Showing posts with label 60 Hari Bercerita. Show all posts
Showing posts with label 60 Hari Bercerita. Show all posts

26

 

            Seminggu terakhir, Aco seperti hilang. Ia muncul di kantor pagi hari, menghilang setelahnya, kembali di jam-jam menjelang pulang, lalu tak ada kabar hingga malam. Terus berulang seperti itu hingga Elok gelisah.

            ”Dia nggak ada ke tempatmu?” Elok mencoba bertanya pada Afif. Afif menggeleng.

            ”Yang pacarnya siapa sih?” Afif curiga.

            ”Kalian berantem?” Lanjut Afif. Kini giliran Elok yang menggeleng.

            ”Terus kenapa nggak nanya dia?” Afif mengernyit.

            ”Ya nggak enak aja nanya-nanya.” Elok menjawab datar.

            ”Nggak enak? Kamu?” Afif semakin merasa aneh.

            ”Kalian putus?” Kini tatapan Afif lebih intens. Elok mengangkat bahu tanda tak tahu.

            ”Nggak bener.” Afif geleng-geleng.

            ”Aku duluan ya.” Elok bergegas ke parkiran meninggalkan Afif di depan ruangan.

            Macet sepulang kantor tak berhasil mendistraksi pikiran Elok, matanya fokus membelah jalan, salip kiri-kanan, tetapi isi kepalanya tetap Aco, hatinya pun masih tak tenang. Di simpang terakhir sebelum menuju kost, Elok memilih putar balik dan mengarah kembali ke jalan utama. Ia yakin sekali harus menuruti kemauannya kali ini. Pulang dengan membawa perasaan ini hanya akan membuat ia gelisah lebih lama, dan yang pasti tak akan lebih baik.

            Tiba di depan gerbang kost Aco, Elok berusaha menghubungi Aco, tetapi tak berhasil. Ia lalu meminta izin pada penjaga kost untuk bisa memanggil Aco. Lelaki itu akhirnya muncul masih mengenakan pakaian yang ia kenakan bekerta tadi siang.

            ”Kenapa kesini?” Aco berjalan ke arah Elok, dengan ponsel di tangan yang terpasang headset. Elok bertanya-tanya seharusnya ia bisa ditelepon.

            ”Nomormu sibuk?” Elok curiga.

            ”Iya, lagi telepon Fatiyah.” Aco menunjukkan ponselnya, walaupun yang tampak di layar nomor tanpa nama.

            ”Kamu kenapa?” Elok bertanya dengan hati-hati.

            ”Nggak ada apa-apa.” Aco menjawab sekenanya.

            ”Lagi ada masalah?” Elok bergetar menanyakan itu. Aco menggeleng.

            ”Yakin?” Elok masih sangsi. Aco mengangguk.

            ”Ya udah kalau gitu, cuma mau mastiin aja sih.” Elok bingung bagaimana mengemas pertanyaan yang beberapa hari ini mengusik kepalanya. Elok berbalik, ia memilih pulang.

            Saat tiba di depan gerbang, Aco mengirim pesan.

            ”Nanti malam aku telpon.” Seketika perasaan Elok membaik. Ia menangis pulang dari tempat itu. Ia lajukan kemudi motornya dengan kencang berharap segera tiba di kost dan bersiap mendengar cerita Aco.

            Selepas isya, Aco menepati janjinya menelpon Elok. Mereka berbincang canggung, tak punya celah untuk langsung ke topik yang ingin Elok dengar. Yang justru keluar dari mulut Aco kebingungannya mengapa Elok tiba-tiba penasaran dengan keadaannya.

            ”Sudah nggak boleh ya?” Elok tersinggung.

            ”Bukan gitu, tapi nggak biasanya.” Aco mencoba menjelaskan.

            ”Aku ngerasa ada yang beda.” Elok memastikan.

            ”Mammiku nikah lagi.” Hening seketika. Elok bingung bagaimana harus merespon, sedang Aco masih tak melanjutkan ucapannya. Jeda sekitar beberapa detik hingga akhirnya Aco kembali melanjutkan.

            ”Sama orang nggak jelas, mantan pacar mungkin, atau siapalah itu. Yang pasti aku nggak suka.” Aco berbicara dengan suara cukup tertekan.

            ”Mungkin beliau butuh temen.” Elok mencoba menghibur.

            “Kami masih kurang?” Aco terdengar kecewa.

            ”Beda.” Elok mencoba membela Sanna.

            ”Apa bedanya? Dan aku nggak suka kenapa mammi harus bohong. Bener-bener nggak ngerti.” Helaan nafas putus asa terdengar jelas di sana. Elok tak punya jawaban lagi. Ia hanya coba memahami.

            Perbincangan mereka malam itu terasa personal dan mendalam, Aco dengan gamblang berkisah tentang mammi dan lelaki yang mendadak kini jadi ayahnya itu. Hampir tak ada alasan menyukai lelaki itu, tapi kita bisa apa? Pernikahan sudah terjadi.

            Tepat jam 10 malam, Elok pamit tidur. Mereka mengakhiri obrolan itu dengan berjanji besok saling membangunkan saat pagi.

 

**

 

            Pagi itu Aco menjemput Elok, mereka berangkat ke kantor bersama. Tiba di kantor 15 menit sebelum bel masuk adalah waktu paling pas. Tidak terburu-buru dan punya waktu membaca email-email yang masuk setelah jam kantor kemarin, ia juga punya waktu untuk menulis to do list hari ini, sempurna.

            ”Nanti jam 9 ke ruangan saya ya.” Pak Sujiwa menghampiri Elok sebelum kemudian berlalu menuju toilet. Elok mengiyakan. Perasaannya tak enak. Ia takut harinya telah tiba. Bisa jadi ini benar-benar jadi bulan terakhir ia bekerja di sini. Perasaan saat ia habis kontrak di kantor sebelumnya seperti masih membekas dan menimbulkan trauma tersendiri bagi Elok. Rasanya pedih sekali. Elok tidak siap.

            ”Aku dipanggil Pak Sujiwa pagi ini.” Elok mengirim pesan pada Aco.

            ”Semangat.” Aco lekas membalas pesan itu, lalu menghampiri Elok di mejanya.

            ”Kapan?” Aco tampak antusias.

            ”Jam 9.” Elok sedikit berbisik. Ia menyadari Pak Sujiwa belum keluar dari toilet.

            ”Semoga hasilnya bagus.” Aco mengepalkan tangan kanannya bersemangat. Elok tersenyum.

            Menunggu hingga jam 9 seperti lama sekali. Elok antara tak siap, namun juga tak sabar. Ia tak punya banyak pilihan tetapi ia tak ingin memilih juga, bagaimana menjelaskannya? Elok benar-benar kebingungan. Ia banyak minum, menarik nafas dalam-dalam, keluar masuk toilet, terus berulang hingga benar-benar sampai jam 9 teng.

 

**

 

            Bukan kali pertama, tetapi ruangan HC tak seperti biasanya. Terasa asing dan lebih dingin, mengintimidasi dan membuat hilang kendali. Elok berharap semoga tak ada sesi bicara, karena suara gemetar tentu akan sulit ia hindari.

            ”Hasil evaluasinya sudah keluar mbak.” Pak Sujiwa tampak serius dan tak berbasa-basi.

            ”Tanda tangan di sini ya.” Sebuah lembaran yang Elok tak berani membacanya. Ia hanya berpikir, ini surat putus kontrak atau surat pengalaman kerja, atau bisa jadi hal lainnya, jamsostek, atau entah surat apa yang memungkinkan ditanda-tangani saat habis kontrak.

            ”Nanti ada perbedaan benefit mbak, ada tambahan tunjangan dan asuransi kesehatan.” Elok melongo, ia lihat dengan saksama secarik kertas di depannya. Ia baca ulang barangkali ada kata tidak atau bukan atau yang lainnya yang memungkinkan ada kesalahan baca atau kesalahan makna, tetap tak ditemukan Elok kata-kata itu. Ya benar, ia permanent. Matanya hampir saja copot.

            ”Selamat mbak.” Pak Sujiwa menyalami Elok.

            ”Makasih pak.” Elok lanjut berdiri dan keluar dari ruangan itu dengan syok. Wajahnya yang kaget tak bisa ia sembunyikan, Pak Sujiwa hanya merasa aneh mengapa Elok tak tampak senang.

            Elok berlari ke toilet, ia duduk di atas kloset mencoba memahami yang ia hadapi hari ini. Masih seperti mimpi. Lekas ia mengirip kabar baik ini pada Aco.

            ”Aku permanent.”

            ”Selamat sayangku.” Aco lekas membalas pesan itu.

            “Nanti mau makan apa?” Elok bersemangat.

            ”Kepiting asap.” Makanan kesukaan Aco.

            ”Oke bos.” Elok tersenyum kecil.

            Jam makan siang hari itu mereka pergi berdua, ke restoran kepiting tak jauh dari kantor.

            ”Kamu kelihatan seneng banget.” Aco tersenyum melihat kekasihnya itu. Elok mengangguk, ia tak perlu kata apapun untuk mengonfirmasi perkataan Aco. Yap, dia sesenang itu.

            ”Terus apa rencanamu?” Aco tampak antusias.

            “Aku pengen kerja serius.” Jawaban Elok itu tak disambut baik oleh Aco.

            “Asal nggak berlebihan.” Aco mengangkat telunjuknya.

            ”Siap bosku.” Elok menjawab patuh.

           

25

 

Beberapa hari setelah perjumpaan kali pertama di warung Bu Ratmi tempo hari, Rokhani memberanikan diri menelepon Sanna. Sanna menyambutnya dengan ramah hingga sekali lagi menawarkan mampir ke rumahnya. Dari kunjungan pertama hari itu seusai dzuhur pada hari sabtu, Sanna dan Rokhani berbincang banyak. Agar menghindari gosip tetangga, Sanna sengaja berbincang di teras dengan ditemani Puang Ani dan Puang Ola. Perbincangan berlangsung santai tetapi sudah membahas hal-hal yang cukup serius. Termasuk status Sanna saat ini. Sanna dan keluarga seolah merasa nyaman berbincang dengan Rokhani yang memang pandai bicara. Ia juga bercerita tentang keadaannya yang masih sendiri hingga usia hampir 45 tahun itu.

“Masa tidak ada keinginan punya pasangan?” Puang Ola yang baru hari itu mengenal Rokhani dengan santai menanyakan hal yang sebenarnya sensitif itu.

“Ingin kak, tapi belumlah.” Rokhani menjawab dengan cengengesan.

“Kalau tidak sama Puang Sanna saja.” Puang Ola mencolek lengan Sanna. Dahi Sanna mengkerut, wajahnya masam.

“Mau kita?” Rokhani dengan nada bercanda.

“Jangan, anakku 4.” Sanna menjawab dengan tertawa diikuti tawa yang lain.

Semenjak hari itu, Rokhani jadi semakin sering mengunjungi Sanna. Terkadang hanya sekedar mampir membawakan sayur-sayuran, lauk-pauk, atau beras. Tak jarang pula datang hanya untuk memberi uang saku Fatiyah dan Andara, kalau Gemma jelas tidaklah mau. Dari yang terlihat, siapapun akan berpikiran bahwa ada yang spesial di antara Sanna dan Rokhani, atau terburuknya perasaan Rokhani pada Sanna yang spesial, bertepuk sebelah tangan, karena sikap Rokhani kentara sekali, orang berbeda kabupaten pun jika melihat interaksi mereka saat bertemu sudah pasti salah paham.

 

**

Sampai pada satu titik, Puang Takko dari Makassar mendengar cerita itu dari Puang Ola. Cerita tentang Rokhani, bujang tua yang bolak-balik mengunjungi Sanna, keakraban mereka pun dijelaskan dengan rinci oleh Puang Ola. Mendengar cerita itu dengan sigap saat libur bekerja Puang Takko pulang ke Palakka, ia ingin mendengar cerita itu secara langsung, dari istrinya hingga ibunya. Saat semua informasi ia rasa cukup, Puang Takko meminta Sanna untuk mengundang Rokhani ke rumah. Melihat kondisi yang ada, Sanna tidaklah keberatan. Walaupun memang di keluarga, Puang Takko termasuk yang paling didengar apapun yang ia katakan. Singkat cerita mereka pun bertemu.

“Jangan terlalu sering datang, tidak baik dilihat tetangga.” Niat hati Puang Takko menggertak. Rokhani hanya menunduk, ia tak banyak bicara malam itu.

“Ta suka dengan Sanna?” Puang Takko bertanya dengan suara keras. Rokhani masih tidak menjawab.

“Saran saya jangan. Sanna biar fokus sama anaknya saja. Saya dan keluarga pun sepakat tidak akan setuju.” Suara Puang Takko semakin tegas. Rokhani semakin tidak berkutik, ia sama sekali tidak bicara sampai Puang Takko menyerah mencoba berdiskusi dengan lelaki itu. Dari dalam dapur, Sanna merasa teramat malu dengan Rokhani, ia merasa pertanyaan Puang Takko terlalu ceplas-ceplos, sedang ia tak merasa jika Rokhani menyukainya, bahkan rasanya ialah yang menyukai lelaki itu, harus ia akui.

Tanpa banyak pertanyaan lagi, Rokhani pulang. Perbincangan di keluarga itu perihal Rokhani pun terus berlanjut dengan kesimpulan, jangan sampai lelaki itu datang lagi.

 

**

Apapun yang menjadi keputusan keluarga tak bisa menjadi penghalang apabila dua sejoli sudah ingin bersama. Sanna dan Rokhani diam-diam sudah dimabuk cinta. Tidak lagi bertemu, tetapi mereka bertukar kabar lewat SMS dan telepon. Sampai puncaknya, Sanna dan Rokhani mendaftarkan pernikahan di KUA Palakka. Pernikahan yang lebih seperti kawin lari, tetapi dilakukan dengan amat rapi dan tidak diketahui orang terdekat, Sanna dengan pintarnya meminta bantuan adik dari ayahnya Puang Kamal yang tinggal di Maros sebagai wali nikah. Singkatnya, mereka sah sebagai suami istri. Saat pertama kali keluarga di Palakka tahu, Sanna sempat menjadi bulan-bulanan dan masuk persidangan keluarga karena dianggap mencoreng kepercayaan keluarga. Tetapi apa mau dikata, pernikahan sudah dilakukan dan mau tidak mau restu harus sudah didapat.

Seminggu setelah kabar itu tersiar, Sanna sengaja membuat acara syukuran di rumahnya sekaligus memperkenalkan Rokhani secara resmi sebagai suaminya. Lelaki yang ia kenal sejak lama dan saat ini  ia sukai dan terlihat bertanggung jawab, dan sepertinya sangat baik, dan dan lainnya yang dengan mudah menjadi validasi keputusan yang Sanna anggap tepat.

**

Layaknya keluarga di Palakka, Aco pun tahu belakangan. Bahkan siapa Rokhani dari awal pun ia tak pernah dengar. Sedikitpun tak pernah ia bayangkan jika mamminya menikah lagi, seolah bagi Aco itu adalah penghianatan paling kejam pada mendiang ayahnya. Ia merasa kesal, tidak rela, tetapi di sisi lain ia juga mulai menyalahkan dirinya sendiri, apalagi saat Sanna beralasan bahwa apa yang Aco beri selama ini belumlah cukup. Aco mengakhiri panggilan telepon itu dengan perasaan marah yang tak terkira.

Selama beberapa hari paska kabar yang ia rasakan seperti hantaman itu datang, Aco menghabiskan malamnya dengan mengunci diri di kamar. Aco memilih banyak diam dan menjalani kehidupan bisu. Dadanya terasa sesak sekali. Seperti ada yang salah dari apa yang selama ini ia lakukan. Seperti tidak terima dengan apa yang ia dengar. Seperti ia gagal menjaga ibunya. Sedikitpun, Aco tak pernah memberikan celah dalam pikirannya untuk mencoba menerima lelaki itu. Mengganggapnya ayah? Cuih. Tidak sudi.

 

**

 

Sanna yang tengah dimabuk cinta punya seribu alasan pembenaran terhadap keputusannya. Sulit sekali membuat sekelilingnya paham bahwa jatuh cinta tidak hanya dialami remja atau dewasa muda, ia pun berhak. Seperti ingin meneriakkan keyakinannya itu pada semua orang, termasuk Aco, putranya. Ia ingin sekali menceritakan rasa mulas setiap kali jadwal ia bertemu Rokhani, lalu menceritakan debarnya yang tidak kunjung berhenti setiap bertatap muka secara langsung, belum lagi perasaan penuh harap yang ia percaya membawa kehidupan yang lebih baik baginya dan keempat anaknya. Selama kembali bertemu bujang tua itu, Sanna menjadi wanita penuh semangat yang bangun bagi dengan wajah berseri dan tanpa beban. Ia merasa hidup cukup walaupun miskin, kenyang walau kekurangan, dan bahagia walaupun menjadi musuh keluarga. Begitulah, tak ada yang paham isi hatinya.

Sedang Rokhani pun sama, ia seperti menemukan jawaban dari rasa penasarannya dahulu. Sanna yang pernah ia coba dekati namun seakan tidaklah memberi sinyal balik padanya kini terang-terangan menerimanya. Bahkan dengan penghasilannya yang tidak seberapa. Wanita cantik itu terlihat sama seperti puluhan tahun lalu di mata Rokhani. Ia pun lebih kurang memelihara debar yang sama dengan Sanna. Debar yang tak mudah dimengerti siapapun. Untuk itu, pantang baginya menyerah hanya karena seorang manusia bernama Takko melarangnya. Maju terus walaupun dengan cara yang cukup culas. Tapi ia lupa, selain Takko ada orang lain lagi yang menentang kenekatannya itu.

Sudah berhari-hari Aco malas berinteraksi dengan siapapun kecuali terpaksa, urusan kantor misalnya. Selebihnya, ia memilih banyak diam dan memasang wajah tidak ramah.

 

24

 

            Masa evaluasi Elok sudah hampir tiba, Keputusan ia akan menjadi karyawan tetap, perpanjangan kontrak, ataupun putus kontrak. Elok sedikit gusar perihal itu, dan berkali-kali harus berpikir keras bagaimana caranya agar pada masa evaluasi ini ia bisa maksimal menunjukan kinerjanya. Sedikit menggelikan bagi Elok, ia sedang berharap besar terhadap manusia, penilaian baik dari manusia, memvalidasi dirinya bahwa ia layak dipertahankan, dan itu membuat ia merasa jijik. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan.

            Sudah hampir dua minggu Elok pulang larut, ia membantu divisi keuangan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen persiapan kunjungan dari luar. Di siang hari ia masih harus ikhlas menjadi pesuruh untuk hal-hal remeh-temeh yang sudah mulai nyaman ia lakukan. Seisi ruangan menyadari apa yang Elok lakukan itu, kentara sekali ia bertekad ingin diterima, usaha itu tampak penuh pamrih, hingga tak sedikit pula yang langsung mengkritik perilaku Elok dan beberapa orang lainnya memanfaatkannya. Tak terkecuali Aco yang mendengar hal-hal ganjil tentang Elok, ia risih, namun tak berhasil menasehati perempuan itu.

            Malam itu Elok masih bertahan di kantor hingga pukul 9 malam, Aco berkali-kali mengirim pesan dan mencoba menelepon, Elok mengaktifkan mode senyap, ia sibuk menyusun dan mengurutkan dokumen-dokumen berdasarkan urutan waktu agar mudah saat diperlukan. Hingga 30 menit berlalu, Elok tak jua merespon Aco. Aco sudah menduga kekasihnya itu belum pulang, hingga ia dengan sigap menuju kantor. Dengan berapi-api Aco mencoba menahan diri agar tidak meledak, hingga ia tiba di ruangan, masih terang-benderang, sayangnya hanya ada Elok disana, sendirian, Aco naik pitam. Tak banyak bicara, Aco menarik Elok dari kursinya.

            ”Apa sih, lepas nggak?” Elok berusaha melepas cengkeraman tangan Aco yang sangat kuat. Aco tak peduli, ia meraih ponsel dan tas Elok lalu menyeret kekasihnya itu keluar dari kantor. Bisa ditebak, mereka akan bertengkar hebat setelah ini. Aco tak sedikitpun melonggarkan cengkeramannya hingga mereka tiba di halaman kantor. Aco mencegat taksi yang lewat, memaksa Elok masuk dan meminta diantar ke kost. Elok tak berkutik, ia ketakutan. Bukan karena Aco marah, tetapi karena kekasihnya itu diam. Sepanjang jalan tak satu kata pun keluar dari keduanya. Hingga tiba di depan kost Elok, Aco mulai lepas.

            ”Kamu pikir itu bener? Hah? Mereka nggak akan peduli kamu pulang jam berapa, apa yang kamu kerjain. Nggak.” Aco terlihat sangat marah.

            ”Aku cuma usaha, salah?” Elok menangis, ia kelelahan sekaligus kesal dengan Aco.

            ”Bukan gitu cara kerjanya. Kamu jadi kacung, ngerjain semuanya sendiri, kamu pikir itu bakal berhasil?” Aco menarik nafas dalam dengan berat.

            ”Kamu emang selalu mikir aku nggak mungkin berhasil kan? Kamu selalu mikir aku KACUNG.” Elok semakin menangis.

            ”Kamu nggak pernah realistis.” Suara Aco meninggi, beberapa penghuni kost tampak mengintip lewat jendela kamar masing-masing. Menyadari itu, Aco menarik Elok keluar pagar.

            ”Aku mau kamu berhenti. Jangan jadi gila.” Suara Aco mengecil, namun penuh penekanan. Beberapa kali ia menekan giginya tanda teramat geram.

            ”Aku capek duduk di meja itu, kamu ngerti nggak?” Tangisan Elok menjadi-jadi. Ia berjalan meninggalkan Aco. Aco hanya diam, membiarkan Elok memasuki pagar, lalu pulang beberapa saat kemudian.

            Malam itu baik Aco maupun Elok meredam emosinya di kamar masing-masing, keduanya berharap perasaan ini segera hilang dan esok bisa bekerja seperti biasa, namun sayang hingga lewat tengah malam keduanya masih dalam keadaan tidak tenang.

            ”Udah tidur?” Elok yang masih terjaga mengirim pesan pada Aco. Ia menyadari, memaksakan diri untuk tidur dan berpura-pura tidak terjadi apapun tidak akan banyak membantu. Cukup lama Elok menunggu Aco membalas pesannya, ia meyakini Aco pun masih belum tidur. Ia bolak-balik memeriksa pesan itu, hingga akhirnya terbaca. Aco langsung menelepon.

            ”Kenapa belum tidur?” Suara Aco terdengar lembut, seperti orang berbeda dengan yang beberapa jam lalu.

            ”Nggak bisa.” Suara Elok parau.

            ”Istirahat, besok kerja.” Kepala Aco memang mendingin, tetapi dadanya berdebar kencang.

            ”Aku minta maaf.” Elok mengucapkannya dengan terbata.

            ”Aku juga, aku keterlaluan ya?” Aco terdengar menyesal.

            ”Nggak, aku ngerti kok maksudmu.” Elok mulai berpikir jernih.

            ”Aku nggak pernah sekalipun berpikir kamu nggak akan berhasil. Justru karena aku percaya kamu, aku ngerasa kamu nggak perlu berusaha sekeras itu.” Aco benar-benar lembut mengucapkan itu. Elok terdiam.

            ”Aku janji nggak akan bikin kamu susah.” Hati Elok menghangat mendengar itu, berapa kalipun mereka bertengkar, Aco memang selalu berhasil membuat amarahnya mereda. Atau mungkin memang ia tak pernah benar-benar marah pada Aco. Masih sama, Aco tanpa celah bagi Elok.

 

**

 

            Bertahun-tahun lamanya semenjak Jalal berpulang, Sanna menjalani hari-hari sebagai ibu dan menyambi sebagai pemetik kopi. Sekalipun Aco sudah berpenghasilan lumayan, tidak jua semua kebutuhan Sanna dan anak-anaknya bisa ditanggung serta-merta oleh Aco. Mungkin hanya kebutuhan pokok saja, asal bisa makan dan hidup layak, selebihnya jika ada keperluan tambahan, keperluan sekolah untuk tugas, patungan, ekstrakulikuler, uang jalan, menyumbang di acara hajatan, seragam arisan, belum lagi keperluan dadakan yang lain yang seringkali tidak terduga. Karena itulah Sanna masih perlu bekerja, agar tidak selalu memberatkan putranya. Dalam proses Sanna menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, ia bertemu kembali dengan kenalan lama yang dahulu pernah menjadi kawannya di organisasi remaja masjid saat Sanna masih bersekolah SMP di Maros, jauh sebelum mengenal Jalal. Ialah Rokhani, anak lelaki dari orang tua asal Jawa Timur yang merantau ke Sulawesi Selatan. Rokhani menghabiskan masa SD hingga SMA di Maros, lalu ia merantau ke Kalimantan untuk waktu yang lama, dan setelah puluhan tahun itu ia kembali ke Tanah Sulawesi namun berpindah ke Kabupaten Bone, bekerja sebagai kuli bangunan untuk Haji Syarif, salah satu kontraktor bangunan ternama di Bone. Masih menjadi pertanyaan, di usianya yang hampir 45 tahun Rokhani belum menikah. Padahal jika dilihat-lihat ia tidaklah jelek, cenderung tampan, wajahnya kearab-araban, badannya tinggi tegap, dan yang lebih penting sekalipun ia bekerja di bawah terik dan gosong, Rokhani tetap terlihat menarik, ia cocok dengan pakaian apapun. Tak jarang perempuan-perempuan dari yang muda hingga berusia lanjut melihat Rokhani sebagai idola, objek untuk cuci mata.

Hari itu sepulang Sanna dari kebun, ia mampir ke warung tepat di sebelah balai desa untuk berbelanja sabun dan kapur barus. Saat menunggu Ibu Ratmi mengambilkan kembalian, Sanna mendengar suara yang merdu sekali masuk ke telinganya. Suara yang secara otomatis membuat Sanna dimanjakan dalam beberapa saat.

”Ada yang isi 20 bu?” Ucap lelaki itu sembari menunjuk rokok kretek yang ada dalam etalase.

“Habis om.” Bu Ratmi menyahut.

Secara tidak sadar, Sanna melihat wajah lelaki itu. Tidak asing pun tidak mudah pula ia kenali. Garis mukanya benar-benar khas, apalagi sorot matanya, tak ada duanya. Lelaki itu pun menyadari ia tengah diamati, lalu ia melakukan hal yang sama. Benar saja, Sanna tidak banyak berubah. Wajahnya masih cantik dan mirip dengan ia remaja. Jika pun dilombakan siapa yang akan lebih mudah dikenali, maka Sanna lah jawabannya.

“Andi Sanna Mardiat?” Dengan suara pelan nan ragu-ragu. Lama Sanna mencerna sapaan dari lelaki itu. Sampai ia hanya bisa bertanya balik.

“Kita pernah kenal dimana sebelumnya ya?” Sanna tersenyum sekaligus berpikir keras dimana ia menjumpai lelaki beralis tebal itu.

“Masjid At-Thoyibbah Maros.” Rokhani menjawab yakin.

“Masya Allah, iya ya? Tahun berapa itu? Kita sudah lama di sini?” Sanna menjawab sekaligus bertanya antusias.

“Sudah 5 bulanan di dekat Pasar Sentral. Rumahmu daerah mana?”

“Dekat dari sini, kapan-kapan mampir.” Sanna berbasa-basi. Lalu tanpa ragu Rokhani meminta nomor telepon Sanna.

23

 

            Enggan bertengkar di rumah, Aco membawa Elok ke sebuah tempat, Terowongan Sumpang Labbu yang juga sudah sering Elok dengar dari Aco. Di atas terowongan mereka berdebat, Elok hampir menangis, Aco berulang kali mengucapkan kalimat yang sama.

”Sekarang bukan masanya kita permasalahin itu. Kita sudah saling kenal keluarga, tinggal gimana kita maintain aja hubungannya.” Aco setengah putus asa, amarah Elok seperti membuncah.

“Kalian masih komunikasi, bahkan ke mammi? Dia sengaja?” Suara Elok setengah ia tahan.

”Dia sudah mau nikah sayang.” Aco kembali mengulang kalimat yang sama sekali tidak menenangkan Elok.

”Justru itu kenapa dia masih nggak tau malu? Harusnya dia urus kehidupannya sendiri.” Elok semakin hilang kendali, suaranya semakin berat.

”Kalaupun dia mau balik sama aku, belum tentu keluargaku mau. Dia sudah sama orang lain, ya sudah. Kamu berlebihan sayang.” Aco menarik lengan Elok, ia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan agar Elok tenang.

”Telpon dia sekarang, bilang nggak akan ganggu kamu lagi.” Sulit sekali bagi Elok berpikir jernih.

”Dia pasti akan ketawa kalau lihat kita begini.” Aco menarik nafas panjang, ia benar-benar putus asa.

”Kamu masih peduli pendapatnya?” Seperti kerasukan setan, Elok meminta Aco melakukan yang ia mau. Aco mengambil ponsel di dalam sakunya, lalu memanggil sebuah nomor. Tampak di layar, bahkan nomor itu tidak disimpan di kontak Aco, seperti nomor yang ia bisa hapal, bahkan seingat Elok Aco tak pernah menghapal nomornya. Elok kehabisan akal melihat kedua orang ini. Semakin ia merasa tidak mengenal Aco.

”Halo, iya.” Suara Ratih terdengar dari pengeras suara.

”Pacarku mau kamu nggak usah hubungi aku sama keluargaku lagi.” Aco langsung dengan lantang mengucapkan itu. Terlihat Aco menahan malu, tetapi tekanan dari Elok membuatnya terpaksa.

”Oh iya, kita sudah nggak ada apa-apa kan.” Ratih menjawab tenang. Terdengar ada rasa menang disana. Elok cemburu? Artinya ia tak cukup percaya diri. Mungkin seperti itulah kesan yang didapat Ratih.

Elok seperti menyesal meminta itu pada Aco, tak jua rasa lega ia dapat walaupun Aco sudah menelpon Ratih di depannya. Ia justru semakin gelisah, apalagi saat ingat bagaimana Aco dengan mudahnya mengingat nomor ponsel Ratih, entah ini sudah panggilan ke berapa, bisa jadi semua terjadi setelah Aco bersama Elok. Perasaan Elok berkecamuk hingga hari terakhir ia ada di kampung itu.

 

**

 

            Aco dan Elok menuju Makassar pagi itu, dengan mengendarai motor mereka melewati jalanan berkelok Bone-Makassar dengan pemandangan yang luar biasa indah.

            ”Mau mampir ke taman kupu-kupu?” Aco bertanya pada Elok.

            ”Boleh, belum tentu nanti aku bisa kesini lagi.” Elok menjawab dengan sarkas. Aco paham maksud itu.

            ”Berarti kamu pikir nggak akan kesini lagi? Sama aja kamu pikir kita nggak akan sama-sama?” Aco mencoba menegaskan. Elok terdiam. Ingin sekali iya mengamini perkataan Aco, tetapi lebih jauh ia berharap bisa kembali ke tempat ini terus dan terus.

            ”Bisa nggak kita tenang sebentar aja? Kamu selalu mikir yang nggak-nggak.” Suara Aco terdengar lembut, ia menarik tangan kiri Elok dan menggenggamnya sambil mengendarai motor. Elok tak berontak, ada perasaan hangat saat itu. Amarah Elok seperti mereda.

            Tiba di Bantimurung, Aco memarkirkan motornya. Sepanjang memasuki area, mereka disambut banyak kupu-kupu. Aco merangkul Elok, kemudian menggandengnya, tak henti mereka saling berpegangan satu sama lain.

            ”Sama aku aja ya.” Aco membisikkan itu pada Elok, kalimat yang justru sering Elok ucapkan hari itu terdengar dari mulut Aco. Kupu-kupu yang memenuhi tempat itu, seakan juga memenuhi hati dua sejoli itu. Di saat seperti ini, yang tersisa hanya perasaan yakin dan berharap bisa bersama orang yang sama selamanya.

 

**

 

            Menyisakan sehari untuk beristirahat, Elok sengaja mematikan ponselnya. Ia membenamkan diri di atas kasur dan memutar lagu-lagu dari pemutar musik miliknya. Sekitar pukul 3 sore, ibu kost datang mengetuk pintu kamar Elok.

            ”Mbak, ada yang nyari.” Elok keluar kamar dan mengekori ibu kost. Di teras sudah menunggu 2 anak kecil dengan tas lengkap.

            ”Loh kok di sini dek?” Elok menghambur peluk pada Denok dan Hapsari.

            ”Ikut mbah.” Hapsari menunjuk Ajeng yang berdiri di ujung teras, Ajeng teralihkan anggrek bulan yang cantik dengan beragam warna.

            ”Ibu telpon kamu nggak aktif.” Ajeng berjalan ke arah Elok, memberikan peluk.

            ”Ayok masuk.” Elok bergegas membawa mereka ke kamar agar bisa mengobrol dengan leluasa.

            ”Nginap ya?” Elok berbicara dengan Denok. Denok geleng-geleng.

            ”Mbakmu beneran nggak pulang.” Ajeng masih terdengar sedih.

            ”Dah biarin aja bu, anggap aja sudah ilang.” Elok kesal mengingat iparnya itu.

            ”Kasihan bocah-bocah.” Ajeng melihat ke arah Denok & Hapsari.

            “Kan ada aku bu.” Elok menunjuk dirinya sendiri dengan tegas.

            ”Mau kamu ngurusin mereka?” Ajeng bertanya serius.

            ”Mau.” Elok menjawab tanpa berpikir.

            ”Alhamdulillah.” Ajeng terdengar lega, tetapi mimik mukanya tak bisa menyembunyikan keraguannya pada jawaban Elok.

            ”Ibu sebenernya pengen kamu di kampung aja, biar bantu ibu jaga mereka. Kadang ibu kewalahan lo, mana kaki sering kumat.” Ajeng sembari memijat-mijat kakinya pelan.

            ”Kenapa nggak ibu aja yang pindah kesini. Jadi aku juga masih bisa kerja.” Elok ikut memijat kaki Ajeng.

            ”Ya kita lihat nanti lah.” Ajeng masih ragu memikirkan tempat tinggal jika harus keluar dari kampung.

            Malam itu Ajeng dan kedua cucunya menginap di kamar kost Elok, mereka banyak berbincang. Keresahan-keresahan Ajeng tumpah malam itu, Elok pun sama. Menceritakan hidup, merencanakan esok, semua terasa ringan saat beban itu dibagi.

 

**

 

            Mendengar kabar Ajeng menginap, pagi-pagi sekali Aco sudah tiba di kost Elok. Membawakan kue-kue untuk sarapan, Aco menyalami Ajeng.

            ”Sehat bu?”

            ”Alhamdulillah sehat.”

            ”Kami berangkat dulu bu.” Elok muncul dan langsung berpamitan sebelum sempat Aco berbincang dengan Ajeng lebih banyak.

            ”Kok buru-buru?” Aco penasaran.

            ”Jangan ngobrol dulu sama ibu, dia lagi sensi.” Elok mulai mengoceh semua cerita yang semalam ia bahas dengan ibu. Sepanjang jalan menuju kantor Aco mendengarkan dengan khidmat. Hingga sampai pada cerita rencana pindah Ajeng dan keluarga.

            ”Kamu yakin bawa mereka kesini?” Elok mengangguk.

            ”Kamu aja belum settle sayang.” Aco mencoba realistis.

            “Ya siapa tau setelah ini kerjaanku bagus.” Elok coba optimis.

            ”Aamiin.” Aco mencoba percaya saja, ia tak ingin mengacaukan optimisme Elok.

            Setibanya di kantor, Elok baru mulai berpikir. Sepertinya apa yang ia yakini tadi, tidak serta-merta akan mudah. Melihat memo yang ada di layar komputernya, tumpukan kertas-kertas yang menunggu dikerjakan, agenda meeting, serta pekerjaan-pekerjaan dadakan lain yang biasanya timbul tenggelam membuat Elok kewalahan sebelum memulai. Mengandalkan pekerjaan ini untuk menyambung hidup dengan kedua keponakan yang masih sekolah. Sudah tentu ia harus berusaha lebih keras, lebih tekun, lebih tangguh. Jika satu dua kali ia harus menangis, maka ia harus bangkit lagi ribuan kali. Seperti itulah pikiran berisik Elok pagi itu.

22

 

            Kalau kamu berharap orang lain akan bisa bersikap sesuai dengan apa yang selalu diharapkan, maka sebenarnya dunia ini hanya akan berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada usaha yang lebih keras, semua orang saling baik dan membiarkan orang lain meraih segalanya lebih awal. Kita tidak akan sibuk dengan menerka-nerka, tak ada area abu-abu, semua berjalan pada putih dan lapang sekali melihat apapun, terang benderang tak ada kegelapan. Namun, sejak awal semuanya tidak diciptakan demikian. Sisi hitam dan putih dibiarkan hidup hingga lebih banyak manusia nyaman di area abu-abu, sisi yang bisa saja menyakiti kita tanpa disengaja. Hari-hari ini siapapun bisa melakukan itu.

            Aco bangun pagi-pagi sekali, ia sudah sibuk membersihkan rumah dari lantai hingga jendela-jendela. Elok belum tampak keluar kamar. Sedang Sanna sedang di dapur membuat sarapan. Dari luar Fatiyah berteriak memanggil Sanna, ia membawakan ponsel karena ada panggilan.

            ”Iye nak, apa kabar?” Ratih yang sudah tak tenang beberapa hari ini memberanikan diri menelepon Sanna. Sementara Sanna seakan paham akan telepon ini. Ia berusaha agar tidak membahas Elok yang sudah 3 hari ini menginap di rumahnya.

            ”Berapa hari dia disana mammi?” Ratih memang tidak sabaran, ia langsung saja bertanya. Sanna enggan membahas, tetapi mau tidak mau ia harus menjawab.

            ”2 minggu nak. Acaramu kapan?” Sanna mengalihkan pertanyaan.

            ”Ditunda mammi, harusnya bulan depan.” Di luar apa yang Sanna pikirkan.

            ”Kenapa?” Sanna penasaran.

            ”Masih ragu-ragu, dan kayaknya lebih baik ditunda.” Sanna merasa lega sekaligus bingung dengan ini. Ia termasuk orang yang menyukai Ratih, bahkan ia tak pernah berpikir bahwa gadis itu akan dijodohkan. Selama ini ia melihat Aco dan Ratih teramat cocok. Tetapi, pesan itulah yang sepertinya ingin disampaikan Ratih, bahwa ia belum yakin akan menikah, perjodohan itu belum benar-benar terjadi, dan ia seperti menyiratkan masih punya kemungkinan bersama Aco.

            Setelah panggilan pagi itu, Ratih kembali tak segan untuk menghubungi Sanna. Ia pun tak ragu-ragu menanyakan tentang Aco dan Elok. Tak hanya pada Sanna, Ratih pun kembali dekat dengan adik-adik Aco. Hingga mau tak mau, Aco menyadari itu. Sama seperti Sanna, Aco tampak lega mendengar kabar pernikahan perempuan itu ditunda. Tetapi bagaimana dengan Elok.

 

**

 

            Beberapa vendor sudah dibatalkan, cincin dan uang panai sudah dikembalikan, keluarga besar belum kembali bertemu setelah pembatalan ini. Nurdin enggan berusaha lebih lagi, sepertinya perjodohan ini memang tidak akan berhasil, sesederhana itu pemikiran Nurdin. Lelaki itu memilih menghabiskan waktu berlibur ke Makau untuk beberapa hari. Kedua orang tuanya akhirnya pun tak ingin ambil pusing, mereka justru masih berhubungan baik dengan kedua orang tua Ratih. Mencoba untuk memahami bahwa Ratih masih labil dan perlu waktu. Hanya itu yang bisa dipercaya kedua keluarga itu.

            ”Kamu dimana?” Pesan masuk dari Ratih. Nurdin belum berminat membalas pesan itu, apalagi ingat pertengkaran tempo hari.

            ”Ini mau bener-bener batal?” Ratih kembali mengirim pesan. Nurdin bingung membaca pesan itu.

            “Kalau nggak jawab berarti iya.” Nurdin hanya membacanya dari pop up pesan.

            “Bahkan kamu sama sekali nggak perjuangin aku.” Nurdin mengingat-ingat, yang saat itu ingin menunda adalah Ratih, tetapi kenapa sekarang perempuan itu mempertanyakan sikapnya?

            ”Oke aku akan bilang ke keluarga kalau kamu emang mau batalkan.” Nurdin muak, Ratih semakin drama. Pesan Ratih semakin membuat Nurdin yakin sebaiknya memang tidak mengiyakan ini dari awal. Ia seperti dibuat seolah-olah ia yang jahat, padahal Ratih lah yang selalu menghindar dan ragu, hingga akhirnya ingin menunda. Nurdin pun masih maklum saat Ratih masih menulis nama Aco di profil BBMnya, bahkan beberapa kali Ratih kedapatan menulis sesuatu tentang Aco yang bahkan saat itu ia dan Ratih sudah bertunangan, tetapi Nurdin merasa tak perlu mempermasalahkan itu. Ratih lah yang selalu berusaha menyulut perdebatan antar mereka, seperti mencari-cari bahan untuk bertengkar dan ujung-ujungnya merasa tersakiti. Nurdin memilih mengabaikan pesan itu hingga kemudian Ratih menghapusnya.

 

**

 

            Kampung yang selama ini hanya ia dengar, yang biasanya ia hanya bisa berimajinasi kali ini benar-bisa ia lihat secara nyata, kampung yang cukup nyaman dijadikan tempat tinggal. Rumah-rumah panggung yang tampak kokoh, orang-orang ramah yang saling sapa setiap kali berpapasan, keluarga dekat yang terasa sangat akrab dan menyatu, banyak hal yang membuat Elok takjub. Aco pulang kampung seperti sesuatu yang istimewa di kampung, Sanna libur ke kebun, keluarga silih berganti datang untuk melihat Aco, berkenalan dengan Elok, dan mereka sibuk memasak bersama atau sekadar berkumpul biasa. Hari itu semua sedang asik berkumpul membuat kapurung. Elok duduk di depan sebaskom adonan yang siap dibentuk. Ia mencoba membaur dengan ibu-ibu yang hampir semuanya menggunakan bahasa bugis. Elok hanya paham beberapa istilah, itupun jarang ia dengar di percakapan hari itu. Semua terasa asing.

            ”Diam-diam saja dari tadi?” Dengan dialek kentalnya Puang Ola bertanya pada Elok. Elok tersenyum saja, sadar kalau memang ia sedari tadi tidak paham apa yang dibicarakan.

            ”Nda mengerti dia.” Sanna tersenyum dan mencoba membantu Elok.

            ”Eee anak Puang Ame nda mengerti bahasa sini?” Semua terdiam. Elok bingung apa yang dimaksud. Fatiyah yang duduk di depan Elok tampak mencolek-colek Puang Ola. Sementara yang lainnya canggung. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi tepat di samping Elok, muncul pop up pesan dari seseorang yang tidak asing.

A.Ratih Baru : Iya mammi, sampai ketemu di MKS.

            Dada Elok berdegup kencang, tak beraturan, sedikit sesak, penasaran, ia hanya berdoa semoga bukan Ratih yang ia tahu. Lekas-lekas ia mengalihkan pandangan kembali ke adonan di depannya dengan mimik muka yang sulit sekali ia sembunyikan. Belum lagi saat ia mengingat kata-kata Puang Ola saat menyebut Puang Ame, sejauh ingatan Elok itu kemungkinan besar orang tua Ratih, yang juga sudah dikenal lama di kampung. Tetapi Elok menahan diri untuk tidak tampak kecewa. Ia hanya terus berdoa agar situasi ini lekas berakhir, ia bisa beranjak ke kamar atau tempat lain yang bisa membuatnya lebih nyaman dan tenang. Aco bahkan tak terlihat dimana rimbanya.

            Setelah semua matang, keluarga laki-laki mulai berdatangan dan makan bersama. Aco barulah tiba berbarengan dengan yang lainnya. Dari sudut kanan ruangan Aco melihat-lihat ke arah Elok yang tampak sibuk, Elok melihatnya sesekali, tapi tatapan itu terasa hambar, Aco sadar ada yang salah dengan Elok, entah apalagi. Kini Aco pun berada di ketidaknyamanan, ia tak sabar segera berbicara dengan Elok dan menanyakan ada apa. Aco mengambil ponsel dan mengirim pesan, Elok tak terlihat berniat membacanya. Dengan perasaan tak tenang, Aco menunggu acara ini segera berakhir.

21

            Malam itu Elok bergelut dengan perasaannya, ia benci sesedih ini. Mengapa satu nama itu amat mengganggu? Bukankah itu sudah terjadi dan Elok mengerti Aco bahkan tak mungkin bisa mengubah masa lalunya. Tapi, lagi-lagi, mengapa ia harus resah dengan masa lalu Aco? Elok sampai berdoa berkali-kali dalam hatinya, ia meminta dengan sungguh-sungguh pada Tuhan, agar diberikan pasangan yang tak pernah punya hubungan sebelumnya, atau seseorang yang tak punya mantan, atau mungkin setidaknya seseorang yang tak punya hubungan selama itu, serumit itu, sedalam itu, Elok benci keadaan ini. Di menit berbeda, Elok juga bertarung dengan logikanya, seusia Aco bukankah wajar punya kehidupan lain sebelum ini, ia sudah hidup lebih lama sebelum mengenal Elok, banyak orang silih berganti yang hadir di kehidupan Aco, dan itu tak apa-apa bukan? Andaikan perasaan itu yang terakhir kali memenuhi benak Elok, mungkin ia bisa tenang dan tertidur dengan mudahnya. Sayangnya, ia masih harus berperang melawan satu dua kemungkinan yang ia cari-cari, kemungkinan yang menyakitinya, kemungkinan-kemungkinan yang seperti silet, menyisakan sayatan-sayatan kecil yang teramat perih. Mengapa mencintai seseorang semenyedihkan ini?

            Hari itu cuaca di kota Balikpapan sedang hujan, beberapa hari terakhir terasa tidak menentu, Aco dan Elok terpaksa bertemu di kelas bahasa mandarin pukul 3 sore. Elok sudah menimbang-nimbang untuk tidak hadir kali ini, tetapi di menit-menit terakhir ia merasa sayang. Ia berpikir mungkin ini memang benar jalan untuk ia memulai kehidupan baru. Persis seperti dugaannya, ia tak mampu bersikap cuek pada Aco. Hanya perlu sekali sapa, Aco sudah bisa meluluhkan hati Elok, gadis itu tersihir, entah dari frekuensi suara yang mana.

            ”Aku cuti minggu kedua. Kamu mau ikut?” Aco duduk tepat di samping Elok, ia setengah berbisik. Elok mendengar Aco, tetapi ia tak menoleh. Elok terdiam sejenak, berpikir sebelum ia mengonfirmasi pertanyaan Aco.

            ”Aku mau kenalin sama mammi.” Aco melanjutkan ajakannya.

            ”Ke kampungmu?” Elok masih belum menyadari sepenuhnya ajakan itu. Aco mengangguk.

            ”Makassar?” Elok masih memastikan.

            ”Iya, tapi nanti lanjut ke rumahku di kampung.” Ide itu terdengar renyah di telinga Elok, hatinya menghangat, dikenalkan pada keluarga pasangan adalah hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan Aco adalah orang pertama. Dalam bayangan bodoh Elok, ia sudah terbayang apa yang akan dilakukan disana, bagaimana nanti ia berinteraksi dengan keluarga besar Aco, bagaimana ia berkenalan dengan semua orang yang bernama Andi itu, dan bagaimana nanti mereka akan menggelar pernikahan adat. Jauh sekali Elok berpikir. Menyadari pemikirannya yang sudah terlalu sesat, Elok lekas-lekas menyadarkan diri.

            ”Tapi bantu aku izin ke ibuku ya.” Elok berusaha menjawab dengan santai, walaupun rasa bahagia dalam hatinya seakan berebut ingin tumpah dan membuat wajahnya memerah. Aco mengangguk, mereka lalu merencanakan hari libur tambahan untuk izin pada orang tua Elok.

            Seminggu sebelum keberangkatan, Elok sudah mengajukan cuti ke atasannya, tidak berselang lama kabar bahwa mereka merencanakan cuti bersama sudah terdengar. Lalu di sela-sela jam istirahat, tiba-tiba Juan menghampiri Elok.

            ”Kalau belum dilamar, kalau bisa jangan ikut ke rumah orang tua pacar.” Nasihat tiba-tiba, yang membuat Elok tak bisa berkomentar. Ia hanya senyum dan ingin menjawab iya saja agar tidak perlu ada nasihat lanjutan. Selain Juan, sepertinya ada beberapa orang lagi yang ingin menyampaikan sesuatu pada Elok terkait rencana kepergiannya ini, tetapi sebelum mereka buka suara, Elok sudah langsung coba menghindar. Baginya ini semacam pembuktian Aco, bahwa lelaki itu serius. Setidaknya itulah yang Elok tanam di pikirannya agar ia tenang.

            Hari seperti lekas berganti, setelah Aco izin pada Ajeng, ia terlebih dahulu terbang ke Makassar, dan Elok menyusul seminggu setelahnya. Elok masih memikirkan bagaimana nanti ia bertemu dengan keluarga Aco. Ia takut tak bisa menjaga sikap, ia takut terlihat punya banyak kekurangan, ia takut tidak diterima. Ketakutan-ketakutan yang seketika ditepis Aco. Lelaki itu memang pandai menenangkan Elok. Bagi Elok, beberapa hal memang menjadi terasa lebih mudah saat ada Aco.

            Untuk pertama kalinya Elok menginjakan kaki ke Pulau Sulawesi. Ia masih belum bisa banyak berpikir. Menghadapi mammi seperti yang seringkali Aco ceritakan seakan membuat perasaan berbeda. Mammi Sanna, seseorang yang dalam bayangan Elok sangat amat sempurna. Perempuan pekerja keras yang bisa menghidupi Aco dan adik-adiknya dengan kekuatannya sendiri Punggung Sanna teramat kuat untuk menanggung beban kehidupan ini, dan ia mampu. Aco manusia pertama yang sedemikian rupa mengelu-elukan ibunya, dan Elok salut akan itu. Di Bandara, beberapa kali Elok melihat ponselnya, ia membuka galeri dan mengamati wajah Sanna, membayangkan apa yang sudah dilewati wanita cantik itu di masa mudanya, membayangkan semua cerita-cerita Aco melekat, membuat Elok tersentuh, Sanna benar-benar cantik, tidak mirip dengan Aco yang sepertinya memang lebih mirip Jalal.

            Dari kejauhan muncul seorang lelaki mengenakan jersey Real Madrid. Seketika Elok tersenyum melihat itu, seseorang yang ia tunggu-tunggu menjemputnya. Aco langsung meraih trolley yang dipegang Elok, lalu mengelus-elus rambut Elok sambil tersenyum.

            ”Jauh ya?” Aco tersenyum dan seakan mengerti bahwa Elok kelelahan. Elok mengangguk manja.

            Sembari meletakkan tangan kirinya di pundak Elok, Aco berjalan mendorong trolley menuju parkiran. Keduanya tak banyak bicara namun beberapa kali saling menatap satu sama lain seakan mereka berbicara dengan tatapan itu. Tak luput, senyum di antara keduanya tak kunjung pudar. Siapapun yang melihat itu pasti menyadari, kedua orang ini sedang benar-benar kasmaran.

 

**

 

            Tiba di kediaman Puang Takko di Toddopuli, Elok sudah disambut keluarga besar Aco. Satu-persatu ia salami, Elok berusaha mengingat wajah-wajah itu, merekam potret setiap orang di kepalanya, lalu lanjut mengingat setiap nama yang disebutkan, benar saja, semua bernama depan Andi, dan semua orang tua disana dipanggil Puang, katanya ini panggilan untuk bangsawan bugis. Elok hanya bisa menggangguk dan patuh saja. Ia memanggil semuanya dengan sebutan Puang, terkecuali Sanna. Elok sedari awal sudah diperkenalkan Aco dengan panggilan mammi. Malam itu, adalah malam dimana Elok bisa mengamati keluarga Aco. Keluarga yang hangat, akrab, dan sepertinya tidak akan sulit membaur di keluarga itu, seperti itulah Elok berpikir.

 

**

 

            Kabar Elok datang ke Sulawesi terdengar Ratih, pantas saja ia merasakan ada kegelisahan seharian ini. Ternyata ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Di BBM, Binar, kekasih Gemma, membagikan foto ketika makan malam dengan keluarga Aco, dan terdapat Elok disana. Duduk di sebelah Aco dengan senyum lebar, Ratih ingat sekali ia pernah ada di posisi itu. Dadanya terasa sesak, ia berusaha menyangkal rasa cemburunya, tetapi sulit ia menyangkal bahwa ia sakit hati melihat itu. Baru beberapa bulan Aco bahkan tak enggan membawa perempuan baru ke keluarganya.

            ”Cepet ya?” Setelah beberapa menit Ratih terdiam melihat itu, ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari apa yang ia lihat. Ratih mengirim pesan pada Binar.

            ”Sabar ya kak. Hiks” Binar mencoba bersimpati.

            ”Kapan dia datang dek?” Ratih tampak sangat ingin tahu.

            ”Barusan kak.” Binar menjawab singkat.

            ”Sampai berapa lama infonya?” Ratih masih penasaran.

            ”Kurang tau kak, tapi kayaknya lama. Besok mereka ke Bone.” Ratih tak menjawab pesan itu. Perasaan kecewanya berlapis. Bahkan, di hubungannya yang sangat lama ini, tak sekalipun Aco berinisiatif membawanya ke kampung halaman Aco. Mereka tak sejauh itu. Apakah ini artinya Aco benar-benar serius dengan Elok?

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...