25

 

Beberapa hari setelah perjumpaan kali pertama di warung Bu Ratmi tempo hari, Rokhani memberanikan diri menelepon Sanna. Sanna menyambutnya dengan ramah hingga sekali lagi menawarkan mampir ke rumahnya. Dari kunjungan pertama hari itu seusai dzuhur pada hari sabtu, Sanna dan Rokhani berbincang banyak. Agar menghindari gosip tetangga, Sanna sengaja berbincang di teras dengan ditemani Puang Ani dan Puang Ola. Perbincangan berlangsung santai tetapi sudah membahas hal-hal yang cukup serius. Termasuk status Sanna saat ini. Sanna dan keluarga seolah merasa nyaman berbincang dengan Rokhani yang memang pandai bicara. Ia juga bercerita tentang keadaannya yang masih sendiri hingga usia hampir 45 tahun itu.

“Masa tidak ada keinginan punya pasangan?” Puang Ola yang baru hari itu mengenal Rokhani dengan santai menanyakan hal yang sebenarnya sensitif itu.

“Ingin kak, tapi belumlah.” Rokhani menjawab dengan cengengesan.

“Kalau tidak sama Puang Sanna saja.” Puang Ola mencolek lengan Sanna. Dahi Sanna mengkerut, wajahnya masam.

“Mau kita?” Rokhani dengan nada bercanda.

“Jangan, anakku 4.” Sanna menjawab dengan tertawa diikuti tawa yang lain.

Semenjak hari itu, Rokhani jadi semakin sering mengunjungi Sanna. Terkadang hanya sekedar mampir membawakan sayur-sayuran, lauk-pauk, atau beras. Tak jarang pula datang hanya untuk memberi uang saku Fatiyah dan Andara, kalau Gemma jelas tidaklah mau. Dari yang terlihat, siapapun akan berpikiran bahwa ada yang spesial di antara Sanna dan Rokhani, atau terburuknya perasaan Rokhani pada Sanna yang spesial, bertepuk sebelah tangan, karena sikap Rokhani kentara sekali, orang berbeda kabupaten pun jika melihat interaksi mereka saat bertemu sudah pasti salah paham.

 

**

Sampai pada satu titik, Puang Takko dari Makassar mendengar cerita itu dari Puang Ola. Cerita tentang Rokhani, bujang tua yang bolak-balik mengunjungi Sanna, keakraban mereka pun dijelaskan dengan rinci oleh Puang Ola. Mendengar cerita itu dengan sigap saat libur bekerja Puang Takko pulang ke Palakka, ia ingin mendengar cerita itu secara langsung, dari istrinya hingga ibunya. Saat semua informasi ia rasa cukup, Puang Takko meminta Sanna untuk mengundang Rokhani ke rumah. Melihat kondisi yang ada, Sanna tidaklah keberatan. Walaupun memang di keluarga, Puang Takko termasuk yang paling didengar apapun yang ia katakan. Singkat cerita mereka pun bertemu.

“Jangan terlalu sering datang, tidak baik dilihat tetangga.” Niat hati Puang Takko menggertak. Rokhani hanya menunduk, ia tak banyak bicara malam itu.

“Ta suka dengan Sanna?” Puang Takko bertanya dengan suara keras. Rokhani masih tidak menjawab.

“Saran saya jangan. Sanna biar fokus sama anaknya saja. Saya dan keluarga pun sepakat tidak akan setuju.” Suara Puang Takko semakin tegas. Rokhani semakin tidak berkutik, ia sama sekali tidak bicara sampai Puang Takko menyerah mencoba berdiskusi dengan lelaki itu. Dari dalam dapur, Sanna merasa teramat malu dengan Rokhani, ia merasa pertanyaan Puang Takko terlalu ceplas-ceplos, sedang ia tak merasa jika Rokhani menyukainya, bahkan rasanya ialah yang menyukai lelaki itu, harus ia akui.

Tanpa banyak pertanyaan lagi, Rokhani pulang. Perbincangan di keluarga itu perihal Rokhani pun terus berlanjut dengan kesimpulan, jangan sampai lelaki itu datang lagi.

 

**

Apapun yang menjadi keputusan keluarga tak bisa menjadi penghalang apabila dua sejoli sudah ingin bersama. Sanna dan Rokhani diam-diam sudah dimabuk cinta. Tidak lagi bertemu, tetapi mereka bertukar kabar lewat SMS dan telepon. Sampai puncaknya, Sanna dan Rokhani mendaftarkan pernikahan di KUA Palakka. Pernikahan yang lebih seperti kawin lari, tetapi dilakukan dengan amat rapi dan tidak diketahui orang terdekat, Sanna dengan pintarnya meminta bantuan adik dari ayahnya Puang Kamal yang tinggal di Maros sebagai wali nikah. Singkatnya, mereka sah sebagai suami istri. Saat pertama kali keluarga di Palakka tahu, Sanna sempat menjadi bulan-bulanan dan masuk persidangan keluarga karena dianggap mencoreng kepercayaan keluarga. Tetapi apa mau dikata, pernikahan sudah dilakukan dan mau tidak mau restu harus sudah didapat.

Seminggu setelah kabar itu tersiar, Sanna sengaja membuat acara syukuran di rumahnya sekaligus memperkenalkan Rokhani secara resmi sebagai suaminya. Lelaki yang ia kenal sejak lama dan saat ini  ia sukai dan terlihat bertanggung jawab, dan sepertinya sangat baik, dan dan lainnya yang dengan mudah menjadi validasi keputusan yang Sanna anggap tepat.

**

Layaknya keluarga di Palakka, Aco pun tahu belakangan. Bahkan siapa Rokhani dari awal pun ia tak pernah dengar. Sedikitpun tak pernah ia bayangkan jika mamminya menikah lagi, seolah bagi Aco itu adalah penghianatan paling kejam pada mendiang ayahnya. Ia merasa kesal, tidak rela, tetapi di sisi lain ia juga mulai menyalahkan dirinya sendiri, apalagi saat Sanna beralasan bahwa apa yang Aco beri selama ini belumlah cukup. Aco mengakhiri panggilan telepon itu dengan perasaan marah yang tak terkira.

Selama beberapa hari paska kabar yang ia rasakan seperti hantaman itu datang, Aco menghabiskan malamnya dengan mengunci diri di kamar. Aco memilih banyak diam dan menjalani kehidupan bisu. Dadanya terasa sesak sekali. Seperti ada yang salah dari apa yang selama ini ia lakukan. Seperti tidak terima dengan apa yang ia dengar. Seperti ia gagal menjaga ibunya. Sedikitpun, Aco tak pernah memberikan celah dalam pikirannya untuk mencoba menerima lelaki itu. Mengganggapnya ayah? Cuih. Tidak sudi.

 

**

 

Sanna yang tengah dimabuk cinta punya seribu alasan pembenaran terhadap keputusannya. Sulit sekali membuat sekelilingnya paham bahwa jatuh cinta tidak hanya dialami remja atau dewasa muda, ia pun berhak. Seperti ingin meneriakkan keyakinannya itu pada semua orang, termasuk Aco, putranya. Ia ingin sekali menceritakan rasa mulas setiap kali jadwal ia bertemu Rokhani, lalu menceritakan debarnya yang tidak kunjung berhenti setiap bertatap muka secara langsung, belum lagi perasaan penuh harap yang ia percaya membawa kehidupan yang lebih baik baginya dan keempat anaknya. Selama kembali bertemu bujang tua itu, Sanna menjadi wanita penuh semangat yang bangun bagi dengan wajah berseri dan tanpa beban. Ia merasa hidup cukup walaupun miskin, kenyang walau kekurangan, dan bahagia walaupun menjadi musuh keluarga. Begitulah, tak ada yang paham isi hatinya.

Sedang Rokhani pun sama, ia seperti menemukan jawaban dari rasa penasarannya dahulu. Sanna yang pernah ia coba dekati namun seakan tidaklah memberi sinyal balik padanya kini terang-terangan menerimanya. Bahkan dengan penghasilannya yang tidak seberapa. Wanita cantik itu terlihat sama seperti puluhan tahun lalu di mata Rokhani. Ia pun lebih kurang memelihara debar yang sama dengan Sanna. Debar yang tak mudah dimengerti siapapun. Untuk itu, pantang baginya menyerah hanya karena seorang manusia bernama Takko melarangnya. Maju terus walaupun dengan cara yang cukup culas. Tapi ia lupa, selain Takko ada orang lain lagi yang menentang kenekatannya itu.

Sudah berhari-hari Aco malas berinteraksi dengan siapapun kecuali terpaksa, urusan kantor misalnya. Selebihnya, ia memilih banyak diam dan memasang wajah tidak ramah.

 

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...