Sabtu, 05 Maret 2022

Bab 1 - Wanita Paling Bahagia

Saat sedih bukanlah sedih, amarah bukanlah amarah, benci tak berarti benci, dan bahagia menjadi selamanya. Bagitulah saat bersamamu.

 

Membelah jalanan yang dikelilingi hutan Gunung Rambutan, Lania dan Riza tak hentinya berbagi dekap, cerita, dan jokes receh yang mempertemukan tawa keduanya di udara. Bolos dan menempuh perjalanan jauh berdua, setelah jadian kurang dari seminggu memang hal paling berani yang dilakukan Lania.

Udara malam yang dingin ditambah AC bus membuat keduanya tak berhenti terus saling mendekap. Saat tengah malam, Lania mengeluh kakinya kedinginan, dan Riza dengan sigap menggamit gulungan sepasang kaos kaki perempuan berwarna putih dengan aksen pink di bagian tungkai yang membuat Lania sedikit bertanya-tanya.

“Punya siapa?”

“Punyaku. Salah beli.”

“Oh.” Lania senyum mengangguk enggan membahasnya lagi, walaupun ia tak begitu percaya jawaban itu. Lania membiarkan Riza memasangkan kaos kaki itu. Ia memperhatikan wajah Riza yang hanya terlihat samar-samar lewat pantulan cahaya lampu jalanan yang menjadi sangat redup sampai ke dalam bus. Lelaki itu tampak sulit tidak membuatnya bahagia. Lania tak hentinya memasang wajah sumringah dan penuh cinta.

Banyak mengobrol membuat keduanya sukar menghindari topik-topik sensitif. Mantan pacar, masa lalu, alasan gagal, kadar perasaan, masih sayang dan tidak, keluarga, aib, dan lain-lain. Semua dengan leluasa mereka bahas tanpa batasan apapun dan tetap merasa nyaman. 

Namun, satu hal yang akhirnya membuat mood Lania berubah.

“Aku pergi kali ini pinjam uang Bertha.” Lania terdiam, ia kesal bukan main karena setahu dia Bertha adalah mantan kekasih Riza. Namun, hanya sesaat kalimat itu merusak suasana, dalam sekejap Lania bisa kembali membangun suasana seperti awal dan berusaha tidak lagi membahas itu dan menikmati perjalanan hingga tertidur.

“Kacang, Akua, Mijon. Kacang, Akua, Mijon.” Lania terbangun saat mendengar dan merasakan seseorang meletakkan sebungkus kacang dan minuman kemasan di kursinya. Ia mencari-cari dimana Riza namun tak kunjung menemukan tanda-tanda dimana lelaki itu. Sekeliling sudah ramai dengan orang-orang yang silih berganti masuk ke dalam bus berjualan segala macam makanan. Dari kacang-kacangan hingga nasi bungkus, dari minuman kemasan hingga es plastikan. Di luar bus juga tak kalah ramai, para penumpang bus mulai berhamburan turun dan tersebar di toilet, warung, mushola, dan beberapa bersantai di depan deretan bus sekedar untuk mengobrol atau merokok. Lania memutuskan turun dari bus dan mencari Riza.

Masih dengan kesadaran yang belum begitu sempurna Lania meninggalkan bus berharap tidak begitu sulit menemukan yang ia cari. Benar saja, dari kejauhan tampak lelaki dengan tubuh tinggi tengah memecah kerumunan. Pada dini hari Riza masih menjadi seseorang yang menarik di mata Lania, dengan kaos berwarna putih bergambar Nirvana, celana denim dengan sobekan di bagian lutut, sneakers berwarna navy, dan wajah yang tampak lebih cerah dibanding manusia-manusia lain yang Lania lihat saat itu membuat Lania tak sanggup menahan senyum dan perasaan berdebar yang sulit ia kendalikan. Jatuh cinta.

“Mau kemana?” Suaranya yang terdengar sedikit serak karena udara malam, senyum simpul yang tersungging, dan telapak tangannya yang dengan cepat mendarat di kepala Lania, membuat gadis itu tak punya persiapan untuk menghadapi kondisi itu. Jantungnya nyaris copot, hatinya menghangat sekaligus berdebar, perutnya melilit, dan respons terhadap semua itu jelas menjadi di luar pikirannya. Lania tak canggung memeluk Riza yang ada di depannya. Bukan baginya, mungkin bagi tubuhnya reaksi itulah yang paling natural terjadi saat itu. Riza pun membalas pelukan itu dengan dekap yang sama. Tak ada dingin, tak ada orang lain, waktu sedang dibekukan oleh wanita paling bahagia di muka bumi. Lania.

 

*

 

Belajar dari pengalaman dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. LDR? No way. Lania memusatkan pikirannya pada keyakinan kekasihnya berikutnya tidak boleh jauh, kalau bisa sedekat mungkin. Dan, ya tidak sulit. Dalam hitungan hari ia sudah tahu akan mengarahkan jebakan itu kemana, dan terhitung hanya butuh waktu kurang dari 2 minggu ia mendapatkan orang itu. Sebuah proses yang tak bisa diprediksi siapapun, kilat, dan tentu saja mengundang banyak pertanyaan disana-sini. Lania? Ia sudah terbiasa dengan itu. Ia terbiasa tanpa pikir panjang memutuskan berpacaran dengan orang lain, dan biasanya tanpa pikir panjang pula ketika ingin putus. Baginya hubungan setidakpenting itu.

“Break? Memang dia pikir aku apa? Aku mau tunggu dia? Taik lah.” Lania kesal dengan bahasa kiasan yang digunakan Badawi saat meminta putus, semua diperhalus mungkin dengan tujuan agar tidak terlalu menyakiti walaupun pada akhirnya lebih menyakitkan bagi Lania.

“Kalau kita jodoh pasti balik kok.”

“Ogah.”

“Aku masih perlu bantuan uang kuliah orang tuaku, jadi mau nggak mau aku harus nurut.”

“Alasan.”

“Padahal liburan kali ini aku rencana kesana.”

“Halah lamis.”

“Mereka nggak setuju karena kamu kerja di pub.”

“Kamu sendiri kerja disana bangsat.”

“Mereka pengen calonku PNS.”

Kalimat itu yang menghentikan segala macam perdebatan dalam batin Lania. Oh okay, PNS? Jelas itu bukan dia. Kalimat itu yang pada akhirnya memukul mundur Lania dan memaksanya menjadi lebih terima dengan alasan-alasan tidak masuk akal yang sebelum-sebelumnya ia dengar dari Badawi. Wajar, Badawi anak salah seorang kepala dinas di Tanah Bumbu, ayahnya tentu ingin yang terbaik untuk anaknya. Sedang Lania? Hanya lulusan SMA yang karena faktor hoki bisa bekerja kantoran. Sangat jauh dari tipe ideal bapak-bapak yang merasa berhak mengatur penuh hidup anaknya termasuk soal jodoh. Sialan.

Memilih Riza menjadi angin segar di tengah-tengah hubungan Riza yang sebenarnya juga baru saja berakhir dengan Bertha. Lania enggan bertanya lebih banyak, ia memilih tidak terlalu peduli dengan masa lalu Riza. Yang terpenting adalah saat ini. Karena ia juga enggan jika diwajibkan menceritakan dengan rinci bagaimana hubungannya sebelumnya. Hubungan yang tak pernah bertahan lama, hubungan yang selalu gagal dengan berbagai macam cara, hubungan yang bahkan beberapa malu ia akui. Setidaknya, Badawi adalah mantan terbaik yang pernah Lania miliki. Lupakan para pecundang-pecundang tengik yang pernah memacari Lania, yang cuma demi sepasang sepatu futsal ori import, atau persetan dengan brondong yang hanya mencari Lania saat ia putus dengan pacarnya, atau bodo amat dengan lelaki alim yang bersikap baik pada Lania hanya untuk kemudian meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Acungan jari tengah untuk mereka semua. Lania mengutuk kehidupan cinta super bodoh itu, walaupun ia lupa beberapa orang lain yang justru ia perlakukan tidak adil. Lania lupa ia pun seringkali berlaku tak adil, PHP, memutuskan sepihak, ghosting, mencari-cari masalah agar putus, selingkuh, apalagi? Banyak. Lania memang tidak semalaikat itu, ia cukup kejam untuk perihal hubungan. Jadi, tidaklah salah jika ia diperlakukan hal sama.

 

**

 

Label wanita paling bahagia, lagi-lagi ia sematkan ketika memulai hubungan di satu dua minggu pertama. Kita lihat bagaimana selanjutnya.



to be cont...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts