Rabu, 16 Maret 2022

Bab 7 Pasangan

 Suara printer, hentakan stempel, dering telepon, bisingnya ruang pemotong besiklakson alat angkat yang lalu lalang, suara-suara karyawan yang saling beradu di udara membuat Lania yang kurang tidur semakin pusing dibuatnya. Pesan masuk di BBMnya.

“Aman saja kan?” 

“Sejauh ini aman.”

“Ga ada yang curiga?”

“Ga ada.”

“Baguslah.”

Hingga pukul 10 pagi, Lania merasa suasana di kantor masih kondusif terkait bolosnya ia dan Riza. Belum ada aliran protes atau bully yang mengganggu, padahal itu sudah ia prediksi.

Lania membawa tumpukkan dokumen ke gedung utama untuk difotocopy. Dan di belakang mesin fotocopy tepat tempat duduk Riza. Ia ingin mundur melihat kekasih barunya itu bercokol disana, tetapi dua orang CS yang duduk di lobby pasti akan merasa itu pergerakan yang aneh. Lania memberanikan langkahnya.

Memasukkan user dan password, meletakkan kertas, menekan tombol copy, semua dilakukan Lania dalam keadaan setengah berdebar. Apalagi tak lama suara khas Riza tiba-tiba memanggilnya. Lania merasa ada dalam halusinasi, namun itu nyata.

“Lan.”

“Lan.”

“Lan.” Pada panggilan ketiga barulah Lania menengok. Riza memperlihatkan tulisan besar dalam excel di monitornya.

“I LOVE YOU”

Lania membuang pandangannya dari sana ke arah Riza yang terlihat tersenyum kecil dan ekspresi menggoda, Riza lalu cepat-cepat mengganti layar ke tampilan lain agar tidak ada yang melihat. Lania geleng-geleng kepala. Ia senang sekaligus malu. Namun di sisi lain, ia tak terbiasa dengan polah tingkah sedikit menjijikkan itu. Tak terbiasa sekaligus tersentuh. Kerumitan dalam kepala Lania menyerang dalam sekali nafas.

“Cieee. Jadi udah resmi? Cie cie cie.” Dari ruangan Bu Hamidah, Jeni berteriak memecah konsentrasi para karyawan yang tengah fokus di kubikal. Semua akhirnya mengarahkan fokus pada kedua orang yang diduga menjadi pasangan baru itu. Bu Hamidah hingga berlari ke luar ruangan mengekori Jeni. Wanita hampir pensiun itu menghampiri Lania lalu mendorong-dorong gadis itu dengan penuh tenaga diikuti suara cie cie cie yang teramat mengganggu. Sedang Kailani yang baru tiba dari pantry berlari mendorong-dorong Riza. Suasana yang lebih mirip pembullyan terhadap anak SMP itu terjadi sekitar 10 menit, suasana mengganggu dan membuat keduanya resah. Apa yang tersiar saat mereka berdua menghilang?

 

**

 

Di kokunitas kecil makan siang para ibu-ibu, akhirnya Lania bergabung disana. Menyusun formasi di lantai beralaskan kardus, menyantap nasi kotak dengan berbagai keluhan, belum lagi tambahan topik ghibah lain yang membuat mata mereka berkilat-kilat. Lania merasa minoritas yang tersingkir disana. Menggunakan bahasa banjar dengan dialek Tanjung yang kental mereka melempar cerita-cerita yang tak dipahami Lania.

“Diva ngalih ai sudah. Harga pupurnya haja berapa?”

“Maka kijil banar mun bepandiran lawan kosong satu.”

“Sorang kada kawa telawani am mun kaitu.”

“Gaji sorang gasan maisi bensin hunda-nya haja kada mayu.”

“Han kalu bida level.”

Lalu semuanya tertawa bersamaan. Lania semakin bingung, namun tak berniat untuk mencari tahu sampai saat topik yang ia pahami dimulai.

“Lain lagi mun nang hanyar ni, langsung gas tedapat baung.” Tiwi memulai.

“Paling ha mancuba-cuba lakiannya, satumat ai bajauh pulang.” Isna menanggapi.

“Maka kulihat status biniannya ngintu baisi pacar disana.”

“Iyaleh? Bisa ai tuh gasan beramian jua. Jurang sama tih bededua.”

“Panyakit nang diulah ngintu.”

Kembali mereka tertawa keras dengan sesuatu yang bagi Lania tidaklah lucu.

“Apaan sih, taik.” Batinnya.



to be cont...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts