26

 

            Seminggu terakhir, Aco seperti hilang. Ia muncul di kantor pagi hari, menghilang setelahnya, kembali di jam-jam menjelang pulang, lalu tak ada kabar hingga malam. Terus berulang seperti itu hingga Elok gelisah.

            ”Dia nggak ada ke tempatmu?” Elok mencoba bertanya pada Afif. Afif menggeleng.

            ”Yang pacarnya siapa sih?” Afif curiga.

            ”Kalian berantem?” Lanjut Afif. Kini giliran Elok yang menggeleng.

            ”Terus kenapa nggak nanya dia?” Afif mengernyit.

            ”Ya nggak enak aja nanya-nanya.” Elok menjawab datar.

            ”Nggak enak? Kamu?” Afif semakin merasa aneh.

            ”Kalian putus?” Kini tatapan Afif lebih intens. Elok mengangkat bahu tanda tak tahu.

            ”Nggak bener.” Afif geleng-geleng.

            ”Aku duluan ya.” Elok bergegas ke parkiran meninggalkan Afif di depan ruangan.

            Macet sepulang kantor tak berhasil mendistraksi pikiran Elok, matanya fokus membelah jalan, salip kiri-kanan, tetapi isi kepalanya tetap Aco, hatinya pun masih tak tenang. Di simpang terakhir sebelum menuju kost, Elok memilih putar balik dan mengarah kembali ke jalan utama. Ia yakin sekali harus menuruti kemauannya kali ini. Pulang dengan membawa perasaan ini hanya akan membuat ia gelisah lebih lama, dan yang pasti tak akan lebih baik.

            Tiba di depan gerbang kost Aco, Elok berusaha menghubungi Aco, tetapi tak berhasil. Ia lalu meminta izin pada penjaga kost untuk bisa memanggil Aco. Lelaki itu akhirnya muncul masih mengenakan pakaian yang ia kenakan bekerta tadi siang.

            ”Kenapa kesini?” Aco berjalan ke arah Elok, dengan ponsel di tangan yang terpasang headset. Elok bertanya-tanya seharusnya ia bisa ditelepon.

            ”Nomormu sibuk?” Elok curiga.

            ”Iya, lagi telepon Fatiyah.” Aco menunjukkan ponselnya, walaupun yang tampak di layar nomor tanpa nama.

            ”Kamu kenapa?” Elok bertanya dengan hati-hati.

            ”Nggak ada apa-apa.” Aco menjawab sekenanya.

            ”Lagi ada masalah?” Elok bergetar menanyakan itu. Aco menggeleng.

            ”Yakin?” Elok masih sangsi. Aco mengangguk.

            ”Ya udah kalau gitu, cuma mau mastiin aja sih.” Elok bingung bagaimana mengemas pertanyaan yang beberapa hari ini mengusik kepalanya. Elok berbalik, ia memilih pulang.

            Saat tiba di depan gerbang, Aco mengirim pesan.

            ”Nanti malam aku telpon.” Seketika perasaan Elok membaik. Ia menangis pulang dari tempat itu. Ia lajukan kemudi motornya dengan kencang berharap segera tiba di kost dan bersiap mendengar cerita Aco.

            Selepas isya, Aco menepati janjinya menelpon Elok. Mereka berbincang canggung, tak punya celah untuk langsung ke topik yang ingin Elok dengar. Yang justru keluar dari mulut Aco kebingungannya mengapa Elok tiba-tiba penasaran dengan keadaannya.

            ”Sudah nggak boleh ya?” Elok tersinggung.

            ”Bukan gitu, tapi nggak biasanya.” Aco mencoba menjelaskan.

            ”Aku ngerasa ada yang beda.” Elok memastikan.

            ”Mammiku nikah lagi.” Hening seketika. Elok bingung bagaimana harus merespon, sedang Aco masih tak melanjutkan ucapannya. Jeda sekitar beberapa detik hingga akhirnya Aco kembali melanjutkan.

            ”Sama orang nggak jelas, mantan pacar mungkin, atau siapalah itu. Yang pasti aku nggak suka.” Aco berbicara dengan suara cukup tertekan.

            ”Mungkin beliau butuh temen.” Elok mencoba menghibur.

            “Kami masih kurang?” Aco terdengar kecewa.

            ”Beda.” Elok mencoba membela Sanna.

            ”Apa bedanya? Dan aku nggak suka kenapa mammi harus bohong. Bener-bener nggak ngerti.” Helaan nafas putus asa terdengar jelas di sana. Elok tak punya jawaban lagi. Ia hanya coba memahami.

            Perbincangan mereka malam itu terasa personal dan mendalam, Aco dengan gamblang berkisah tentang mammi dan lelaki yang mendadak kini jadi ayahnya itu. Hampir tak ada alasan menyukai lelaki itu, tapi kita bisa apa? Pernikahan sudah terjadi.

            Tepat jam 10 malam, Elok pamit tidur. Mereka mengakhiri obrolan itu dengan berjanji besok saling membangunkan saat pagi.

 

**

 

            Pagi itu Aco menjemput Elok, mereka berangkat ke kantor bersama. Tiba di kantor 15 menit sebelum bel masuk adalah waktu paling pas. Tidak terburu-buru dan punya waktu membaca email-email yang masuk setelah jam kantor kemarin, ia juga punya waktu untuk menulis to do list hari ini, sempurna.

            ”Nanti jam 9 ke ruangan saya ya.” Pak Sujiwa menghampiri Elok sebelum kemudian berlalu menuju toilet. Elok mengiyakan. Perasaannya tak enak. Ia takut harinya telah tiba. Bisa jadi ini benar-benar jadi bulan terakhir ia bekerja di sini. Perasaan saat ia habis kontrak di kantor sebelumnya seperti masih membekas dan menimbulkan trauma tersendiri bagi Elok. Rasanya pedih sekali. Elok tidak siap.

            ”Aku dipanggil Pak Sujiwa pagi ini.” Elok mengirim pesan pada Aco.

            ”Semangat.” Aco lekas membalas pesan itu, lalu menghampiri Elok di mejanya.

            ”Kapan?” Aco tampak antusias.

            ”Jam 9.” Elok sedikit berbisik. Ia menyadari Pak Sujiwa belum keluar dari toilet.

            ”Semoga hasilnya bagus.” Aco mengepalkan tangan kanannya bersemangat. Elok tersenyum.

            Menunggu hingga jam 9 seperti lama sekali. Elok antara tak siap, namun juga tak sabar. Ia tak punya banyak pilihan tetapi ia tak ingin memilih juga, bagaimana menjelaskannya? Elok benar-benar kebingungan. Ia banyak minum, menarik nafas dalam-dalam, keluar masuk toilet, terus berulang hingga benar-benar sampai jam 9 teng.

 

**

 

            Bukan kali pertama, tetapi ruangan HC tak seperti biasanya. Terasa asing dan lebih dingin, mengintimidasi dan membuat hilang kendali. Elok berharap semoga tak ada sesi bicara, karena suara gemetar tentu akan sulit ia hindari.

            ”Hasil evaluasinya sudah keluar mbak.” Pak Sujiwa tampak serius dan tak berbasa-basi.

            ”Tanda tangan di sini ya.” Sebuah lembaran yang Elok tak berani membacanya. Ia hanya berpikir, ini surat putus kontrak atau surat pengalaman kerja, atau bisa jadi hal lainnya, jamsostek, atau entah surat apa yang memungkinkan ditanda-tangani saat habis kontrak.

            ”Nanti ada perbedaan benefit mbak, ada tambahan tunjangan dan asuransi kesehatan.” Elok melongo, ia lihat dengan saksama secarik kertas di depannya. Ia baca ulang barangkali ada kata tidak atau bukan atau yang lainnya yang memungkinkan ada kesalahan baca atau kesalahan makna, tetap tak ditemukan Elok kata-kata itu. Ya benar, ia permanent. Matanya hampir saja copot.

            ”Selamat mbak.” Pak Sujiwa menyalami Elok.

            ”Makasih pak.” Elok lanjut berdiri dan keluar dari ruangan itu dengan syok. Wajahnya yang kaget tak bisa ia sembunyikan, Pak Sujiwa hanya merasa aneh mengapa Elok tak tampak senang.

            Elok berlari ke toilet, ia duduk di atas kloset mencoba memahami yang ia hadapi hari ini. Masih seperti mimpi. Lekas ia mengirip kabar baik ini pada Aco.

            ”Aku permanent.”

            ”Selamat sayangku.” Aco lekas membalas pesan itu.

            “Nanti mau makan apa?” Elok bersemangat.

            ”Kepiting asap.” Makanan kesukaan Aco.

            ”Oke bos.” Elok tersenyum kecil.

            Jam makan siang hari itu mereka pergi berdua, ke restoran kepiting tak jauh dari kantor.

            ”Kamu kelihatan seneng banget.” Aco tersenyum melihat kekasihnya itu. Elok mengangguk, ia tak perlu kata apapun untuk mengonfirmasi perkataan Aco. Yap, dia sesenang itu.

            ”Terus apa rencanamu?” Aco tampak antusias.

            “Aku pengen kerja serius.” Jawaban Elok itu tak disambut baik oleh Aco.

            “Asal nggak berlebihan.” Aco mengangkat telunjuknya.

            ”Siap bosku.” Elok menjawab patuh.

           

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...