak masuk akal yang sebelum-sebelumnya ia dengar dari Badawi. Wajar, Badawi anak salah seorang kepala dinas di Tanah Bumbu, ayahnya tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Sedang Lania? Hanya lulusan SMA yang karena faktor hoki bisa bekerja kantoran. Sangat jauh dari tipe ideal bapak-bapak yang merasa berhak mengatur penuh hidup anaknya termasuk soal jodoh. Sialan.

Memilih Riza menjadi angin segar di tengah-tengah hubungan Riza yang sebenarnya juga baru saja berakhir dengan Bertha. Lania enggan bertanya lebih banyak, ia memilih tidak terlalu peduli dengan masa lalu Riza. Yang terpenting adalah saat ini. Karena ia juga enggan jika diwajibkan menceritakan dengan rinci bagaimana hubungannya sebelumnya. Hubungan yang tak pernah bertahan lama, hubungan yang selalu gagal dengan berbagai macam cara, hubungan yang bahkan beberapa malu ia akui. Setidaknya, Badawi adalah mantan terbaik yang pernah Lania miliki. Lupakan para pecundang-pecundang tengik yang pernah memacari Lania, yang cuma demi sepasang sepatu futsal ori import, atau persetan dengan brondong yang hanya mencari Lania saat ia putus dengan pacarnya, atau bodo amat dengan lelaki alim yang bersikap baik pada Lania hanya untuk kemudian meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Acungan jari tengah untuk mereka semua. Lania mengutuk kehidupan cinta super bodoh itu, walaupun ia lupa beberapa orang lain yang justru ia perlakukan tidak adil. Lania lupa ia pun seringkali berlaku tak adil, PHP, memutuskan sepihak, ghosting, mencari-cari masalah agar putus, selingkuh, apalagi? Banyak. Lania memang tidak semalaikat itu, ia cukup kejam untuk perihal hubungan. Jadi, tidaklah salah jika ia diperlakukan hal sama.

 

**

 

Label wanita paling bahagia, lagi-lagi ia sematkan ketika memulai hubungan di satu dua minggu pertama. Kita lihat bagaimana selanjutnya.



to be cont...

 

Rabu, 26 Januari 2022

Namamu

Dari aku yang mampu melihat senyummu di punggungku.

Satu dua angin membawa namamu ke telingaku, terdengar namun tak membuatku bergetar, kamu muda itu yang kutahu.
Purnama ke 60 hadir sudah, namun namamu belumlah punah, satu dua angin masih belum bosan hadir, menyampaikan namamu lewat senyum dan salam-salam yang ditolak alam pikir.
Kini kuberanikan diri mengundang satu dua angin, kuizinkan mereka membawa namamu, kembali semua terasa biasa saja sampai. . .

Rabu, 21 Juli 2021

JKTB - Episode 1 Kriteria Yang Hilang

Percaya diri? Adalah hal yang terseok-seok aku cari, dengan paksa, penuh peluh. Gagal dalam hubungan, putus sebelum jadian, dikhianati dalam bentuk perselingkuhan hingga hilang tanpa kabar, ditinggal menikah, dimanfaatkan secara materi padahal aku bukan orang kaya tetapi hanya bodoh saja, dan segala bentuk kegagalan-kegagalan lain yang membuat aku sempat merasa "Apakah ini karena aku tidak cantik? Atau karena aku bukan sarjana? Mungkin juga karena aku bukan anak orang kaya? Atau karena aku memang belum cukup baik sebagai manusia?" Hilang sudah rasa banggaku terhadap diri sendiri, aku berada di masa serba minder di usiaku yang baru 20 tahun.

Di tengah perasaan kacau itu, tiba-tiba aku mengenal seseorang. Lelaki yang berwajah cukup tampan, berhidung mancung, beralis tebal, bergigi gingsul, berkulit putih, tinggi, kurus, dan serba menarik perhatian karena ia pandai bermain musik. Ia adalah kriteria pasangan idamanku. 
Saat itu aku kursus vokal, sedang dia menjadi guru keyboard, kami menjadi akrab saat mulai mengulik lagu untuk keperluan gigs. Itu pertama kali di antara kami ada percikan-percikan sesuatu. Aku bahkan ingat hari itu ia mengenakan kaos hitam dan celana selutut.
Setelah saling mengenal dekat, tak lama kami jadian, dan hubungan yang cukup erat membuatku berada pada level percaya diri yang lain. Aku kembali merasa cukup layak untuk mendapat pasangan yang sesuai dengan kriteria dan ekspektasiku. Ya, itu bukan hal mustahil. Kami punya banyak kesamaan, bisa kupastikan kami punya dunia yang sama, musik.
Wandi, lelaki lebih muda tiga tahun dari aku, saat kami pertama kali bertemu ia memang baru 17 tahun, baru lulus SMA, selain kuliah ia punya pekerjaan sampingan sebagai guru honorer di salah satu SMK, mengajar lepas di sekolah musik sebagai guru keyboard, dan pekerjaan sampingannya yang lain adalah sebagai additional player keyboard di salah satu pub. Di usianya, ia termasuk luar biasa. Itulah yang membuat aku tidak pernah ragu untuk bertahan. Sekalipun ia belum mapan, setidaknya ia pekerja keras.

Saat itu aku sedang mengikuti kursus vocal di tempat Wandi mengajar, dengan tanpa sengaja kami pun dipertemukan kembali di pub tempat ia bekerja dan aku akhirnya turut bergabung sebagai vokalis tambahan. Semakin luar biasa lah hubungan kami, sampai akhirnya kekacauan di kantor tempat aku bekerja terjadi. Pekerjaanku yang akhirnya berantakan karena waktu tidurku berantakan, membuat aku didepak oleh atasan diasingkan ke cabang lain yang berjarak cukup jauh dari Kota Batulicin, yaitu Tanjung Tabalong. 

Maret 2014

Jalanan aspal yang kami lewati sepanjang Batulicin - Tabalong menghabiskan waktu nyaris 10 jam. Perjalanan darat terlama kedua setelah aku berkeliling Pulau Jawa setahun sebelumnya. Rasanya hari itu sedih dan senang beradu menjadi satu. Sedih karena harus menjalani LDR dengan Wandi. Dan senang, karena menghadapi lingkungan baru. Selain berbincang dengan Pak Supir, aku juga beberapa kali harus terjebak dalam pikiran penuh, tentang hal-hal yang membuatku khawatir. Khawatir kalau-kalau jiwa masa mudaku di usia 20 tahun kala itu memang belum benar-benar masuk masa dewasa. Aku yang tidak pernah memiliki komitmen berhubungan lama dengan seseorang bisa saja kali ini akan segera putus dengan Wandi, walaupun ia meyakinkanku berkali-kali kalau hubungan kami akan baik-baik saja. Dan, janjinya berikutnya adalah mengunjungiku di bulan mei mendatang. Gelisahku berangsur reda.

Mei 2014
Berapa lama seseorang akan beralih ke orang berikutnya setelah putus? Sebulan? Dua bulan? Setahun? 10 tahun? Bagiku mudah saja, cukup dengan waktu kurang dari 2 pekan.

Kulupakan kriteria, kubuang ekspektasi, kuramu pikiran-pikiran baik, kutanam dalam kepala bahwa aku harus segera beranjak, move on. Dan, dalam pikiranku yang serba terdesak itu aku menemukan seseorang.
Lelaki berkulit gelap, tidak terlalu tampan, biasa saja. Hanya saja dia bertubuh tinggi, kurus, dan memiliki barisan gigi yang rapi. Setidaknya beberapa hal itu bagiku cukup untuk memberanikan diri mulai mencoba. Juna.


Popular Posts