Rabu, 27 Januari 2021

#SingleOnSite - Episode 5 Ambisi

    Acay bukanlah tipe lelaki yang akan menunjukkan ambisinya, ia bahkan cenderung tidak ingin menyimpan apalagi mewujudkan ambisi apapun itu. Tekadnya untuk hidup biasa-biasa saja adalah bulat, dan siapapun tak bisa melarang itu. Sayangnya, terkadang seorang lelaki tanpa ambisi hanyalah sebutir pasir di bukit batu, tak terlihat, nyaris tak berguna. Karena tak akan ada doa yang lebih banyak dan usaha yang lebih keras jika segala sesuatunya hanya ingin biasa-biasa saja. Dan begitulah bagaimana ia mulai mendapat masalah. Atasan Acay, Pak Beno, mulai dibuat pusing oleh kinerja Acay yang seolah tak terlihat ingin berbenah. Namun, Acay tak pernah gusar dengan tuntutan-tuntutan Pak Beno. Ia tetap dengan prinsipnya, ingin biasa-biasa saja, hingga kesempatan untuknya mendapat posisi yang lebih baik sudah harus terlewat beberapa kali. 
    Pak Beno sempat berpikir untuk memindahkan Acay ke bagian lain, namun niat itu ia urungkan. Karena jika Acay dipindahkan, sulit ia mendapatkan pengganti mengingat perusahaan sedang pengencangan ikat pinggang dan untuk sementara tak menerima karyawan. Dan ia juga pernah berniat menukar Acay dengan karyawan lain, namun tak ada satu pun divisi yang menerima lelaki ini, alasannya beragam, karena Acay terlalu kaku dalam berkomunikasi, terlalu santai dalam bekerja, terlalu sulit menyesuaikan diri, terlalu pemilih dalam urusan makanan, terlalu lugas dalam memberikan pendapat, dan terlalu-terlalu lainnya yang akan terdengar berlebihan untuk menggambarkan bagaimana sifat seorang manusia. Jadilah, Pak Beno lagi-lagi harus memutar otak.
    Sepanjang sejarah Acay bekerja, baru kali ini ia bekerja di hari sabtu. Ia berniat menyibukkan diri paska sulitnya ia tidur semalam. Menyusuri jalanan beraspal ditemani radio yang memperdengarkan suara merdu dari dokter Marygold idolanya tak lantas membuat Acay menjadi lupa akan masalahnya dengan Fitri, ia tetap kacau. 
    Sampai pagi ini Fitri masih menerornya dengan telpon dan pesan-pesan konyol dan tidak masuk akal. Jika memang kekasihnya itu hendak putus, tentu Acay tidak akan menahannya. Dan kalaupun perempuan itu ingin bertahan, Acay pun tak jua keberatan. Ia santai saja, walaupun perempuan benci diperlakukan demikian.
    Petugas keamanan yang sudah berjaga di pintu gerbang kantor memeriksa Acay sebelum masuk. Dan, Acay lupa menjalankan prosedur sebelum pengoperasian sarana. Selain mendapat teguran Acay juga mendapat sanksi pelubangan tanda pengenal yang memaksa Pak Beno sebagai atasannya akhirnya tahu kejadian ini. Semakin Pak Beno stres menghadapi Acay. Dan, disitulah Pak Beno akhirnya kekeuh ingin memindahkan Acay, bagaimana pun caranya.

***

    Pagi-pagi sekali di hari sabtu, Jube sudah tiba di depan kamar Sekar. Wanita itu membawa rantang besi berisi makanan yang pastinya sudah ditunggu-tunggu oleh Sekar. Sebenarnya perempuan itu ingin langsung masuk seperti biasa, namun ia bertahan cukup lama di depan pintu, entah menunggu apa. Jube terus menatap fokus lorong koridor, ia dengan sabar menunggu sesuatu. Bukankah satu-satunya tujuan ke tempat ini adalah Sekar? Mungkin saja bukan. Sekar yang hendak meletakkan pakaian kotor di depan kamar akhirnya menyadari kehadiran kawannya itu.
    "Kenapa nggak langsung masuk?" Jube panik, hilang ribuan alasan yang seharusnya ia persiapkan. Dengan terbata-bata wanita bersuami itu berhasil memberikan alasan namun payah. 
    "Nunggu kucing lewat." Setelah itu, Jube kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling, dan fokus pada lorong koridor. Sekar sudah kembali masuk ke kamar seolah tidak curiga, namun benaknya berkata berbeda. Sempat dirasakan Sekar ada hal ganjil, namun tak terburu-buru ia mengambil kesimpulan. Ia lebih memilih membuka rantang yang dibawa Jube.
    "Aku pisah aja kali ya?" Ucapan spontan dari Jube yang langsung membuat kunyahan ayam laos di mulut Sekar berhamburan keluar.
    "Apa? Cerai maksudnya?" Jube mengangguk.
    "Jangan ngawur kalau ngomong. Yasir kurang apa coba? Cakep, anak tunggal, punya rumah gede, punya mobil, sukses di pekerjaan. Dan, kalian nikah karena memang suka sama suka kan? Bukan dijodohkan kan?" Bola mata Sekar hampir saja keluar dari kelopaknya. Ia melotot dan berbicara dengan nada tinggi yang membuatnya persis seperti ibu-ibu galak yang memarahi anaknya.
    "Sebagai teman, aku kurang setuju be. Pikirkan ulang." Kali ini Sekar sedikit menurunkan nada bicaranya.
    Di kamar itu tiba-tiba keduanya tak bicara banyak, bahkan hening cukup lama. Suasana menjadi canggung seolah apa yang dilontarkan Jube tadi mengganggu satu sama lain. Sekar pun tak lagi menyantap ayam laos di rantang, ia seolah kehilangan nafsu makan. Tak habis pikir ia bahwa kehidupan pernikahan Jube yang di matanya nyaris sempurna ternyata tidak demikian kenyataannya. 

***

    Langsung diumumkan di Whatsapp grup bahwa saat ini Pak Beno memerlukan seseorang untuk bergabung dalam timnya. Ia tak lagi penuh pertimbangan, membuang Acay ke tempat yang lebih cocok adalah alasannya pada kepala cabang. Dan sesuai dengan pikiran buntunya, tak ada syarat apapun yang ia inginkan, usia bebas, tak jua pendidikan terakhir, pengalaman bekerja, jenis kelamin, semuanya tak ia cantumkan dalam syarat. Ia hanya butuh seseorang yang punya ambisi dan kemauan kuat untuk belajar juga bekerja keras. Dan, orang pertama yang tertarik dengan tawaran itu ialah Dewi Sekartaji.
    Sekar gesit mengirim surel pada Pak Beno yang selanjutnya tembus ke bagian HRD. Sabtu kelabunya kini berapi-api, tantangan baru siap ia jalani. Setelah mengirim surel Sekar langsung membuka-buka website resmi perusahaan dan mulai mempelajari deskripsi job seorang Geologi, semua yang ditampilkan di dalam website tersebut hampir semua poin-poinnya bersifat teknikal. Sekar kembali ragu, ia ingin menarik kembali surel yang ia kirimkan, namun sudah terlambat. Ia memukul-mukul kepalanya karena kesal dengan diri sendiri, sikap gegabah dan cerobohnya memang membuatnya menyesal seringkali.
    "Kenapa lagi?" Jube yang tengah fokus membaca buku kini terganggu oleh tingkah Sekar. Sekar geleng-geleng kepala namun wajahnya tetaplah panik, ia membanting tubuhnya di kasur dan menutup kepalanya dengan bantal, berteriak ia sekeras-kerasnya.
    "Kenapa sih?" Jube penasaran.
    "Gagal lagi sama orang baru itu?"
    "Bukan." Sekar menjawab sambil berteriak di balik bantal. 
    "Terus apalagi? Kayaknya frustasi banget." Mendengar Jube terus bertanya, Sekar malah semakin menjadi-jadi. Rusak.

***

    Sabtu dan minggu terlewati dengan singkat, hari yang menjadi surga bagi Sekar dan Jube ini sudah ditutup oleh datangnya petang dan gulita. Bulan yang terang tak mampu menghidupkan kembali hari sabtu, dan harus menunggu berhari-hari untuk menemui hari minggu. Sial. Menatap hari senin memang sudah ia benci sedari dulu, ia masih ingin berbaring seharian, bercerita panjang lebar, menonton serial drama dan membaca buku, tetapi senin selalu memaksanya untuk sadar bahwa masa bersantai sudah habis.
    Ditambah surelnya sabtu lalu menambah rasa malas Sekar masuk kerja. Tak bisa ia bayangkan bagaimana menghadapi Pak Beno lalu menarik kembali minatnya. Apalagi jika atasan dan rekan satu divisinya tahu tentang surel itu, pastinya akan ada kegaduhan di kubikal. Sekar hanya memukul-mukul kepalanya dan sesekali mengantuk-antukkan kepalanya di kaca jendela bus, persis seperti ucapan Jube bahwa kawannya itu tampak sangat frustasi seolah hari ini akan menjadi kiamat.
    "Semangat dong." Jendra melewati Sekar sebelum turun dari bus. Ia sengaja mencolek lengan perempuan itu dan tersenyum riang. Sekar spontan ingin mengarahkan bogem ke wajah lelaki itu, namun urung. Energinya telah habis untuk menyesal dan berpikir. Sebelum beranjak dari kursi ia bahkan lupa melepas seat belt hingga ia gagal berdiri dan kemudian semakin kesal sendiri. Perilaku Sekar pagi itu lagi-lagi menarik perhatian Acay. Perilaku yang terus memperoleh nilai minus dari lelaki itu. 


To be continue...

L.M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts