Senin, 04 April 2022

Bab 10 - Berdua

Baru sebulan terakhir Riza merasakan ia dan Lania penuh kecocokkan. Banyak bertemu, banyak mengobrol, pergi kemanapun berdua, di kantor pun masih sering mencuri-curi waktu membahas entah apa atau makan siang bersama. Riza dan Lania menjadi topik tak mengenakkan namun nekat makin pamer kemesraan yang tidak sedikit dari orang-orang sekitar mulai muak.

Pagi itu dua orang ini datang terlambat. Entah sengaja entah tidak, keduanya sudah merencanakan keterlambatan ini di malam hari, lalu esoknya berboncengan mengendarai motor beat karbu berwarna biru milik Lania hingga ke lingkungan trans, tepat berseberangan dengan kantor mereka yang dibatasi oleh jalan hauling. Keduanya berhasil menyeberang setelah menunggu hingga truk-truk besar bermuatan batu bara lewat. Hingga sarana-sarana kecil memperlambat gerakannya di titik tempat mereka berdiri lama. Keduanya berlarian seperti bocah, tentu saja sambil berpegangan, tertawa seolah debu-debu itu bukan lagi masalah. Tiba di pos security, keduanya diizinkan masuk setelah memasang wajah memelas. Berlarian kembali dari pos hingga ke office tanpa bersalah. Sambil terus bercengkerama namun genggaman mereka lepas, cukup tahu diri untuk tidak kentara. Dari kejauhan lebih kurang 10 meter dari tempat mereka berlari, bercokol segerombol orang yang meneriaki mereka di samping unit parkir. Teriakan yang bergema di udara, menembus lapangan kosong yang sampai ke telinga keduanya dengan amat jelas di beberapa kata. Dan Lania merekam itu di kepalanya, lalu tersenyum simpul kegirangan. Sesuatu yang cukup memalukan jika ditulis disini. Intinya, apapun yang terjadi selama itu berdua, dunia seakan tetap baik-baik saja.


**


 Jam makan siang keduanya bertemu kembali di depan office, berjalan beriringan menuju seberang jalan dekat tempat mereka memarkir motor. Ada warung kopi yang menyajikan indomie enak di sana. Melihat menu nasi kotak yang ah sudahlah, keduany sepakat memilih sedikit effort untuk makan di luar, walaupun saat siang bolong matahari amat terik dan debu makin tebal, mereka hirau. Lagi-lagi, selama berdua, semua jadi seperti tak apa.

“Pakai sayur.”

“Aku nggak.”

“Pakai.”

“Nggak mau.”

“Kamu lo kalau dikasi tau susah.” Riza mengoceh sembari melihat dengan tatapan penuh perhatian yang lagi-lagi Lania suka. Orang pertama yang peduli dengan apa yang ia makan, secara konsisten mengingatkan. Risih? Tentu tidak. Karena orang itu adalah Riza, orang yang bahkan kuku dan jemarinya Lania suka, sespesifik itu.


**


Waktu bertemu yang sepadat itu seolah belum cukup bagi keduanya, di usia hubungan yang belum lama, di masa-masa orang lain sedang sibuk mencemooh mereka, Riza justru membuat pergerakan lain, lebih kentara, lebih agresif. Ia memutuskan pindah kost yang tak jauh dari kost tempat Lania. Berjarak hanya beberapa rumah, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Selain bertemu di kantor, bertemu saat di rumah pun mereka lakukan, setiap hari, tanpa kecuali. Bertemu setiap hari, dan jatuh cinta setiap hari adalah hal yang gak pernah bisa Lania bendung. Riza terlalu luar biasa baginya, sikap hingga polah tingkahnya, suara hingga barisan giginya, Lania selalu berandai, boleh ia terpenjara disana?

Malam sehabis bertemu di warung pecel lele di depan komplek, mereka masih berbincang via telpon. Masih tak cukup rasanya. Selalu ingin bertemu. Selalu ingin bersama. Riza yang selalu senang mengobrol, Lania yang tak pernah mengeluh mendengarkan. Pun sebalikny, Lania seringkali membuat Riza mendengarkan cukup lama. Setelah merasa cukup mengantuk, dan perdebatan tentang siapa yang terlebih dahulu menutup telpon, Riza akhirnya mengalah dengan menutup telpon terlebih dahulu.

“Iya deh, aku tutup ya.

“Ok, good night.”

“Eh bentar.”

“Apalagi?”

“Jangan lupa isi botolmu.”

“Mager yang, lampu sudah mati juga.”

Telpon terputus.

Beberapa menit kemudian Riza tiba di depan pagar, lalu kembali menelpon Lania. Dengan terburu-buru Lania berlari keluar sembari menggamit jaket beludru yang tergantung di belakang pintu. Menghampiri Riza yang sudah siap menyodorkan sebotol air mineral yang setelah ia serahkan langsung ia tinggal pergi. Beberapa langkah setelahnya Riza berbalik dan berteriak.

“Habisin!”

Lania berdebar kencang, hatinya tak keruan. Riza sulit ia kendalikan terus tumbuh dalam dirinya. 



to be cont...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts