Jumat, 12 Februari 2021

#SingleOnSite - Episode 8 Ajar

    Suara printer, hentakkan stempel, bunyi-bunyian telpon yang saling bersautan dari satu meja ke meja lainnya membuat kepala Sekar pening. Dengan berat hati ia membawa sebuah notebook, pena, dan botol minum berukuran 500 ml. Melangkah ragu-ragu menuju Aksar Vimana, orang yang akan ia gantikan posisinya.
    "Saya duduk dimana?"
    "Tuh." Acay menunjuk menggunakan mulut, tak sesenti pun lelaki itu melihat Sekar. Sekar patuh, duduk di salah satu kursi kosong. Acay menjelaskan beberapa hal, lalu menguji daya tangkap Sekar. Dimulai dari pertanyaan-pertanyaan yang menuntut ingatan dan hafalan.
    "Jadi sudah tahu garis besarnya?" Jleb, Sekar menelan ludah. Bahkan selama Acay menjelaskan tak satu kalimat pun masuk ke otaknya. Acay seperti mendongeng yang membuat pendengarnya mengantuk.
    "Aku ulang ya, kalau masih nggak tahu jangan mimpi bisa gantiin aku." Sekar kini menarik nafas panjang, ia ingin mengelus dada namun tak punya kesempatan. Panjang lebar Acay menjelaskan dan di tengah-tengah ocehannya, Sekar menginterupsi.
    "Aku nggak perlu latar belakang, gambaran besar, dan lain-lain. Semua bisa aku cari tahu sendiri. Kasih aku system, ajarin caranya, biar bisa langsung praktik." Mendengar protes dari Sekar, Acay terpaksa menjeda penjelasannya. Wajahnya tampak tak senang, ia gondok. Lama ia diam, menatap lurus layar monitor, mengumpulkan kata-kata yang pas untuk melayangkan omelan pada murid dadakannya itu.
    "Kalau niat belajar, tolong isi kepalanya dikosongin dulu." Suaranya lirih, pandangannya tak bergeser sedikit pun. Masih lurus menatap layar dengan kosong. 
    "Kalau mau mengajar, tolong metodenya dipelajari dulu." Sekar tak mau kalah, persis seperti murid sok pintar yang kurang ajar. Jika ini adalah sekolah, mungkin mengeluarkannya dari kelas adalah tindakan wajar.
    "Kalau nggak suka caraku mengajar, silakan minta pengganti." Acay menolehkan wajahnya ke arah Sekar, matanya memicing, suaranya ia buat tegas.
    "Atau silakan mundur." Desiran semangat menjalari tubuh Acay kala mengucapkan itu, ia merasakan ada percikan bahagia yang tiba-tiba membuatnya betah berlama-lama mendebat perempuan di sampingnya.
    "Ya sudah cepat jelasin, jangan bertele-tele." Kini Sekar yang menyerah, segala bentuk protesnya luluh oleh kegarangan Acay yang terlihat tiba-tiba. Ia bertingkah merajuk, namun tetap menuruti cara Acay mengajar. 
    Saat Acay fokus menjelaskan dan Sekar sibuk menelaah sembari mencatat, Jendra datang.
    "Del, sini dah." Jendra memanggil Birdel yang tengah berada di mesin fotokopi. Birdel langsung menghampirinya.
    "Kenalin, cewekku." Dengan percaya diri Jendra memegang pundak Sekar.
    "Serius Mbak Taji? Nggak salah?" Birdel tampak kaget, ia mengingat kebiasaan Taji yang terbiasa bersama siapapun silih berganti, kini justru bersama Jendra, lelaki bujangan yang di mata Birdel nggak banget. Sekar spontan melepaskan telapak tangan Jendra dari pundaknya, namun Jendra terus mempertahankannya. Sengaja lelaki itu berbicara keras dan berulang-ulang, berharap seisi ruangan mendengar dan berita segera melebar. Trik muraha ala Jendra agar lepas dari berita yang lama.

***

    Jumat malam, malam-malam menjelang hari libur. Sekar mempersiapkan amunisi untuk ia habiskan di hari esok. Kali ini bukan film, serial drama, atau buku. Sekar mempersiapkan kertas-kertas hasil cetakannya sore hari tadi, untuk dipelajari besok. Ia kali ini bertekad tak ingin tampak bodoh di depan Pak Beno, apalagi Acay. Panggilan telpon terus berdering, Sekar berpura-pura tidak mendengarnya walaupun itu sangat mengganggu. Saat semua yang ia butuhkan untuk belajar besok sudah benar-benar siap di atas meja, barulah Sekar meraih ponselnya.
    "Ngapain?" Dari balik telpon suara berat dari seorang lelaki yang beberapa minggu terakhir dekat dengan Sekar terdengar. Lelaki ini bernama Hanur, berusia 5 tahun lebih muda dari Sekar dan merupakan korban baru. Lelaki yang entah kapan akan sadar nasibnya kelak hanya akan menjadi sekedar lewat dalam kehidupan Sekar. Mungkin malam ini hanya permulaan.
    "Gimana tadi di kantor?" Pertanyaan pancingan dari Hanur yang berharap Sekar akan menceritakan suatu hal, namun jawaban Sekar tak sesuai dengan apa yang ingin ia dengar.
    "Nggak ada. Kayak biasanya lah." 
    "Nggak lagi ngerjain kerjaan baru?" 
    "Oh iya, baru proses belajar." 
    "Siapa yang ngajarin?"
    "Ada, surveyor." 
    "Namanya?"
    "Kamu nggak kenal juga." Mendengar itu Hanur mulai agak menggerutu. 
    "Mas Aksar? Mas Jendra?"
    "Iya." Jawaban Sekar dingin.
    "Iya apa?"
    "Ya mereka yang ngajarin. Eh, kamu coba deh lihat postingan terbarunya Rupi Kaur." Sekar mengalihkan pembicaraan, Hanur kesal. Bahkan cerita yang ia dengar tentang Sekar hari ini amat mengganggu kepalanya. Belum lagi peringatan Sekar untuk selalu memastikan tak ada yang mengetahui hubungan mereka, makinlah Hanur dibuatnya tidak karuan.
    "Ya sudah aku tidur duluan ya." Hanur mengakhiri panggilan. Ia ingin menunjukkan rasa kesalnya, namun tak punya cara. Ia ingin bersikap tak tahu apa-apa, namun pikiran kacau dibuatnya. 

***

    "Yakin ikhlas dipindah?" Di taman samping gedung, sembari menyelesaikan hisapan sebatang rokok dan segelas kopi, Jendra mulai ingin tahu pemikiran Acay. Ia menyadari, tidak mudah bagi Acay yang sudah terlalu nyaman di posisi itu, tiba-tiba harus menghadapi tantangan baru. Sangat tidak mudah. Namun, Acay tak pernah mengeluhkan itu, diamnya Acay yang justru membuat Jendra khawatir.
    "Mau nggak mau."
    "Kalau gitu ajarin Taji yang bener." Mendengar itu Acay justru tertawa.
    "Paling kurang dari sebulan dia sudah bisa."
    "Jangan menyepelekan gitu lah."
    "Beneran Jend, pasti bisa cewek itu."
    "Tadi kok dia kayaknya putus asa gitu?"
    "Metode mengajar ala Aksar Vimana memang gitu. Ingat Jend, ibu aku novelist yang literasinya jangan ditanya lagi. Masalah ajar-mengajar buat aku dia adalah panutan. Dan ilmunya dia sedikit-sedikit nyantol lah di aku." Acay congkak, Jendra sangsi. Jendra hanya mengingat sikap Acay yang selama ini ia kenal. Dingin, kaku, sulit bergaul, dan cenderung merendahkan lawan bicaranya tanpa ia sadari. Jendra khawatir transisi ini membuat pola kehidupan kawannya itu menjadi berantakan.
    "Kalau menghadapi Taji, bisa nggak sedikit aja ego diturunin?"
    "Segitu khawatirnya ya sama itu orang?"
    "Bukan khawatir sama dia, tapi sama kamu." Jendra sedikit keras kali ini.
    "Cay, berubah dong."
    "Jend, berhenti dong pengen merubah orang lain. Aku bukan Desti." Acay tak sengaja kembali menyebut nama gadis itu. Padahal jika menengok pada sejarah, Jendra benci jika harus diungkit-ungkit perihal Desti.
    Desti dan Jendra masuk ke perusahaan itu bersamaan melalui salah satu program. Keakraban mereka karena ditempatkan bersamaan dari satu tambang ke tambang lain terus bertambah. Hingga akhirnya Desti ditempatkan di bagian keuangan, sedang Jendra di bagian produksi. Kebersamaan itulah yang membuat keduanya salah paham dengan perasaan masing-masing. Jendra yang baik kepada semua perempuan akhirnya dengan tanpa sengaja membuat Desti GR, sedang Desti yang akhirnya memberanikan diri menunjukkan perasaan pada akhirnya membuat Jendra risih. Hingga keadaan menjadi memanas saat keduanya terlibat cek-cok dan berlanjut terus menerus kesalahpahaman. Sampai urusan desas-desus tentang Jendra, yang selalu membuat Desti harus dikait-kaitkan. Jadilah, hampir semua kekasih hingga mantan kekasih Jendra membenci Desti, pun sebaliknya.
    Mendengar ucapan Acay, Jendra langsung menyerang kepala Acay dengan jitakkan.
    "Bahas dia lagi, selesai kau." Marahnya Jendra dengan dialek batak kentalnya.

To be continue...

L.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts