Linda Maryani Puisi

Tampilkan postingan dengan label Single On Site - Cerita Bersambung (Ongoing). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Single On Site - Cerita Bersambung (Ongoing). Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Juni 2021

#SingleOnSite - Episode 12 Maling

    "Diinformasikan kepada Bapak-Ibu yang baru turun dari bus atau sarana dipersilakan langsung merapat ke muster point." Himbauan yang terdengar diucapkan berkali-kali itu mengudara menguasai seisi kantor yang diperdengarkan oleh pengeras suara membuat seluruh karyawan berduyun-duyun merapat ke bagian depan kantor. Biasanya tempat berkumpul itu hanya digunakan dalam keadaan darurat saja, tidak seperti hari ini. Bahkan belum ada karyawan yang sudah duduk manis di mejanya.
    Membuat seluruh karyawan berbaris dengan rapi memang tidak mudah, aba-aba bersap, berbanjar, siap grak, lencang kanan, dua langkah ke kiri, dan sebagainya tidaklah banyak didengarkan. Suara-suara bising dari kerumunan bersaing dengan dialog satu sama lain mengalahkan aba-aba. Sampai seseorang paling berpengaruh di kantor muncul, Pak Gemi.
    "Assalamualaikum WR WB." Suara berat Pak Gemi mengudara melalui pengeras suara. Di mimbar, Ia melanjutkan dengan beberapa kalimat pembuka yang membuat siapapun merasa harus mendengarkan dengan saksama. Bahkan hanya suaranya saja begitu berwibawa. Tegas namun merdu, begitu nyaman memasuki telinga, padu padan teknik diafragma dan artikulasi yang jelas menyiratkan Pak Gemi memang sudah berpengalaman. Hanya berselang beberapa menit setelah sambutan itu dibuka, akhirnya Pak Gemi sampai pada inti masalah.
    "Lagi-lagi pencurian terjadi." Hampir seluruh karyawan saling pandang, tidak sedikit yang mengeluarkan suara tanda tekejut, dan tidak sedikit pula yang acuh tak acuh, lebih parah lagi beberapa merasa biasa saja karena ini bukan kali pertama. Walaupun ini menjadi kali pertama diumumkan secara resmi seperti dalam upacara. Pak Gemi menjeda pidatonya, seakan memberi waktu kepada seluruh karyawan fokus pada reaksinya. 
    4 menit setelahnya, sebuah 4 X 4 WD memasuki area parkir Main Office. Mobil bernomor lambung LM01 itu diikuti 1 mobil petugas keamanan dan 1 mobil patroli polisi. Investigasi dilakukan, karyawan belum dibiarkan bubar jalan. Satu-satunya desas-desus yang menyebar saat ini adalah kehilangan dalam skala besar, walaupun objek yang hilang belum disebutkan.
    Pak Gemi turun dari mimbar, dengan kode tangan mempersilakan salah satu orang berseragam PT. Lama Makmur untuk menggantikannya memegang mikrofon. Dengan gagah lelaki berkumis tipis yang usianya berkisar 40 tahunan itu mulai memperkenalkan diri. 
    "Saya Kosa, ketua tim audit PT. Lama Makmur yang baru. Sepanjang saya melakukan audit 10 bulan terakhir banyak sekali temuan kejanggalan-kejanggalan terkait hilangnya peralatan dan aset. Yang jika ditelusuri kebanyakan berupa besi buta hingga besi olahan yang terjadi di beberapa titik lokasi di site ini." Pak Kosa menarik nafas sembari merogoh lipatan kertas dari sakunya.
    "Saya meyakini dengan total kerugian perusahaan hampir 1 trilliun rupiah sepanjang 4 tahun ke belakang, dipastikan kegiatan curi-mencuri ini sudah terorganisir, berlangsung lama, dan didukung oleh banyak pihak." Kosa membalik lipatan kertasnya.
    "Dan, setelah investigasi dimulai titik terang yang kami temukan adalah oknum para pelaku ini merupakan bagian dari karyawan salah satu anak perusahaan dan dari bukti-bukti yang dikumpulkan kecurigaan mengarah ke perusahaan ini. Jadi dalam beberapa waktu ke depan kegiatan operasional PT. Jaya Over Burden dibekukan. Sekian, wassalamualaikum WR WB." Pak Kosa meninggalkan mimbar. Suasana berubah hening, tak lagi banyak yang berkomentar, riuh hilang.
    Fajar semakin meninggi, keringat sudah mulai membanjiri setiap karyawan. Lebih kasihan mereka yang susunan berbarisnya di sebelah kiri mimbar, mereka menghadap terik menantang matahari. Bukan hanya berkeringat, tetapi wajah rasanya merah padam ditambah mata yang harus menyipit menahan silau. Semua orang di luar barisan mengiringi rombongan perwakilan PT. Lama Makmur menyisir setiap sudut office, sementara petugas keamanan tinggal untuk memastikan barisan tidak bubar.
    "Sampai kapan kita disini?" Birdel berteriak pada pemimpin barisan.
    "Sabar ya bu, sampai investigasi selesai." Seketika teriakan seluruh karyawan menyerang petugas keamanan tersebut, walaupun tak ada yang berani membubarkan diri.
    "Mau tukar posisi?" Jendra menepuk pundak Sekar lalu menawarkan bertukar posisi, karena di posisi depan menghadap matahari, Sekar sudah terlihat mau pingsan. Tanpa penolakkan sedikitpun, Sekar langsung mundur dan berlindung di belakang bayangan Jendra.
    "Bilang makasih kek."
    "Iya makasih."
    "Nggak gratis ini."
    Mendengar itu Sekar justru menendang kaki Jendra. Jendra meringis sedikit menunduk mengusap-usap kakinya. Guyonan ala mereka yang dipandang sinis oleh orang-orang barisan belakang. 
    Di barisan lain, ada seorang lelaki menggigil di bawah terik. Ia khawatir, cemas, gelisah, takut kalau-kalau aksinya kali ini terbongkar.


***

    Setelah 2 jam, mereka diperbolehkan kembali ke ruangan masing-masing. Tetapi, sebagian besar dari mereka justru membuat kerumunan-kerumunan kecil membahas kejadian tadi pagi. Mulai dari kemungkinan asal tuduh, salah sasaran, potensi nama tersangka, kecurigaan satu sama lain, apa saja bahan investigasi, dan sejauh mana pelaku akan dijatuhi hukuman. Para karyawan mendadak menjadi detektif hingga ahli hukum ketika berada dalam topik ini.
    Sama seperti karyawan lain, si pelaku ini pun merapat pada kerumunan, tak akan ada yang bisa curiga walaupun sedari pagi keringat dingin membanjiri tubuhnya. 


***

    Pukul 10 pagi seluruh karyawan site support yang bekerja di luar main office tiba-tiba merapat. Turun dari bus dan diarahkan untuk menuju aula. Mereka operator, surveyor, mekanik, juga pengawas lapangan yang ditarik mundur karena larangan operasi. Seketika main office semakin ramai.
    "Sekar, bantu persiapkan sound system dan rundown acara ya. After lunch kita langsung mulai."
    "Acara apa pak?"
    "Siapkan saja di aula."
    Sekar yang baru keluar dari toilet langsung bergegas menuruni anak tangga menuju pantry. Urusan persiapan ia memang seringkali diandalkan. Sebelumnya semua ia lakukan bersama Ghea, namun atasannya itu kini sudah semakin sibuk dan turunlah warisan pekerjaan tambahan itu hanya pada Sekar. Dibantu dua orang helper, Sekar mulai mengatur semuanya. Berimprovisasi seperti biasa. Perintah mempersiapkan sound system, berarti mempersiapkan keseluruhan tempat. Perintah mempersiapkan rundown, berarti mempersiapkan keseluruhan acara termasuk memimpin jalannya acara. 
    Sekar mendatangi tim humas, menanyakan detail acara, apa yang ingin disampaikan, tujuan acara, siapa saja yang memberi sambutan, durasi, hingga kapan konsumsi datang dan detail teknis pembagiannya. Setelah itu, dengan membawa secarik catatan Sekar melaju menuju aula menyusul dua helpernya.
    Sampai di depan pintu aula Sekar kesal melihat meja kursi yang dibiarkan malang melintang.
    "Utuuuh." Sekar setengah berteriak memanggil salah satu helper.
    "Utuuuuuh." Kini lebih keras.
    "Utuuuuuuuh." Tidak sabar, Sekar menyingkirkan paksa meja kursi itu lalu membuka pintu.
    "Buuuggg." Sebuah kayu melintang yang disangga dua buah tangga jatuh mengenai Sekar, perempuan itu reflek menghindar namun kakinya terhalang kaki meja, lalu tersungkur. Seisi aula sontak menoleh dan sebagian berdiri, suara riuh terkejut hingga sorak menyadarkan Sekar akan sesuatu, ia sedang menjadi tontonan. Sekar memaksakan diri bangkit dan beranjak menjauhi pintu aula. Rasa malunya jauh lebih besar dibanding rasa sakit. Semakin Sekar berlari, semakin kencang orang-orang itu bersorak. Dalam hati Sekar hanya mengumpat kesal, dan membayangkan ada wajah-wajah yang ia jauhi ada di sana.


***

    Sudah bertahun-tahun semenjak lelaki itu melihat Sekar menangisinya. Perpisahan mereka yang aneh, jauhnya mereka hingga seperti musuh, putusnya hubungan bahkan sebelum jadian, semuanya terasa teramat aneh. Namun, hari ini ia melihat Sekar dengan perasaan berbeda, ada rindu hinggap dalam kepalanya. Rindu yang lain. Rindu yang berbeda. "Bolehkah aku mengenalnya sekali lagi?" Batinnya.



To be continue...

L.M.

Rabu, 05 Mei 2021

#SingleOnSite - Episode 11 Segitiga

   Bukankah semua akan selesai ketika sudah bertemu? Selisih, konflik, adu argementasi, atau perpecahan sehebat apapun itu akan melunak. Tidak dapat dipungkiri musyawarah adalah pendekatan terbaik untuk mendinginkan suasana. Sayangnya, Chan sulit melakukan itu karena jarak. 
    Seperti sebuah segitiga yang setiap garis penghubungnya menggunakan panah merah bercetak tebal, seperti itulah gambaran bagaimana posisi Chan di Tabalong, Norma di Pontianak, dan Tugi di Solo tampak pada permukaan peta. Mereka terikat bukan hanya karena hubungan keluarga tetapi karena konflik yang tak kunjung usai beberapa minggu lamanya.

***
    Berdiam diri di rumah paska menganggur, fokus mengurus 2 anak yang bersekolah, mengurus rumah, juga mendengar rengekan si sulung yang sudah terlalu bising seperti teror. Membayar uang semester, praktikum, dan rincian lain-lain yang sulit sekali dipahami oleh lulusan SMP seperti Norma. Hatinya perih dan bertanya-tanya "Mengapa membesarkan anak seberat ini?". Ia sebagai penyambung komunikasi antara Chan dan Tugi kehabisan akal untuk merangkum setiap alasan.
    Pagi itu Norma berkeliling Pontianak Kota dengan mengendarai motor. Besar harapannya untuk bisa mendapat pekerjaan, atau setidaknya bisa menambah pundi-pundi rupiah di keluarga. Ia sadar, Chan pun sudah bekerja keras di perantauan walaupun memang belum cukup. Mendatangi satu persatu laundry, dari yang kecil hingga ternama, dari yang di pusat kota hingga di pinggiran. Tak ada, tak ada satupun yang perlu tenaganya. Norma merasa keahliannya dalam merawat pakaian sudah sangat handal hingga bidang yang terus saja ada dalam benaknya hanya dunia cuci-mencuci pakaian. 
    Sepanjang pencarian pun, tak lupa Norma berdoa dan menyebut nama Tugi berkali-kali agar anaknya itu jangan sampai putus kuliah. Hatinya sakit menyadari ketidakmampuannya. Tetapi ia tak lagi sanggup menangis, tenaganya habis. Ia pulang dengan usaha yang belum ada hasilnya. 

*** 

    Tugi kesal, fokusnya belajar selalu buyar setiap kali ingat kewajiban membayar yang sudah lalai ia lakukan. Pekerjaan paruh waktunya sebagai kasir di salah satu apotek tidak banyak membantu. Pembayaran dengan nominal yang tidak sedikit itu sudah menyita keseluruhan kepalanya. Sebagai seorang anak, Tugi benci akan paksaan kedua orang tuanya untuk menjadi dokter, tetapi dengan sokongan dana yang selalu bermasalah. Satu hal yang selalu terbersit dalam benaknya, berhenti kuliah.
    Sore itu selepas mata kuliah Endokrin usai, Tugi langsung mengajak Levi kekasihnya bertemu. Sepanjang perjalanan menuju apotek, Tugi dan Levi berbincang banyak melalui telepon lalu memutuskan bertemu selepas tugasnya usai. Banyak hal yang ingin Tugi tumpahkan kepada gadis itu, ia mengatur setiap poin-poin penting yang ingin ia bahas, ia runut setiap cerita dalam imajinasinya, ia pilih diksi terbaik, ia bayangkan Levi dengan mudah mengerti dan menerima setiap keputusan beserta alasan yang ia utarakan, lalu satu masalah dalam kehidupan rumitnya akan berakhir. 
    Perempuan dengan rambut cokelat tergerai turun dari sedan tua yang terlihat masih terawat dengan baik. Parasnya masih sama, cantik dengan kulit sawo matang dan bentuk tubuh yang tinggi semampai. Semua selalu tampak sempurna di mata Tugi, sekalipun tas jinjing berwarna kuning terang berbahan kain blacu bergambar Scooby-Do itu kontras dengan penampilannya yang elegan. 
    "Ngopi dimana?" Teriak Levi yang langsung membawa aroma lyly yang menyengat setiap kali ia bergerak, tubuhnya yang lincah bersemangat memasuki apotek serta-merta membunuh seluruh aroma obat khas ruangan itu. Tugi tersenyum menyambut gadis yang dalam hitungan menit mungkin saja tidak akan seceria ini. Berpamitan dengan karyawan apotek lainnya, Tugi menggandeng Levi keluar.
    Tidak perlu banyak basa-basi, setiap kata yang Tugi siapkan akhirnya mulai terlontar satu demi satu. Ia dengan penuh keyakinan menyampaikan karena ini adalah satu-satunya pilihan. Asyik berbicara, larut dalam fokusnya, hingga Tugi lupa kemungkinan lain, kemungkinan bahwa bisa saja Levi tidak menerima. Tujuh menit setelah obrolan itu dimulai tampaklah Levi menangis, penuh isak, namun tanpa suara. Perempuan yang usianya 5 tahun lebih tua dibanding Tugi itu akhirnya tampak rapuh. Putus, bukan kata yang pernah ada dalam kamusnya. 
    "Maaf vi, tapi kita harus." Tugi tak tega, namun ia tak berani terlalu larut berempati pada perasaan Levi, lebih tepatnya ia takut menjadi bimbang kembali.
    "Iya nggak apa-apa." Sambil menahan isak, Levi hanya mengangguk dan menjawab demikian.
    "Aku nggak akan tanya lebih jauh alasannya, tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran silakan balik." Wajah gadis itu merah padam, maskara yang luntur semakin membuat wajahnya tampak kacau, ia menahan semua kata-kata yang ingin keluar dari mulutnya dan berdiri.
    "Oh iya, aku ada janji sama papa habis maghrib. Aku duluan ya." Terakhir kali sebelum menjauh, Levi tersenyum berpura-pura tegar. Anehnya, Tugi membenci itu. Penerimaan dari Levi justru menyisakan hal lain dalam hatinya. Ia sadar, ternyata bukan hanya Levi yang terluka dengan perpisahan ini. Tetapi, ia pun sama. Namun, dalam sekejap Tugi kembali pada fokusnya. Keluarga dan kuliahnya lah yang saat ini lebih penting.

***

    Menimbang-nimbang ponsel di tangan, Chan ingin sekali menghubungi salah satu dari Norma ataupun Tugi. Ia ingin berbasa-basi mengulur waktu, berharap dalam waktu dekat ada harapan, sekaligus membesarkan hati istri dan anaknya itu. Namun, kalimat yang tepat untuk mengawali bincang itu tak pernah bisa ia pikirkan. Chan teramat buntu, hilang akal, seolah mereka bertiga sedang dalam perang dingin yang sulit untuk dihangatkan kembali. Di siang bolong, Chan menghayal memiliki banyak uang.
    Chan akhirnya bersandar pada tiang mushola, kakinya bergerak-gerak pertanda gelisah, matanya berlarian di sekitar langit-langit, pikirannya jauh menerawang pada keluarganya. Disanalah, tiba-tiba Kalbi muncul. 
    "Negara sudah ada yang urus pak, santai saja." Kalbi memberi sekaleng soft drink pada Chan.
    "Dimana ya nyari sampingan yang banyak hasilnya?" Chan bertanya dengan intonasi datar.
    "Lagi BU apa?"
    "Iya."
    "Ikut saya mau?"
    "Kemana?"
    "Ya kerja sampingan."
    "Dimana?"
    "Pokoknya ada lah."
    "Hasilnya?"
    "10 X lipat gaji."
    "Nipu?"
    "Terserah mau percaya atau nggak."
    "Nggak ah."
    "Lihat dong, saya sudah bisa bangun rumah lagi tanpa bantuan bank."
    Mata Chan tiba-tiba menyala.
    "Tapi syaratnya harus bisa simpan rahasia dan siap kalau sewaktu-waktu resign." Chan menegakkan posisi duduknya.
    "Apa itu?" Ia antusias.


To be continue...

L.M.

Rabu, 21 April 2021

#SingleOnSite - Episode 10 Overrated

    Tak sabar, gadis itu mulai berselancar di setiap folder dalam diska lepas yang diberikan Jendra. Tirai jendela ia buka dengan setengah tenaga kaki, dan posisi jemarinya sudah lincah menelanjangi setiap materi yang nyaris tak ia mengerti. Sekar menggaruk-garuk kepala, mengacak-acak rambut, gelisah memutar badan ke kiri dan ke kanan, otaknya berlarian namun tak mampu menemukan tujuan, ia frustasi.
    Beranjak ke kamar mandi, menyikat gigi, membasuh wajah, mengoleskan sedikit pelembab bibir, lalu menyemprotkan body mist vanilla andalannya, Sekar dengan percaya diri keluar kamar. 
    "Mau kemana?" Jube yang masih duduk di lobby langsung menjagal pergerakan Sekar.
    "Ke gedung sebelah."
    "Ngapain?"
    "Datengin Jendra."
    "Ikut."
    "Ngapain ikut?"
    "Pengen aja."
    "Oh." Sekar tidak keberatan, pun tidak jua mengiyakan, gadis itu hanya berlalu tanpa peduli permintaan Jube. Namun Jube tak ambil pusing, ia tetap mengekori Sekar.
    Dari balik pintu, Acay muncul.
    "Kenapa?" Hanya itu yang keluar dari mulut Acay secara spontan, Sekar menunjuk dengan mulut ke arah kepala berambut lebat di belakang Acay, Jendra sudah siap di sana. Acay menggeser posisinya, lalu mundur teratur dan membiarkan Jendra menghadapi gadis itu. Mereka berbincang dengan suara yang bahkan sulit didengar oleh seekor semut, kecil sekali. Berkali-kali Jendra menoleh ke arah Acay yang duduk di kasurnya, lalu melanjutkan obrolannya dengan Sekar yang seolah-olah adalah rahasia. 
    "Bang*at" batin Acay, siapapun akan merasa sedang menjadi bahan gunjing jika melihat tindak-tanduk dua orang yang berdiri di depan pintu itu.
    Melihat keadaan itu, Jube urung lanjut mengekori Sekar. Ia berhenti tepat sebelum melewati koridor kamar Jendra. Ia tak mendekat, namun menguping. Suara samar-samar yang mengunjungi telinganya semaksimal mungkin ia perangkap dalam memori, ia terdorong rasa penasaran yang entah mengapa.
    Hampir melewati menit kelima belas, barulah Sekar beranjak dari depan pintu itu. Ia kembalikan diska lepas yang diberikan Jendra, melangkah dengan penuh percaya diri meninggalkan lelaki itu.
    Jube berpura-pura fokus pada ponselnya, matanya menatap layar tanpa berkedip, namun pikirannya sedang berkutat pada rencana Sekar dan Jendra yang ia dengar samar-samar.

***

    Tiba di kamar, seharusnya Sekar langsung bersiap. Beberapa saat lagi Jendra sudah tentu akan menggedor pintu atau memberi kode via telpon. Namun, Sekar masih mondar-mandir dengan menggigit jari sembari tampak berpikir keras. Hingga 10 menit kemudian.
    "HP kutinggal ya be, tolong kalau Hanur telpon bilang aku tidur atau cari alasan lain yang lebih masuk akal." Sekar langsung menyerahkan ponselnya dan bergegas bersiap. Keganjilan yang dirasakan Jube ialah saat Sekar sudah keluar dari kamar mandi dan mengenakan seragam kerja lengkap lalu pamit keluar kamar dengan terburu-buru. Kepala Jube dipenuhi teka-teki.
    Langsung berlari menuju tempat parkir, bersembunyi di sela-sela deretan mobil yang terparkir agar tak terlihat, Sekar mengintip kalau-kalau ada seseorang yang ia takuti akan lewat. Lama gadis itu bertingkah seperti mata-mata, namun yang ditunggu tak kunjung tiba. 
    "Kunci mobil?"
    "Di laci."
    "Nggak ada."
    "Di meja."
    "Nggak ada juga."
    "Di kamar Taji kali."
    "Cay."
    "Yang pake terakhir kan kamu." Acay tampak lebih serius.
    Kunci mobil belum ditemukan, tetapi waktu tak bisa menunggu. Jendra langsung menuju kantin menemui Latif, koki sekaligus juru beragam kunci serep. Dengan sedikit bahasa manis, lelaki kemayu di depannya itu sigap menyodorkan apa yang Jendra mau. Tentunya dengan iming-iming hadiah kecil. Jendra meninggalkan Latif yang tak lupa melambai-lambaikan tangan manja ke arahnya. 
    "Ampuni dosa hamba Tuhan." Jendra bergidik.
    Lampu dim yang menyala sekaligus suara kunci pintu mobil terbuka mengagetkan Sekar. Ia sekonyong-konyong masuk ke dalam mobil tanpa aba-aba.
    "Takut sama siapa sih?"
    "Hushhh."
    Jendra hanya tersenyum lalu melajukan kemudinya setelah membunyikan klakson dua kali.

***

    "Jangan nekat kalau ragu-ragu." Obrolan canggung itu dimulai Jendra dengan terpaksa, ia turut resah melihat perempuan disampingnya sibuk menggoyang-goyangkan kaki, menggigit-gigit kuku, melarikan pandangan ke depan dan ke kiri, otaknya jelas sekali tidak berada di mobil ini.
    "Apa kita balik aja?" Jendra mendadak menginjak rem.
    "Eee jangan-jangan."
    "Mikirin apa sih?"
    "Pak Beno overrated nggak sih ke aku? Kok aku ngerasa dia terlalu berharap banyak ya."
    "Gila ya, overthinking tengah hari bolong."
    "Nggak dosa kan ya?"
    "Kamu mau tahu isi otak Pak Beno?"
    "Gimana caranya?"
    Ditemani suara sayup-sayup merdu dokter Marygold dari radio, mobil itu melaju kencang.

***

    Keberatan? Cemburu? Risih? Acay mencari-cari kata yang tepat untuk mewakili apa yang ia rasakan sekarang. "Dasar player, siapa aja asal cewek pasti diembat." Merutuk dalam hati, kesal bukan main, dan anehnya itu muncul begitu saja untuk lelaki yang sudah ia kenal cukup lama, dan untuk perempuan yang secara keseluruhan bahkan hanya ia tahu namanya. Jendra dan Sekar, dua orang yang mengacaukan hari liburnya.
    Tak lama perasaan itu menempel dalam dadanya, ia buang seketika. Kesadaran akan rasa ilfil pada perempuan itu ia tumbuhkan kembali pelan-pelan. Mengingat bagaimana Sekar bertingkah sok cantik, mengingat bagaimana perempuan itu tergesa-gesa mengejar bus, mengingat bagaimana posisinya akan digantikan, mengingat bagaimana Sekar menangis, mengingat bagaimana Sekar menjadi sasaran empuk mulut manis Jendra membuat Acay berhasil mengembangkan perasaan "ogah banget" dengan Sekar. Ya, berhasil walau sepertinya tidaklah sepenuhnya.

***

    Di kamar berbeda, Jube banyak berpikir. Ia sukar membuang perasaan curiganya pada kawannya itu. "Diam-diam apa dia mulai bergerilya sama beberapa orang? Hanur, siapa lagi ini? Dan kenapa dia harus takut?" Batin Jube yang menimbang-nimbang ponsel Sekar di tangannya.
    Jube pun menyelami berbagai kemungkinan-kemungkinan yang membuat otaknya penuh. Ia kesal sendiri ketika berpikir bahwa Sekar kini lebih tertutup kepadanya. Pergerakan yang sulit ditebak, sikap tenang yang justru membuat Jube sebagai sahabatnya geram bukan kepalang.

***

    Bukannya ke Tambang, Jendra justru menghentikan mobilnya di Main Office. Lalu ia pun tak menuju kubikal tempat ia biasa bekerja ketika mengunjungi Main Office, namun justru menarik Sekar untuk ke ruangan Pak Beno. Kunci ruangan yang memang dengan sengaja diberikan Pak Beno pada Jendra sebagai orang kepercayaan, kali ini disalahgunakan. Bukan kali ini, lebih tepatnya seringkali.
    "Mau ngapain sih?" Sekar belum jauh dari perasaan gelisahnya.
    "Sini." Jendra menarik Sekar untuk duduk di depan layar komputer Pak Beno. Pak Beno memang dikenal unik, dia selalu keberatan jika harus bekerja menggunakan laptop, karena itulah ia masih nyaman menggunakan PC jadul yang ketika dipasangi teknologi terkini sudah pasti keok. Namun, kejadulan inilah yang membuat Jendra dengan mudah mengakses isi kepala Pak Beno.
    Surel-surel rahasia perusahaan hingga surel pribadi, jadwal promosi, syarat promosi, soal-soal test promosi, syarat khusus naik jabatan, tagihan telpon, tagihan kartu kredit, tunggakan cicilan rumah, file-file rahasia, hingga isi pesan whatsapp yang selalu aktif di whatsapp web mudah sekali Jendra dapatkan. Bahkan nilai gaji Pak Beno beserta bonusnya Jendra sudah hapal di luar kepala.
    "Dasar kriminal." Sekar langsung beranjak hendak menjauhi kursi setan itu. Jendra mencegahnya.
    "Kita cari yang kamu mau tahu." Jendra langsung mengarahkan layar pada surel Pak Beno. Dalam kolom pencarian ia menulis nama Dewi Sekar Taji. Langsung muncul beberapa hasil yang isinya membuat Sekar melongo.
    "Taji akan berkembang di sini, dan alasan Mbak Ghea kurang masuk akal buat saya." Beno Silangit - Geology Dept. Head.
    "Jika penggantinya adalah orang buangan, saya rasa anda yang kurang bijak." Ghea Rantung - Finance Dept. Head.
    "Kalau Mbak Ghea menolak Mas Aksar, maka Mbak Taji akan kami pindahkan ke tim geology tanpa pengganti." Al-Ayyubi - Human Capital Head Indonesia.
    Kali ini Jendra dan Sekar saling pandang, mereka berbagi telepati, memikirkan hal serupa, ketidaknyamanan, ketakutan Sekar akan harapan yang tinggi dari seorang Beno seolah menjadikannya ditukar cuma-cuma oleh Ghea. Ia bukan menggantikan Acay, dan itu adalah masalah.


To be continue...

L.M.

Rabu, 17 Februari 2021

#SingleOnSite - Episode 9 Ajar (2)

    Jika mencuri ilmu dari seseorang sulit dilakukan dengan adab, maka taktik berikutnya ialah dengan mendebat. Mungkin banyak orang-orang yang ringan berbagi ilmu, tetapi tak sedikit pula yang setengah hati membagikannya. Ya, seseorang ada yang ditakdirkan menjadi pelit, menyimpan segala bentuk hal yang ia tahu, dirawat untuk dirinya sendiri. Namun, bukan berarti sulit digali. Sepanjang malam Sekar berpikir panjang langkah-langkah yang harus ia hadapi hari ini. Ia sadar, tidak akan mudah menguasai semuanya dalam waktu singkat, apalagi jika menengok keadaan hubungannya dan Aksar yang tidak sebaik rekan pada umumnya. Sekar menyandarkan kepala, memejamkan mata, membiarkan pikirannya berlarian, liar, mencari-cari bahkan setengah memburu, hingga pikirannya lelah lalu tertidur.

***

    Pagi-pagi sekali di hari libur, bahkan cahaya yang masuk melalui ventilasi kamar belum mampu menerangi sempurna. Udara dingin menyerang kulit membangkitkan bulu kuduk hingga sedikit menimbulkan gigil. Keinginan untuk buang air kecil saja ditunda sebisanya, ia memilih memanjakan sekujur tubuhnya di balik selimut hangat dan berharap bisa terus bermalas-malasan hingga fajar benar-benar datang. Dari luar kamar di saat-saat itu sudah terdengar ketukkan pintu. Ia abaikan, namun si tamu tak kunjung tahu waktu. 
    "Astaga Jube, kepagian." Sekar menyeret selimut turun dari tempat tidur hingga ke depan pintu. Suara serak khas orang bangun tidur keluar dengan tegas, ia kesal dan menggerutu karena terpaksa membunuh mimpi yang ia lupa tentang apa. Saat membuka pintu Sekar langsung spontan ingin memaki si tamu. Namun saat hendak melakukannya Sekar terkejut karena yang tampak bukan perempuan yang terbiasa menenteng rantang makanan di tangannya, tetapi lelaki bertubuh tinggi tegap yang langsung membuat Sekar spontan menutupi wajahnya dengan selimut.
    Jendra menarik tangan Sekar dan menyeret gadis itu ke lobby gedung, Sekar kelimpungan mengatur selimut yang menyapu lantai. Wajahnya yang lusuh tak bisa ia peduli, Jendra teramat cepat seperti sedang mengejar sesuatu entah apa.
    "Apa sih? Gila ya ni orang." Melepaskan cengkeraman tangan Jendra di pergelangan kanannya, Sekar gusar karena kaget sekaligus menahan pening yang diakibatkan nyawanya belum terkumpul sempurna. Jendra lalu memberikan sebuah diska lepas dan sebuah buku catatan.
    "Ini beberapa bahan yang bisa kamu jadikan referensi belajar." Sekar masih sulit menghilangkan roman mukanya, ia tetap marah dan tak bisa maklum terhadap perilaku Jendra yang masih terlalu pagi mengetuk pintu kamar dan menyeretnya sesuka hati. Belum lagi kenyataan bahwa Jendra melihat penampilannya yang begitu kacau, semakin Sekar naik pitam. 
    "Nih ambil." Sekar ingin segera mengakhiri keadaan itu dengan meraih diska lepas dan buku yang Jendra berikan, namun ketika tangan Sekar sudah meraihnya, Jendra kembali menarik buku itu.
    "Tapi ada satu syarat." Jendra menyembunyikan benda-benda itu di balik punggungnya dan satu tangannya lagi mengangkat telunjuk seakan menegaskan ucapannya.
    "Ah sudahlah." Sekar berdiri dan ingin langsung kembali ke kamar. Namun Jendra tak tinggal diam.
    "Tunggu, dengerin dulu." Jendra berdiri menghadang gadis itu.
    "Kenalin sama cewek itu ya, plis." Jendra memohon.
    "Cewek yang mana?" Sekar linglung. 
    "Yang weekend biasa datang kesini."
    "Jube?"
    "Oh namanya Jube."
    "Udah pu..." Tiba-tiba Jube sudah ada di antara mereka dan membuat Sekar tidak melanjutkan kalimatnya. Masih dengan rantang makanan yang ada di tangannya, hari ini Jube tampak ayu dengam setelan ruffled top dan capri pants yang menampilkan bagian kaki Jube yang bentuknya indah. Jendra terperangah, matanya terbelalak, ia menyorot setiap jengkal bagian diri wanita di depannya yang teramat anggun itu. Terlebih saat Jube mulai menyapa, Jendra tak bisa menyembunyikan keinginannya selama ini untuk mengenal perempuan itu.
    "Jendra." Lelaki itu tanpa canggung mengulurkan tangan, Jube pun menyambut tanpa enggan.
    "Jubaidah." Rasanya ada perasaan lain yang dirasakan Jendra, panas, dingin, gemetar, semangat, lapar, senang, ingin ia jingkrak-jingkrak di saat itu juga namun tak mungkin. Pada kesempatan itu sigap Sekar merebut diska lepas juga buku catatan di tangan Jendra lalu melenggang ke kamar. Ia tinggalkan Jendra bersama Jube di lobby gedung dengan harapan Jendra akhirnya akan tahu kalau Jube sudah menikah dan mundur teratur. 


***

    Warsi, seseorang yang dijadikan jembatan penghubung menuju Acay. Fitri sudah seringkali bertingkah tidak tahu diri dan tanpa segan meminta tolong kepada Warsi untuk mencoba menghubungi Acay. Acay memang sempat memperkenalkan Fitri pada orang tuanya, dan sebagai ibu, Warsi tidak pernah keberatan dengan gadis pilihan anaknya, termasuk Fitri. Namun sikap baik Warsi justru beberapa hari terakhir disalahgunakan oleh Fitri dengan meminta terus-menerus agar ibunya mau membujuk Acay dan lelaki itu mau menghubungi Fitri segera, mengingat akhir-akhir ini pesan dan panggilannya selalu diabaikan. 
    "Nggak baik begitu le, angkatlah telponnya sebentar. Kalau mau pisah, ya pisah baik-baik." Acay pada akhirnya bosan dengan nasihat sang ibu terkait hal itu. Di sabtu pagi, tepat saat panggilan dari Fitri muncul pertama kali, Acay langsung mengangkatnya dan berniat menyampaikan keresahannya secara langsung pada gadis yang sudah ia anggap mantan itu.
    "Kenapa? Harus ya telpon terus-terusan nggak kenal jeda?"
    "Ya udah, ayo kita pisah." 
    Acay bingung, bukankah itu yang sudah ia lakukan beberapa hari terakhir? Mengganggap hubungan ini sudah bubar. Tapi mengapa seolah-olah Fitri belum sadar itu?
    "Maksudnya?" Acay kebingungan dengan maksud Fitri.
    "Siapa kamu yang berhak memutuskan kita pisah atau nggak? Siapa kamu yang berhak datang terus pergi tanpa pemberitahuan? Siapa kamu?" Fitri tiba-tiba histeris, lagi-lagi drama, Acay muak.
    "Ya sudah sekarang beres kan?" Acay mengikuti saja kemauan gadis itu.
    "Terserah kalau kamu yang mau bilang putus duluan." Acay emosi, ternyata beberapa hari diteror oleh panggilan gadis ini hanya untuk menyampaikan hal tidak masuk akal yang membuatnya teramat kesal.
    "Sekarang apalagi? Sudah?" Acay berteriak, Fitri hanya menangis. Bahkan belum ada satu titik air pun yang masuk ke dalam tenggorokkan Acay, belum sebutir nasi pun yang ia makan, tapi ia harus menguras tenaga untuk hal seremeh ini. Dan akhirnya panggilan itu terputus, sepertinya Fitri yang mengakhirinya. Acay tak apa, dia tak merasa menyesal sedikitpun bahkan cenderung lega.
    Acay merebahkan diri di kamar, ia ragu-ragu ingin beranjak menuju kamar mandi, kepalanya diisi hal-hal menggelisahkan yang ia sendiri tak tahu-menahu apa itu. Di sela lamunnya, Jendra masuk kamar setengah berlari. Kawannya itu menghempaskan tubuhnya sendiri di atas kasur, dan bersorak-sorak tak kenal ampun. Senyum-senyum sambil berbaring, menendang-nendang selimut, lalu kembali berjingkrak-jingkrak, Acay risih.
    "Woy gila ya?" Teriak Acay, Jendra tak menggubris.
    "Begini nih kalau kecilnya kebanyakan diayun." Acay melemparkan sebuah guling pada Jendra, dan mengenai wajahnya.
    "Thank you Taji, memang dah Taji cewek terbaik, pol baiknya. Terima kasih Tuhan." Usai mengatakan itu, Jendra kembali berjingkrak-jingkrak hingga bergoyang kegirangan. Acay memilih keluar kamar.
    Entah mengapa mendengar nama Taji atau Sekar Taji atau Dewi Sekar Taji, tidak lagi terasa biasa bagi Acay. Ada semangat lain yang muncul di diri lelaki bernama lengkap Aksar Vimana bin Hutama itu. Jika bisa mengekspresikan, mungkin polah-tingkah Jendra tadi sudah tentu terkalahkan. Acay, sungguh ingin mengenal gadis itu lebih jauh lagi. Dan, jalan dari semua itu sudah bisa tersamar, melalui kata "Ajar". 



To be continue...

L.M

Jumat, 12 Februari 2021

#SingleOnSite - Episode 8 Ajar

    Suara printer, hentakkan stempel, bunyi-bunyian telpon yang saling bersautan dari satu meja ke meja lainnya membuat kepala Sekar pening. Dengan berat hati ia membawa sebuah notebook, pena, dan botol minum berukuran 500 ml. Melangkah ragu-ragu menuju Aksar Vimana, orang yang akan ia gantikan posisinya.
    "Saya duduk dimana?"
    "Tuh." Acay menunjuk menggunakan mulut, tak sesenti pun lelaki itu melihat Sekar. Sekar patuh, duduk di salah satu kursi kosong. Acay menjelaskan beberapa hal, lalu menguji daya tangkap Sekar. Dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang menuntut ingatan dan hafalan.
    "Jadi sudah tahu garis besarnya?" Jleb, Sekar menelan ludah. Bahkan selama Acay menjelaskan tak satu kalimat pun masuk ke otaknya. Acay seperti mendongeng yang membuat pendengarnya mengantuk.
    "Aku ulang ya, kalau masih nggak tahu jangan mimpi bisa gantiin aku." Sekar kini menarik nafas panjang, ia ingin mengelus dada namun tak punya kesempatan. Panjang lebar Acay menjelaskan dan di tengah-tengah ocehannya, Sekar menginterupsi.
    "Aku nggak perlu latar belakang, gambaran besar, dan lain-lain. Semua bisa aku cari tahu sendiri. Kasih aku system, ajarin caranya, biar bisa langsung praktik." Mendengar protes dari Sekar, Acay terpaksa menjeda penjelasannya. Wajahnya tampak tak senang, ia gondok. Lama ia diam, menatap lurus layar monitor, mengumpulkan kata-kata yang pas untuk melayangkan omelan pada murid dadakannya itu.
    "Kalau niat belajar, tolong isi kepalanya dikosongin dulu." Suaranya lirih, pandangannya tak bergeser sedikit pun. Masih lurus menatap layar dengan kosong. 
    "Kalau mau mengajar, tolong metodenya dipelajari dulu." Sekar tak mau kalah, persis seperti murid sok pintar yang kurang ajar. Jika ini adalah sekolah, mungkin mengeluarkannya dari kelas adalah tindakan wajar.
    "Kalau nggak suka caraku mengajar, silakan minta pengganti." Acay menolehkan wajahnya ke arah Sekar, matanya memicing, suaranya ia buat tegas.
    "Atau silakan mundur." Desiran semangat menjalari tubuh Acay kala mengucapkan itu, ia merasakan ada percikan bahagia yang tiba-tiba membuatnya betah berlama-lama mendebat perempuan di sampingnya.
    "Ya sudah cepat jelasin, jangan bertele-tele." Kini Sekar yang menyerah, segala bentuk protesnya luluh oleh kegarangan Acay yang terlihat tiba-tiba. Ia bertingkah merajuk, namun tetap menuruti cara Acay mengajar. 
    Saat Acay fokus menjelaskan dan Sekar sibuk menelaah sembari mencatat, Jendra datang.
    "Del, sini dah." Jendra memanggil Birdel yang tengah berada di mesin fotokopi. Birdel langsung menghampirinya.
    "Kenalin, cewekku." Dengan percaya diri Jendra memegang pundak Sekar.
    "Serius Mbak Taji? Nggak salah?" Birdel tampak kaget, ia mengingat kebiasaan Taji yang terbiasa bersama siapapun silih berganti, kini justru bersama Jendra, lelaki bujangan yang di mata Birdel nggak banget. Sekar spontan melepaskan telapak tangan Jendra dari pundaknya, namun Jendra terus mempertahankannya. Sengaja lelaki itu berbicara keras dan berulang-ulang, berharap seisi ruangan mendengar dan berita segera melebar. Trik muraha ala Jendra agar lepas dari berita yang lama.

***

    Jumat malam, malam-malam menjelang hari libur. Sekar mempersiapkan amunisi untuk ia habiskan di hari esok. Kali ini bukan film, serial drama, atau buku. Sekar mempersiapkan kertas-kertas hasil cetakannya sore hari tadi, untuk dipelajari besok. Ia kali ini bertekad tak ingin tampak bodoh di depan Pak Beno, apalagi Acay. Panggilan telpon terus berdering, Sekar berpura-pura tidak mendengarnya walaupun itu sangat mengganggu. Saat semua yang ia butuhkan untuk belajar besok sudah benar-benar siap di atas meja, barulah Sekar meraih ponselnya.
    "Ngapain?" Dari balik telpon suara berat dari seorang lelaki yang beberapa minggu terakhir dekat dengan Sekar terdengar. Lelaki ini bernama Hanur, berusia 5 tahun lebih muda dari Sekar dan merupakan korban baru. Lelaki yang entah kapan akan sadar nasibnya kelak hanya akan menjadi sekedar lewat dalam kehidupan Sekar. Mungkin malam ini hanya permulaan.
    "Gimana tadi di kantor?" Pertanyaan pancingan dari Hanur yang berharap Sekar akan menceritakan suatu hal, namun jawaban Sekar tak sesuai dengan apa yang ingin ia dengar.
    "Nggak ada. Kayak biasanya lah." 
    "Nggak lagi ngerjain kerjaan baru?" 
    "Oh iya, baru proses belajar." 
    "Siapa yang ngajarin?"
    "Ada, surveyor." 
    "Namanya?"
    "Kamu nggak kenal juga." Mendengar itu Hanur mulai agak menggerutu. 
    "Mas Aksar? Mas Jendra?"
    "Iya." Jawaban Sekar dingin.
    "Iya apa?"
    "Ya mereka yang ngajarin. Eh, kamu coba deh lihat postingan terbarunya Rupi Kaur." Sekar mengalihkan pembicaraan, Hanur kesal. Bahkan cerita yang ia dengar tentang Sekar hari ini amat mengganggu kepalanya. Belum lagi peringatan Sekar untuk selalu memastikan tak ada yang mengetahui hubungan mereka, makinlah Hanur dibuatnya tidak karuan.
    "Ya sudah aku tidur duluan ya." Hanur mengakhiri panggilan. Ia ingin menunjukkan rasa kesalnya, namun tak punya cara. Ia ingin bersikap tak tahu apa-apa, namun pikiran kacau dibuatnya. 

***

    "Yakin ikhlas dipindah?" Di taman samping gedung, sembari menyelesaikan hisapan sebatang rokok dan segelas kopi, Jendra mulai ingin tahu pemikiran Acay. Ia menyadari, tidak mudah bagi Acay yang sudah terlalu nyaman di posisi itu, tiba-tiba harus menghadapi tantangan baru. Sangat tidak mudah. Namun, Acay tak pernah mengeluhkan itu, diamnya Acay yang justru membuat Jendra khawatir.
    "Mau nggak mau."
    "Kalau gitu ajarin Taji yang bener." Mendengar itu Acay justru tertawa.
    "Paling kurang dari sebulan dia sudah bisa."
    "Jangan menyepelekan gitu lah."
    "Beneran Jend, pasti bisa cewek itu."
    "Tadi kok dia kayaknya putus asa gitu?"
    "Metode mengajar ala Aksar Vimana memang gitu. Ingat Jend, ibu aku novelist yang literasinya jangan ditanya lagi. Masalah ajar-mengajar buat aku dia adalah panutan. Dan ilmunya dia sedikit-sedikit nyantol lah di aku." Acay congkak, Jendra sangsi. Jendra hanya mengingat sikap Acay yang selama ini ia kenal. Dingin, kaku, sulit bergaul, dan cenderung merendahkan lawan bicaranya tanpa ia sadari. Jendra khawatir transisi ini membuat pola kehidupan kawannya itu menjadi berantakan.
    "Kalau menghadapi Taji, bisa nggak sedikit aja ego diturunin?"
    "Segitu khawatirnya ya sama itu orang?"
    "Bukan khawatir sama dia, tapi sama kamu." Jendra sedikit keras kali ini.
    "Cay, berubah dong."
    "Jend, berhenti dong pengen merubah orang lain. Aku bukan Desti." Acay tak sengaja kembali menyebut nama gadis itu. Padahal jika menengok pada sejarah, Jendra benci jika harus diungkit-ungkit perihal Desti.
    Desti dan Jendra masuk ke perusahaan itu bersamaan melalui salah satu program. Keakraban mereka karena ditempatkan bersamaan dari satu tambang ke tambang lain terus bertambah. Hingga akhirnya Desti ditempatkan di bagian keuangan, sedang Jendra di bagian produksi. Kebersamaan itulah yang membuat keduanya salah paham dengan perasaan masing-masing. Jendra yang baik kepada semua perempuan akhirnya dengan tanpa sengaja membuat Desti GR, sedang Desti yang akhirnya memberanikan diri menunjukkan perasaan pada akhirnya membuat Jendra risih. Hingga keadaan menjadi memanas saat keduanya terlibat cek-cok dan berlanjut terus menerus kesalahpahaman. Sampai urusan desas-desus tentang Jendra, yang selalu membuat Desti harus dikait-kaitkan. Jadilah, hampir semua kekasih hingga mantan kekasih Jendra membenci Desti, pun sebaliknya.
    Mendengar ucapan Acay, Jendra langsung menyerang kepala Acay dengan jitakkan.
    "Bahas dia lagi, selesai kau." Marahnya Jendra dengan dialek batak kentalnya.

To be continue...

L.M.

Rabu, 10 Februari 2021

#SingleOnSite - Episode 7 Ghibah

    Waktu terbaik untuk mencari kebenaran sebuah desas-desus ialah saat makan siang. Semua orang berkumpul sesuai dengan sendok masing-masing. Para pemilik sendok plastik cukup puas hanya dengan membahas hal-hal sesederhana dunia sepak bola dan game atau mungkin gosip-gosip pesohor. Sedang golongan pemilik sendok emas sibuk membahas saham dan investasi bernilai milyaran. Tak jarang, si pemilik sendok plastik harus menepi saat kotak makan siang belum habis. Apalagi jika terlanjur terhimpit, di tengah-tengah bahasa langit ala orang-orang yang seperti berduit. Namun, yang paling meresahkan bukan kedua golongan itu, melainkan kumpulan para pemilik sendok besi yang gemar mengunyah bangkai saudaranya sendiri. 
    Jendra masih menjadi topik utama bahkan setelah beberapa hari lamanya. Orang lain tak peduli tentang kebenaran, melainkan mereka hanya percaya dengan apa yang ingin mereka percaya. Dalam kasus Jendra dan Birdel misalnya, hampir semua percaya bahwa itu adalah benar. Dan salah satu cara membunuh sebuah berita bohong, bisa jadi dengan tambahan berita bohong yang lain.
    Memisahkan diri dari orang-orang ketika makan siang ialah kebiasaan Sekar. Perempuan ini cenderung lebih nyaman menghadapi nasi kotak dengan khidmat tanpa diinterupsi bisikan-bisikan jahat. Cerita demi cerita saling bersautan, berlomba membongkar aib siapa yang paling besar, lalu menertawakannya. Di meja paling ujung, Sekar hanya bisa mendengar aneka ria gunjing itu dengan samar, setidaknya  makanan itu masih bisa ia kunyah hingga Jendra muncul di depannya.
    "Hai." Air muka Sekar berubah seketika, nafsu makannya hilang tatkala harus melihat senyum lebar lelaki di depannya yang langsung duduk seolah tanpa dosa.
    "Sendirian terus, kutemenin ya." Setelah Jendra duduk, Sekar terburu-buru menyelesaikan makannya. Perempuan itu ingin segera enyah dari sana, apalagi setelah ia sadar bisikan samar-samar yang sedari tadi ia dengar kini berganti dengan tatapan sinis ke arahnya.
    "Takut jadi bahan?" Jendra paham gelagat itu, Sekar menggeleng.
    "Setidaknya lebih manusiawi kalau perempuan itu kamu." Tatapan percaya diri ala Jendra yang selalu mengganggu perempuan-perempuan di kantor itu memang memancing Sekar untuk mengumpat. 
    "Plis duduk dulu, sampai admin lambe-lambe itu bikin berita baru."
    "Benefitnya buat aku?"
    "Kumentorin deh."
    "Deal." Tanpa pikir panjang Sekar sepakat dengan tawaran itu. Baginya, ia lebih nyaman bertanya maupun belajar dari Jendra dibanding harus memulai obrolan dengan Aksar Vimana alias Acay.

***

    "Dasar perek, punya mulut itu dijaga ya." Birdel melemparkan bungkusan plastik kecil sambal yang terbuka ikatannya. Dilemparkannya benda itu pada Desti dan hampir mengenai wajahnya.
    "Situ yang perlu jaga sikap bangke. Ibu-ibu nggak tahu diri." Desti tak mau kalah.
    Birdel hendak melemparkan kotak nasi yang isinya hanya tersisa tulang-belulang namun dicegah langsung oleh beberapa orang yang berdiri di dekatnya.
    Adu mulut sengit ala perempuan itu menguasai kantin, mereka akhirnya berhenti ketika Pak Gemi, kepala cabang lewat menuju mushola hendak melaksanakan ibadah sholat dzuhur. Orang-orang di sekitar langsung berupaya menyamarkan suasana sengit itu, karena jika ketahuan berkelahi, tidak menutup kemungkinan PHK menanti.
    Sekar dan Jendra menyeret Desti menuju ruangan kosong di sudut kantin. Niat Sekar ialah ingin menenangkan gadis itu, namun lain dengan Jendra. Jendra justru ingin memberi pelajaran pada Desti.
    "Berubah dong des."
    "Berubah apa? Kamu mau fitnah lagi? Iya?" Mata Desti melotot, wajahnya merah padam menahan amarah.
    "Sudahlah, berhenti sok nggak bersalah."
    "Kamu yang harusnya berhenti sok tahu."
    Sekar bingung menyaksikan ketengangan kedua orang ini, ia tak paham apa yang tengah diperdebatkan. Dan belum sempat ia mencari tahu lebih jauh, Desti keluar ruangan lalu membanting pintu. 

***

    Lagi-lagi, Chaniago harus menjadi bulan-bulanan. Memang, menjadi menyebalkan mungkin adalah satu-satunya bakat lelaki tua itu, tetapi haruskah selalu menunjukkannya dan membuat publik tahu? 
    Melemparkan sebuah issue sosial di forum whatsapp grup, menyebut dan menandai beberapa kontak, lalu memancing debat. Satu dua orang menanggapi itu dengan santai, beberapa lagi menanggapi dengan serius, dan sebenarnya lebih banyak orang yang tidak peduli. Namun, karena yang menanggapi dengan serius ini lebih banyak yang berisik, pada akhirnya mayoritas orang yang tak peduli pun mulai terganggu.
    "Cukup pak." Pak Gemi harus turun tangan mendinginkan suasana. Pak Chan merajuk. Dan jalan ninja lelaki satu ini ialah mencari-cari kesalahan lawan debatnya yang baru, atau tanpa berpikir panjang keluar dari grup. Sekar sebagai admin grup sudah terlalu hapal dengan kebiasaan ini. Setelah Pak Chan keluar, suasana bukannya mereda, tetapi justru semakin memanas karena penghuni grup lainnya bisa menjelekkan Pak Chan dengan lebih bebas.
    "Jangan ditambahkan lagi mba @DewiSekarTaji." Tidak sedikit yang meminta itu, karena Pak Chan hanya dianggap pembuat onar dan pemancing gaduh. 
    Sekar keluar dari ruangan, mendinginkan kepala, belajar melalui SOP dan WIN saja memang belum cukup ampuh. Praktik dan bimbingan saat ini yang benar-benar ia perlukan. Namun, Jendra sepertinya tengah tidak berada di kantor. 
    "Mbak Taji, diminta ke ruangan Pak Beno." Seorang cleaning service menghampiri Sekar. Sekar pun bergegas menemui Pak Beno di ruangannya. Saat membuka pintu, sudah ada Aksar Vimana alias Acay di sana. 
    "Iya pak." Sekar gemetar.
    "Kamu belum ada belajar?" Pak Beno menatapnya serius.
    "Sudah pak sedikit-sedikit."
    "Ya jangan sedikit-sedikit." Pak Beno membentak.
    "Saya sudah minta Ghea untuk mengalihkan pekerjaan kamu ke orang lain supaya kamu fokus." Sekar tertunduk.
    "Aksar ngga ngajarin kamu?" Sekar melirik ke arah Acay, Acay tak bereaksi apapun.
    "Ngajarin pak." Sekar terbata.
    "Kapan? Kamu aja nggak pernah datang ke saya." Acay menyambar. Niat baik Sekar untuk membuat Aksar tampak baik justru jadi bumerang. Wajah Sekar memerah, haruskah di awal-awal ia harus berbeda suara.
    "Saya belajar ke Mas Jendra pak."
    "Jendra sudah terlalu sibuk, jangan diganggu urusan ini. Dan jangan berharap dia maksimal bantu kamu." 
    "Iya pak." Sekar mengangguk patuh.
    "Kamu nggak nyaman sama Aksar?"
    "Nyaman pak."
    "Bohong pak." Lagi-lagi Acay menjatuhkan Sekar.
    "Dia lebih nyaman sama Jendra lah pak, kan mantannya." Acay berkomentar asal.
    "Loh iya? Bener Taji?"
    "Nggak pak." Sekar mengelak tegas.
    "Ngaku aja, satu kantor juga tahu kalian sering video call tiap malam."
    Sial, Sekar ingin mengelak lagi  namun ia rasa percuma. Ketidaksukaannya pada Acay kini bertambah, tidak lagi hanya karena lelaki itu kaku, namun sikap menyebalkan lainnya yang ia rasakan hari itu.
    "Ya sudah, kapan mulai belajar?" Pak Beno memberikan pertanyaan terakhir.
    "Hari ini pak." Sekar menjawab pasti.
    "Aksar gimana?"
    "Tergantung dia aja, mau datang ke saya atau nggak." Aksar dengan arogansinya menjawab.
    "Kasih saya report weekly ya untuk progress belajarmu. Ekspektasi 8 minggu sudah harus menguasai semuanya." Setelah menutup pertemuan dengan kalimat itu Pak Beno mempersilakan keduanya keluar.



To be continue...

L.M.


Sabtu, 06 Februari 2021

#SingleOnSite - Episode 6 Gunjing

    Bias, hampir selalu terjadi pada cerita yang dibawa seseorang. Entah apakah murni kesalahan si pencerita ataukah pendengar yang kurang pandai mengartikannya. Namun boleh jadi, cerita yang selalu mengalami perubahan isi disengaja dari satu mulut ke mulut lainnnya lagi. Sayangnya, potensi bias yang tinggi itu didukung oleh cepatnya cerita itu merata. Jika harus diukur, mungkin hanya kecepatan cahaya yang bisa menandinginya.
    Di kantor sedang gaduh. Sekar yang baru turun dari Bus harus disuguhi udara sesak yang penuh dengan kalimat demi kalimat. Satu topik hangat sepertinya sedang ramai menjadi perbincangan, bahkan Sekar merasa tertolong karena surelnya kemarin tertutupi oleh berita lain.
    "Eh Taji, sini." Setengah berbisik Desti memanggil Sekar untuk mendekat. Di kerumunan itu sudah ada beberapa orang yang bersatu-padu membicarakan satu hal. 
    "Aku sih nggak heran, kan dia memang gitu."
    "Tapi ya masa sama punya orang sih."
    "Urat malunya sudah putus itu."
    "Ceweknya sih kalau menurutku yang nggak waras."
    "Sama aja dua-duanya."
    "Eh katanya malah ini sudah pertemuan ke sekian."
    "Jadi bukan pertama kali?"
    "Bukan, sudah sering."
    "Wah parah, nggak takut apa ya?"
    "Takut penyakit? Hahaha."
    Sekar masih belum paham siapa yang tengah menjadi bahan. Tak ada satu pun nama yang bisa ia tebak menjadi kandidat.
    "Dia juga pernah lo kepergok Pak Chan."
    "Hah dimana?" 
    "Eh siapa sih?" Sekar akhirnya menginterupsi dengan berharap agar dapat penjelasan.
    Desti berbisik di telinga Sekar. Kawan-kawan lain langsung menyambar dengan cerita versi mereka masing-masing. Berkali-kali Sekar mencerna cerita yang ada, ia gugup memikirkan satu hal, apa jangan-jangan itu adalah orang yang ia pikirkan? Namun, benaknya yang lain berkata bukan. Pertentangan antara intuisi dan logikanya terus mengganggu sepanjang hari, hingga ia lupa bahwa ada hal penting lain yang harus ia hadapi hari ini, Pak Beno.
    Cuaca cerah dan udara panas, penyejuk udara bekerja keras mendinginkan ruangan sekaligus kepala Sekar. 
    "Nggak usah tegang neng."
    "Boleh dianulir pak email kemarin?" Tangan Sekar bergetar, ia ragu-ragu pada dirinya sendiri.
    "Lo kenapa?" Pak Beno tak bisa menyembunyikan ekspresinya yang tengah tersenyum entah memikirkan apa.
    "Takut?" Sekar menggeleng.
    "Males?" Sekar lagi-lagi menggeleng.
    "Betah jadi clerk seumur hidup?" Sekar terdiam.
    "Setidaknya kamu harus pikirkan masa depanmu."
    "Saya khawatir nggak mampu pak." Sekar mengepalkan kedua tangannya, suaranya mengecil.
    "Gampang, kamu cuma perlu belajar sama ahlinya." Pak Beno lalu mempersilakan lelaki yang mengenakan tanda pengenal bertuliskan "Aksar Vimana" untuk masuk, lelaki yang sepertinya sudah beberapa waktu menunggu di luar. Ketika Acay masuk ke dalam ruangan dan mengambil kursi di sampingnya, Sekar hanya tertunduk, semakin ragu ia jika harus memiliki mentor sekaku Acay. Tetapi, sudah amat terlambat untuk menarik langkah.

***

    "Ciyee ciyee. Ada yang pindah divisi nih." Pak Kalbi menyambut Sekar yang baru saja tiba di deretan kubikal. Hampir semua tim dari bagian kuangan ada di sana, memberikan semangat pada Sekar dan tidak sedikit yang menyindir dengan kalimat-kalimat sarkas. Sekar merasa terganggu, namun bukankah seharusnya keadaan ini sudah ia timbang sejak kemarin? Sekar langsung menyambar potongan mangga muda, nanas, dan juga ramania yang ada di atas nampan. 
    Di sana juga ada Ghea, atasan Sekar yang bahkan tak bicara apapun. Perempuan termuda di divisi Sekar ini memang terus bersikap dingin dan jarang bicara. Dan di balik sikapnya itu, Ghea selalu berpikir dan melangkah jauh dibanding orang lain. Ia berusaha sebisa mungkin tampak biasa-biasa saja, walaupun kepalanya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan, apa dia bisa? Beratus-ratus kali Ghea berpikir bahwa Sekar akan sulit berada di bagian itu jika ia tidak membenahi diri terlebih dahulu. Rapor Sekar selama di divisi keuangan memang dianggap Ghea merah dan sebenarnya ini adalah kesempatan Ghea membuang anak buahnya itu. Namun, entah mengapa ia tidak senang saat Pak Beno memberi kabar ingin mengambil Sekar.
    "Mbak Taji, setelah ini ke ruangan saya ya." Wajah Ghea serius, Sekar menanggapinya jauh lebih serius. 
    "Iya mbak." Kawan-kawan yang lain terdiam, saling tatap, seolah memikirkan hal yang sama. 

***

    "Kamu udah gila ya? Apa lagi ini?" Acay menyodorkan sebuah obrolan di grup Whatsapp kepada Jendra. Jendra tertawa terbahak-bahak melihat isi obrolan tersebut. 
    "Parah ya pikiran orang-orang di sini. Tapi seru juga sih." Jendra memang terbiasa masuk ke dalam pusaran kabar burung, dan sejelek apapun namanya menjadi bahan pergunjingan, ia akan menghadapinya dengan santai.
    "Tapi ini bener?" Acay bertanya serius.
    "Jangan bilang kamu percaya juga." Jendra menjitak kepala dan mencengkeram leher Acay dengan kuat. Acay kewalahan dan tak berhasil meloloskan diri.
    "Iya iya, aku percaya kamu." Acay memukul-mukul lengan Jendra tanda menyerah."
    "Tapi kalaupun bener nggak apa-apa juga sih, doi cantik."
    "Dasar sinting." Acay melengos. Di saat yang sama setelah Acay berbalik, Birdel melintas di depannya. Perempuan itu melenggang menuju toilet, wajahnya tegak, seolah tak tahu apa-apa tentang gosip yang menimpanya.
    "Del, tunggu." Jendra pun dengan santai memanggil perempuan itu. Perempuan bersuami itulah yang santer dikabarkan tertangkap basah menghabiskan waktu dengan Jendra di luar jam kerja. Birdel menoleh, namun tak lama ia kembali membuang muka. Jendra tetap menghampiri ibu dari 3 anak itu. Tak terkira berapa pasang mata yang memperhatikan mereka dan hampir semuanya larut dalam prasangkanya masing-masing. Tak bisa dibayangkan pula bahan gunjing setelah kejadian ini tentunya akan bertambah. Acay kesal, sebagai kawan ia menyesali tingkah Jendra yang sulit sekali menahan diri dan menjaga sikap. 
    "Jend." Acay mencoba mengingatkan.
    "Ssttt, mau kasih asupan dulu ke tukang-tukang ghibah." Jendra berbisik.
    Birdel tampak menangkap maksud Jendra itu dan mencoba berimprovisasi dalam pertunjukkan dadakan yang disaksikan banyak pasang mata secara diam-diam.
    "Sayang, dari tadi kemana aja?" Birdel berbicara manja.
    "Aku kan kirim pesan tadi tapi nggak dibalas." Jendra berpura-pura kesal.
    "Maaf ya sayang, kerjaanku banyak." Birdel seolah menyesal.
    "Nggak apa-apa sayang." Lalu keduanya tertawa keras bersamaan. 
    "Pengen muntah aku Jend, siapa sih yang anjing banget bikin gosip murahan gitu?" Birdel kali ini sengaja menaikkan volume suaranya.
    "Biasalah, cewek yang naksir aku tapi nggak kesampaian." Jendra melirik ke sekeliling, berharap orang yang ia maksud ada di sana.
    "Makanya terima aja, daripada bikin pusing." Birdel pun sama, ia juga turut melirik ke sekeliling.
    "Mulutnya sampah sih, jadi aku nggak minat. Beda sama kamu, sudah cantik, baik, keibuan, sukses, pinter lagi." Jendra kali ini tampak berlebihan, Birdel bukannya senang malah justru risih mendengar pujian itu. Siapapun yang mendengarnya termasuk Acay pun mulai merasa mual dibuatnya.
    Beberapa orang di kubikal bangkit berdiri dan keluar ruangan, beberapa lagi memasang earphone, ada pula yang berpura-pura mengangkat telpon, selain merasa terganggu orang-orang itu juga ingin menunjukkan bahwa mereka tak tahu-menahu tentang gosip itu. Jendra dan Birdel kompak memberi pelajaran kepada seseorang, seseorang yang memiliki kemampuan mengubah cerita yang tak terkalahkan.


To be continue...

L.M>

Rabu, 27 Januari 2021

#SingleOnSite - Episode 5 Ambisi

    Acay bukanlah tipe lelaki yang akan menunjukkan ambisinya, ia bahkan cenderung tidak ingin menyimpan apalagi mewujudkan ambisi apapun itu. Tekadnya untuk hidup biasa-biasa saja adalah bulat, dan siapapun tak bisa melarang itu. Sayangnya, terkadang seorang lelaki tanpa ambisi hanyalah sebutir pasir di bukit batu, tak terlihat, nyaris tak berguna. Karena tak akan ada doa yang lebih banyak dan usaha yang lebih keras jika segala sesuatunya hanya ingin biasa-biasa saja. Dan begitulah bagaimana ia mulai mendapat masalah. Atasan Acay, Pak Beno, mulai dibuat pusing oleh kinerja Acay yang seolah tak terlihat ingin berbenah. Namun, Acay tak pernah gusar dengan tuntutan-tuntutan Pak Beno. Ia tetap dengan prinsipnya, ingin biasa-biasa saja, hingga kesempatan untuknya mendapat posisi yang lebih baik sudah harus terlewat beberapa kali. 
    Pak Beno sempat berpikir untuk memindahkan Acay ke bagian lain, namun niat itu ia urungkan. Karena jika Acay dipindahkan, sulit ia mendapatkan pengganti mengingat perusahaan sedang pengencangan ikat pinggang dan untuk sementara tak menerima karyawan. Dan ia juga pernah berniat menukar Acay dengan karyawan lain, namun tak ada satu pun divisi yang menerima lelaki ini, alasannya beragam, karena Acay terlalu kaku dalam berkomunikasi, terlalu santai dalam bekerja, terlalu sulit menyesuaikan diri, terlalu pemilih dalam urusan makanan, terlalu lugas dalam memberikan pendapat, dan terlalu-terlalu lainnya yang akan terdengar berlebihan untuk menggambarkan bagaimana sifat seorang manusia. Jadilah, Pak Beno lagi-lagi harus memutar otak.
    Sepanjang sejarah Acay bekerja, baru kali ini ia bekerja di hari sabtu. Ia berniat menyibukkan diri paska sulitnya ia tidur semalam. Menyusuri jalanan beraspal ditemani radio yang memperdengarkan suara merdu dari dokter Marygold idolanya tak lantas membuat Acay menjadi lupa akan masalahnya dengan Fitri, ia tetap kacau. 
    Sampai pagi ini Fitri masih menerornya dengan telpon dan pesan-pesan konyol dan tidak masuk akal. Jika memang kekasihnya itu hendak putus, tentu Acay tidak akan menahannya. Dan kalaupun perempuan itu ingin bertahan, Acay pun tak jua keberatan. Ia santai saja, walaupun perempuan benci diperlakukan demikian.
    Petugas keamanan yang sudah berjaga di pintu gerbang kantor memeriksa Acay sebelum masuk. Dan, Acay lupa menjalankan prosedur sebelum pengoperasian sarana. Selain mendapat teguran Acay juga mendapat sanksi pelubangan tanda pengenal yang memaksa Pak Beno sebagai atasannya akhirnya tahu kejadian ini. Semakin Pak Beno stres menghadapi Acay. Dan, disitulah Pak Beno akhirnya kekeuh ingin memindahkan Acay, bagaimana pun caranya.

***

    Pagi-pagi sekali di hari sabtu, Jube sudah tiba di depan kamar Sekar. Wanita itu membawa rantang besi berisi makanan yang pastinya sudah ditunggu-tunggu oleh Sekar. Sebenarnya perempuan itu ingin langsung masuk seperti biasa, namun ia bertahan cukup lama di depan pintu, entah menunggu apa. Jube terus menatap fokus lorong koridor, ia dengan sabar menunggu sesuatu. Bukankah satu-satunya tujuan ke tempat ini adalah Sekar? Mungkin saja bukan. Sekar yang hendak meletakkan pakaian kotor di depan kamar akhirnya menyadari kehadiran kawannya itu.
    "Kenapa nggak langsung masuk?" Jube panik, hilang ribuan alasan yang seharusnya ia persiapkan. Dengan terbata-bata wanita bersuami itu berhasil memberikan alasan namun payah. 
    "Nunggu kucing lewat." Setelah itu, Jube kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan fokus pada lorong koridor. Sekar sudah kembali masuk ke kamar seolah tidak curiga, namun benaknya berkata berbeda. Sempat dirasakan Sekar ada hal ganjil, namun tak terburu-buru ia mengambil kesimpulan. Ia lebih memilih membuka rantang yang dibawa Jube.
    "Aku pisah aja kali ya?" Ucapan spontan dari Jube yang langsung membuat kunyahan ayam laos di mulut Sekar berhamburan keluar.
    "Apa? Cerai maksudnya?" Jube mengangguk.
    "Jangan ngawur kalau ngomong. Yasir kurang apa coba? Cakep, anak tunggal, punya rumah gede, punya mobil, sukses di pekerjaan. Dan, kalian nikah karena memang suka sama suka kan? Bukan dijodohkan kan?" Bola mata Sekar hampir saja keluar dari kelopaknya. Ia melotot dan berbicara dengan nada tinggi yang membuatnya persis seperti ibu-ibu galak yang memarahi anaknya.
    "Sebagai teman, aku kurang setuju be. Pikirkan ulang." Kali ini Sekar sedikit menurunkan nada bicaranya.
    Di kamar itu tiba-tiba keduanya tak bicara banyak, bahkan hening cukup lama. Suasana menjadi canggung seolah apa yang dilontarkan Jube tadi mengganggu satu sama lain. Sekar pun tak lagi menyantap ayam laos di rantang, ia seolah kehilangan nafsu makan. Tak habis pikir ia bahwa kehidupan pernikahan Jube yang di matanya nyaris sempurna ternyata tidak demikian kenyataannya. 

***

    Langsung diumumkan di Whatsapp grup bahwa saat ini Pak Beno memerlukan seseorang untuk bergabung dalam timnya. Ia tak lagi penuh pertimbangan, membuang Acay ke tempat yang lebih cocok adalah alasannya pada kepala cabang. Dan sesuai dengan pikiran buntunya, tak ada syarat apapun yang ia inginkan, usia bebas, tak jua pendidikan terakhir, pengalaman bekerja, jenis kelamin, semuanya tak ia cantumkan dalam syarat. Ia hanya butuh seseorang yang punya ambisi dan kemauan kuat untuk belajar juga bekerja keras. Dan, orang pertama yang tertarik dengan tawaran itu ialah Dewi Sekartaji.
    Sekar gesit mengirim surel pada Pak Beno yang selanjutnya tembus ke bagian HRD. Sabtu kelabunya kini berapi-api, tantangan baru siap ia jalani. Setelah mengirim surel Sekar langsung membuka-buka website resmi perusahaan dan mulai mempelajari deskripsi job seorang Geologi, semua yang ditampilkan di dalam website tersebut hampir semua poin-poinnya bersifat teknikal. Sekar kembali ragu, ia ingin menarik kembali surel yang ia kirimkan, namun sudah terlambat. Ia memukul-mukul kepalanya karena kesal dengan diri sendiri, sikap gegabah dan cerobohnya memang membuatnya menyesal seringkali.
    "Kenapa lagi?" Jube yang tengah fokus membaca buku kini terganggu oleh tingkah Sekar. Sekar geleng-geleng kepala namun wajahnya tetaplah panik, ia membanting tubuhnya di kasur dan menutup kepalanya dengan bantal, berteriak ia sekeras-kerasnya.
    "Kenapa sih?" Jube penasaran.
    "Gagal lagi sama orang baru itu?"
    "Bukan." Sekar menjawab sambil berteriak di balik bantal. 
    "Terus apalagi? Kayaknya frustasi banget." Mendengar Jube terus bertanya, Sekar malah semakin menjadi-jadi. Rusak.

***

    Sabtu dan minggu terlewati dengan singkat, hari yang menjadi surga bagi Sekar dan Jube ini sudah ditutup oleh datangnya petang dan gulita. Bulan yang terang tak mampu menghidupkan kembali hari sabtu, dan harus menunggu berhari-hari untuk menemui hari minggu. Sial. Menatap hari senin memang sudah ia benci sedari dulu, ia masih ingin berbaring seharian, bercerita panjang lebar, menonton serial drama dan membaca buku, tetapi senin selalu memaksanya untuk sadar bahwa masa bersantai sudah habis.
    Ditambah surelnya sabtu lalu menambah rasa malas Sekar masuk kerja. Tak bisa ia bayangkan bagaimana menghadapi Pak Beno lalu menarik kembali minatnya. Apalagi jika atasan dan rekan satu divisinya tahu tentang surel itu, pastinya akan ada kegaduhan di kubikal. Sekar hanya memukul-mukul kepalanya dan sesekali mengantuk-antukkan kepalanya di kaca jendela bus, persis seperti ucapan Jube bahwa kawannya itu tampak sangat frustasi seolah hari ini akan menjadi kiamat.
    "Semangat dong." Jendra melewati Sekar sebelum turun dari bus. Ia sengaja mencolek lengan perempuan itu dan tersenyum riang. Sekar spontan ingin mengarahkan bogem ke wajah lelaki itu, namun urung. Energinya telah habis untuk menyesal dan berpikir. Sebelum beranjak dari kursi ia bahkan lupa melepas seat belt hingga ia gagal berdiri dan kemudian semakin kesal sendiri. Perilaku Sekar pagi itu lagi-lagi menarik perhatian Acay. Perilaku yang terus memperoleh nilai minus dari lelaki itu. 


To be continue...

L.M.

Rabu, 20 Januari 2021

#SingleOnSite - Episode 4 Kacau

    Tidak dikepung segunung pekerjaan adalah nilai plus bekerja jauh dari sub office. Membuat kopi, menyeruputnya dengan perlahan sambil mendengarkan musik dan membaca surel. Acay lebih santai karena hari ini ia tak perlu sibuk berpanas-panasan, ia pun punya alasan untuk mengulur-ulur masa tenggat. Pekerjaannya sebagai seorang Geolog memaksanya menghabiskan banyak waktu di area tambang, luar ruangan, dan seringkali harus di bawah terik hingga hujan. Tak heran, kian hari kulit lelaki ini tampak kian eksotis. Hal itulah yang membuat Fitri, kekasihnya yang tinggal dan bekerja jauh di Semarang harus cerewet untuk mengingatkan Acay agar tak lupa menggunakan tabir surya.
    "Mas, sebelum kerja sudah pakai sunblock?"
    "Sudah."
    Jawaban singkat yang selalu sama, walaupun kenyataannya Acay tidak melakukan perintah kekasihnya itu. Sebenarnya Acay kerap kali tersinggung saat Fitri mengingatkannya tentang menggunakan tabir surya, ia merasa kekasihnya itu tidak menerimanya apa adanya. Ingin sekali Acay menjawab dengan kata-kata lugas dan kasar seperti "Emang kenapa kalau aku hitam? Nggak suka? Ya sudah cari aja yang putih. Bla bla bla." Namun Acay takut semua itu akan memicu pertengkaran.
    Fitri adalah adik kelas Acay semasa SMA di Jogja, perempuan ini cukup aktif dan tergolong populer karena masuk dalam organisasi sekolah. Namun, saat itu Acay belum tertarik, pun sebaliknya. Atau mungkin lebih tepatnya keduanya tidak saling kenal. Mereka justru mulai dekat saat Acay sudah mulai merantau. Hidup lama di tambang, sibuk bekerja, cuti hanya beberapa bulan sekali, dan sikap Acay yang kurang pandai bergaul membuatnya kesulitan berkenalan dengan perempuan. Dan jalan ninja pemuda-pemuda seperti Acay adalah menemukan seseorang dari daerah asalnya. 
    Saat itu Acay memang berniat mencari pacar, ia melihat-lihat orang-orang yang diikuti oleh akun instagram alumni SMA. Dan, saat melihat potret Fitri yang manis dan kalem Acay langsung tertarik. Dibantu fitur direct message di instagram Acay memberanikan diri mengirim pesan pribadi pada Fitri. Perempuan manis itu dengan baik membalas pesan Acay hingga balik mengikuti dan mau memberikan nomor telepon pada lelaki itu. Tak berselang lama, via panggilan telpon, Acay pun memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya menjalin hubungan dengan Fitri dan langsung mendapat jawaban iya. Hubungan yang bisa dibilang tanpa pendekatan yang berbelit-belit. Saat ini tepat setahun hubungan itu berjalan, dan mereka masih bersama hingga sekarang. 
    Hari itu, seperti biasa Acay selalu menerima ucapan selamat pagi via pesan teks. Ucapan dari Fitri yang lambat laun membuatnya sedikit bosan, itu-itu saja. Anehnya, Fitri selalu berharap Acay menjawab pesan itu dengan cepat juga dengan kata-kata yang tidak kalah manis. Awalnya Acay selalu menuruti keinginan gadis itu, namun kurun waktu 365 hari ini ia mulai berani menunjukkan sisi ketidaksukaannya pada ritual yang dianggap kekasihnya itu sebagai kewajiban. Acay membalas pesan itu setelah jam makan siang, artinya ia harus siap menerima panggilan bertubi-tubi atau pesan teks dengan nada merajuk hingga mengancam. 
    "Kok jawabnya lama?"
    "Kok jawabnya gitu?"
    "Kamu berubah."
    "Sudah nggak penting lagi ya pesanku?"
    "Oke aku nggak akan ngirim lagi kalau kamu terganggu."
    "Kamu bosen?"
    "Kamu mau putus?"
    "Ngomong aja kalau kamu nggak suka aku lagi, biar aku tahu diri."
    "Oh oke nggak dibalas, berarti iya kamu minta pisah."
    Beberapa menit kemudian.
    "Kok kamu jahat sih?"
    "Dulu aja waktu awal-awal ngomongnya manis, janjinya banyak, sekarang gampang banget pengen putus."
    Acay mengelus dada membaca pesan demi pesan yang dikirimkan Fitri yang bahkan belum satu pun ia balas tetapi Fitri sudah mengambil kesimpulan yang tidak pernah ia pikirkan sama sekali. Drama. 
    Di tengah situasi itu, Jendra justru lalu lalang di area kerja Acay. Lelaki itu sedang berbicara manis di telpon, entah dengan siapa. Berkali-kali Acay melirik, dan Jendra senyum-senyum tak kenal malu. Acay bertanya dengan berbisik, namun Jendra tak menjawab. Sampai Acay dengan terpaksa mengganggu obrolan itu dengan mendekatkan telinganya pada ponsel Jendra, norak.
    "Iya sayang, ini teman aku kepo." Jendra justru semakin menyebalkan. Acay geleng-geleng kepala, padahal baru tadi pagi ia melihat kawannya itu tengah membujuk Sekar untuk mengenalkannya dengan seseorang. Dasar PK.

***

    Tidak merespon satu pun pesan dan pertanda putus dari kekasihnya, namun lebih memilih berdiam diri merenung sembari menatap dinding kamar berwarna putih adalah pilihan yang bisa jadi bijak bagi Aksar Vimana. Ia lelah bertengkar, walaupun hati kecilnya tak ingin berpisah. Menutupi seluruh badan dengan selimut, mematikan lampu kamar, memejamkan mata, ia berharap segera tertidur, namun hingga dini hari ia masih terjaga hingga merasa lelah. Acay kacau.


***

    Banyaknya pesaing dalam usaha laundry, membuat Norma, istri Chaniago terpaksa harus masuk dalam daftar PHK di tempatnya bekerja. Itu artinya berkuranglah salah satu sumber penghasilan keluarga itu. Gaji Chaniago sebagai seorang karyawan tambang yang cukup senior memanglah besar, jauh di atas UMR. Namun, menghidupi keluarganya yang tinggal di pusat kota Pontianak dan putranya yang berkuliah kedokteran rasa-rasanya semua terasa amat berat, apalagi jika ditambah istrinya yang kini menganggur.
    Malam hari setelah meyakinkan bahwa anak-anaknya tertidur, Norma memilih waktu itu untuk menelpon suaminya. Mereka berbincang banyak, bincang yang penuh sesak dengan segala bentuk kekhawatiran dan keluhan satu sama lain. Chaniago dan Norma menghitung semua tagihan wajib perbulannya, dan hasilnya minus. Semakin pusing lah Chaniago dibuatnya. Jalan keluar yang ada di pikiran mereka nyaris semuanya tidak masuk akal, misalnya menjual rumah yang belum lunas, atau meminta putra sulungnya cuti kuliah. Norma menangis membayangkan kedua hal itu, sedang Chaniago pun merasa gagal menjadi kepala rumah tangga ketika mendengar tangis istrinya. Chaniago membiarkan Norma melampiaskan rasa sedihnya malam itu, lalu meminta istrinya beristirahat setelahnya. Malam itu Chaniago bahkan sulit terpejam, pikirannya berlarian mencoba mencari jalan, minimal untuk akhir bulan ini ia berharap bisa melewati.
    Sebelum tidur Chaniago membuka-buka pesan di ponselnya, semua didominasi grup-grup pekerjaan hingga grup alumni. Karena sulitnya ia tidur, ia membaca satu persatu pesan-pesan itu dengan rinci. Dan, terbelalak mata Chaniago ketika mendapati informasi lomba yang ada di grup kantor, apalagi saat matanya tertuju pada hadiah lomba yang dijanjikan, nilainya fantastis, menyentuh angka jutaan pada setiap lomba. Chaniago berkhayal.
    "Kalau ini bisa dimenangkan salah satunya, minimal bulan ini aku akan aman." Batinnya. Namun, ia kembali membuang harapannya jauh-jauh ketika semua kategori lomba hampir tak ada yang ia kuasai. Chaniago terus berusaha menghadirkan pikiran-pikiran liarnya yang lain, berharap agar menemukan jalan dan kembali tenang namun nihil. Chan kacau.

***

    Sudah seringkali menerima kalimat kasar bernada menghina tak lantas membuat Sekar terbiasa. Hingga jam kerja berakhir, bahkan hingga malam sebelum tidur, kata demi kata yang ia dengar dari rekan kerjanya tadi masih membekas dan terngiang-ngiang di kepalanya. Hatinya sesak mengingat itu, ia malah memperkeruh rasa sakit hatinya dengan berpikir yang tidak-tidak pula.
    "Apa jangan-jangan yang dia bilang tadi benar?"
    "Apa aku memang seburuk itu?"
    Apa ini, apa itu, kemungkinan-kemungkinan yang Sekar cari-cari menambah sempit bilik yang ada di dadanya. Bilik itu penuh sesak seolah kalimat-kalimat jahat berebut ingin keluar dan meluapkannya dalam bentuk amarah sumpah serapah. Sekar kacau.


To be continue...

L.M.

Jumat, 15 Januari 2021

#SingleOnSite - Episode 3 Tidak Baik-Baik Saja

    Hampir 10 tahun sudah Sekartaji bekerja sebagai admin billing. Dengan kurun waktu selama itu dan di posisi yang sama memang bukanlah prestasi yang gemilang. Sejak usia 18 tahun ia mengabdi di perusahaan overburden itu, namun tidak banyak yang berubah. Gaji di atas UMR, itulah yang cukup untuk menjadi alasan perempuan itu bertahan.
    Pagi-pagi sekali saat fajar belum berani lahir, halimun belum hilang sempurna, dan dingin masih merangkul kuat. Sekar sudah menjejaki jalanan menuju halte bus terdekat. Ia memperhitungkan langkah kaki, jarak, dan waktu tempuh yang dibutuhkan untuk sampai di halte. Setelah itu ia menghitung dengan waktu yang tersisa sembari melihat jam di tangan kirinya, saat mengingat-ingat jadwal keberangkatan bus, ia panik dan sedikit berlari agar tidak tertinggal. Safety shoes, helmet, vest, dan ransel berisi travel toiletries & buku catatan cukup membuatnya merasa kewalahan ketika berlari. Tetapi, untuk mencapai sesuatu, memang harus berusaha sekeras demikian bukan?
    Di pagi yang tenang itu, Sekar sudah harus berkejaran dengan waktu. Tidak ada kompromi. Jika waktu sedang terhimpit, yang lapang pun seketika berubah menjadi sempit. Bus dengan nomor lambung 118 berhenti tepat di depan halte, ia masih berlari di belakang bus sambil melambai-lambaikan tangan berharap driver bisa melihat dari spion. Lampu sein kanan sudah terlihat, bus tampak sudah ingin segera meninggalkan halte sesaat setelah penumpang terakhir menutup pintu. Sekar hampir menyerah, tapi tekadnya mencegah. Sebelum benar-benar kalah, baginya pantang untuk berserah. Sembari berlari dengan tenaga yang tersisa, dalam benak gadis itu membacakan mantra-mantra yang ia yakini mampu membuat detik seakan berhenti. Hening, hingga sepersekian detik kemudian di belakangnya melajulah beberapa mobil yang dengan kecepatan lumayan tinggi menguasai jalan, mereka datang seperti arak-arakan yang sedang melaju kencang.
    Dengan mantra-mantra dalam otaknya, Sekar merasakan betapa mobil-mobil yang melaju itu sedang menjadi superhero yang membantunya membekukan waktu sejenak, waktu bagi bus 118 yang sepertinya belum memiliki kesempatan untuk merebut barang sedikit badan jalan, dan disanalah semangat untuk mengejarnya berhasil. 
    Terengah-engah gadis itu membuka pintu bagian belakang bus, mengatur nafas perlahan, meletakkan atribut-atribut yang memungkinkan untuk di lepas, lalu duduk di salah satu seat kosong di sebelah kanan. Beberapa rekan seperti sudah terbiasa dengan pemandangan itu, dan beberapa yang lain masih mengoceh mengomentari ia yang hampir setiap hari terlambat.
    "Begadang terus." Seru Pak Kalbi dengan nada menyindir. Sekar memilih memejamkan mata setelah memasang seat belt lalu bersiap untuk tidur. Kegemarannya yang sudah banyak orang tau adalah tidur saat perjalanan. Di bus, di mobil, di becak, di angkot, di pesawat, di kapal, di delman, di bajaj, di kereta, bahkan di motor pun ia selalu merasa mengantuk. Sesuatu yang beberapa orang menyayangkannya, karena ia akan melewatkan banyak hal. Tetapi, begitulah Sekar. Baginya, bus pagi memang waktu yang sempurna untuk tidur. Merasakan keheningan pagi yang didominasi suara-suara para pekerja yang sudah berjuang mengalahkan ayam. Rasanya tidur adalah reward untuk diri sendiri yang sudah berhasil bangun pagi.
    Di sudut lain namun pada bus yang sama, ada Acay yang memperhatikan kehadiran Sekar. Isi kepalanya lagi-lagi menemukan ketidaksukaannya pada gadis itu.
    "Dasar pemalas." Batinnya. Namun aroma vanilla menyeruak dari tubuh gadis itu, menguasai seisi bus, menghanyutkan Acay menjauh dari fokusnya. Aroma ini tidaklah asing, mengingatkan Acay pada sesuatu di masa lampau, tapi bahkan ia tak ingat persis kenangan apa itu.
    Namun, konsentrasi Acay untuk mengingat-ingat apa yang indentik dengan aroma ini terganggu oleh Jendra. Lelaki berisik ini sudah membuat gaduh suasana di bus, ia membangunkan Sekar dan meghujani Sekar dengan ragam pertanyaan. 
    "Apa sih Jend?" Sekar yang sudah setengah tertidur kesal dengan Jendra yang duduk di belakangnya. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Sekar, juga terus mengoceh tak kenal sungkan.
    "Kenalin lah, nanti kamu juga kukenalin ke temanku."
    "Nggak pokoknya."
    "Ayolah, please."
    "Nggak bisa Jend." Sekar kurang nyaman mengatakan bahwa sahabatnya, Jube, sudah menikah.
    "Jangan-jangan kamu masih cemburu ya aku pengen kenal temanmu."
    "Jangan ngadi-ngadi ya." Sekar langsung melotot, hilang kantuknya seketika. Kesal sekali ia dengan Jendra yang beberapa bulan sebelumnya memang sempat mendekatinya. Melihat reaksi Sekar, Jendra tertawa terbahak-bahak. Di kursi belakang, Acay hanya geleng-geleng kepala, heran melihat perilaku temannya.
    Pagi ini kabut tebal menyelimuti kota. Jarak pandang terbatas, ditambah penerangan yang belum begitu sempurna di jalan-jalan. Matahari perlahan-lahan naik, namun terasa tidak begitu terang. Khusus hari ini memang Acay harus bekerja di main office dikarenakan listrik di sub office tempatnya biasa bertugas sedang ada maintenance yang diperkirakan akan memakan waktu hampir satu hari full. Bukan ide buruk bekerja di main office, tetapi juga bukan hal yang menyenangkan pula. Jadi seperti orang asing, ya itulah hal yang paling membuatnya malas ke kantor ini.
    “Loh sar, dideportasi dari KM 111?” Mas Dewan menyapa ketika melihat Acay berjalan menuju pintu masuk.
    “Visa expired mas.” Acay menjawab santai sembari tetap melangkah menuju mesin finger print.
    Setelah mengobrol dengan satu dua orang, Acay dipanggil Pak Beno ke ruangannya. Pak Beno meminta Acay untuk melapor ke bagian HR & safety agar menyiapkan apa saja yang ia butuhkan selama di main office, termasuk menyerahkan form keterangan izin bekerja sementara. Entah mengapa regulasi ingin bekerja sehari saja seribet ini, batinnya. Padahal ini masih di perusahaan yang sama.
    Sebelum Acay menuju ke bagian HR, samar-samar ia mendengar gaduh di bagian kubikal lantai 3. Beberapa suara ia kenali dengan jelas, dari sumber suara yang segaduh itu ia memprediksi lebih dari 5 orang ada disana. Keributan di pagi hari, bahkan ia rasa diantara mereka ada yang belum sarapan.
    “Tolong pak ditandatangani sekarang, kerjaan saya banyak.” Rengek Sekar, dengan nada sopan dan santai.
    “Ya terserah saya, intinya kamu goblok, pantes nggak laku-laku.” Suara seorang lelaki diikuti suara tawa yang lain. Mendengar kalimat yang kasar itu, Acay geram. Apalagi saat Sekar hanya menanggapinya dengan tertawa seolah tidak tersinggung sama sekali. Acay yang melihat kejadian itu langsung berniat turun karena tak nyaman.
    Belum banyak anak tangga yang Acay jejaki, tiba-tiba di sampingnya melintas seseorang yang terburu-buru dan secara refleks ia amati tengah menangis. Sekar yang beberapa detik yang lalu tampak santai ternyata tidak baik-baik saja. Setengah berlari ia membawa selembar kertas sambil terisak tanpa suara. Sekilas terlintas sepertinya ia gagal menahan apa yang ia sembunyikan sejak tadi. Lalu, dari belakang Acay pun turut setengah berlari. Ia menuju toilet, sembari menutup wajahnya dengan kertas yang ia bawa. Acay terpaku di bawah anak tangga. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba menghinggapi isi kepalanya. Ia menunggu Sekar dengan sabar, hingga beberapa menit setelahnya, Sekar sudah berjalan dari lorong toilet, kembali seperti biasanya. Matanya masih tampak merah, tetapi intonasi bicaranya justru bersemangat. Ia menyapa beberapa orang di kubikal lantai dasar, tanpa ada tanda-tanda bahwa dirinya baru saja terluka.


To be continue...

L.M.

Popular Posts