Dalam gerak
memburu
Aku limbung
Kupikir
lekas selalu baik
Hingga kehilangan
kendali
Dalam mode
membisu
Aku linglung
Kupikir
diam selalu baik
Hingga
mereka sesuka hati
Lekas dan
diam
Tak satupun
kuandalkan
Dalam gerak
memburu
Aku limbung
Kupikir
lekas selalu baik
Hingga kehilangan
kendali
Dalam mode
membisu
Aku linglung
Kupikir
diam selalu baik
Hingga
mereka sesuka hati
Lekas dan
diam
Tak satupun
kuandalkan
Kulakukan
yang mereka abaikan
Kuusahakan
semua sedemikian
Tetapi sampai
ke telinga
Aku hanya
pandai bicara
Tidak
terhitung berapa banyak usaha
Dari
berguna hingga sia-sia
Tetapi yang
mereka percaya
Ah, itu
karena beruntung saja
Anehnya pion-pion
itu terus merasa tinggi
Padahal
harganya kami yang beri
Angka yang
masuk ke perutmu itu hasil kami
Mengapa
sulit sekali tahu diri?
Bagaimana
jika kita biarkan gelap terjebak sunyi
Kita bungkam,
riuh hanya menetap di kepala
Yang terdengar
hanya iya-iya saja
Apa tidak
menjadi semakin suram negeri ini?
Satu, dua, sepuluh
dekade mendatang
Akan
ditentukan dari usaha kita hari ini
Terus
teriakkan dengan lantang
Sejahtera
itu hak anak cucu kami
Bertaruh
pada hidup
Bunga-bunga
di kepala dibiarkan redup
Perasaan
baik datang dan pergi
Lalu kembali
lama sekali
Berkawan
dengan gagal
Hingar-bingar
kejayaan tak dikenal
Mencoba
lagi dan lagi
Lalu
bangkit ribuan kali
Semoga
peruntunganku hari ini
Mantraku
setiap pagi
Menerjemahkan
diri
Ingin itu
ingin ini
Desember
resolusi
Diulang Januari
Aku ini
apa? Entah
Kedinginan
di bawah terik
Merasa haus
di tengah hujan
Semua ada,
namun tidak dengan jiwa
Selalu ada
yang belum
Rasanya tak
pernah ada momentum
Sekadar
lewat, tak berarti
Hidup
sekarat, lalu abadi
Semua
membeku
Tidak punya
banyak waktu
Pikiran dan
kaki tangan
Tak pernah
bisa beriringan
Harapan koyak
Angan menjadi
artefak
Asa kian
nihil
Usaha demi
usaha mustahil
Ah
Tak ada pulas,
aku terjaga
Kepalaku berat,
nafasku terbata
Kuhilangkan isi
kepala satu dua
Terus kembali
tiga empat lainnya
Seringkali aku
bertingkah demikian
Menghadapi tidur
yang tak teratur
Memikirkan apakah
ini begadang atau kepagian
Lalu menyesal
kemudian
Banyak yang
terlintas
Masalah lalu
lalang seperti rutinitas
Otakku sibuk
membiarkan mereka saling serang
Apakah memikirkan
ini siang tidak memungkinkan?
Seperti datang
sebagai penumpang
Aku tak punya
kendali
Kupikir hidup ini
mudah menjadi pemenang
Naif sekali
Untukku yang
ambisius
Masaku sudah
terputus
Apa itu juara?
Dua belas
mengajarkan aku rela
Aku mengutuk diri
Apa karena aku
lalai?
Lalu kuhardik
lagi
Kemana larinya
nilai-nilai?
Dalam sedih yang
teramat
Dan kecewa yang
sungguh berat
Aku kali pertama
tahu
Aku tak sehebat
itu
Melihat diri di
delapan belas
Saat kecewa, mimpi-mimpi
tergilas
Nyaman? Tak
jua tiba walau aku memelas
Ini realitas?
Keadaan begitu kejam
Aku dipaksa memendam
Ingin berilmu
saja perlu uang
Sedikitpun tak
tampak peluang
Menyesuaikan diri
Menurunkan
ekspektasi
Enyahlah rasa iri
Apalah itu edukasi
Dalam cerita yang
kudengar & ingat
Aku seperti teman
kecil penghilang penat
Ayahku buruh, ibuku
di rumah berpeluh-peluh
Aku merengek dan
mengaduh, gaduh
Tak ada rumah,
apalagi megah
Tak ada tanah,
apalagi sawah
Tak ada
Cerita demi
cerita tak luput dari sengsara
Aku adalah
harapan besar mereka
Kalau besar mungkin
menjadi pegawai negeri
Bukan seperti
bapak yang buruh tani
Suatu hari
di 2017
Aku menepi
dari rutinitas
Datang kepada
ikan-ikan
Tanpa pelindung
arus pun diterjang
Jika hari
itu aku tenggelam
Disantap
ikan, dihantam karang
Diombang-ambing sampai tak seorangpun menemukan
Kiranya aku
tak keberatan
Sebelum
hari itu aku kewalahan
Jadi tak
hidup pun tetap lumayan
Suatu hari
di 2017
Aku berlari
dari hidup yang naas
Sebelum dua angka
Tak ada
satu, dua, tiga di angka pertama
Aku masih mengira
Dewasa akan
bisa apa saja
Belasan menjadi
penantang
Dua puluhan
menjadi unggulan
Tiga
puluhan menjadi teladan
Empat
puluhan? Sulit kubayangkan
Kupikir hidupku
akan hebat
Yang
indah-indah kuangankan sekelebat
Karena apalagi
yang kupunya?
Mengelukan
harapan dan asa
Hanya itu satu-satunya
cara
Ketakutan
dan mawas diri
Mengapa ini
teramat dekat sekali
Dinding, tak
ada yang bisa membatasi
Dilema,
seperti niscaya, aku terbebani
Gangguan
bukan dari penantang
Aku tampak tenang, namun isi kepalaku berkeliaran
Bajingan, kuhunus
pedang ke pikiran
Kuteriakkan
lantang
“Bubar kau
setan!”
Di dimensi
lain, aku takut jika tidak takut
Apa jadinya
aku jika tak punya kalut
Tertinggal,
percuma, sia-sia
Jangan
sampai itu jadi akhirnya
Mawas diri,
aku ingin terus merawat ini
Setengah
mati
Mati-matian
Mati
Lalu tak
berarti
Yang
kupikir benar akan pudar
Masalah terkadang
membesar
Padam keesokan,
menyala kemudian
Aku kewalahan
terus terang
Tujuan yang
kuimpi
Titik yang
kutiti
Aku berapi-api
Rasanya
setengah mati
Usahaku tak
berkesudahan
Pikiranku
tersita begitu dalam
Kuajak maju
segelintintir
Akhirnya
kami mati-matian
Tampak
suaraku didengar sekian kali
Beberapa
kali lainnya aku tak diamini
Mereka
lihat aku mudah untuk dibenci
Yang
kuperjuangkan terasa mati
Sudah
kuambil duri-duri
Pada
akhirnya tak berarti
Memulai
dari kurang, lalu menjadi sekarang
Harusnya aku
bisa berjalan melenggang
Tak melihat
kemarin, hanya melihat ke depan
Bekas jejak
kaki hanyalah rintisan
Ribuan rintang
menyiksa bergantian
Bisa saja
putus asa, jika tak ingat dendam
Aku harus
bisa membalasnya
Sampai terngiang
namaku di telinga
Dunia ini
jahat seperti mulut para penjilat
Mereka elu-elukan
yang dianggap hebat
Lalu
menyisihkan yang tak berpangkat
Bangsat
Kepadaku si
dua satu
Habis semua
muda berlalu
Menangis
untuk yang tak sebegitu
Bodohnya
aku
Andai bisa
terulang
Ingin
kukejar masa gemilang
Belajar
dasar menjadi pemenang
Bukan
pecundang pengemis si belang
Kukabarkan kepada
dua satu
Jangan bodoh
seperti aku
Terlena
pada yang tak sebegitu
Asu
Belasan
tahun menjadi tawan
Mengakhiri
ini rasanya sungkan
Apa ini benar atau keliru Tuhan?
Aku terlena
tak keruan
Atasku
tampak cemerlang
Bawahku tak
punya masa depan
Aku keliru
jangan-jangan
Bukan itu
mimpiku kawan
Menata
kalimat indah dan sedikit kesah
Perasaan
dibiarkan liar lepas tercurah
Bukan hidup
yang harus sempurna
Panutan ah
aku muak menahannya
Belum usai
penatku terlepas
Aku harus
berlarian terengah-engah
Udara dingin,
halimun utuh
Ini bentuk usaha
atau sekadar patuh?
Menyiapkan jawaban
berisi
Omong
kosong sesekali
Berharap
pengakuan
Di tengah banyak
gempuran
Atas meremehkan,
bawah tak percaya
Duka orang
yang berada di antara
Jika ini
terlewati
Bukankah
aku mejadi sakti
Di balik
meja aku duduk manis menunggu kesempatan
Biarlah
mereka para pemuka dibiarkan bertandang
Dari wajah,
asal-muasal, hingga tinggi badan
Aku tak
masuk kriteria ke medan perang
Saat semua andalan
terlewatkan
Giliranku
menunjukkan keahlian
Kupatahkan label
dan anggapan
Kupastikan
aku bisa bertahan
Jika aku
mati tertembak
Aku akan
hidup kembali dengan hebat
Tak lagi
kubiarkan kesempatan terlewat
Berjuang
hingga nafas tercekat
Kulangkahkan
kakiku menuju mimbar
Kudapati
tak seorangpun bisa kujegal
Mereka bak
pemenang yang sudah ditentukan
Aku hanya
mampu perlahan
Dalam doa
yang khidmat
Kuberanikan
diri penuh tekad
Aku pernah
berhasil, hari ini pun bisa
Kuulang-ulang
seperti mantra
Beberapa
detik sebelum kuucap kata pertama
Aku merasa
akan terbata-bata
Namun, yang
menjegalku ternyata hanya prasangka
Pemenang yang
ditentukan adalah aku orangnya
Pelan-pelan
aku meniti jalan
Saat belum
tiba aku bisa menggila
Penat, tetapi
usahaku harus berkali lipat
Ingat, asal-usulku
tak punya peringkat
Kiri-kanan
beradu, aku linglung mencari tahu
Manakah
tuju? Lagi-lagi meragu
Antara
menjadi tinggi atau menjadi berarti
Sulit
kupilih berkali-kali
Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...