Tampilkan postingan dengan label Mengikutimu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mengikutimu. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Desember 2021

Mengikutimu - Mengarsipkan Perasaan

Dear Diary, hari ini 7 december 2021.

Sudah hari ketiga aku memfollow IG orang itu. Beberapa hal terpaksa harus kusimpulkan.

Ia orang yg agamis, ia berpikiran rumit, ia seringkali ragu-ragu, terlihat dari sorotan dan postingannya tentang doa, lalu juga kebiasaanya memposting story lalu menghapusnya beberapa saat kemudian. Ia gemar naik motor, gemar pergi ke tempat-tempat cantik, 1 2 point itu cukup membuatku terkesan.

Ada beberapa hal yang membuatku berpikir ia pastilah orang yg tidak selalu mulus dalam hubungan. Tetapi ia juga orang yang mudah mengenal orang lain, mudah berteman, terlihat dari following dan kolom komentar di postingannya yang tampak selalu ramai. 

Mungkin ekspektasiku tidak serta-merta benar, tetapi bisa jadi benar, kalaupun tidak aku ingin mengarsipkan perasaan hari ini. Perasaan jatuh cinta pada pendengaran pertama. Apakah dia sudah menyadari bahwa di dunia ini ada makhluk bernama "aku"?

Sebuah tulisan yang ketika Vayana membaca ulang beberapa menit kemudian ia merasa geli sendiri.

"Jijik sekali kamu Vay. Jangan sampai ada yang baca tulisan ini." Rapat-rapat ia simpan buku tebal bergaya etnik bersampul kulit itu ke dalam lemari, ia tumpuk dengan box hair dryer, catok, dry box kamera, dan perintilan-perintilan lain agar tidak kentara.

**

Menghadapi pekan sibuk, annual stock take dan closing pembukuan segala macam hal membuat Vayana kelelahan. Disaat semacam ini biasanya ada seseorang tempat ia meluapkan keluh kesah. Orang yang sebenarnya juga tampak tidak nyaman menerima setiap aduan.

"Iya, jangan ngeluh terus ah."

"Yang semangat dong."

"Ishhh, lemah."

"Sedikit-sedikit sakit, tapi sukanya telat makan, nggak pernah olahraga."

Kalimat-kalimat yang terngiang-ngiang di kepala terus coba ia hapus. 

"Sial, kenapa rasanya jadi menyebalkan."

Tetapi pikirannya yang lain mendadak punya ide. Iya ingin mengarsipkan perasaan ini kakau-kalau bisa ia jadikan senjata untuk membuat sesuatu. Pelan-pelan Vayana menulis bait demi bait tulisan untuk menggambarkan hal-hal menyesakkan yang saat ini ia rasakan.

Desak

Ingin kutinggalkan semua hidupku di sini

Pergi jauh ke tempat baru

Agar lepas beban

Lepas semua desakan


Menikah bukan tujuanku kini

Bolehkah kupikirkan nanti

Aku hanya ingin , menyembuhkan diri

Tanpa pelarian lagi


Kalimat yang jika diamati ulang lebih mirip lirik lagu itu menjadi perantara perasaan Vayana, sekalipun tak semua bisa ia wakilkan dengan itu. Vayana berusaha mengorek-mengorek perasaan mengganjalnya namun tak banyak kata bisa ia keluarkan. "Ah, setiap kali coba diingat, malah lebih sering lupa." Muncullah sebuah gagasan baru setelah keluar satu kalimat majemuk yang tak sengaja terlontar itu.

"Iya ya, semakin diingat, semakin lupa. Semakin dilupakan, semakin ingat. Sepertinya perasaan tersiksa itu memang lahir dari penolakkan kita terhadap arah angin, kita terlalu sering melawan, sehingga lelah sendiri kan?" Vayana bergumam, namun jelas sekali itu meluncur dengan lancar dari mulutnya.

"Sang filsuf bersabda." Suara Freya di depan pintu meracau dan merusak konsentrasi Vayana.

"Keluar nggak?" Vayana berteriak dan melotot ke arah adiknya itu sambil melempari bantal guling dan lainnya.

"Ampun, ampun." Freya berlari keluar dan masih terus mengejek.

"Diaaaaaam." Mama mulai frustasi melihat kedua anaknya yang ribut hampir setiap hari.


To be cont...

Mengikutimu - Kemustahilan yang Disemogakan

"Kriboooooooo." Gedoran pintu dan teriakan tak membuat Freya tergerak. Pagi itu seperti biasa Vayana harus pergi bekerja, dan sudah mendekati waktu berangkat ojek andalannya belum juga keliar kamar.
"Bangun woy." Vayana berusaha membuka gagang pintu walaupun tak mungkin berhasil karena terkunci dari dalam. Ia melakukan agar tingkat berisiknya lebih terdengar.
"Ok, motor kubawa." Vayana menyerah, ia langsung meraih kunci cadangan dan helm lalu bergegas keluar.
"Tunggu kak." Tiba-tiba di belakangnya barulah Freya berteriak.
"Lelet, aku berangkat sendiri aja." Vayana kesal.
"Aku mau bawa motornya nanti siang." Freya langsung keluar dengan celana pendek dan kaos Bali yang sudah lecek, serta muka bantal dan rambut awut-awutan. Gadis itu siap menganyar Vayana menuju halte.
"Mana maskermu?"
"Nggak usah ah."
"Ya terserah, kalau positif jangan ajak-ajak."
"Idih amit-amit." Freya melajukan motornya melewati rumah-rumah yang masih sunyi senyap. Hanya ada beberapa pekerja yang melintas berjalan kaki, bersepeda,maupun dengan motor. Dengan kondisi seperti itu, bertemu gebetan adalah hal yang sangat tidaklah mungkin. Tapi saat menurunkan Vayana di halte, tiba-tiba Freya melihat sosok yang dari semalam membuatnya sulit tidur. Spontan ia memalingkan muka, memutar arah, dan menarik gas dengan kencang. Vayana bingung melihat adiknya yang terburu-buru bahkan ban motornya nyaris slip.
Dengan jantung yang seperti mau copot, dengan tubuh yang gemetar, dengan penglihatan yang masih belum bekerja sepenuhnya, dengan pakaian yang cukup membuat angin masuk tanpa aba-aba, dengan perut yang mual, dengan berbagai hal-hal minus di pagi buta Freya hampir saja muntah disaat yang sama.
"Shit."
Sampai akhirnya Freya sadar akan sesuatu. Ia langsung membuka instagram second accountnya dan menemukan Rashif masih berada di Bandung 6 jam yang lalu.
"Jadi yang aku lihat tadi? Bangsat." Freya mulai halu.

**

"Kenapa Fre?" Di depan pintu mama menyambut Freya yang masih tampak tidak stabil.
"Ma, bawa aku ke psikolog dong."
"Kenapa emangnya?"
"Kayaknya aku mulai halu deh ma, masa aku lihat Kak Rashif barusan, padahal dia sekarang lagi di Bandung."
"Rashif? Idolamu?"
"Iya." Mama langsung merespon dengan wajah ilfil dan bergegas kembali masuk ke rumah.
Freya menghamburkan diri di atas sofabed di depan Teve, lalu berteriak-teriak tak jelas. Dari pembatas dapur dan ruang keluarga mama melempar wajah anaknya itu dengan serbet.
"Diem woy, masih pagi."
"Kalau agak siangan boleh berisik nggak ma?"
"Gustiiiiii, ada nggak hukumnya anak yang suka ngejek orang tua." Kali ini gantian mama yang berteriak. Freya langsung terpingkal-pingkal melihat tingkah ibunya. 

**

"Kemana? Nggak sarapan dulu?"
"Nanti aja, ntar ngantrinya panjang lagi."
"Mau kemana emang?"
"Nyalon ma, biar pas nanti sekolah tatap muka aku udah keliatan cantik."
"Idih, semacam punya duit aja."
"Banyak lah. Aku pergi dulu ya." Dengan rambut keriting tergerai, Freya pergi ke rumah sahabatnya, Jasmine. Berbekal masker wajah, masker rambut, lulur, sampai lemon dan baking soda Freya berencana bermain salon-salonan dengan Jasmine. Tidak lupa dibarengi nonton video-video BTS.
"Kalau sampai awal tahun aku belum ditembak gimana ya?" Mulailah topik cinta-cinta ala Jasmine dan Freya dimulai.
"Ya tembak aja duluan."
"Anjir, ogah." Jasmine merespon sedemikian, tetapi dengan raut wajah senyum-senyum malu-malu kucing. Seperti tidak sinkron antara ucapan dan perbuatan.
"Ya nggak papa, daripada penasaran." Freya si pakar cinta yang jomblo seumur hidup sok-sokan memberi nasihat.
"Takutnya kita jadi renggang." Jasmine menghela nafas dalam.
"Lebih takut kalau dia nggak tau." Freya sok meyakinkan.
"Lah, kamu sendiri gimana sama Kak Rashif?"
"Nggak gimana-gimana."
"Berani nembak duluan?"
"Berani lah, tapi nanti saat pelurunya sudah bisa tepat sasaran."
"Pret ah." Jasmine tahu betul Freya hanya asal bicara. Sahabatnya itu sudah seringkali naksir seseorang dan selalu berakhir gagal. Rashif mungkin akan jadi target gagal yang kesekian.
"Pokoknya kalau aku sudah cantik, terus aku juara kelas, tampil lomba pidato, dan info tentang Kak Rashif lengkap terpenuhi,  dia bakal kutembak." Freya senyum-senyum sendiri membayangkan saat itu tiba.
"Kok kayaknya itu mustahil ya?"
"Heee dasar, didukung kek." 
"Haha iya iya."


To be cont...

Mengikutimu - Jatuh Cinta Pada Pendengaran Pertama

Mengiyakan ajakan Aira dan Syarif untuk keluar rumah adalah hal yang tepat. Malam itu dengan negosiasi alot akhirnya mereka bertiga yakin turun ke jalan-jalan dan mampir ke Pekan Raya Tabalong.
"Ini crowded pertama selama covid nggak sih?" Setengah berteriak Vayana mengajak Syarif mengobrol dalam kerumunan. Di belakangnya Aira mengekori dengan menautkan tangan ke lengan kanan Vayana dan berusaha memecah manusia yang berdesakkan di antara mereka.
"Delta Omicron, lupa semua kayaknya." Aira sedikit menarik lengannya. 
"Kayaknya kesana agak lowong deh." Syarif memimpin di depan sebagai pomecah kerumunan lalu mengajak mereka ke suatu tempat. Benar saja, lebih lega karena stand-stand yang ada di sekitar area itu tidak terlalu penuh.
"Eh, kok jadi pengen gulali ya." Vayana nyeletuk.
"Nggak usah aneh-aneh deh." Aira sinis.
"Itu ada yang deket." Tanpa permisi Vayana melangkah ke paman-paman penjual gulali di deretan stand kuliner tak jauh dari tempat mereka berdiri. Secara otomatis Syarif dan Aira mengikuti di belakangnya.
"Setelah mengeluarkan selembar uang Rp 10000, Vayana dengan girang membawa sebungkus gulali berwarna biru kuning pink itu. Lucu, batinnya. Tetapi kesenangan itu seketika rusak ketika melihat salah satu bocah membawa sebuah gulali dengan motif Mickey Mouse yang super lucu.
"Yah, salah tempat kan? Tuh lebih kece Vay." Goda Aira.
"Iya eh, kita cari yang kayak gitu yuk." Vayana merengek.
"Udah ini aja juga sama kok, dimakan dulu yang ada, baru mikir beli lagi." Syarif ngomel, Vayana patuh.
Mereka bertiga kembali menyisir stand-stand kuliner yang ada, banyak pilihan, tetapi Vayana justru tertuju pada minuman pastic cup yang biasanya mengandung pemanis buatan.
"Vay, yakin beli disini?" Aira sangsi.
"Yakin aja." Sambil menyeruput es sirsak.
"Fix, ni bocah nggak pintar milih." Aira dan Syarif geleng-geleng. Ketiganya masih di tempat itu sampai pertunjukkan tradisional suku dayak yang mereka tonton berakhir.

**

"Terlalu cepet nggak sih kalau kita pulang sekarang?" Sebuah kalimat pancingan untuk lanjut ke lokasi berikutnya.
"Kita lanjut kemana?" 
"Gimana kalau ke kedai kopi yang di jalan Nurdin Saleh." Usul Syarif.
"Recommended nggak?"
"Lumayan, kopinya enak kok."
"Ya udah, ayok."
Ponsel mereka yang kehilangan signal karena kerumunan akhirnya mulai diberondong notifikasi. Pesan-pesan masuk namun Vayana tetap yakin tidak akan membukanya saat itu.
Tiba di sebuah cafe bergaya outdoor di pinggiran kota dan cukup jauh dari keramaian, Vayana memesan segelas coffee brown sugar, sedang yang lainnya memesan mocktail, mereka memilih duduk di salah satu meja kaca bundar. Tak banyak pengunjung kala itu, hanya terisi 3 meja. Yang satu sepasang muda-mudi, yang satu lagi rombongan 4 orang pemuda yang jaraknya tidak jauh.
Dengan jarak itu Vayana merasa sedang dalam radar seseorang. Kharismanya teramat kuat, bahkan tanpa Vayana melihat wajahnya. Di sela-sela obrolan, terdengar suara yang entah mengapa menarik perhatiannya. Sengaja Vayana mencuri dengar, lelaki itu membahas motor, musik, fashion, dengan bahasa yang jelas sekaligus tertata, suaranya pun tak kuasa memancing debar, merdu sekali. Ditaksir, usia lelaki itu jauh lebih muda.
Bermain UNO seolah menjadi alasan saja, karena fokus gadis itu bukan disana. Volume suara ia kendalikan sedemikian rupa agar tak begitu kentara getar yang muncul akibat perasaan tiba-tiba itu. Vayana melirik meja sebelah, namun tak ia dapati wajah lelaki itu, ia hanya menangkap rambut gondrong pada lelaki berkaus putih dan berkulit tampak bersih, Vayana yakin lelaki itulah pemilik suara itu. 
Kegugupan tak berdasar itu semakin tak berhasil ia atasi, untungnya baik Aira mau Syarif tak cukup peka untuk menyadari keadaan itu.

**

Sepulangnya dari tempat itu Vayana langsung mengecek dimana kira2 ia bisa tahu siapa lelaki itu. Dan, instagram pemilik cafe lah sumbernya. Tampak repost story di akun official cafe, dan sudut itu tepat datang dari tempat lelaki itu duduk. Akun bernama Taka underscore 5 kali.

Vayana membuka profil lelaki itu dan benar saja ialah orangnya, terlihat dari siluet rambut gondrong yang mudah dikenali. Dalam akun itu terdapat 11 postingan dan berdasarkan kemampuan menguntitnya, Vayana yakin "dia single". 

**

Esok harinya Vayana memberanikan diri untuk memfollow terlebih dahulu, dan dalam waktu beberapa menit ia mendapat followback. Gadis itu tidak berani jika harus mengirim pesan atau menyapa terlebih dahulu, tetapi ia hanya ingin lelaki bernama Taka itu tahu bahwa ada orang sepertinya di bumi, ia hadir, ia ada, dan boleh jika ingin dipertimbangkan apakah Vayana bisa menjadi teman atau tidak.  Setidaknya, itulah isi kepala gadis itu. Walaupun itu terlalu jauh.

Saat ini, setiap kali Vayana membuka IG dan melihat profil lelaki asing tu, hatinya menghangat, jiwanya penuh gejolak, tak menentu, penuh semangat, dan banyak doa terselip diantara itu. Ia ingin mengenalnya, semoga Tuhan mengizinkan. Aamiin.


To be cont...

Mengikutimu - Mencari Yang Pertama

Akhirnya, moment manis yang ditunggu sebagian besar ABG datang di kehidupan Freya. Sweet seventeen, punya KTP, punya SIM, dihitung sebagai dewasa, dan hal-hal menyenangkan lainnya dibayangkan Freya dengan senyum-senyum sendirian di kamar. 
"Fre, makan." Dari luar kamar terdengar suara mama. 
"Iya." Dengan langkah cepat Freya menghampiri meja makan yang sudah siap dengan aneka menu itu.
"Wih, sambel pete. Tumben ma."
"Buat ABG." Mama senyum-senyum.
"Aku juga ABG ma." Vayana tak mau kalah.
"ABG tua ya kak." Freya melirik.
"Berani ya?" Kakaknya tak terima.
"Selamat ulang tahun nak." Mama mengeluarkan sebuah kue dari dalam kulkas.
"Nyanyiin dong ma." Minta Freya.
"Dikasih kue aja udah sukur." Vayana kesal.
"Ih sirik aja." 
"Happy bithday to you." Mama mengikuti kemauan anak bungsunya itu untuk bernyanyi. Meja makan terasa hangat sebelum mereka tiba pada topik sensitif.
"Vay, kapan pacarmu kesini?"
"Sudah putus ma."
"Lagi?" Vayana mengangguk.
"Kakak emang nggak serius ma." Freya nimbrung.
"Anak kecil diam." Mama melotot.
"Kenapa lagi sih Vay?"
"Biasa lah, nggak cocok."
"Masalahnya ada di kamu kan?"
"Mungkin."
"Makanya kamu berbenah lah, sampai kapan mau sendiri terus."
"Sampai ketemu yang cocok."
"Itu terus, sampai berbusa mama ngasih nasihat." Vayana nyengir, tak banyak yang menyadari bahwa hari itu keadaan hatinya sedang tidak baik, tetapi ia enggan bercerita kepada siapapun, takut malah dia kena semprot.
"Ma, berarti aku sudah boleh punya pacar kan?" Freya tiba-tiba membuka topik aneh.
"Siapa yang ngelarang?" Mama menyahut santai.
"Aku naksir kakak kelas ma, anak futsal, ganteng, juara pidato, ketua rohis, perfect." Dengan santai Freya menceritakan itu pada mamanya.
"Iya terserah kamu." Lagi-lagi mama menanggapinya dengan santai, atau lebih kepada tidak terlalu tertarik.
Dalam obrolan itu, Vayana justru sedikit risih mendengar adiknya yang tanpa tedeng aling-aling bisa cerita segamblang itu dengan ibunya, sementara dia selama ini hanya berani bercerita jika ditanya itupun ia jawab secukupnya, tak mungkin ia bisa cerita sesantai itu. Dan buat apa?
Vayana buru-buru menyelesaikan hidangan di depannya dan kembali ke kamar. Ditinggalkannya ibu dan adiknya yang masih asik membahas cerita-cerita asmara ala ABG yang menggelitik telinganya. 

**

Masih di meja makan, Freya asik membuka-buka profil seseorang. Menggunakan second account ABG itu melakukan rutinitasnya menguntit. Mulai dari mengecek feed, story, reels, IGTV, sampai ia menghitung jumlah following dan followers apakah ada yang berubah atau tidak, lalu ia dengan telaten membuka kolom komentar dan melihat siapa saja yang membubuhkan like pada setiap postingan, dari sana barulah satu demi satu profil ia buka berharap menemukan informasi tambahan tentang Rashif, gebetannya.
Misinya kali ini harus punya pacar, agar ia bisa membebaskan diri dari predikat jomblo dari lahir.

To be cont...

Mengikutimu - Asuransi Yang Hilang

Anehnya, perasaan biasa-biasa saja itu tetap melahirkan sedih dan kecewa ketika harus kandas. Naif, ketika Vayana selalu berpikir bahwa ini adalah labuhan akhir, dia adalah orang yang tepat, sampai tua akan dihabiskan dengan orang ini, bla bla bla, khayalan yang sudah dirancang sedemikian rupa harus direlakan dalam sekali bincang. Bukan tanpa sebab, melainkan ini sudah menjadi topik utama selama setahun terakhir.
"Kalau kamu serius, ayo sekarang. Kalau kamu nggak siap, terus kapan? Aku nggak bisa terus-terusan nunggu." Kalimat demi kalimat yang membuat suasana bincang malam itu mencekam, topik macam apa ini?
"Aku serius, tapi jangan sekarang." Vayana ingat persis ia masih kesulitan memberikan alasannya.
"Ingat umur kita sudah berapa?" Suara tegas dan keras keluar kali pertama dari lelaki itu.
"Aku nggak mau kita nikah karena pertimbangan umur." Vayana kesal.
"Dan orang tuaku juga ingin segera." Tambah lelaki itu.
"Apalagi itu? desakkan society? No sayang, aku nggak bisa kalau alasannya cuma itu. Aku pengen kita melangkah karena kita memang benar-benar siap bukan karena orang lain. Dan sekarang kurasa belum." Vayana dengan logikanya yang sulit diterima.
"Kurang lama gimana lagi kita pacaran? Seharusnya yang nuntut masalah ini perempuan." Suaranya terus meninggi diikuti suara bantingan pintu dari balik telepon.
"Please, kasih aku waktu sedikit lagi. Sabar."

**

Tak perlu banyak menunggu, pembicaraan itu berakhir dengan putusan mutlak mereka harus berpisah. Vayana yang merasa perasaannya terhadap kekasihnya itu biasa-biasa saja ternyata tetap bersedih. Ia menghabiskan berjam-jam hanya untuk menangis dan menyesali entah apa. Karena dipaksa bagaimanapun ia belumlah siap, dengan alasan yang tetap sulit ia terjemahkan. 
Beberapa bulan lalu saat hubungan ini berjalan lebih dari setahun, Vayana ingat sekali ia berpikir hubungan ini bukan sesuatu yang terlampau penting, tetapi alasan mengapa ia bersedih masih menjadi rahasia hingga bengkak di matanya kini terlihat kentara.
"Apa tanpa aku sadari perasaanku memang berubah jadi sayang? Rasanya nggak."
"Apa sekarang aku mulai berharap? Nggak juga."
"Terus apa Vay?" Pertanyaan demi pertanyaan hingga kemungkinan-kemungkinan menggelayuti kepala Vayana dan akhirnya ia menemukan jawaban.
"Dia adalah seseorang yang menjamin aku bisa menikah saat aku bosan dengan kesendirian dan kesepian, sementara di usia 28 tahun ini aku sudah terlalu sibuk untuk mengenal dan mencintai orang yang baru. Tetapi asuransi itu seketika hilang, tanpa ancang-ancang." 


To be cont...

Popular Posts