Showing posts with label Sajak & Puisi. Show all posts
Showing posts with label Sajak & Puisi. Show all posts

Dua Satu

 

Kepadaku si dua satu

Habis semua muda berlalu

Menangis untuk yang tak sebegitu

Bodohnya aku

 

Andai bisa terulang

Ingin kukejar masa gemilang

Belajar dasar menjadi pemenang

Bukan pecundang pengemis si belang

 

Kukabarkan kepada dua satu

Jangan bodoh seperti aku

Terlena pada yang tak sebegitu

Asu

Tawan

 

Belasan tahun menjadi tawan

Mengakhiri ini rasanya sungkan

Apa ini benar atau keliru Tuhan?

Aku terlena tak keruan

 

Atasku tampak cemerlang

Bawahku tak punya masa depan

Aku keliru jangan-jangan

Bukan itu mimpiku kawan

 

Menata kalimat indah dan sedikit kesah

Perasaan dibiarkan liar lepas tercurah

Bukan hidup yang harus sempurna

Panutan ah aku muak menahannya

Di Antara

 

Belum usai penatku terlepas

Aku harus berlarian terengah-engah

Udara dingin, halimun utuh

Ini bentuk usaha atau sekadar patuh?

 

Menyiapkan jawaban berisi

Omong kosong sesekali

Berharap pengakuan

Di tengah banyak gempuran

 

Atas meremehkan, bawah tak percaya

Duka orang yang berada di antara

Jika ini terlewati

Bukankah aku mejadi sakti

 

 

Pejuang

 

Di balik meja aku duduk manis menunggu kesempatan

Biarlah mereka para pemuka dibiarkan bertandang

Dari wajah, asal-muasal, hingga tinggi badan

Aku tak masuk kriteria ke medan perang

 

Saat semua andalan terlewatkan

Giliranku menunjukkan keahlian

Kupatahkan label dan anggapan

Kupastikan aku bisa bertahan

 

Jika aku mati tertembak

Aku akan hidup kembali dengan hebat

Tak lagi kubiarkan kesempatan terlewat

Berjuang hingga nafas tercekat

Menjegal Prasangka

 

Kulangkahkan kakiku menuju mimbar

Kudapati tak seorangpun bisa kujegal

Mereka bak pemenang yang sudah ditentukan

Aku hanya mampu perlahan

 

Dalam doa yang khidmat

Kuberanikan diri penuh tekad

Aku pernah berhasil, hari ini pun bisa

Kuulang-ulang seperti mantra

 

Beberapa detik sebelum kuucap kata pertama

Aku merasa akan terbata-bata

Namun, yang menjegalku ternyata hanya prasangka

Pemenang yang ditentukan adalah aku orangnya

Tinggi atau Berarti

 

Pelan-pelan aku meniti jalan

Saat belum tiba aku bisa menggila

Penat, tetapi usahaku harus berkali lipat

Ingat, asal-usulku tak punya peringkat

 

Kiri-kanan beradu, aku linglung mencari tahu

Manakah tuju? Lagi-lagi meragu

Antara menjadi tinggi atau menjadi berarti

Sulit kupilih berkali-kali

 

 

 

Ragu

 

Saat pagi aku menjadi penuh dedikasi

Di malam hari aku ingin menyendiri

Di waktu tertentu aku ingin menjadi pejuang

Di waktu yang lain aku mengikuti perasaan

 

Terkadang aku ingin tampak tangguh

Tak sedikitpun mengaduh, tak pula gaduh

Tetapi tak jarang aku juga ingin mengeluh

Tampak muram, menceritakan rapuh

 

Aku yang berbeda malam dan pagi

Membuatku sulit menentukan ambisi

Waktu

 

Seperti mencintaimu

Selamanya memang tak akan cukup

Begitupun aku menjalani hari-hari

Waktu enggan berpihak, aku kalah telak

 

Bertemu dari petang hingga petang

Terik tak kunjung berbalik

Siang sibuk, malam mengantuk

Rencana akhirnya bertumpuk

 

Wahai pembunuh waktu

Enyahlah dari hadapanku

 

Besok Saat Kita Sampai Sudah

 Besok saat kita sampai sudah

Tak lagi mandi dan tidur sebagai pemisah

Tak lagi perlu panggilan telpon bersusah-susah

Hilang resah gelisah, sah!

 

Besok saat kita sampai sudah

Akan kuabdikan diriku dalam rumah

Tak apa aku menjadi pesuruh

Untukmu yang selalu membuatku luluh

 

Besok saat kita sampai sudah

Boleh aku tinggal di sana hingga berkalang tanah?

 

Juni 2014

Ingin Sekali - Puisi

Ingin sekali kukatakan rindu ribuan kali
Tetapi lidah ini kelu, di depanmu aku bisu
Jangankan saling rayu, memujimu aku tak mungkin mampu
Saling cela, begitulah bahasa kita

Ingin sekali kuceritakan pada ramai bahwa kamu adalah tenang
Kupamerkan pada amarah bahwa kamu adalah sabar
Kubanggakan pada sedih bahwa kamu adalah pelipur
Ingin sekali, namun lidahku tercekat ribuan kali


Maka, dalam lisanku yang sukar memuji
Terselip rinduku yang bertubi-tubi


L.M.

Pada Pukul Sembilan

Malam boleh pekat, namun itulah saat kita dekat
30 hari penuh pada pukul sembilan
Dua rasa yang sedang berpura-pura suka, beradu

Aku bertanya kabar, kau menjawab rindu
Aku bertanya sedang apa, kau jawab ingin bertemu
Simbol hati seolah bertebaran setiap kali mengirim pesan
Debar

Dari 24 jam, aku hanya menikmati pukul sembilan
Menunggu namamu muncul di layar ponselku
Lalu menikmati tawamu yang renyah dan penuh rindu

Dingin terasa menyengat, namun itulah saat kita rekat
Selamanya pada pukul sembilan
Dua rasa yang sudah benar-benar suka, bersatu
Boleh jika mimpiku seperti itu?


L.M.




Riuh Getir Maklum Persembahan

Riuh, kapan kau diam

Telingaku sesak sibuk meredam

Getir, kapan kau hilang

Lidahku kejang lelah berperang

 

Begitu sering keluh datang tak kenal kasihan

Hei, sulit hanya milik mereka yang pandai berkelit

Alasan demi alasan agar bisa menyerah dengan pemakluman

Keadaan demi keadaan yang selalu saja menjadi persembahan

 

Langkah yang pelan namun tak pernah berhenti

Mimpi yang menjulang namun selalu membumi

Andai aku bisa terus seperti ini




Tabalong, 19/08/2020. (day #10 Project Novel Punggung)

Bantimurung - Puisi


Aku menjadi ulat agar kau rawat
Menjadi kepompong agar kau bopong
Menjadi tak berdaya agar kau jaga
Menjadi diriku saja

Bukan kupu-kupu itu mauku
Terbang bebas, tinggi, tanpa kendalimu
Bukan,
Tak apa selamanya menjadi tawan
Dalam dirimu yang masih berlarian

Benak kita bersua diantara dua goa
Dan kaki-kaki kita meratapi sisa-sisa
Air terjun deras, mengabadikan penat yang terlepas

Goa Batu dan belenggumu
Goa Mimpi dan jati diri
Taman Kupu-kupu dan adu rayu
Tidak seimbang namun beriringan
Semoga kita terus demikian



Tabalong, 11 Juni 2020
(day #11 field break di site saja)

#rewrite Bantimurung - Bulusaraung (Kingdom of Butterfly), Maros Sul-Sel.

Sejak Kapan - Puisi


Sejak kapan hujan menjadi milik seseorang?
Setiap ia bertamu, selalu terbersit sosokmu

Sejak kapan langit menjadi milik seseorang?
Setiap ia membiru, selalu tampak cemburumu

Sejak kapan malam menjadi milik seseorang?
Setiap ia menyeru, selalu terasa pelukmu

Sejak kapan hatiku menjadi milik seseorang?
Setiap hujan reda, langit gelap, dan malam berlalu
Hatiku sepi menunggu kabarmu

Maka, semua ini sejak kapan?
Kujawab, sejak kau meninggalkanku



Tabalong, 07 Juni 2020.
(day #7 field break di site saja)

Mata Dan Lengan - Puisi


Jika dalam hatimu ada benci
Aku ingin matamu jangan
Rekam aku dalam sorotmu
Sebagai wanita baik nan ayu

Jika dalam nalarmu ada kesal
Aku ingin lenganmu jangan
Kenang aku dalam dekapmu
Sebagai wanita hangat penuh rindu

Cukup mata dan lenganmu itu
Aku ingin hidup di antaranya

Suaramu mungkin pandai merayuku
Tetapi matamu yang lebih tulus melakukannya
Lidahmu mungkin telah menipuku
Tetapi lenganmulah yang mempertahankannya

Maka sekali lagi
Izinkan aku mati di antaranya




Tabalong, 07 Juni 2020
(day #7 field break di site saja)

Jika Kau Baca Sajak Ini - Puisi


Jika kau baca sajak ini
Aku ingin menerka-nerka
Mungkin saja rindumu telah tiba
Atau bencimu telah mereda

Jika kau baca sajak ini
Aku ingin mereka-reka
Kamu hanya ingin tahu kabar
Atau mengingatku dengan berdebar

Jika kau baca sajak ini
Aku ingin sampaikan pesan

Hujan menjadi waktu
Waktu yang tepat mengingatmu
Jika kita tidak pernah bertemu
Mungkin hujan hanyalah musim, bukan rindu
Jika kita tidak pernah bertemu
Sehampa itu

Maka,
Jika kau baca sajak ini
Ketahuilah, sosokmu tidak terganti




Tabalong, 6 Juni 2020
(day #6 field break di site saja)

Tak Pernah Sembuh - Puisi


Andai semua daun yang jatuh
Hanya karena angin
Mungkin menua
Bukanlah jalan menuju mati

Andai semua rindu
Terobati hanya dengan bertemu
Mungkin selamanya
Aku tak pernah sembuh




#rewrite

Tabalong, 6 Juni 2020
(day #6 field break di site saja)

Pada Bibir Gelas Itu - Puisi


Pada bibir gelas itu masih menempel sisa-sisa
Ampas kopi, bibirku, bibirmu, dan bincang kita
Andai berbagi sisa hidup semudah berbagi kopi
Bisa saja hari ini kamu kumiliki

Pada bibir gelas itu masih menempel sisa-sisa
Nafasku, nafasmu, dan andai-andai kita
Kita memang dua manusia yang pandai berandai
Tetapi begitu takut memulai

Pada bibir gelas itu masih menempel sisa-sisa
Andai bibirmu masih disana



Tabalong, 6 Juni 2020
(day #6 field break di site saja)

Bagaimana Rasanya - Puisi


Mungkinkah sajak ini terdengar indah?
Sementara merduku tak boleh menyergah

Mungkinkan puisi ini akan menyentuh?
Sementara rinduku haram berlabuh

Kata demi kata manisku terasa hambar
Karena darimu tak mungkin ada kabar

Bagaimana rasanya meninggalkanku?
Tidak lebih baik bukan?
Hiburku
Setiap kali melihat potretmu





Tabalong, 6 Juni 2020
(day #6 field break di site saja)

Kamus Rencana - Puisi


Rencanaku adalah rencana kita
Rencanamu adalah rencanamu
Beda
Tidak ada aku dalam rencanamu

Puisiku adalah namamu
Namaku tak ada dalam puisimu
Beda
Akhirnya tak ada puisi kita

Menunggu itu punya batas
Waktuku bukan melulu kamu, kamu
Kamus punya banyak kata
Bukan namamu saja

Rencanaku kini menjadi rencanaku
Tidak ada kamu di dalamnya
Lama kubiarkan namamu dalam rencana
Beda
Kini saatnya aku menggantinya




Tabalong, 6 Juni 2020
(day #6 field break di site saja)

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...