24

 

            Masa evaluasi Elok sudah hampir tiba, Keputusan ia akan menjadi karyawan tetap, perpanjangan kontrak, ataupun putus kontrak. Elok sedikit gusar perihal itu, dan berkali-kali harus berpikir keras bagaimana caranya agar pada masa evaluasi ini ia bisa maksimal menunjukan kinerjanya. Sedikit menggelikan bagi Elok, ia sedang berharap besar terhadap manusia, penilaian baik dari manusia, memvalidasi dirinya bahwa ia layak dipertahankan, dan itu membuat ia merasa jijik. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan.

            Sudah hampir dua minggu Elok pulang larut, ia membantu divisi keuangan untuk mengumpulkan dokumen-dokumen persiapan kunjungan dari luar. Di siang hari ia masih harus ikhlas menjadi pesuruh untuk hal-hal remeh-temeh yang sudah mulai nyaman ia lakukan. Seisi ruangan menyadari apa yang Elok lakukan itu, kentara sekali ia bertekad ingin diterima, usaha itu tampak penuh pamrih, hingga tak sedikit pula yang langsung mengkritik perilaku Elok dan beberapa orang lainnya memanfaatkannya. Tak terkecuali Aco yang mendengar hal-hal ganjil tentang Elok, ia risih, namun tak berhasil menasehati perempuan itu.

            Malam itu Elok masih bertahan di kantor hingga pukul 9 malam, Aco berkali-kali mengirim pesan dan mencoba menelepon, Elok mengaktifkan mode senyap, ia sibuk menyusun dan mengurutkan dokumen-dokumen berdasarkan urutan waktu agar mudah saat diperlukan. Hingga 30 menit berlalu, Elok tak jua merespon Aco. Aco sudah menduga kekasihnya itu belum pulang, hingga ia dengan sigap menuju kantor. Dengan berapi-api Aco mencoba menahan diri agar tidak meledak, hingga ia tiba di ruangan, masih terang-benderang, sayangnya hanya ada Elok disana, sendirian, Aco naik pitam. Tak banyak bicara, Aco menarik Elok dari kursinya.

            ”Apa sih, lepas nggak?” Elok berusaha melepas cengkeraman tangan Aco yang sangat kuat. Aco tak peduli, ia meraih ponsel dan tas Elok lalu menyeret kekasihnya itu keluar dari kantor. Bisa ditebak, mereka akan bertengkar hebat setelah ini. Aco tak sedikitpun melonggarkan cengkeramannya hingga mereka tiba di halaman kantor. Aco mencegat taksi yang lewat, memaksa Elok masuk dan meminta diantar ke kost. Elok tak berkutik, ia ketakutan. Bukan karena Aco marah, tetapi karena kekasihnya itu diam. Sepanjang jalan tak satu kata pun keluar dari keduanya. Hingga tiba di depan kost Elok, Aco mulai lepas.

            ”Kamu pikir itu bener? Hah? Mereka nggak akan peduli kamu pulang jam berapa, apa yang kamu kerjain. Nggak.” Aco terlihat sangat marah.

            ”Aku cuma usaha, salah?” Elok menangis, ia kelelahan sekaligus kesal dengan Aco.

            ”Bukan gitu cara kerjanya. Kamu jadi kacung, ngerjain semuanya sendiri, kamu pikir itu bakal berhasil?” Aco menarik nafas dalam dengan berat.

            ”Kamu emang selalu mikir aku nggak mungkin berhasil kan? Kamu selalu mikir aku KACUNG.” Elok semakin menangis.

            ”Kamu nggak pernah realistis.” Suara Aco meninggi, beberapa penghuni kost tampak mengintip lewat jendela kamar masing-masing. Menyadari itu, Aco menarik Elok keluar pagar.

            ”Aku mau kamu berhenti. Jangan jadi gila.” Suara Aco mengecil, namun penuh penekanan. Beberapa kali ia menekan giginya tanda teramat geram.

            ”Aku capek duduk di meja itu, kamu ngerti nggak?” Tangisan Elok menjadi-jadi. Ia berjalan meninggalkan Aco. Aco hanya diam, membiarkan Elok memasuki pagar, lalu pulang beberapa saat kemudian.

            Malam itu baik Aco maupun Elok meredam emosinya di kamar masing-masing, keduanya berharap perasaan ini segera hilang dan esok bisa bekerja seperti biasa, namun sayang hingga lewat tengah malam keduanya masih dalam keadaan tidak tenang.

            ”Udah tidur?” Elok yang masih terjaga mengirim pesan pada Aco. Ia menyadari, memaksakan diri untuk tidur dan berpura-pura tidak terjadi apapun tidak akan banyak membantu. Cukup lama Elok menunggu Aco membalas pesannya, ia meyakini Aco pun masih belum tidur. Ia bolak-balik memeriksa pesan itu, hingga akhirnya terbaca. Aco langsung menelepon.

            ”Kenapa belum tidur?” Suara Aco terdengar lembut, seperti orang berbeda dengan yang beberapa jam lalu.

            ”Nggak bisa.” Suara Elok parau.

            ”Istirahat, besok kerja.” Kepala Aco memang mendingin, tetapi dadanya berdebar kencang.

            ”Aku minta maaf.” Elok mengucapkannya dengan terbata.

            ”Aku juga, aku keterlaluan ya?” Aco terdengar menyesal.

            ”Nggak, aku ngerti kok maksudmu.” Elok mulai berpikir jernih.

            ”Aku nggak pernah sekalipun berpikir kamu nggak akan berhasil. Justru karena aku percaya kamu, aku ngerasa kamu nggak perlu berusaha sekeras itu.” Aco benar-benar lembut mengucapkan itu. Elok terdiam.

            ”Aku janji nggak akan bikin kamu susah.” Hati Elok menghangat mendengar itu, berapa kalipun mereka bertengkar, Aco memang selalu berhasil membuat amarahnya mereda. Atau mungkin memang ia tak pernah benar-benar marah pada Aco. Masih sama, Aco tanpa celah bagi Elok.

 

**

 

            Bertahun-tahun lamanya semenjak Jalal berpulang, Sanna menjalani hari-hari sebagai ibu dan menyambi sebagai pemetik kopi. Sekalipun Aco sudah berpenghasilan lumayan, tidak jua semua kebutuhan Sanna dan anak-anaknya bisa ditanggung serta-merta oleh Aco. Mungkin hanya kebutuhan pokok saja, asal bisa makan dan hidup layak, selebihnya jika ada keperluan tambahan, keperluan sekolah untuk tugas, patungan, ekstrakulikuler, uang jalan, menyumbang di acara hajatan, seragam arisan, belum lagi keperluan dadakan yang lain yang seringkali tidak terduga. Karena itulah Sanna masih perlu bekerja, agar tidak selalu memberatkan putranya. Dalam proses Sanna menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, ia bertemu kembali dengan kenalan lama yang dahulu pernah menjadi kawannya di organisasi remaja masjid saat Sanna masih bersekolah SMP di Maros, jauh sebelum mengenal Jalal. Ialah Rokhani, anak lelaki dari orang tua asal Jawa Timur yang merantau ke Sulawesi Selatan. Rokhani menghabiskan masa SD hingga SMA di Maros, lalu ia merantau ke Kalimantan untuk waktu yang lama, dan setelah puluhan tahun itu ia kembali ke Tanah Sulawesi namun berpindah ke Kabupaten Bone, bekerja sebagai kuli bangunan untuk Haji Syarif, salah satu kontraktor bangunan ternama di Bone. Masih menjadi pertanyaan, di usianya yang hampir 45 tahun Rokhani belum menikah. Padahal jika dilihat-lihat ia tidaklah jelek, cenderung tampan, wajahnya kearab-araban, badannya tinggi tegap, dan yang lebih penting sekalipun ia bekerja di bawah terik dan gosong, Rokhani tetap terlihat menarik, ia cocok dengan pakaian apapun. Tak jarang perempuan-perempuan dari yang muda hingga berusia lanjut melihat Rokhani sebagai idola, objek untuk cuci mata.

Hari itu sepulang Sanna dari kebun, ia mampir ke warung tepat di sebelah balai desa untuk berbelanja sabun dan kapur barus. Saat menunggu Ibu Ratmi mengambilkan kembalian, Sanna mendengar suara yang merdu sekali masuk ke telinganya. Suara yang secara otomatis membuat Sanna dimanjakan dalam beberapa saat.

”Ada yang isi 20 bu?” Ucap lelaki itu sembari menunjuk rokok kretek yang ada dalam etalase.

“Habis om.” Bu Ratmi menyahut.

Secara tidak sadar, Sanna melihat wajah lelaki itu. Tidak asing pun tidak mudah pula ia kenali. Garis mukanya benar-benar khas, apalagi sorot matanya, tak ada duanya. Lelaki itu pun menyadari ia tengah diamati, lalu ia melakukan hal yang sama. Benar saja, Sanna tidak banyak berubah. Wajahnya masih cantik dan mirip dengan ia remaja. Jika pun dilombakan siapa yang akan lebih mudah dikenali, maka Sanna lah jawabannya.

“Andi Sanna Mardiat?” Dengan suara pelan nan ragu-ragu. Lama Sanna mencerna sapaan dari lelaki itu. Sampai ia hanya bisa bertanya balik.

“Kita pernah kenal dimana sebelumnya ya?” Sanna tersenyum sekaligus berpikir keras dimana ia menjumpai lelaki beralis tebal itu.

“Masjid At-Thoyibbah Maros.” Rokhani menjawab yakin.

“Masya Allah, iya ya? Tahun berapa itu? Kita sudah lama di sini?” Sanna menjawab sekaligus bertanya antusias.

“Sudah 5 bulanan di dekat Pasar Sentral. Rumahmu daerah mana?”

“Dekat dari sini, kapan-kapan mampir.” Sanna berbasa-basi. Lalu tanpa ragu Rokhani meminta nomor telepon Sanna.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...