Rabu, 10 Februari 2021

#SingleOnSite - Episode 7 Ghibah

    Waktu terbaik untuk mencari kebenaran sebuah desas-desus ialah saat makan siang. Semua orang berkumpul sesuai dengan sendok masing-masing. Para pemilik sendok plastik cukup puas hanya dengan membahas hal-hal sesederhana dunia sepak bola dan game atau mungkin gosip-gosip pesohor. Sedang golongan pemilik sendok emas sibuk membahas saham dan investasi bernilai milyaran. Tak jarang, si pemilik sendok plastik harus menepi saat kotak makan siang belum habis. Apalagi jika terlanjur terhimpit, di tengah-tengah bahasa langit ala orang-orang yang seperti berduit. Namun, yang paling meresahkan bukan kedua golongan itu, melainkan kumpulan para pemilik sendok besi yang gemar mengunyah bangkai saudaranya sendiri. 
    Jendra masih menjadi topik utama bahkan setelah beberapa hari lamanya. Orang lain tak peduli tentang kebenaran, melainkan mereka hanya percaya dengan apa yang ingin mereka percaya. Dalam kasus Jendra dan Birdel misalnya, hampir semua percaya bahwa itu adalah benar. Dan salah satu cara membunuh sebuah berita bohong, bisa jadi dengan tambahan berita bohong yang lain.
    Memisahkan diri dari orang-orang ketika makan siang ialah kebiasaan Sekar. Perempuan ini cenderung lebih nyaman menghadapi nasi kotak dengan khidmat tanpa diinterupsi bisikan-bisikan jahat. Cerita demi cerita saling bersautan, berlomba membongkar aib siapa yang paling besar, lalu menertawakannya. Di meja paling ujung, Sekar hanya bisa mendengar aneka ria gunjing itu dengan samar, setidaknya  makanan itu masih bisa ia kunyah hingga Jendra muncul di depannya.
    "Hai." Air muka Sekar berubah seketika, nafsu makannya hilang tatkala harus melihat senyum lebar lelaki di depannya yang langsung duduk seolah tanpa dosa.
    "Sendirian terus, kutemenin ya." Setelah Jendra duduk, Sekar terburu-buru menyelesaikan makannya. Perempuan itu ingin segera enyah dari sana, apalagi setelah ia sadar bisikan samar-samar yang sedari tadi ia dengar kini berganti dengan tatapan sinis ke arahnya.
    "Takut jadi bahan?" Jendra paham gelagat itu, Sekar menggeleng.
    "Setidaknya lebih manusiawi kalau perempuan itu kamu." Tatapan percaya diri ala Jendra yang selalu mengganggu perempuan-perempuan di kantor itu memang memancing Sekar untuk mengumpat. 
    "Plis duduk dulu, sampai admin lambe-lambe itu bikin berita baru."
    "Benefitnya buat aku?"
    "Kumentorin deh."
    "Deal." Tanpa pikir panjang Sekar sepakat dengan tawaran itu. Baginya, ia lebih nyaman bertanya maupun belajar dari Jendra dibanding harus memulai obrolan dengan Aksar Vimana alias Acay.

***

    "Dasar perek, punya mulut itu dijaga ya." Birdel melemparkan bungkusan plastik kecil sambal yang terbuka ikatannya. Dilemparkannya benda itu pada Desti dan hampir mengenai wajahnya.
    "Situ yang perlu jaga sikap bangke. Ibu-ibu nggak tahu diri." Desti tak mau kalah.
    Birdel hendak melemparkan kotak nasi yang isinya hanya tersisa tulang-belulang namun dicegah langsung oleh beberapa orang yang berdiri di dekatnya.
    Adu mulut sengit ala perempuan itu menguasai kantin, mereka akhirnya berhenti ketika Pak Gemi, kepala cabang lewat menuju mushola hendak melaksanakan ibadah sholat dzuhur. Orang-orang di sekitar langsung berupaya menyamarkan suasana sengit itu, karena jika ketahuan berkelahi, tidak menutup kemungkinan PHK menanti.
    Sekar dan Jendra menyeret Desti menuju ruangan kosong di sudut kantin. Niat Sekar ialah ingin menenangkan gadis itu, namun lain dengan Jendra. Jendra justru ingin memberi pelajaran pada Desti.
    "Berubah dong des."
    "Berubah apa? Kamu mau fitnah lagi? Iya?" Mata Desti melotot, wajahnya merah padam menahan amarah.
    "Sudahlah, berhenti sok nggak bersalah."
    "Kamu yang harusnya berhenti sok tahu."
    Sekar bingung menyaksikan ketengangan kedua orang ini, ia tak paham apa yang tengah diperdebatkan. Dan belum sempat ia mencari tahu lebih jauh, Desti keluar ruangan lalu membanting pintu. 

***

    Lagi-lagi, Chaniago harus menjadi bulan-bulanan. Memang, menjadi menyebalkan mungkin adalah satu-satunya bakat lelaki tua itu, tetapi haruskah selalu menunjukkannya dan membuat publik tahu? 
    Melemparkan sebuah issue sosial di forum whatsapp grup, menyebut dan menandai beberapa kontak, lalu memancing debat. Satu dua orang menanggapi itu dengan santai, beberapa lagi menanggapi dengan serius, dan sebenarnya lebih banyak orang yang tidak peduli. Namun, karena yang menanggapi dengan serius ini lebih banyak yang berisik, pada akhirnya mayoritas orang yang tak peduli pun mulai terganggu.
    "Cukup pak." Pak Gemi harus turun tangan mendinginkan suasana. Pak Chan merajuk. Dan jalan ninja lelaki satu ini ialah mencari-cari kesalahan lawan debatnya yang baru, atau tanpa berpikir panjang keluar dari grup. Sekar sebagai admin grup sudah terlalu hapal dengan kebiasaan ini. Setelah Pak Chan keluar, suasana bukannya mereda, tetapi justru semakin memanas karena penghuni grup lainnya bisa menjelekkan Pak Chan dengan lebih bebas.
    "Jangan ditambahkan lagi mba @DewiSekarTaji." Tidak sedikit yang meminta itu, karena Pak Chan hanya dianggap pembuat onar dan pemancing gaduh. 
    Sekar keluar dari ruangan, mendinginkan kepala, belajar melalui SOP dan WIN saja memang belum cukup ampuh. Praktik dan bimbingan saat ini yang benar-benar ia perlukan. Namun, Jendra sepertinya tengah tidak berada di kantor. 
    "Mbak Taji, diminta ke ruangan Pak Beno." Seorang cleaning service menghampiri Sekar. Sekar pun bergegas menemui Pak Beno di ruangannya. Saat membuka pintu, sudah ada Aksar Vimana alias Acay di sana. 
    "Iya pak." Sekar gemetar.
    "Kamu belum ada belajar?" Pak Beno menatapnya serius.
    "Sudah pak sedikit-sedikit."
    "Ya jangan sedikit-sedikit." Pak Beno membentak.
    "Saya sudah minta Ghea untuk mengalihkan pekerjaan kamu ke orang lain supaya kamu fokus." Sekar tertunduk.
    "Aksar ngga ngajarin kamu?" Sekar melirik ke arah Acay, Acay tak bereaksi apapun.
    "Ngajarin pak." Sekar terbata.
    "Kapan? Kamu aja nggak pernah datang ke saya." Acay menyambar. Niat baik Sekar untuk membuat Aksar tampak baik justru jadi bumerang. Wajah Sekar memerah, haruskah di awal-awal ia harus berbeda suara.
    "Saya belajar ke Mas Jendra pak."
    "Jendra sudah terlalu sibuk, jangan diganggu urusan ini. Dan jangan berharap dia maksimal bantu kamu." 
    "Iya pak." Sekar mengangguk patuh.
    "Kamu nggak nyaman sama Aksar?"
    "Nyaman pak."
    "Bohong pak." Lagi-lagi Acay menjatuhkan Sekar.
    "Dia lebih nyaman sama Jendra lah pak, kan mantannya." Acay berkomentar asal.
    "Loh iya? Bener Taji?"
    "Nggak pak." Sekar mengelak tegas.
    "Ngaku aja, satu kantor juga tahu kalian sering video call tiap malam."
    Sial, Sekar ingin mengelak lagi  namun ia rasa percuma. Ketidaksukaannya pada Acay kini bertambah, tidak lagi hanya karena lelaki itu kaku, namun sikap menyebalkan lainnya yang ia rasakan hari itu.
    "Ya sudah, kapan mulai belajar?" Pak Beno memberikan pertanyaan terakhir.
    "Hari ini pak." Sekar menjawab pasti.
    "Aksar gimana?"
    "Tergantung dia aja, mau datang ke saya atau nggak." Aksar dengan arogansinya menjawab.
    "Kasih saya report weekly ya untuk progress belajarmu. Ekspektasi 8 minggu sudah harus menguasai semuanya." Setelah menutup pertemuan dengan kalimat itu Pak Beno mempersilakan keduanya keluar.



To be continue...

L.M.


1 komentar:

Popular Posts