Sabtu, 02 Desember 2023

Pembuka Punggung

Hampir setiap malam, kulit, tubuh dan tulangku berperang melawan beku, jiwaku bermesraan dengan sedih, sedang hatiku kubiarkan merana ditemani isi kepala yang tengah mencari-cari luka apalagi selain ini? Hidup dalam penyesalan kemarin dan resah menyambut esok, aku nikmati. Terus-menerus aku membenci hari ini, hari dimana aku tak punya apa-apa, selain memori tentang kali terakhir kita bertengkar malam itu. Lagi-lagi andai itu tidak pernah terjadi.

            Aku meringkuk di atas karpet, membenamkan wajahku dalam selimut tebal, lalu kuputar suara hujan berharap aku bisa tidur nyenyak lebih cepat, namun sudah pasti gagal. Cara lain lagi kucoba menghitung domba persis seperti ajaran kartun favoritku sewaktu kecil agar lekas mengantuk, namun tak jua berhasil. Aku merasa semua upayaku akhir-akhir ini selalu gagal, dan kegagalan paling nyata ialah menemukan alasan yang bisa kuterima mengapa aku ditinggalkan?

            Aku seringkali mencoba berefleksi. Melihat diri di depan cermin, mengukur seberapa mungkin aku dipertahankan jika aku lebih cantik dari ini, menimbang-nimbang faktor penting yang sekiranya bisa membuatnya kembali, mencari-cari alasan yang tidaklah menghasilkan jawaban apapun namun membuatku semakin merasa rendah diri dan membenci diriku berkali-kali. Ya, aku memang tidak selayak itu. Tetapi, bukankah dia juga bukan siapa-siapa? Selain berhasil membuatku patah hati berjilid-jilid, kelebihannya apa lagi kira-kira? Tidak ada. Maksudku, tidak ada yang tidak kusuka. Hampir semua hal yang ada di dirinya adalah favoritku, caranya meninggalkanku misalnya.

            Jika kau tidak berkenan dengan buku ini, bukankah sudah kuperingatkan? Jangan biarkan aku jatuh cinta padamu.


Sabtu, 27 Mei 2023

My Echo - Mirabeth Lyrics

Your words are bullets

Piercing through my chest

At times I can bare the pain

Now I can't take it no more


My words are missils

Ready to deploy and blow you up

But as the angels came to me

They whisper in my ear

You're all alone in this cave 

They're just your echo

What you fear and what you hear

In your mind ways back to you

oooo ooo ooo ooo

My Echo



LM



Please Don't Say You Can't Live Without Me - Mirabeth Lyrics

 I see you in all my waking days

And when I'm down

Your smile will light my heart like sunrays

I feel you even when you far away

Before I go to bed

I say your name when I pray


Dear Lord,

Hear my prayer

You know I love him 

So please keep him out of harm's way


Dear Love,

I'd give my heart away

But life is temporary and our time will come someday


So, please don't say

You can't live without me... (Hmmm)

So, please don't say

You can't live without me... (Hmmm)


Your happiness

It isn't mine to keep

And in my serenity

I'll stand on my own feet


You and me 

We're like a dream team

Together everything

Is not as hard as it seems


Dear Lord,

Hear my prayer

You know I love him 

So please keep him out of harm's way


Dear Love,

I'd give my heart away

But life is temporary and our time will come someday


So, please don't say

You can't live without me... (Hmmm)

So, please don't say

You can't live without me... (Hmmm)


Don't get me wrong

I always want you by my side

More than you can think of

But please don't say, please don't say


Dear Lord,

Hear my prayer

Oh let the winds of heaven

Dance between our way


Dear Love,

I'd give my heart away

But I know that in the hand of life

Our heart can only stay


So, please don't say

You can't live without me... (Hmmm)

So, please don't say

You can't live without me... (Hmmm)

Don't get me wrong

I always want you by my side

More than you can think of

But please don't say, please don't say

That you can't live without me



LM

Rabu, 02 November 2022

Gabut

Dibanding lembur, aku lebih senang membaca ulang pesan-pesan kita beserta rencana-rencananya.


LM

Sabtu, 24 September 2022

Rindu

Setiap kali hati ini terasa sesak, sakit, sedih, ingin berontak entah pada apa. 
Yang bisa kulakukan hanya berdoa.


"Semoga kita dimudahkan."


- LM


Minggu, 21 Agustus 2022

Punggung Bab 1 - Si Kuning

Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco persis seperti mendung buatan yang memaksa suasana hati tak tenang.

“Akkatutuki’ nak.” Sembari mengulurkan tangan kanannya untuk disambut Aco sebagai salim perpisahan. Ia menahan air mata yang sedari subuh ingin tumpah-ruah. Ingin sekali ia memeluk putranya yang sudah semakin remaja itu, namun gengsi. Tidak, aku tidak boleh tampak sedih. Mungkin itulah mantra yang ada di benak ibunda Aco dan ia dengungkan dalam hati berkali-kali. Sementara di pinggir jalan besar tepat di depan rumah itu, seorang sopir yang akan membawa Aco menuju Kota Makassar sudah tidak sabar untuk melajukan kemudinya. 

“Ayo mi!”

Aco melangkahkan kaki memunggungi ibu, nenek, om, tante, dan adik-adiknya. Langkahnya berat, namun semangat. Dalam kepalanya bertarung kecemasan jauh dari ibu, dan gairah menghadapi lingkungan baru, tentunya pula semangat mengenakan putih abu-abu. Digendongnya ransel hitam polos bergantungan kunci bola berbahan plastik itu, ransel yang ia pakai ke sekolah sejak duduk di kelas VIII. Sedikit pudar warnanya, bekas jahitan tangan dengan benang berwarna biru malam di bagian resleting pun terlihat nyata, belum lagi robekan kecil di bagian bawah yang jika diamati sudah perlu pengganti. Namun, langkah Aco terlihat pasti, tidaklah baginya ransel yang butut itu menghalangi keinginannya untuk belajar di kota, menjadi cerdas, dan kemudian sukses.

Sekolah Menengah Kejuruan, alternatif sekolah paling diminati anak-anak dengan latar belakang keluarga seperti Aco. Kenapa? Karena dirasa di sekolah ini akan membentuk mereka untuk punya skill dan dasar untuk memasuki dunia kerja tanpa kuliah. Ya, ditekankan tanpa kuliah. Aco lagi-lagi tidak percaya diri bahwa 3 tahun setelah lulus dari SLTA ia akan mampu melanjutkan kuliah, lebih tepatnya ia tak ingin membebani ibundanya. Jadilah, SMK menjadi pilihan paling bijak anak berusia 15 tahun itu. 

Hari pertama masuk sekolah, Aco berangkat dari kediaman omnya di kawasan  Toddopuli dengan menggunakan angkot. Rambutnya yang baru kemarin jadi korban kebrutalan alat cukur Omnya Puang Takko terlihat amat rapi dengan bagian atas dilumurinya dengan gel sachet yang ia beli di warung serba ada dekat rumah. Ia juga tak lupa menyetrika seragam baru yang dibeli ibundanya di Eks Pasar Sentral Watampone dengan amat hati-hati, bagian lengannya licin sekali bak perosotan, setiap lipatan garisnya pun terlihat tegas dan presisi. Belum lagi sepatu hitam polos andalannya yang sudah usang tetapi masih tampak keren setelah disemir. Aco benar-benar terlihat percaya diri akan bertemu teman-teman baru di hari pertama sampai-sampai ia merasa GR ketika wanita setengah baya yang duduk tepat di depannya berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.

**

Kagum Aco menginjakkan kaki di sekolah barunya. Benar-benar terlihat elok, bangunan-bangunan rapi terurus, fasilitas olahraga ada, lapangan basket bersama ringnya yang tinggi standard, lapangan futsal walaupun gawang tanpa jaring-jaring, pagar-pagar tinggi yang didesain untuk siswa-siswi yang gemar membolos, bagian paling Aco senangi ialah deretan pohon glodokan yang tersusun dan terpangkas rapi di berbagai penjuru sekolah. Ia memujinya dalam hati, tersenyum-senyum tak kenal malu karena tak kenal seorang pun.

“Ppoo…” Dari depan perpustakaan lelaki bertubuh gempal melambai-lambaikan tangan ke arah Aco hingga membuyarkan lamunannya. Lelaki tadi sangat mudah dikenali, kulitnya yang teramat gelap, badannya yang tidaklah mungil, wajahnya yang tak ada dua, mengarahkan Aco pada memori masa SDnya, Nyompa.

“Kapan kita datang?” Nyompa menyapa dengan girang hingga memukul punggung Aco dengan keras.

“2 hari lalu ppo. Belum sempat main ke rumah ta.” Aco merespon dengan semangat pula.

“Jurusan apa kita? Sudah ki dapat kelas?” 

“Belum pi. TKJ saya.”

“Widih, biar banyak perempuannya?”

“Tidak, saya lihat cuma TKJ yang akreditasinya A.”

“Tapi laki-laki harusnya ambil teknik mesin biar ada toh pengalaman tawuran.”

“Di masa depan tawuran bisa jarak jauh, baku hantam tidak ada harganya lagi, badik apalagi.”

“Lewat komputer maksudnya?”

“Bukan, lewat santet.” Aco dan sepupu jauhnya itu tertawa bersamaan. Lama mereka tidak bertemu, mungkin 3 tahun semenjak orang tua Nyompa dipindahtugaskan ke Kota Makassar.

 

**

 

Menumpang, begitulah kata yang tepat untuk menyebutkan posisi Aco di rumah itu. Harus pandai-pandailah membawa diri. Begitu pesan ibunya. Maka ketika hari berganti, minggu, bulan, dan tahun berlalu Aco pandai pun menyesuaikan diri di rumah itu. Tetapi, perasaannya mulai berkata sebaliknya. Berada di rumah itu sudah tidak seasik saat pertama kali. Bukan karena setiap malam Aco tidur hanya beralaskan tikar dan berbantal kapuk yang sudah usang. Bukan karena setiap pagi ia harus menimba air di sumur untuk memenuhi bak cuci. Bukan pula karena ia harus mulai kreatif memikirkan menu makan untuk omnya yang lelah sepulang bekerja. Bukan. Ia hanya sedih saat tidak bisa menyaksikan pertandingan tim sepakbola kesayangannya, real madrid. Memasuki tahun kedua ia hanya tau cerita setiap pertandingan El Real dari teman-teman di kelasnya, atau dari omnya di Bone yang dengan rajin mengirim SMS berapa skor pertandingan semalam. Aco pun hanya bisa senyum-senyum mengamati layar ponsel jika skor yang dikirimkan Puang Besse dari kampung adalah kemenangan Zidane dan kawan-kawan, atau ia akan murung seharian jika tim berdarah putih itu kalah. 

Hari itu, pagi-pagi sekali Aco menerima SMS dari Puang Besse, “Kalah 3-1”. Pesan itu langsung membuyarkan konsentrasi Aco, pikirannya mengawang tidak keruan, perasaannya resah tidak tahu arah, ia terus mengingat-ingat posisi El Real yang sudah disalip rival abadinya FCB. Ia pun tak terima mengapa harus kalah dari Deportivo. Ia merutuk seharian, menyalahkan entah siapa. Melihat buku ia kesal, lalu diacak-acak. Melihat tas ia kesal, dibuka tutup resleting padahal benangnya sudah hampir meronta-ronta ingin menyerah. Melihat pintu ia kesal, dibantingnya pintu walaupun tak berhasil karena terhalang bola. Melihat tiang listrik ia kesal, ditendang-tendangnya hingga kakinya sakit. Hingga, ia tiba di angkot, melihat kursi angkot pun ia masih kesal, ingin sekali ia injak-injak tetapi seketika urung ia lakukan. Perempuan berambut hitam panjang terikat ada disana, wajahnya yang oriental, senyumnya yang manis bak artis sinetron, sikap ramahnya yang langsung menyambut Aco dengan sapaan yang suaranya tak sedikitpun Aco dengar, Aco hanya terpana pada wajahnya, “Mabelo.” Desisnya pelan. Angin seolah menyapu rambut gadis itu, lampu-lampu gemerlapan tampak dari wajahnya, hati Aco menghangat menikmati pemandangan yang tak ia duga itu. Dag dig dug dirasakannya, walaupun ia tak tahu persis bagian mana yang bersuara. Ia hanya tahu, seluruh tubuhnya mulai bergetar, berdesir, bergemuruh, bergejolak, entahlah. 

Salah tingkah Aco sepanjang jalan, tak berani ia tatap perempuan itu. Tak ada sederajat pun ia berani menoleh, walaupun hatinya sangat ingin. Hati dan rasa kikuknya bergulat hebat saat ini, lagu Bang Haji Rhoma Irama Begadang yang terdengar dari radio angkot tak berhasil mendistrak pergolakan batinnya. Ia kehabisan nafas, oksigen seolah enggan berpihak padanya. Sampai akhirnya tanpa sadar angkot sudah beberapa kali berhenti, dan gadis itu sudah tak ada lagi di dalam angkot, entah di pemberhentian ke berapa. Aco pun langsung memukul-mukul kepalanya ketika melihat sekeliling dan menyadari ia sudah berada di tempat yang tak semestinya, dilihatnya tulisan di depan angkot. Bukan Toddopuli.

***

Di kantin Mbak Welis. Ratih dengan khidmat menikmati sepiring nasi goreng dengan warna kemerahan khas saos tomat palsu, di atasnya bertabur bawang goreng, suwiran ayam, dan telur dadar, tidak lupa Ratih membubuhkan sambal. Sesekali ia menyeruput segelas es jasjus berperisa jambu yang mengisi gelas plastik di depannya. 

Di kantin Bu Ola, Aco duduk termangu memegang segelas es teh Sisri Gulabatu, mengintip dengan malu-malu ke arah seorang wanita yang duduk di warung sebelahnya. Rambutnya hari ini tergerai dan ketika setiap helaian mengganggu wajahnya, ia selipkan rambutnya itu dibalik daun telinga. Disanalah, Aco bisa menikmati dengan lebih teliti. Wajahnya yang sedikit berkeringat, matanya yang tampak sendu, hidung mungilnya yang terkadang bergerak-gerak manja seolah ingin disentuh, bibirnya yang semakin memerah karena pedas, sempurnalah pemandangan Aco. Tanpa Aco sadar, di sebelahnya juga tengah duduk seorang siswa lain yang juga duduk persis seperti Aco, objek yang mereka lihat sama, apa yang mereka nikmati sama, hanya saja si lelaki ini memiliki pikiran berbeda. 

“Kau atau saya duluan yang bilang ke Andi Ratih? Dilihat saja, tidak akan tahu ji perasaannya.” Kaget Aco mendengar Ridwan, teman sekelasnya yang dengan tiba-tiba berkata demikian. Aco tersenyum malu-malu, Ridwan lebih jauh ingin tahu.

“Kalau penasaran, tanyakan kawan. Kalau suka, ungkapkanlah.” Aco mulai geli mendengar kata-kata temannya itu dan memilih untuk kabur setelah membayar segelas minuman yang belum ia hisap sedikitpun. 

Di perjalanan menuju kelas, Aco diikuti oleh Gau dan Daramang. 2 siswa dari kelas teknik mesin yang biasa bermain futsal bersama Aco saat istirahat. 

“Sore ini jangan lupa datang latihan, sekali-kali lah kita ikut.” Gau merangkul pundak Aco dengan sok akrab.

“Insya Allah kawan, sibuk aku di rumah.” Aco mengingat PRnya untuk ke pasar membeli ikan, memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah.

“Ayo lah sekali-kali, mau kukasi lihat kalau kita juga punya pemain andalan.” Daramang juga terus membujuk. Aco mulai sedikit ada perasaan ingin dan mempertimbangkan ajakan mereka. 

“Lihat nanti ya.”

Pukul 15.00 WITA, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah Aco bersiap-siap ingin berangkat ke sekolah untuk bermain futsal dengan teman-temannya. Ia memakai kaos bola terbaiknya yang dilapis dengan jaket kain berwarna abu-abu favoritenya, tidak lupa celana pendek yang ia lapis dengan celana seragam pramuka, lalu kakinya dibungkus rapi dengan sepatu hitam Adidas andalannya. 

Tiba di sekolah, Gau & Daramang serta teman-teman lain berseragam rapi dengan kaos bola tim kesayangan Kota Makasar, PSM. Daramang berlari menghampiri Aco dengan semangat. Ia meminta Aco untuk bersiap-siap. Ternyata kali ini mereka harus melawan tim dari sekolah lain. Nyali Aco menciut, ia minder tatkala menunduk melihat kaos bola Real Madrid usang dibalik jaket yang ia kenakan. Ia pun enggan melepaskan celana pramuka yang melekat menutupi kakinya, lebih tepatnya ia enggan memamerkan celana kain yang biasa ia pakai menimba air itu untuk berlaga melawan sekolah lain. Belum lagi, ketika ia harus menjelaskan sepatunya. Lama ia berpikir dan akhirnya berakhir dengan terpaksa bermain. 

Sparing dengan tim dari sekolah lain bukan lagi sekedar permainan, tetapi lebih kepada pertahanan gengsi. Tak ada sosok Gau dan Daramang yang ramah terlihat, ia begitu garang menjatuhkan tim lawan dengan trik maupun terang-terangan. Cedera? Pikir esok lusa. Hari ini adalah menang. Begitulah keyakinannya. Sementara Aco tidak terbiasa dengan adu sikut dan tendang sembarang. Ia mengikuti aturan hingga tak jarang harus terpental. Hingga skor pertandingan berakhir dengan kemenangan tim lawan, dan Aco dan kawan-kawan hanya menang dalam membuat pelanggaran.

“Puas aku injak kakinya.” Gau tertawa cekikikan seakan tak gusar, berbeda sekali saat sebelum pertandingan ia selalu menggaung-gaungkan untuk menang. 

“Aku juga senang cedera kulihat betisnya, keras sekali tadi kita tendang.” Daramang menambahkan.

Aco yang tidak sepemikiran, langsung yakin bahwa ini adalah kali pertama dan terakhir ia mau ikut Gau dan Daramang untuk latihan di luar jam sekolah. Jera, batinnya. 

Tiba di rumah pukul 18.00, Aco heran ketika mendapati lampu-lampu di rumah menyala. Ia hanya bertanya-tanya, apakah ia yang lupa mematikan atau ada seseorang yang datang. Bergegas ia memasuki rumah, ternyata di ruang tamu Puang Takko sudah duduk disana. Kumisnya yang tebal, mimiknya yang tanpa senyum, serta sebatang rokok yang mengeluarkan asap mengebul, berhasil membuat Aco sedikit merinding. 

“Darimana?”

Puang Takko bertanya dengan nada biasa, datar, pelan, namun Aco semakin ketakutan.

“Ekskul puang.” Aco menjawab sebisanya.

Puang Takko berdiri, diraihnya sabuk di atas bufet. Di arahkannya pada kaki, dan punggung Aco berkali-kali. Amarahnya benar-benar membuncah. Puang Takko yang tenang tak ada disana. Ia terus memukul Aco tanpa berkata apapun, hingga pikiran Aco terus mencerna apa kesalahannya, dan bahkan ia masih belum terlalu sadar apa yang ia alami sekarang. 

“Kau mau bakar rumah ini?” Cuma itu yang keluar dari mulut om nya itu.

“Tidak puang. Tidak. Ampun puang.” Aco menghindar, menangis, menjawab, sekaligus berpikir kesalahan apa yang sampai membuatnya dianggap ingin membakar rumah. Puang Takko menarik kerah jakaet Aco, menyeretnya ke dapur, lalu memperlihatkan tutup panci yang meleleh hingga panci berisi rebusan ikan yang gosong. Ia lalu ingat, bahwa ia lupa mematikan kompor.

***

Udara malam terasa panas, namun hati Aco kedinginan. Ada sepi menggerogoti, jiwanya kosong tak tertolong, lukanya tidak nyata namun terasa. Pedih rasanya jika ingat apa yang dilakukan Puang Takko beberapa jam yang lalu. Menyesal ia ketika ingat kesalahannya. Dipukulnya kepala, dijambaknya rambut, berteriak rasanya batinnya ingin berontak, sakit sekali namun tak berani ia menangisi. Jendela dibiarkannya terbuka, nyamuk-nyamuk dengan ganas berebut masuk. Tak terasa lagi siku hingga lengannya jadi santapan empuk nyamuk-nyamuk penuh dahaga. 

Pikiran kacau Aco sudah mulai melanglang buana, dari ingatan beberapa jam lalu, hingga ingatan bertahun-tahun lalu. Aco teringat mendiang ayahnya. “Petta, apa kabar?” bisiknya. 

Kala itu di awal tahun 2004.

Sudah di minggu ketiga ayahanda Aco pulang dari luar kota untuk berdagang. Sebagai seorang pedagang kopi, ayahnya biasa pulang sebulan sekali itupun hanya di rumah sekitar 2 sampai 4 hari. Kali ini sedikit berbeda, ayahnya dalam keadaan sakit. Katanya malaria. Sejak di rumah, ibunda Aco memang lebih sibuk. Bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan hingga seluruh keperluan Aco dan adik-adik sebelum berangkat sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, menyiapkan obat dan makanan untuk ayahnya, lalu pergi ke rumah tetangga bekerja sebagai buruh cuci pakaian

“Nak, nanti sebelum ke sekolah ambil es lilin jangan lupa ya. Buat uang saku kamu sama Gema.” Aco mengangguk. Ia memang terbiasa menjadi reseller es lilinnya Bu Ratmi di sekolah. Kata ayahnya hal itu bisa melatih Aco untuk jadi pedagang, dan ibunya bilang itu lumayan untuk tambahan uang saku. Tapi semenjak ayahnya sakit, es lilin satu-satunya sumber uang saku yang Aco dan Gema andalkan. Aco dan Gema bersekolah di SMP yang sama.

Sebagai reseller es lilin, Aco punya trik tersendiri untuk menghindari rasa malu saat menjualnya ke kelas-kelas. Mulai dari mengajak anak-anak osis berkumpul, lalu dengan sengaja meletakkan es lilin di atas meja, sampai mendatangi kelas-kelas yang pada jam kosong hanya diisi siswa perempuan. Karena ia pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan saat menawarkan es ke siswa laki-laki di sekolah. Dibully, hingga es lilinnya diambil tanpa dibayar.

Sementara Gema tak mau tau, ia harus mendapatkan jatah jajannya bagaimanapun keadaannya. Laku atau tidak laku es lilin itu. Aco pun berpikir keras agar sebelum jam istirahat pertama es lilin itu sudah ada pembeli. Pagi itu jam pelajaran padat, tidak ada guru yang terlambat ataupun pergi lebih cepat. Mereka semua disiplin datang dan pergi tepat waktu. Berkali-kali Aco melirik 1 termos es lilin yang belum laku satu pun itu. Lalu membayangkan Gema yang datang dengan penuh keringat setelah lelah bermain bola. Bisa saja ia haus, tetapi es lilin tidaklah cukup menghilangkan hausnya. Atau bagaimana kalau dia lapar. Berkecamuk rasa kasihan dan ketakutan bagaimana caranya menghadapi Gema.

Sampai akhirnya dengan memberanikan diri, Aco membolos dari kelas baca tulis Al-quran Pak Helmi. Mengantongi es lilin dalam plastik, mengendap-endap keluar kelas dan jika Pak Helmi bertanya ia sudah punya jawaban akan ke toilet. Begitulah rencananya. Sampai akhirnya Aco tiba  di depan kantin Mang Kumal.

“Mang, lihat matahari disana. Panas terik sampai daun-daun pun sembunyi karena merasa terintimidasi.” Aco berlagak menunjuk-nunjuk matahari yang sudah jelas muncul di belakang perpustakaan. 

“Terintimidasi apa co?” Ia bertanya-tanya. Aco baru sadar mungkin saja bahasanya terlalu pintar untuk Mang Kumal yang katanya tidak lulus SD. 

“Daun-daun merasa kalah mang.” 

“Daun melawan matahari, tidak pernah ada di dongeng mana pun.” Mang Kumal ternyata lebih kritis.

“Untuk itu mang, daun butuh pembelaan agar dia tetap segar, tegar, dan tidak takut.”

“Maksudmu daun diminumi es lilis yang kamu bawa di kantong plastik itu?” Mang Kumal tidak senaif perkiraan Aco.

“Daripada daun mending mamang saja yang minum es lilin. Agar segar, tegar, dan tidak takut menghadapi matahari.”

“Aku lebih takut padamu.” Mang Kumal mengambil uang dalam kresek hitam polos yang ia letakkan sembarangan di atas meja. 

“Berapa es lilin kau bawa?” 

“5 mang.”

“Mana yang lain?”

“Ada di kelas, aku takut membawa termos keluar.”

“Bawa ke hadapanku saat jam istirahat. Semuanya. Aku mau membuat semua orang sadar bahwa matahari harus dilawan.” Dengan nada yakin entah apa maksudnya.

“Baik mang.” Aco kembali ke kelas, meninggalkan 5 es lilin tadi untuk Mang Kumal, dan dengan resah menunggu jam istirahat pertama. 

Teng teng teng

Lonceng 3 kali berbunyi yang berarti jam istirahat tiba. Aco bergegas menenteng termos menuju kantin Mang Kumal. Kantin itu sudah penuh sesak dengan anak kelas 1 dan 2 yang sepertinya sebelum lonceng berbunyi sudah berani-berani duduk disana. Aco pun menunggu hingga sedikit lengang. Tapi tak jua lengang. Sementara menit-menit waktu istirahat hampir berakhir.

Mang Kumal lalu memanggilnya.

“Co, kesini lah. Bawa termosmu.” Aco beranjak menghampiri Mang Kumal di meja jualan. Mang Kumal mempersiapkan kertas putih dengan tulisan besar “Es Lilin Aco satuan Rp 200 beli 3 Rp 500 saja”. Ditempelnya tulisan itu di termos. Dalam sekejap es lilin yang biasa dijual dengan harga Rp 100 itu raib. Lalu Mang Kumal memberi Aco uang dengan hasil jualan. “Besok pagi bawa kesini aja es mu. Kujual dengan strategi marketingku. Walaupun tidak lulus SD, kemampuanku berdagang jauh lebih baik dibanding S3 marketing fren.” Mang Kumal bangga. Aco pun langsung berlari mencari Gema untuk dengan sombong membawakannya uang saku. Dari jauh ia melihat Gema tengah berlarian bermain bola di lapangan. Lalu, berlari ia ke arah Aco menyambar uang saku untuk dilarikan ke kantin dengan semangat.

“Nak, sudah ko makan?” Dari luar Puang Takko berteriak. Aco bergegas menghampiri, sembari mengubah rautnya agar terlihat baik-baik saja. Di atas meja bundar kecil tempat biasa mereka menaruh makanan dan makan, tersedia 2 mangkok bakso yang dibawa Puang Takko dari luar. Makanlah 2 orang om dan keponakan ini dengan rasa canggung, Aco masih tak enak, begitu pula omnya. Aco menyesal, begitu pula omnya. Mereka berdua menyesal, tetapi terlalu gengsi untuk membahasnya. 

“Nanti tukang TV datang. Biar bisa ta nonton bola.” Begitu omnya memulai obrolan. Aco bingung merespon apa, hingga ia mengangguk saja.

“Nda usah lagi tanya Puang Besse, bisa sudah nonton sendiri Zidane dari sini.” Sambung om nya lagi. Aco masih mematung, melihat ke arah Puang Takko hanya sesekali, lalu fokus lagi pada mangkok bakso yang sudah hampir kering itu. Padahal, pada saat itu hati Aco sedang ramai. Gemuruh tepuk tangan sedang menguasai batin dan kepalanya. Namun, terasa aneh jika ia tampak, senang, tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, bersorak, apalagi jingkrak-jingkrak. Ganjil sekali rasanya. Puang Takko terlalu berwibawa untuk menyaksikan hal tidak punya adab seperti pikirannya. Sementara Puang Takko hatinya sedih ketika melihat Aco hanya diam, ia berpikir bahwa sikapnya tadi begitu keterlaluan. “Maaf nak.” Batinnya. 

**

Naik ke kelas 3, Aco mulai sibuk mempersiapkan uji laporan magang, uji kompetensi, dan ujian nasional. Sibuk sekali, hingga ia sering begadang dan tak jarang pulang hampir petang. Semangat ia ketika menghabiskan waktu di lab merakit PC, berpura-pura tidak tahu agar bisa bertanya pada Ratih, atau sekedar melihat perempuan itu dari dekat. Mereka semakin akrab, Ratih semakin sering mengajaknya bicara karena Aco pandai berpura-pura tidak sengaja bertemu di angkot padahal beda jurusan hanya untuk memastikan Ratih sampai dengan selamat. Atau Aco berpura-pura lupa mencatat agar Ratih meminjamkan buku catatan yang dalam semalam bisa ia pandangi berulang-ulang. Sibuk itu tidaklah berat ia rasa, karena hatinya lebih bahagia. 

Seperti biasa Aco selalu mencuci pakaiannya sepulang sekolah, ia paling tidak suka mengenakan pakaian bekas pakai yang berbau keringat sementara ia hanya punya satu. Rajin ia mencuci pakaian, menjemurnya, lalu ia setrika agar kering dengan sempurna. Memasuki kelas 3, pakaian Aco tidaklah lagi tampak putih, namun kuning. Beberapa temannya dengan santai memanggilnya si kuning. Aco tidak mengerti arti panggilan itu, namun ia selalu berpikir bahwa maksudnya bukanlah menghina. Dipanggil si kuning Aco tersenyum, dipanggil lagi ia tersenyum lagi, dipanggil berulang kali ia mulai diam, dipanggil dengan nada ejekan ia mulai tak tahan. 

Siang itu, jam pelajaran matematika kosong. Bapak ibu guru katanya sedang rapat. Anehnya, para siswa tidak dipulangkan lebih awal. Aco yang sedari pagi emosi dengan ejekan Kifli CS mulai memuncak amarahnya. Kifli mencolek bajunya, menyebutnya si kuning, lalu Aco murka. Berdiri ia, disambarnya buku pelajaran matematika di atas meja, setengah digulung, lalu dipukulkannya di wajah Kifli. Kaget lelaki hitam itu dengan serangan Aco. Tak pernah ia lihat si kuning yang ia olok bertahun-tahun ini marah. Ini kali pertama dan membuatnya tak punya kuda-kuda. 

“Diam kau bangsat!” Berteriak Aco hingga mengheningkan seisi kelas XII TKJ 1 itu. Sebagian ketakutan jika Kifli balik menyerang, sebagian lain justru menunggu momen itu datang. Kifli mematung di posisinya, masih sibuk menyadarkan kepalanya tentang apa yang ia alami barusan. Lalu Aco dengan langkah pasti mengayunkan kepalan tangannya pada Kifli. Hampir saja bogem itu mendarat, namun Aco menahannya. Tiba-tiba ia melihat Ratih yang duduk di salah satu sudut kelas, ia tak ingin Ratih melihatnya sebagai lelaki yang suka berkelahi. Lalu Aco menghentikan atraksinya.




to be cont...

Selasa, 09 Agustus 2022

10.08.2022

Cinta? Perasaan yang paling sulit dipahami manusia dengan akal.

Seberapa banyak, seberapa keras, seberapa niat pun, usaha akan terus menjadi sia-sia. 

Melupakan mungkin perkara kecil, tetapi ada hal-hal lain yang dengan mudah menguasai memori di waktu dan tempat yang bisa jadi tidak tepat, tidak siap.

Aku menjadi gagap dan bodoh.

Jangan menyapa.

Kamis, 04 Agustus 2022

Privasi

Bukankah sudah ada kata privasi untuk membatasi sebuah hal yang dirasa tidak perlu diketahui ataupun dicampuri orang lain. Sayangnya banyak orang yang tidak paham. Ada orang yang kurang nyaman saat sesuatu yang dianggap personal diutak-atik, dibahas, apalagi diperolok. Lagi-lagi, sayangnya banyak yang tidak paham.

L.M.

Rabu, 03 Agustus 2022

Merasakan Abu-abu

 Ada saat dimana udara terasa biasa-biasa saja

Tidak pun dingin, tak jua panas

Menjemukan

Aku tak suka biasa-biasa saja


Ada hitam ataupun putih

Mengapa kita merasakan abu-abu?



LM

Minggu, 31 Juli 2022

Punggung

Saling berselang-seling kutulis perihal Aco dan Gendis. Kisah cinta yang dibumbui latar belakang sedih di dalamnya. Porsi cerita masa kecil hingga porsi saat mereka bertemu, mungkin belum kutemukan komposisi yang pas. Harus berapa kata membahas masa lampau? Harus di bagian mana? Harus seberapa sering? Harus seberapa berpengaruh? Apa yang ingin ditonjolkan? Kehidupan sulitnya kah? Atau cintanya masa kini? Opsi pertama mungkin terasa lebih menarik. 


Aco, pemuda Bone yang berlatar sedih. Semua harus kubuat sedramatis mungkin agar apa pesan yang ingin disampaikan terasa.

Kamis, 28 Juli 2022

Mencintaimu dengan totalitas

Sekalipun, tak pernah terbersit dalam pikiran akan mencintai seseorang dengan serius, totalitas, tanpa cela, tanpa tapi. Seringkali keinginan itu justru muncul setelah sudah berpisah, setelah sudah menjadi penyesalan, setelah sudah tidak mungkin dilakukan. Karena hingga saat ini, aku selalu melibatkan logika dan ego di atas segalanya. Harus punya ruang "tidak apa-apa" jika berpisah, harus tak ada rugi jika berpisah, harus tetap berdiri dengan kepala tegak jika berpisah, semua hubungan dijalani dengan pertimbangan jika berpisah, padahal hubungan itu pun mungkin baru dimulai. Naasnya, aku selalu punya pemikiran, suatu saat pasti putus. Aku selalu ragu.

Sekarang, semua terasa berbeda. Aku merasakan ada esok cerah di ujung hari. Anehnya, ya tetap bersamamu. Kutinggalkan akal, kuabaikan nalar, logika apalagi ego terkubur hilang entah kemana. Kutunjukkan bagaimana aku teramat sangat sungguh-sungguh, kucatat apa yang kau suka dan tidak, kutoleransi segala kekurangan yang akhirnya terlihat malah lucu itu, ingin kupastikan bahwa perasaan ini bertengger lama dan tiada batas. 

Seperti jatuh cinta pertama kali, aku ingin merayakan ini.


Sabtu, 16 Juli 2022

Lembar Baru

Sudah mulai terlihat bagaimana esok. Terang-benderang yang selama ini kuyakini, terasa gulita, ada yang lebih benderang dari gambaran esok yang aku tahu. Kamu ada di dalamnya.

Sekiranya nanti Tuhan maha baik mempermudah apa yang kita bincangkan malam itu, maka aku berjanji akan menjadi lebih baik dengan hidupku, bersamamu tentunya.

Lalu, apa yang membuatku yakin? Padahal kamu bukan si pertama yang hadir? 

Seminyak Beach, 16 July 2022

Kamis, 07 Juli 2022

Khawatir Jika Tidak Khawatir

Ketika menemukan hidup sedang baik-baik saja, datar-datar saja, tak ada kesulitan, tak ada hambatan, semua terasa mudah, dari situ justru muncul di benak "Akan ada apa?".
AKu membenci diriku yang merasa demikian, aku selalu nyaman menjadi seorang pemikir lalu berusaha semaksimal mungkin, setidaknya jika esok akan ada apa, aku punya banyak persiapan. 
Lagi-lagi, aku khawatir jika tidak khawatir. - LM

Jumat, 17 Juni 2022

Frekuensi Radio

Setiap malam tiba, sebelum mereka sama-sama tertidur, keduanya berbagi bincang via telepon. Entah apa saja topik yang muncul, anehnya tak pernah habis, setidaknya tak pernah membosankan pula. Mereka berdua seperti dua angka frekuensi radio yang dipertemukan tanda koma. Teramat cocok, seirama, mudah disatukan tanpa perlu banyak usaha.

Minggu, 12 Juni 2022

Mempersilakan

Malam itu tamu hadir mengetuk pintu rumahku yang gaduh.
Suara musik kencang beradu dengan suara teve yang tidak kalah seru.
Aku membukanya, membiarkan si tamu masuk dan menyuguhinya kudapan.
Satu jam kemudian, rumahku hening.
Kumatikan musik, kukecilkan volume teve, kubiarkan hanya suaranya yang mengudara.
Dinding, lantai, langit-langit, dikuasai suaranya. Yang lebih parah, aku dipengaruhi suara itu. Kupercaya, kuyakini, kuimani.
Sampai pada titik aku lupa, dia harus pulang.

Apalagi yang kubisa selain mempersilakan?


LM

Kamis, 26 Mei 2022

Tahun Ke-6

Jika ini adalah Sekolah Dasar, seharusnya aku sudah lulus kali ini. Waktu 6 tahun terakhir terasa berat, namun juga singkat. Hari-hari seolah ditipu oleh waktu yang membuat pikiranku terjebak di antah-berantah kemudian tersesat, terombang-ambing pada keputusan-keputusan mendadak yang orang lain pun belum siap menerimanya.
Bukan tidak berusaha, hanya saja aku belum berhasil. Waktu menipuku, tetapi ia kemudian mengikhlaskan dicuri oleh pikiran yang tak pernah luput merawat namamu. Namamu yang muncul lalu diekori oleh kalimat andai-berandai "Jika Kita Tidak Berpisah". Lalu apa? Menurutmu itu lebih baik? Belum tentu, bodoh.

Minggu, 17 April 2022

Bab 12 Mengecilkan Mimpi

Latar, kembali jadi alasan kenapa bersama Riza terasa lebih cocok bagi Lania, pun sebaliknya. Dari obrolan singkat sore itu antara Riza, Lania, dan Kailani muncul sebuah ide yang seperti gayung bersambut. Keinginan ketiga orang itu untuk lanjut S1.

“Tapi apa bisa seminggu sekali?”

“Dua minggu sekali malah.”

“Ada emang ilmunya?”

“Anggap aja ada ya kan.” Kailani makhluk paling santai yang tidak banyak berpikir. Sementarakedua lawan bicaranya cukup penuh pertimbangan.

“Masalahnya 4 tahun itu lama cuy.”

“Lebih lama kalau lu nggak ngelakuin apa-apa.” Celetukan Kailani yang langsung membuat Riza dan Lania saling pandang, kedua sorot itu bertemu seolah mengiyakan ucapan Kailani barusan.

“Mumpung kita masih muda.”

“Kamu maksudnya?”

“Iya lah, kalau lu jelas nggak muda lagi.”

Ternyata topik itu bukan hanya isapan jempol, cukup waktu sehari, mereka bertiga sudah melangkah ke step selanjutnya, mencari tahu informasi di laman website kampus, mencari-cari ragam info yang terkait dengan kampus, mulai dari fakultas, jurusan, kemungkinan menyerap ilmu dengan jam perkuliahan yang minim, dan sebagainya.

Pada saat pendaftaran, Kailani dengan yakin memilih Management. Sedang Riza dan Lania dibingungkan oleh jurusan yang ingin dipilih. Riza yang hendak memilih Ilmu Hukum, sedang Lania Sastra Inggris. Lalu keduanya kembali dibingungkan oleh pilihan Teknk Mesin.

“Kamu yakin?” Lania mencoba memastikan.

“Kita sudah kerja bertahun-tahun di bagian itu. Yakin mau ambil teknik lagi? Sanggup?” Lania kembali memastikan. Riza terdiam, ia belum tahu akan mengambil apa. Belum lagi suara Kailani yang seperti hantu menghujani Riza dan Lania dengan logika-logika berpikirnya tentang jurusan yang ia pilih.

“Ok, aku ambil hukum” Riza dengan lantang.

“Ok. Aku Sastra Inggris.”

“Itu FKIP sayang. Kamu mau jadi guru?”

“Ya nggak sih. Tapi kayaknya itu paling cocok.”

“Kita sama aja, biar jam perkuliahannya sama.”

“Kenapa harus sama?”

“Biar kita sekelas, biar bareng.” Riza mencoba meyakinkan.

Dengan mempertimbangkan cita-cita masa kecilnya sebagai pengacara, Lania akhirnya memilih jawaban iya.

“Okay. Ilmu Hukum. Not bad.”

Lebih kurang 2 minggu setelah segala macam usaha itu dilakukan, mereka bertiga sudah harus menjalani test masuk, dari tertulis, wawancara, hingga kesehatan. Bolak-balik menempuh jarak ratusan kilometer itu dilakukan dengan waktu yang cukup padat, sampai pada masa dimana semua sudah sedikit lebih melegakan. Hanya tinggal menunggu masa ospek yang sepertinya sulit mereka hadiri.

Hari itu keduanya pergi ke sebuah warung makan, berbincang banyak tentang esok, masa depan, segala hal baik yang terencana indah, karir, hidup, kesuksesan, segala macam kenaifan hidup dengan berjaya hari itu. Bersemi di pikiran keduanya yang bertemu di udara. Saat-saat dimana kita adalah kata yang seringkali muncul di sela-sela kalimat mengandung esok. Kita yang sepertinya akan mudah.

“4 tahun lagi kita lulus, mungkin aku akan mudah berkarir. Lebih percaya diri menghadapi lingkungan yang isinya manusia-manusia yang terlampau bangga dengan almamaternya.”

“4 tahun lagi mungkin kita sudah menikah.” Lania membuat perut Riza melilit.

“Ya mungkin. Tapi aku masih umur berapa 4 tahun lagi.”

“28, aku 24.”

“Terlalu muda kan?”

“Atau boleh 2 tahun setelah itu.”

“Jadi mau tinggal disini? Lama?” Lania menggeleng.

“Aku tetap pengen keluar dari sini. Segera.”

“Tapi kuliah menahan kita selama 4 tahun.”

“Risiko.”

“Kamu mau pergi kemana?”

“Yang jauh, berkarir di hal yang aku suka. Passionku.”

“Ninggalin aku dong.”

“Makanya ayok kita sama-sama.”

“Aku udah merelakan apa yang aku pengen saat aku masuk kerja disini. Inj terasa lebih realistis dan menghasilkan. Dan kita nggak punya privilege untuk mengejar apa itu passion. Idealisme dalam keadaan ini bukan pilihan yang tepat sayang.”

Lania terdiam, ia merasa kurang setuju dengan jalan pikir Riza. Walaupun bisa jadi itu benar. Sejenak ia merasa lelaki itu mengecilkan mimpi-mimpinya walaupun tanpa sengaja.



To be cont...

Minggu, 10 April 2022

Bab 11 El Real

Mana yang lebih hebat? Barca atau Madrid? Messi atau CR7? Pertanyaan yang akan dijawab berbeda antara Lania dan Riza. Lania yang gemar Barca karena diperkenalkan mantan kekasihnya, dan Riza yang menggemari Real Madrid sejak bocah. Riza adalah CR7 wanna be, ya terlalu kentara dari potongan rambut hingga jersey yang seringkali ia kenakan. Saat bermain futsal maupun sepak bola pun, Riza tampak meniru beberapa gaya idolanya itu, termasuk merk dan motif sepatu yang ia kenakan di lapangan. Hari itu Riza dan Lania janji temu pagi-pagi sekali. Entah kemana, Riza hanya mengatakan sesuatu yang tidak spesifik tetapi sulit Lania tolak. Mata Lania yang terbiasa bangun siang saat hari libur kali ini harus dengan terpaksa ia buka seterang mungkin. Menghampiri Riza di depan gerbang yang tampak rapi, rambutnya disisir dengan gel, kaosnya disetrika licin, belum lagi saat didekati Riza seperti seseorang yang mampu membuat Lania lebih semangat membuka mata. Aroma cokelat dari tubuhnya berbenturan dengan aroma floral pada pakaian, belum lagi aroma kopi pada lotion yang bisa ia pakai.

Menyusuri jalanan kota dari kawasan kost hingga tugu obor, memutar ke Tanjung Tengah hingga kembali bertemu kawasan kost, lalu kembali lagi ke arah selatan mencari sebuah tempat yang ternyata toko olahraga.

“Ini apa sayang?”

“Tangan.”

“Salah.”

“Jari?”

“Salah.”

“Apa?” Lania mulai tidak tertarik menjawab.

“Ini sepuluh, sepuluh kali Real Madrid juara liga champion. La Decima.”

“Sinting ya?”

Memasuki toko itu, Riza langsung memisahkan diri. Ia menyatroni bapak-bapak bertubuh tinggi berambut putih yang jika ditaksir usianya memasuki lima puluhan.

“Yang sepuluh sudah ada belum sih?”

“Belum ada mas, paling seminggu lagi.”

“Ya udah seminggu lagi saya kesini ya.”

Lania berjalan keluar toko berpikir transaksi itu selesai, namun cukup lama ia menunggu di luar, Riza tak kunjung datang. Lania kembali masuk, dan menyisur area etalase dan rak sebelah kiri toko. Kekasihnya itu duduk disana. Memegang sebuah sepatu berwarna hijau stabilo yang Lania tau persis itu yang dikenakan Neymar di pertandingan terakhir. Lalu di sebelahnya pula, bercokol sebuah sepatu berwarna putih bercorak oranye yang Lania juga tau adalah sepatu hang dikenakan CR7 dua nusim sebelumnya.

“Sayang yang ini nggak ada ukurannya.” Riza berbicara sendiri sembari mengangkat sepatu berwarna putih. Lania tidak berkomentar.

“Karena adanya ini ya sudahlah.” Riza berdiri, memamerkan kakinya yang mengenakan sepatu jijau stabilo itu di depan cermin. Berpose ke kanan dan ke kiri. Lalu setelah selesai, ia dengan yakin membawa sepatu itu ke bapak penjaga.Sebelum akhirnya menggamit sebuah bola yang ia pantulkan beberapa kali ke lantai.

“Ini juga deh.” Riza mengeluarkan kartu debit, lalu menenteng plastik berisikan sepatu dan bola.

“Yakin nggak salah beli?”

“Apa?”

Lania mengetuk-ngetuk plastik yang mmbungkus box sepatu.

“Apa? Neymar?”

Lania tertawa keras.

“Bancilona katamu.”

“Cuma sepatu latihan nggak apa-apa lah.”

“Iya nggak papa sih.” Lania dengan nada mengejek dan tersenyum menggoda.

“Apa?” Riza melirik. Lania makin kencang tertawa dibuatnya.

“Nggak apa-apa sayang, yang penting ini.” Riza lagi-lagi menunjukkan kedua tangan terbuka lebar ke depan wajah gadis itu.

“Sialan.” Lania membuang muka.

“La Decima.” Kali ini Riza berucap lantang dan penuh dengan tenaga. Diikuti suara cekikikkan yang mengganggu telinga Lania.



To be cont...

Senin, 04 April 2022

Bab 10 - Berdua

Baru sebulan terakhir Riza merasakan ia dan Lania penuh kecocokkan. Banyak bertemu, banyak mengobrol, pergi kemanapun berdua, di kantor pun masih sering mencuri-curi waktu membahas entah apa atau makan siang bersama. Riza dan Lania menjadi topik tak mengenakkan namun nekat makin pamer kemesraan yang tidak sedikit dari orang-orang sekitar mulai muak.

Pagi itu dua orang ini datang terlambat. Entah sengaja entah tidak, keduanya sudah merencanakan keterlambatan ini di malam hari, lalu esoknya berboncengan mengendarai motor beat karbu berwarna biru milik Lania hingga ke lingkungan trans, tepat berseberangan dengan kantor mereka yang dibatasi oleh jalan hauling. Keduanya berhasil menyeberang setelah menunggu hingga truk-truk besar bermuatan batu bara lewat. Hingga sarana-sarana kecil memperlambat gerakannya di titik tempat mereka berdiri lama. Keduanya berlarian seperti bocah, tentu saja sambil berpegangan, tertawa seolah debu-debu itu bukan lagi masalah. Tiba di pos security, keduanya diizinkan masuk setelah memasang wajah memelas. Berlarian kembali dari pos hingga ke office tanpa bersalah. Sambil terus bercengkerama namun genggaman mereka lepas, cukup tahu diri untuk tidak kentara. Dari kejauhan lebih kurang 10 meter dari tempat mereka berlari, bercokol segerombol orang yang meneriaki mereka di samping unit parkir. Teriakan yang bergema di udara, menembus lapangan kosong yang sampai ke telinga keduanya dengan amat jelas di beberapa kata. Dan Lania merekam itu di kepalanya, lalu tersenyum simpul kegirangan. Sesuatu yang cukup memalukan jika ditulis disini. Intinya, apapun yang terjadi selama itu berdua, dunia seakan tetap baik-baik saja.


**


 Jam makan siang keduanya bertemu kembali di depan office, berjalan beriringan menuju seberang jalan dekat tempat mereka memarkir motor. Ada warung kopi yang menyajikan indomie enak di sana. Melihat menu nasi kotak yang ah sudahlah, keduany sepakat memilih sedikit effort untuk makan di luar, walaupun saat siang bolong matahari amat terik dan debu makin tebal, mereka hirau. Lagi-lagi, selama berdua, semua jadi seperti tak apa.

“Pakai sayur.”

“Aku nggak.”

“Pakai.”

“Nggak mau.”

“Kamu lo kalau dikasi tau susah.” Riza mengoceh sembari melihat dengan tatapan penuh perhatian yang lagi-lagi Lania suka. Orang pertama yang peduli dengan apa yang ia makan, secara konsisten mengingatkan. Risih? Tentu tidak. Karena orang itu adalah Riza, orang yang bahkan kuku dan jemarinya Lania suka, sespesifik itu.


**


Waktu bertemu yang sepadat itu seolah belum cukup bagi keduanya, di usia hubungan yang belum lama, di masa-masa orang lain sedang sibuk mencemooh mereka, Riza justru membuat pergerakan lain, lebih kentara, lebih agresif. Ia memutuskan pindah kost yang tak jauh dari kost tempat Lania. Berjarak hanya beberapa rumah, dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Selain bertemu di kantor, bertemu saat di rumah pun mereka lakukan, setiap hari, tanpa kecuali. Bertemu setiap hari, dan jatuh cinta setiap hari adalah hal yang gak pernah bisa Lania bendung. Riza terlalu luar biasa baginya, sikap hingga polah tingkahnya, suara hingga barisan giginya, Lania selalu berandai, boleh ia terpenjara disana?

Malam sehabis bertemu di warung pecel lele di depan komplek, mereka masih berbincang via telpon. Masih tak cukup rasanya. Selalu ingin bertemu. Selalu ingin bersama. Riza yang selalu senang mengobrol, Lania yang tak pernah mengeluh mendengarkan. Pun sebalikny, Lania seringkali membuat Riza mendengarkan cukup lama. Setelah merasa cukup mengantuk, dan perdebatan tentang siapa yang terlebih dahulu menutup telpon, Riza akhirnya mengalah dengan menutup telpon terlebih dahulu.

“Iya deh, aku tutup ya.

“Ok, good night.”

“Eh bentar.”

“Apalagi?”

“Jangan lupa isi botolmu.”

“Mager yang, lampu sudah mati juga.”

Telpon terputus.

Beberapa menit kemudian Riza tiba di depan pagar, lalu kembali menelpon Lania. Dengan terburu-buru Lania berlari keluar sembari menggamit jaket beludru yang tergantung di belakang pintu. Menghampiri Riza yang sudah siap menyodorkan sebotol air mineral yang setelah ia serahkan langsung ia tinggal pergi. Beberapa langkah setelahnya Riza berbalik dan berteriak.

“Habisin!”

Lania berdebar kencang, hatinya tak keruan. Riza sulit ia kendalikan terus tumbuh dalam dirinya. 



to be cont...


Rabu, 23 Maret 2022

Bab 9 Gayung

 Untuk pertama kali semenjak pindah, Lania sedikit lebih kenal dengan Dinda. Malam itu setibanya di kost, Lania dan Dinda berbincang di depan TV di ruang tengah. Lania berganti pakaian dengan dress pendek berwarna hijau andalannya, sedang Dinda dengan piyama floral yang masih baru. Lania membuat segelas kopi hitam, dan Dinda dengan serealnya. Kedua perempuan dengan tampilan dan selera yang berbeda.

“Kamu tau nggak Riza itu pernah naksir aku?” Sebuah obrolan pembuka yang nyaris membuat Lania menumpahkan kopinya.

“Oh ya? Serius?” Lania berpura-pura penasaran.

“Iya, dulu. Padahal dia tau aku pacar bosnya.” 

“Mas Pane?” 

“Iya, tau kan?”

“Kok dia berani?”

“Ya begitu deh, kayak sering ngechat, terus nanti ngerayu, gombal. Ah pokoknya gitu.”

“Kamunya gimana? Nggak suka?”

“Ya nggak lah, gila apa? Kan sudah ada cowokku.”

Lania mengangguk-angguk karena bingung merespon apa.

“Lagian Riza itu gayung tau.” Tambah Dinda. Lania mengerutkan kening pertanda tak paham dengan istilah itu.

“Semacam player gitu lah. Siapa aja diembat.” Kalimat yang menbuat Lania menelan ludah. 

“Oh gitu? Semua cewek single di kantor?”

“Hampir.”

Lania memundurkan kepalanya, memposisikan badanny sedikit bersandar pada sofa. Mendengarkan cerita Dinda yang dalam setengah jam sudah banyak mengeluarkan hal-hal yang bisa membuat Lania membayangkan bagaimana kota ini sedetail mungkin, berikut penghuninya.


**


Sepulang kerja, Lania langsung menuju dapur dan melirik makanan yang tersaji di meja. Mbak koki di kost memang juara, masakan yang dibuat tak pernah mengecewakan, setidaknya sebulan terakhir. Lania fokus melihat oseng tahu dan sawi putih yang dicampur dengan telur orek dan cabai. Mata Lania berkilat-kilat. Menu favoritnya. Ia berlari ke kamar, dan kembali dalam sekejap.

“Mbak Lan nggak mandi dulu?”

“Nanti saja mbak. Laper.” Langsung saja ia menyantap makanan itu tanpa peduli sekitar sedikitpun. Sampai akhirnya ponselnya berdering.

“Ya mas?”

“Dimana Lan?”

“Di kost.”

“Sibuk nggak?”

“Lagi makan. Ngomong aja.” Di balik telpon, Dharma bingung ingin memulai darimana. Lidahnya kelu, kalimat-kalimat yang ia rangkai sebelum menelpon tercekat. 

“Bener gosip itu Lan?” Lania yang tengah mengunyah sawi mendadak terhenti dan berpikir apa yang Dharma maksud. Namun itu tidaklah sulit. Hanya saja Lania tidak pernah berpikir bahwa Dharma akan tahu hal itu.

“Riza maksudmu?”

“Ya.” Sebagai teman lama Lania merasa tak perlu menyimpan rahasia dengan Riza.

“Iya mas.” Lania berbicara dengan nada setengah malu-malu.

“Kok bisa? Kamu kan baru pindah lan? Dan kamu nggak tau gimana dia.” Dharma berapi-api.

“Udah, sekarang kamu tinggalin dia. Dia nggak baik buat kamu.” Dharma semakin emosional saat ia ingat lelaki itu pernah mendekati Nona, bahkan belum lama ini.

“Tenang aja ma, aman kok.”

“Aman-aman gimana? Kamu sudah kena omongannya dia kayaknya.”

“Emang omongan gimana sih yang kamu bayangin?”

“Banyak. Yang pasti hal-hal taik yang bikin cewek bisa aja GR.”

“Kamu pikir aku orang yang semudah itu?”

“Ya siapa tau kali ini kamu lagi gila. Apalagi kudengar kamu udah berani pergi ke luar kota berdua.”

“Aku bisa jaga diri kok.”

“Lan, bahkan ke Nona aja dia berani. Nona lan. Pacarku. Kamu pikir deh.”

“Becanda kali ma.”

“Terserah kamu lah. Yang pasti aku sudah ngasih tau.” Telpon terputus.

Belum lama hubungan itu terjalin, sudah banyak kabar buruk perihal Riza. Dan dipikirkan bagaimanapun semua apa yang Lania dengar itu masuk akal. Ya, mungkin saat ini ia memang memilih orang yang salah, tetapi kesalahan itulah yang ia cari.



To be cont…


Senin, 21 Maret 2022

Bab 8 - Karaoke

Bisnis sedang tidak mudah, harga batu bara sedang tidak sabil. Imbasnya? Jam kerja dipangkas dan 75% karyawan dipulangkan lebih awal. Lania duduk di barisan tengah bus, sedang Riza di depannya. Sepanjang jalan dari hauling hingga jalan negara berkali-kali Riza mencuri-curi melihat ke belakang melalui sela-sela kursi. Namun, entah dipercobaan ke berapa keduanya berhasil mempertemukan sorot tepat jatuh di pupil satu sama lain. Hingga sulit keduanya menghindar dari salah tingkah yang untungnya mereka pikir tidak disadari sekitar. Pergerakan demi pergerakan dari Riza yang Lania cukup suka.

“Apa sih ja ngelirik-ngelirik kesini mulu.” Dinda yang duduk satu baris di belakang nyeletuk yang akhirnya membuat nyaris seisi bus menoleh.

Dengan rona malu Riza memutar kepalanya dan menghadap ke depan. Lania sulit menahan tawa, ia merasa itu cukup lucu namun ia jadi mengevaluasi, apakah memang bukan dia yang Riza lihat?

Bus berhenti tepat di depan jalan menuju kost Riza, namun ia memilih tidak langsung turun. Terus saja melaju hingga titik pemberhentian terakhir di tempat Lania biasa memarkir motor.

“Malam ini sibuk nggak?” Lania kaget karena tak sadar Riza mengekorinya hingga tempat parkir.

“Nggak sih.”

“Jam 8 ya, karaoke, ajakin temanmu yang lain.”

“Oh ok.” Lania tanpa pikir panjang mengiyakan. Bahkan ia tak tahu siapa saja yang akan ikut, atau apa saja yang mendasari Riza mengajaknya.


**


Riza mengirim pesan setengah jam sebelum berangkat.. Lania meluncur dari kost dan langsung menuju lokasi. Debarnya tak karuan menunggu saat-saat bertemu Riza, bukan kali pertama, tetapi rasanya masih sama.

“Mbak Lan, sini!” Dari depan pintu masuk seorang lelaki memanggil. Samar-samar baru Lania kenali ia adalah Kailani yang beberapa kali ia jumpai di kantor.

“Sendiri aja mbak?”

“Iya, Jeni kuajak nggak mau.”

Kailani merespons dengan anggukan dan senyum simpul.

Di salah satu sofa, Lania melihat sosok yang kurus, tinggi, berambut klimis dengan gel yang disisir rapi, fokus berbincang dengan perempuan di depannya, Dinda.

Lania dan Dinda saling menatap, keduanya terjebak dalam frekuensi canggung yang sulit dijelaskan.

“Kalian satu kost kan?”

“Iya.” Lania menjawab lirih.

“Kok nggak bareng aja?”

“Karena ga tahu dia ikut.” Suara Dinda datar namun tatapan matanya mengisyaratkan ketidaksukaan.

“Lebih tepatnya karena nggak akrab kali ya.” Lania melengkapi kalimat itu dengan tertawa seolah-olah itu lucu. Namun suasana jauh lebih canggung dibuatnya. 

Mereka berempat memesan sebuah ruangan small dan siap beradu lagu selama 120 menit. Lania duduk paling kiri, Dinda di tengah, lalu Kailani, dan paling kanan Riza. Tidak banyak pergerakan yang bisa dilakukan empat orang itu. Ruangan benar-benar pas. Sedari awal mulai, Riza dan Dinda beradu dengan lagu-lagu hits dari penyanyi luar. Sedang Kailani mahir dengan lagu-lagu band 2000-an. Kini giliran Lania, ragu-ragu ia memilih lagu favoritenya saat karaoke. Karena ia terbiasa dengan geng para penyamun yang karaoke benar-benar untuk hiburan dan jauh dari jaim. Kini ia kesulitan menentukan lagu apa yang pas dibawakan di depan orang-orang baru yang sudah memamerkan kebolehan menyanyi hingga selera musik yang menurut Lania, sorry, mainstream. Mainstream bagi anak-anak muda yang takut terlihat tidak keren. Melihat situasi itu, Lania mulai mencoba-coba memilih satu lagu.

Zaaaenaaal… Maafkanlah…

Lania memilih tidak melihat ke sekitar. Ia fokus menatap layar. Khidmat menyanyikan lirik demi lirik. Walaupun sulit ia merasa keren di situasi itu.

“Ah sial, nggak ada satupun yang excited dengan lagu dangdut yang seharusnya penuh keceriaan. Lania merasa minoritas.”

Bahkan di tengah-tengah lagu Dinda keluar, disusul Riza, beruntung Kailani tidak mengekori mereka pula. Zaenal usai, giliran lagu milik Dinda yang diputar namun perempuan itu belum jua kembali. Sekitar 2 menit lagu dimulai, Riza kembali lebih dulu, dan langsung membuat pergerakkan tak terduga, duduk tepat di samping Lania. Tepat setelah ia duduk, Dinda masuk dan merasa ganjil melihat itu. Walaupun Kailani sudah tidaklah kaget lagi.

Dari menit ke 34 hingga 120 menit habis, Riza dan Lania tak lepas memegang tangan satu sama lain. Tak peduli sekitar, tak peduli komentar. Ruangan kecil itu seakan hanya milik mereka berdua.


To be cont…




Rabu, 16 Maret 2022

Bab 7 Pasangan

 Suara printer, hentakan stempel, dering telepon, bisingnya ruang pemotong besiklakson alat angkat yang lalu lalang, suara-suara karyawan yang saling beradu di udara membuat Lania yang kurang tidur semakin pusing dibuatnya. Pesan masuk di BBMnya.

“Aman saja kan?” 

“Sejauh ini aman.”

“Ga ada yang curiga?”

“Ga ada.”

“Baguslah.”

Hingga pukul 10 pagi, Lania merasa suasana di kantor masih kondusif terkait bolosnya ia dan Riza. Belum ada aliran protes atau bully yang mengganggu, padahal itu sudah ia prediksi.

Lania membawa tumpukkan dokumen ke gedung utama untuk difotocopy. Dan di belakang mesin fotocopy tepat tempat duduk Riza. Ia ingin mundur melihat kekasih barunya itu bercokol disana, tetapi dua orang CS yang duduk di lobby pasti akan merasa itu pergerakan yang aneh. Lania memberanikan langkahnya.

Memasukkan user dan password, meletakkan kertas, menekan tombol copy, semua dilakukan Lania dalam keadaan setengah berdebar. Apalagi tak lama suara khas Riza tiba-tiba memanggilnya. Lania merasa ada dalam halusinasi, namun itu nyata.

“Lan.”

“Lan.”

“Lan.” Pada panggilan ketiga barulah Lania menengok. Riza memperlihatkan tulisan besar dalam excel di monitornya.

“I LOVE YOU”

Lania membuang pandangannya dari sana ke arah Riza yang terlihat tersenyum kecil dan ekspresi menggoda, Riza lalu cepat-cepat mengganti layar ke tampilan lain agar tidak ada yang melihat. Lania geleng-geleng kepala. Ia senang sekaligus malu. Namun di sisi lain, ia tak terbiasa dengan polah tingkah sedikit menjijikkan itu. Tak terbiasa sekaligus tersentuh. Kerumitan dalam kepala Lania menyerang dalam sekali nafas.

“Cieee. Jadi udah resmi? Cie cie cie.” Dari ruangan Bu Hamidah, Jeni berteriak memecah konsentrasi para karyawan yang tengah fokus di kubikal. Semua akhirnya mengarahkan fokus pada kedua orang yang diduga menjadi pasangan baru itu. Bu Hamidah hingga berlari ke luar ruangan mengekori Jeni. Wanita hampir pensiun itu menghampiri Lania lalu mendorong-dorong gadis itu dengan penuh tenaga diikuti suara cie cie cie yang teramat mengganggu. Sedang Kailani yang baru tiba dari pantry berlari mendorong-dorong Riza. Suasana yang lebih mirip pembullyan terhadap anak SMP itu terjadi sekitar 10 menit, suasana mengganggu dan membuat keduanya resah. Apa yang tersiar saat mereka berdua menghilang?

 

**

 

Di kokunitas kecil makan siang para ibu-ibu, akhirnya Lania bergabung disana. Menyusun formasi di lantai beralaskan kardus, menyantap nasi kotak dengan berbagai keluhan, belum lagi tambahan topik ghibah lain yang membuat mata mereka berkilat-kilat. Lania merasa minoritas yang tersingkir disana. Menggunakan bahasa banjar dengan dialek Tanjung yang kental mereka melempar cerita-cerita yang tak dipahami Lania.

“Diva ngalih ai sudah. Harga pupurnya haja berapa?”

“Maka kijil banar mun bepandiran lawan kosong satu.”

“Sorang kada kawa telawani am mun kaitu.”

“Gaji sorang gasan maisi bensin hunda-nya haja kada mayu.”

“Han kalu bida level.”

Lalu semuanya tertawa bersamaan. Lania semakin bingung, namun tak berniat untuk mencari tahu sampai saat topik yang ia pahami dimulai.

“Lain lagi mun nang hanyar ni, langsung gas tedapat baung.” Tiwi memulai.

“Paling ha mancuba-cuba lakiannya, satumat ai bajauh pulang.” Isna menanggapi.

“Maka kulihat status biniannya ngintu baisi pacar disana.”

“Iyaleh? Bisa ai tuh gasan beramian jua. Jurang sama tih bededua.”

“Panyakit nang diulah ngintu.”

Kembali mereka tertawa keras dengan sesuatu yang bagi Lania tidaklah lucu.

“Apaan sih, taik.” Batinnya.



to be cont...

Rabu, 09 Maret 2022

Bab 6 - Latar

Menemukan kehidupan lain dalam mata seseorang adalah kalimat bias yang gombal tetapi nyata dirasakan Lania sekarang. Riza yang penuh perhatian, penuh tanggung jawab, penuh cinta, seketika membuat Lania merasakan hal baru. Seperti jatuh cinta lagi dan lagi, setiap saat. Walaupun ia sulit merasakan sebahagia saat bersama Badawi, namun setidaknya secara logis sikap dan polah tingkah Riza jauh lebih baik. Sangat jauh.

Aku memang pernah lebih bahagia, tetapi tak pernah merasa sesempurna ini. Terima kasih.

Di perjalanan pulang, Riza dan Lania berbincang lebih banyak lagi. Perkenalan Lania dengan beberapa keluarga dekat Riza memang membuatnya sedikit mengerti gambaran kecil keluarga Riza. Dan itu nilai tambah bagi kekasihnya itu. Lelaki sederhana yang penuh tanggung jawab kepada keluarga yang punya beban menjadi anak pertama untuk adik-adiknya dan ibu yang harus menjadi buruh petik kopi di kampung. Riza adalah cara lain bagaimana Tuhan mengajari Lania tentang bentuk tanggung jawab, itulah yang Lania pikirkan di sela-sela obrolan mereka seputar keluarga.

Lalu, Lania pun tak enggan berbagi cerita seputar dirinya. Kehidupan menyebalkan yang ia lewati, masa kecil membagongkan, masa remaja penuh kegagalan, perjuangan hingga di titik sekarang. Namun, beberapa cerita ia biarkan tetap ada di kepalanya, hanya beberapa persen yang berani ia ceritakan. Termasuk perihal keluarga secara utuh.

“Ya, nanti kalau aku menikah dan misal suamiku harus pergi duluan dan aku punya anak, sebisa mungkin aku nggak akan menikah lagi.”

“Kenapa?”

“Ya aku nggak mau apa yang kejadian di aku, kejadian lagi di anakku.”

Riza menahan diri untuk bertanya lagi. Ia justru menghubungkan perkataan Lania dengan kejadian beberapa tahun silam. Ketika ibunya menikah lagi, rasanya seisi langit runtuh. Merasa dikhianati, merasa bersalah pada mendiang sang ayah, merasa sulit percaya pada siapapun, marah, kecewa, benci, pun sedih tak terbendung. Tak ada yang lebih menyakitkan dari itu. Dan sayangnya, tak ada yang bisa ia lakukan sedikitpun. Alasan sang ibu cukup masuk akal, semua adalah faktor ekonomi yang juga masih sulit ia penuhi sebagai sulung.

Gambaran masa depan dari Lania disertai sedikit cerita masa kecilnya membuat Riza merasakan perasaan menghangat. Latar yang mirip, kisah yang hampir serupa, membuat mereka berdua ada frekuensi yang sama. Membayangkan esok yang sama. Berdua. Dan, ia suka dengan jalan pikir Lania.

 

*

 

Bersama dengan sanak keluarga, Dave datang mengunjungi Bertha malam itu. Membawakan sebuah tiket dan bukti pemesanan travel agent, ia dengan sumringah menyampaikan tempat bulan madu mereka. Menceritakan rinci tempat tujuan hingga hal-hal seru yang bisa mereka habiskan. Bertha yang tengah menunggu telpon dari Riza menanggapi Dave dengan seadanya. Ia tak begitu antusias. Pikirannya terbagi di tempat lain.

“Kamu sehat kan?”

“Sehat, cuma agak ngantuk.”

“Mau istirahat sekarang?”

“Boleh?”

“Istirahat saja.” Dave beranjak dari teras dan membaur dengan keluarga lainnya di ruang tengah. Bertha bergegas ke kamar sebelum keluarga lain mencegatnya dengan banyak pertanyaan. Sayangny, Fitri ada disana. Perempuan itu mengekori Bertha ke kamarnya dan berusaha membaca situasi.

“Sampai kapan de?”

“Kamu sudah mau menikah.”

“Masih mau ingat-ingat si kampret itu?”

Bertha menggeleng, tatapannya kosong, ia merebahkan diri sebelum matanya memanas dan menangis. Ia menangisi entah apa. Hatinya sedih, terlebih melihat Dave yang berlaku teramat baik. Sedang dalam kepalanya masihlah menyimpan Riza, Riza, Riza yang tak pernah melakukan apapun saat ia akan dijodohkan.

"Kenapa dia nggak mau sedikit berusaha kak?”



to be cont...

Popular Posts