Rabu, 05 Mei 2021

#SingleOnSite - Episode 11 Segitiga

   Bukankah semua akan selesai ketika sudah bertemu? Selisih, konflik, adu argementasi, atau perpecahan sehebat apapun itu akan melunak. Tidak dapat dipungkiri musyawarah adalah pendekatan terbaik untuk mendinginkan suasana. Sayangnya, Chan sulit melakukan itu karena jarak. 
    Seperti sebuah segitiga yang setiap garis penghubungnya menggunakan panah merah bercetak tebal, seperti itulah gambaran bagaimana posisi Chan di Tabalong, Norma di Pontianak, dan Tugi di Solo tampak pada permukaan peta. Mereka terikat bukan hanya karena hubungan keluarga tetapi karena konflik yang tak kunjung usai beberapa minggu lamanya.

***
    Berdiam diri di rumah paska menganggur, fokus mengurus 2 anak yang bersekolah, mengurus rumah, juga mendengar rengekan si sulung yang sudah terlalu bising seperti teror. Membayar uang semester, praktikum, dan rincian lain-lain yang sulit sekali dipahami oleh lulusan SMP seperti Norma. Hatinya perih dan bertanya-tanya "Mengapa membesarkan anak seberat ini?". Ia sebagai penyambung komunikasi antara Chan dan Tugi kehabisan akal untuk merangkum setiap alasan.
    Pagi itu Norma berkeliling Pontianak Kota dengan mengendarai motor. Besar harapannya untuk bisa mendapat pekerjaan, atau setidaknya bisa menambah pundi-pundi rupiah di keluarga. Ia sadar, Chan pun sudah bekerja keras di perantauan walaupun memang belum cukup. Mendatangi satu persatu laundry, dari yang kecil hingga ternama, dari yang di pusat kota hingga di pinggiran. Tak ada, tak ada satupun yang perlu tenaganya. Norma merasa keahliannya dalam merawat pakaian sudah sangat handal hingga bidang yang terus saja ada dalam benaknya hanya dunia cuci-mencuci pakaian. 
    Sepanjang pencarian pun, tak lupa Norma berdoa dan menyebut nama Tugi berkali-kali agar anaknya itu jangan sampai putus kuliah. Hatinya sakit menyadari ketidakmampuannya. Tetapi ia tak lagi sanggup menangis, tenaganya habis. Ia pulang dengan usaha yang belum ada hasilnya. 

*** 

    Tugi kesal, fokusnya belajar selalu buyar setiap kali ingat kewajiban membayar yang sudah lalai ia lakukan. Pekerjaan paruh waktunya sebagai kasir di salah satu apotek tidak banyak membantu. Pembayaran dengan nominal yang tidak sedikit itu sudah menyita keseluruhan kepalanya. Sebagai seorang anak, Tugi benci akan paksaan kedua orang tuanya untuk menjadi dokter, tetapi dengan sokongan dana yang selalu bermasalah. Satu hal yang selalu terbersit dalam benaknya, berhenti kuliah.
    Sore itu selepas mata kuliah Endokrin usai, Tugi langsung mengajak Levi kekasihnya bertemu. Sepanjang perjalanan menuju apotek, Tugi dan Levi berbincang banyak melalui telepon lalu memutuskan bertemu selepas tugasnya usai. Banyak hal yang ingin Tugi tumpahkan kepada gadis itu, ia mengatur setiap poin-poin penting yang ingin ia bahas, ia runut setiap cerita dalam imajinasinya, ia pilih diksi terbaik, ia bayangkan Levi dengan mudah mengerti dan menerima setiap keputusan beserta alasan yang ia utarakan, lalu satu masalah dalam kehidupan rumitnya akan berakhir. 
    Perempuan dengan rambut cokelat tergerai turun dari sedan tua yang terlihat masih terawat dengan baik. Parasnya masih sama, cantik dengan kulit sawo matang dan bentuk tubuh yang tinggi semampai. Semua selalu tampak sempurna di mata Tugi, sekalipun tas jinjing berwarna kuning terang berbahan kain blacu bergambar Scooby-Do itu kontras dengan penampilannya yang elegan. 
    "Ngopi dimana?" Teriak Levi yang langsung membawa aroma lyly yang menyengat setiap kali ia bergerak, tubuhnya yang lincah bersemangat memasuki apotek serta-merta membunuh seluruh aroma obat khas ruangan itu. Tugi tersenyum menyambut gadis yang dalam hitungan menit mungkin saja tidak akan seceria ini. Berpamitan dengan karyawan apotek lainnya, Tugi menggandeng Levi keluar.
    Tidak perlu banyak basa-basi, setiap kata yang Tugi siapkan akhirnya mulai terlontar satu demi satu. Ia dengan penuh keyakinan menyampaikan karena ini adalah satu-satunya pilihan. Asyik berbicara, larut dalam fokusnya, hingga Tugi lupa kemungkinan lain, kemungkinan bahwa bisa saja Levi tidak menerima. Tujuh menit setelah obrolan itu dimulai tampaklah Levi menangis, penuh isak, namun tanpa suara. Perempuan yang usianya 5 tahun lebih tua dibanding Tugi itu akhirnya tampak rapuh. Putus, bukan kata yang pernah ada dalam kamusnya. 
    "Maaf vi, tapi kita harus." Tugi tak tega, namun ia tak berani terlalu larut berempati pada perasaan Levi, lebih tepatnya ia takut menjadi bimbang kembali.
    "Iya nggak apa-apa." Sambil menahan isak, Levi hanya mengangguk dan menjawab demikian.
    "Aku nggak akan tanya lebih jauh alasannya, tapi kalau suatu saat kamu berubah pikiran silakan balik." Wajah gadis itu merah padam, maskara yang luntur semakin membuat wajahnya tampak kacau, ia menahan semua kata-kata yang ingin keluar dari mulutnya dan berdiri.
    "Oh iya, aku ada janji sama papa habis maghrib. Aku duluan ya." Terakhir kali sebelum menjauh, Levi tersenyum berpura-pura tegar. Anehnya, Tugi membenci itu. Penerimaan dari Levi justru menyisakan hal lain dalam hatinya. Ia sadar, ternyata bukan hanya Levi yang terluka dengan perpisahan ini. Tetapi, ia pun sama. Namun, dalam sekejap Tugi kembali pada fokusnya. Keluarga dan kuliahnya lah yang saat ini lebih penting.

***

    Menimbang-nimbang ponsel di tangan, Chan ingin sekali menghubungi salah satu dari Norma ataupun Tugi. Ia ingin berbasa-basi mengulur waktu, berharap dalam waktu dekat ada harapan, sekaligus membesarkan hati istri dan anaknya itu. Namun, kalimat yang tepat untuk mengawali bincang itu tak pernah bisa ia pikirkan. Chan teramat buntu, hilang akal, seolah mereka bertiga sedang dalam perang dingin yang sulit untuk dihangatkan kembali. Di siang bolong, Chan menghayal memiliki banyak uang.
    Chan akhirnya bersandar pada tiang mushola, kakinya bergerak-gerak pertanda gelisah, matanya berlarian di sekitar langit-langit, pikirannya jauh menerawang pada keluarganya. Disanalah, tiba-tiba Kalbi muncul. 
    "Negara sudah ada yang urus pak, santai saja." Kalbi memberi sekaleng soft drink pada Chan.
    "Dimana ya nyari sampingan yang banyak hasilnya?" Chan bertanya dengan intonasi datar.
    "Lagi BU apa?"
    "Iya."
    "Ikut saya mau?"
    "Kemana?"
    "Ya kerja sampingan."
    "Dimana?"
    "Pokoknya ada lah."
    "Hasilnya?"
    "10 X lipat gaji."
    "Nipu?"
    "Terserah mau percaya atau nggak."
    "Nggak ah."
    "Lihat dong, saya sudah bisa bangun rumah lagi tanpa bantuan bank."
    Mata Chan tiba-tiba menyala.
    "Tapi syaratnya harus bisa simpan rahasia dan siap kalau sewaktu-waktu resign." Chan menegakkan posisi duduknya.
    "Apa itu?" Ia antusias.


To be continue...

L.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts