Senin, 21 Maret 2022

Bab 8 - Karaoke

Bisnis sedang tidak mudah, harga batu bara sedang tidak sabil. Imbasnya? Jam kerja dipangkas dan 75% karyawan dipulangkan lebih awal. Lania duduk di barisan tengah bus, sedang Riza di depannya. Sepanjang jalan dari hauling hingga jalan negara berkali-kali Riza mencuri-curi melihat ke belakang melalui sela-sela kursi. Namun, entah dipercobaan ke berapa keduanya berhasil mempertemukan sorot tepat jatuh di pupil satu sama lain. Hingga sulit keduanya menghindar dari salah tingkah yang untungnya mereka pikir tidak disadari sekitar. Pergerakan demi pergerakan dari Riza yang Lania cukup suka.

“Apa sih ja ngelirik-ngelirik kesini mulu.” Dinda yang duduk satu baris di belakang nyeletuk yang akhirnya membuat nyaris seisi bus menoleh.

Dengan rona malu Riza memutar kepalanya dan menghadap ke depan. Lania sulit menahan tawa, ia merasa itu cukup lucu namun ia jadi mengevaluasi, apakah memang bukan dia yang Riza lihat?

Bus berhenti tepat di depan jalan menuju kost Riza, namun ia memilih tidak langsung turun. Terus saja melaju hingga titik pemberhentian terakhir di tempat Lania biasa memarkir motor.

“Malam ini sibuk nggak?” Lania kaget karena tak sadar Riza mengekorinya hingga tempat parkir.

“Nggak sih.”

“Jam 8 ya, karaoke, ajakin temanmu yang lain.”

“Oh ok.” Lania tanpa pikir panjang mengiyakan. Bahkan ia tak tahu siapa saja yang akan ikut, atau apa saja yang mendasari Riza mengajaknya.


**


Riza mengirim pesan setengah jam sebelum berangkat.. Lania meluncur dari kost dan langsung menuju lokasi. Debarnya tak karuan menunggu saat-saat bertemu Riza, bukan kali pertama, tetapi rasanya masih sama.

“Mbak Lan, sini!” Dari depan pintu masuk seorang lelaki memanggil. Samar-samar baru Lania kenali ia adalah Kailani yang beberapa kali ia jumpai di kantor.

“Sendiri aja mbak?”

“Iya, Jeni kuajak nggak mau.”

Kailani merespons dengan anggukan dan senyum simpul.

Di salah satu sofa, Lania melihat sosok yang kurus, tinggi, berambut klimis dengan gel yang disisir rapi, fokus berbincang dengan perempuan di depannya, Dinda.

Lania dan Dinda saling menatap, keduanya terjebak dalam frekuensi canggung yang sulit dijelaskan.

“Kalian satu kost kan?”

“Iya.” Lania menjawab lirih.

“Kok nggak bareng aja?”

“Karena ga tahu dia ikut.” Suara Dinda datar namun tatapan matanya mengisyaratkan ketidaksukaan.

“Lebih tepatnya karena nggak akrab kali ya.” Lania melengkapi kalimat itu dengan tertawa seolah-olah itu lucu. Namun suasana jauh lebih canggung dibuatnya. 

Mereka berempat memesan sebuah ruangan small dan siap beradu lagu selama 120 menit. Lania duduk paling kiri, Dinda di tengah, lalu Kailani, dan paling kanan Riza. Tidak banyak pergerakan yang bisa dilakukan empat orang itu. Ruangan benar-benar pas. Sedari awal mulai, Riza dan Dinda beradu dengan lagu-lagu hits dari penyanyi luar. Sedang Kailani mahir dengan lagu-lagu band 2000-an. Kini giliran Lania, ragu-ragu ia memilih lagu favoritenya saat karaoke. Karena ia terbiasa dengan geng para penyamun yang karaoke benar-benar untuk hiburan dan jauh dari jaim. Kini ia kesulitan menentukan lagu apa yang pas dibawakan di depan orang-orang baru yang sudah memamerkan kebolehan menyanyi hingga selera musik yang menurut Lania, sorry, mainstream. Mainstream bagi anak-anak muda yang takut terlihat tidak keren. Melihat situasi itu, Lania mulai mencoba-coba memilih satu lagu.

Zaaaenaaal… Maafkanlah…

Lania memilih tidak melihat ke sekitar. Ia fokus menatap layar. Khidmat menyanyikan lirik demi lirik. Walaupun sulit ia merasa keren di situasi itu.

“Ah sial, nggak ada satupun yang excited dengan lagu dangdut yang seharusnya penuh keceriaan. Lania merasa minoritas.”

Bahkan di tengah-tengah lagu Dinda keluar, disusul Riza, beruntung Kailani tidak mengekori mereka pula. Zaenal usai, giliran lagu milik Dinda yang diputar namun perempuan itu belum jua kembali. Sekitar 2 menit lagu dimulai, Riza kembali lebih dulu, dan langsung membuat pergerakkan tak terduga, duduk tepat di samping Lania. Tepat setelah ia duduk, Dinda masuk dan merasa ganjil melihat itu. Walaupun Kailani sudah tidaklah kaget lagi.

Dari menit ke 34 hingga 120 menit habis, Riza dan Lania tak lepas memegang tangan satu sama lain. Tak peduli sekitar, tak peduli komentar. Ruangan kecil itu seakan hanya milik mereka berdua.


To be cont…




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts