Beberapa hari
setelah perjumpaan kali pertama di warung Bu Ratmi tempo hari, Rokhani
memberanikan diri menelepon Sanna. Sanna menyambutnya dengan ramah hingga
sekali lagi menawarkan mampir ke rumahnya. Dari kunjungan pertama hari itu
seusai dzuhur pada hari sabtu, Sanna dan Rokhani berbincang banyak. Agar
menghindari gosip tetangga, Sanna sengaja berbincang di teras dengan ditemani
Puang Ani dan Puang Ola. Perbincangan berlangsung santai tetapi sudah membahas
hal-hal yang cukup serius. Termasuk status Sanna saat ini. Sanna dan keluarga
seolah merasa nyaman berbincang dengan Rokhani yang memang pandai bicara. Ia
juga bercerita tentang keadaannya yang masih sendiri hingga usia hampir 45
tahun itu.
“Masa tidak ada
keinginan punya pasangan?” Puang Ola yang baru hari itu mengenal Rokhani dengan
santai menanyakan hal yang sebenarnya sensitif itu.
“Ingin kak, tapi
belumlah.” Rokhani menjawab dengan cengengesan.
“Kalau tidak sama
Puang Sanna saja.” Puang Ola mencolek lengan Sanna. Dahi Sanna mengkerut,
wajahnya masam.
“Mau kita?”
Rokhani dengan nada bercanda.
“Jangan, anakku
4.” Sanna menjawab dengan tertawa diikuti tawa yang lain.
Semenjak hari
itu, Rokhani jadi semakin sering mengunjungi Sanna. Terkadang hanya sekedar
mampir membawakan sayur-sayuran, lauk-pauk, atau beras. Tak jarang pula datang
hanya untuk memberi uang saku Fatiyah dan Andara, kalau Gemma jelas tidaklah
mau. Dari yang terlihat, siapapun akan berpikiran bahwa ada yang spesial di
antara Sanna dan Rokhani, atau terburuknya perasaan Rokhani pada Sanna yang
spesial, bertepuk sebelah tangan, karena sikap Rokhani kentara sekali, orang
berbeda kabupaten pun jika melihat interaksi mereka saat bertemu sudah pasti
salah paham.
**
Sampai pada satu
titik, Puang Takko dari Makassar mendengar cerita itu dari Puang Ola. Cerita
tentang Rokhani, bujang tua yang bolak-balik mengunjungi Sanna, keakraban
mereka pun dijelaskan dengan rinci oleh Puang Ola. Mendengar cerita itu dengan
sigap saat libur bekerja Puang Takko pulang ke Palakka, ia ingin mendengar
cerita itu secara langsung, dari istrinya hingga ibunya. Saat semua informasi
ia rasa cukup, Puang Takko meminta Sanna untuk mengundang Rokhani ke rumah.
Melihat kondisi yang ada, Sanna tidaklah keberatan. Walaupun memang di
keluarga, Puang Takko termasuk yang paling didengar apapun yang ia katakan.
Singkat cerita mereka pun bertemu.
“Jangan terlalu
sering datang, tidak baik dilihat tetangga.” Niat hati Puang Takko menggertak.
Rokhani hanya menunduk, ia tak banyak bicara malam itu.
“Ta suka dengan
Sanna?” Puang Takko bertanya dengan suara keras. Rokhani masih tidak menjawab.
“Saran saya
jangan. Sanna biar fokus sama anaknya saja. Saya dan keluarga pun sepakat tidak
akan setuju.” Suara Puang Takko semakin tegas. Rokhani semakin tidak berkutik,
ia sama sekali tidak bicara sampai Puang Takko menyerah mencoba berdiskusi
dengan lelaki itu. Dari dalam dapur, Sanna merasa teramat malu dengan Rokhani,
ia merasa pertanyaan Puang Takko terlalu ceplas-ceplos, sedang ia tak merasa
jika Rokhani menyukainya, bahkan rasanya ialah yang menyukai lelaki itu, harus
ia akui.
Tanpa banyak
pertanyaan lagi, Rokhani pulang. Perbincangan di keluarga itu perihal Rokhani
pun terus berlanjut dengan kesimpulan, jangan sampai lelaki itu datang lagi.
**
Apapun yang
menjadi keputusan keluarga tak bisa menjadi penghalang apabila dua sejoli sudah
ingin bersama. Sanna dan Rokhani diam-diam sudah dimabuk cinta. Tidak lagi
bertemu, tetapi mereka bertukar kabar lewat SMS dan telepon. Sampai puncaknya,
Sanna dan Rokhani mendaftarkan pernikahan di KUA Palakka. Pernikahan yang lebih
seperti kawin lari, tetapi dilakukan dengan amat rapi dan tidak diketahui orang
terdekat, Sanna dengan pintarnya meminta bantuan adik dari ayahnya Puang Kamal
yang tinggal di Maros sebagai wali nikah. Singkatnya, mereka sah sebagai suami
istri. Saat pertama kali keluarga di Palakka tahu, Sanna sempat menjadi
bulan-bulanan dan masuk persidangan keluarga karena dianggap mencoreng
kepercayaan keluarga. Tetapi apa mau dikata, pernikahan sudah dilakukan dan mau
tidak mau restu harus sudah didapat.
Seminggu setelah
kabar itu tersiar, Sanna sengaja membuat acara syukuran di rumahnya sekaligus
memperkenalkan Rokhani secara resmi sebagai suaminya. Lelaki yang ia kenal
sejak lama dan saat ini ia sukai dan
terlihat bertanggung jawab, dan sepertinya sangat baik, dan dan lainnya yang
dengan mudah menjadi validasi keputusan yang Sanna anggap tepat.
**
Layaknya keluarga
di Palakka, Aco pun tahu belakangan. Bahkan siapa Rokhani dari awal pun ia tak
pernah dengar. Sedikitpun tak pernah ia bayangkan jika mamminya menikah lagi,
seolah bagi Aco itu adalah penghianatan paling kejam pada mendiang ayahnya. Ia merasa
kesal, tidak rela, tetapi di sisi lain ia juga mulai menyalahkan dirinya
sendiri, apalagi saat Sanna beralasan bahwa apa yang Aco beri selama ini
belumlah cukup. Aco mengakhiri panggilan telepon itu dengan perasaan marah yang
tak terkira.
Selama beberapa
hari paska kabar yang ia rasakan seperti hantaman itu datang, Aco menghabiskan
malamnya dengan mengunci diri di kamar. Aco memilih banyak diam dan menjalani
kehidupan bisu. Dadanya terasa sesak sekali. Seperti ada yang salah dari apa
yang selama ini ia lakukan. Seperti tidak terima dengan apa yang ia dengar.
Seperti ia gagal menjaga ibunya. Sedikitpun, Aco tak pernah memberikan celah
dalam pikirannya untuk mencoba menerima lelaki itu. Mengganggapnya ayah? Cuih.
Tidak sudi.
**
Sanna yang tengah
dimabuk cinta punya seribu alasan pembenaran terhadap keputusannya. Sulit
sekali membuat sekelilingnya paham bahwa jatuh cinta tidak hanya dialami remja
atau dewasa muda, ia pun berhak. Seperti ingin meneriakkan keyakinannya itu
pada semua orang, termasuk Aco, putranya. Ia ingin sekali menceritakan rasa
mulas setiap kali jadwal ia bertemu Rokhani, lalu menceritakan debarnya yang
tidak kunjung berhenti setiap bertatap muka secara langsung, belum lagi
perasaan penuh harap yang ia percaya membawa kehidupan yang lebih baik baginya
dan keempat anaknya. Selama kembali bertemu bujang tua itu, Sanna menjadi
wanita penuh semangat yang bangun bagi dengan wajah berseri dan tanpa beban. Ia
merasa hidup cukup walaupun miskin, kenyang walau kekurangan, dan bahagia
walaupun menjadi musuh keluarga. Begitulah, tak ada yang paham isi hatinya.
Sedang Rokhani
pun sama, ia seperti menemukan jawaban dari rasa penasarannya dahulu. Sanna
yang pernah ia coba dekati namun seakan tidaklah memberi sinyal balik padanya
kini terang-terangan menerimanya. Bahkan dengan penghasilannya yang tidak
seberapa. Wanita cantik itu terlihat sama seperti puluhan tahun lalu di mata
Rokhani. Ia pun lebih kurang memelihara debar yang sama dengan Sanna. Debar
yang tak mudah dimengerti siapapun. Untuk itu, pantang baginya menyerah hanya
karena seorang manusia bernama Takko melarangnya. Maju terus walaupun dengan
cara yang cukup culas. Tapi ia lupa, selain Takko ada orang lain lagi yang
menentang kenekatannya itu.
Sudah
berhari-hari Aco malas berinteraksi dengan siapapun kecuali terpaksa, urusan
kantor misalnya. Selebihnya, ia memilih banyak diam dan memasang wajah tidak
ramah.
No comments:
Post a Comment