Rabu, 23 Maret 2022

Bab 9 Gayung

 Untuk pertama kali semenjak pindah, Lania sedikit lebih kenal dengan Dinda. Malam itu setibanya di kost, Lania dan Dinda berbincang di depan TV di ruang tengah. Lania berganti pakaian dengan dress pendek berwarna hijau andalannya, sedang Dinda dengan piyama floral yang masih baru. Lania membuat segelas kopi hitam, dan Dinda dengan serealnya. Kedua perempuan dengan tampilan dan selera yang berbeda.

“Kamu tau nggak Riza itu pernah naksir aku?” Sebuah obrolan pembuka yang nyaris membuat Lania menumpahkan kopinya.

“Oh ya? Serius?” Lania berpura-pura penasaran.

“Iya, dulu. Padahal dia tau aku pacar bosnya.” 

“Mas Pane?” 

“Iya, tau kan?”

“Kok dia berani?”

“Ya begitu deh, kayak sering ngechat, terus nanti ngerayu, gombal. Ah pokoknya gitu.”

“Kamunya gimana? Nggak suka?”

“Ya nggak lah, gila apa? Kan sudah ada cowokku.”

Lania mengangguk-angguk karena bingung merespon apa.

“Lagian Riza itu gayung tau.” Tambah Dinda. Lania mengerutkan kening pertanda tak paham dengan istilah itu.

“Semacam player gitu lah. Siapa aja diembat.” Kalimat yang menbuat Lania menelan ludah. 

“Oh gitu? Semua cewek single di kantor?”

“Hampir.”

Lania memundurkan kepalanya, memposisikan badanny sedikit bersandar pada sofa. Mendengarkan cerita Dinda yang dalam setengah jam sudah banyak mengeluarkan hal-hal yang bisa membuat Lania membayangkan bagaimana kota ini sedetail mungkin, berikut penghuninya.


**


Sepulang kerja, Lania langsung menuju dapur dan melirik makanan yang tersaji di meja. Mbak koki di kost memang juara, masakan yang dibuat tak pernah mengecewakan, setidaknya sebulan terakhir. Lania fokus melihat oseng tahu dan sawi putih yang dicampur dengan telur orek dan cabai. Mata Lania berkilat-kilat. Menu favoritnya. Ia berlari ke kamar, dan kembali dalam sekejap.

“Mbak Lan nggak mandi dulu?”

“Nanti saja mbak. Laper.” Langsung saja ia menyantap makanan itu tanpa peduli sekitar sedikitpun. Sampai akhirnya ponselnya berdering.

“Ya mas?”

“Dimana Lan?”

“Di kost.”

“Sibuk nggak?”

“Lagi makan. Ngomong aja.” Di balik telpon, Dharma bingung ingin memulai darimana. Lidahnya kelu, kalimat-kalimat yang ia rangkai sebelum menelpon tercekat. 

“Bener gosip itu Lan?” Lania yang tengah mengunyah sawi mendadak terhenti dan berpikir apa yang Dharma maksud. Namun itu tidaklah sulit. Hanya saja Lania tidak pernah berpikir bahwa Dharma akan tahu hal itu.

“Riza maksudmu?”

“Ya.” Sebagai teman lama Lania merasa tak perlu menyimpan rahasia dengan Riza.

“Iya mas.” Lania berbicara dengan nada setengah malu-malu.

“Kok bisa? Kamu kan baru pindah lan? Dan kamu nggak tau gimana dia.” Dharma berapi-api.

“Udah, sekarang kamu tinggalin dia. Dia nggak baik buat kamu.” Dharma semakin emosional saat ia ingat lelaki itu pernah mendekati Nona, bahkan belum lama ini.

“Tenang aja ma, aman kok.”

“Aman-aman gimana? Kamu sudah kena omongannya dia kayaknya.”

“Emang omongan gimana sih yang kamu bayangin?”

“Banyak. Yang pasti hal-hal taik yang bikin cewek bisa aja GR.”

“Kamu pikir aku orang yang semudah itu?”

“Ya siapa tau kali ini kamu lagi gila. Apalagi kudengar kamu udah berani pergi ke luar kota berdua.”

“Aku bisa jaga diri kok.”

“Lan, bahkan ke Nona aja dia berani. Nona lan. Pacarku. Kamu pikir deh.”

“Becanda kali ma.”

“Terserah kamu lah. Yang pasti aku sudah ngasih tau.” Telpon terputus.

Belum lama hubungan itu terjalin, sudah banyak kabar buruk perihal Riza. Dan dipikirkan bagaimanapun semua apa yang Lania dengar itu masuk akal. Ya, mungkin saat ini ia memang memilih orang yang salah, tetapi kesalahan itulah yang ia cari.



To be cont…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts