Masa evaluasi Elok sudah hampir
tiba, Keputusan ia akan menjadi karyawan tetap, perpanjangan kontrak, ataupun
putus kontrak. Elok sedikit gusar perihal itu, dan berkali-kali harus berpikir
keras bagaimana caranya agar pada masa evaluasi ini ia bisa maksimal menunjukan
kinerjanya. Sedikit menggelikan bagi Elok, ia sedang berharap besar terhadap
manusia, penilaian baik dari manusia, memvalidasi dirinya bahwa ia layak
dipertahankan, dan itu membuat ia merasa jijik. Tetapi mau bagaimana lagi, ia
tak punya pilihan.
Sudah
hampir dua minggu Elok pulang larut, ia membantu divisi keuangan untuk mengumpulkan
dokumen-dokumen persiapan kunjungan dari luar. Di siang hari ia masih harus ikhlas
menjadi pesuruh untuk hal-hal remeh-temeh yang sudah mulai nyaman ia lakukan. Seisi
ruangan menyadari apa yang Elok lakukan itu, kentara sekali ia bertekad ingin
diterima, usaha itu tampak penuh pamrih, hingga tak sedikit pula yang langsung
mengkritik perilaku Elok dan beberapa orang lainnya memanfaatkannya. Tak
terkecuali Aco yang mendengar hal-hal ganjil tentang Elok, ia risih, namun tak
berhasil menasehati perempuan itu.
Malam
itu Elok masih bertahan di kantor hingga pukul 9 malam, Aco berkali-kali
mengirim pesan dan mencoba menelepon, Elok mengaktifkan mode senyap, ia sibuk
menyusun dan mengurutkan dokumen-dokumen berdasarkan urutan waktu agar mudah saat
diperlukan. Hingga 30 menit berlalu, Elok tak jua merespon Aco. Aco sudah
menduga kekasihnya itu belum pulang, hingga ia dengan sigap menuju kantor. Dengan
berapi-api Aco mencoba menahan diri agar tidak meledak, hingga ia tiba di
ruangan, masih terang-benderang, sayangnya hanya ada Elok disana, sendirian, Aco
naik pitam. Tak banyak bicara, Aco menarik Elok dari kursinya.
”Apa
sih, lepas nggak?” Elok berusaha melepas cengkeraman tangan Aco yang sangat
kuat. Aco tak peduli, ia meraih ponsel dan tas Elok lalu menyeret kekasihnya
itu keluar dari kantor. Bisa ditebak, mereka akan bertengkar hebat setelah ini.
Aco tak sedikitpun melonggarkan cengkeramannya hingga mereka tiba di halaman kantor.
Aco mencegat taksi yang lewat, memaksa Elok masuk dan meminta diantar ke kost.
Elok tak berkutik, ia ketakutan. Bukan karena Aco marah, tetapi karena
kekasihnya itu diam. Sepanjang jalan tak satu kata pun keluar dari keduanya.
Hingga tiba di depan kost Elok, Aco mulai lepas.
”Kamu
pikir itu bener? Hah? Mereka nggak akan peduli kamu pulang jam berapa, apa yang
kamu kerjain. Nggak.” Aco terlihat sangat marah.
”Aku
cuma usaha, salah?” Elok menangis, ia kelelahan sekaligus kesal dengan Aco.
”Bukan
gitu cara kerjanya. Kamu jadi kacung, ngerjain semuanya sendiri, kamu pikir itu
bakal berhasil?” Aco menarik nafas dalam dengan berat.
”Kamu
emang selalu mikir aku nggak mungkin berhasil kan? Kamu selalu mikir aku KACUNG.”
Elok semakin menangis.
”Kamu
nggak pernah realistis.” Suara Aco meninggi, beberapa penghuni kost tampak
mengintip lewat jendela kamar masing-masing. Menyadari itu, Aco menarik Elok
keluar pagar.
”Aku
mau kamu berhenti. Jangan jadi gila.” Suara Aco mengecil, namun penuh penekanan.
Beberapa kali ia menekan giginya tanda teramat geram.
”Aku
capek duduk di meja itu, kamu ngerti nggak?” Tangisan Elok menjadi-jadi. Ia
berjalan meninggalkan Aco. Aco hanya diam, membiarkan Elok memasuki pagar, lalu
pulang beberapa saat kemudian.
Malam
itu baik Aco maupun Elok meredam emosinya di kamar masing-masing, keduanya
berharap perasaan ini segera hilang dan esok bisa bekerja seperti biasa, namun
sayang hingga lewat tengah malam keduanya masih dalam keadaan tidak tenang.
”Udah
tidur?” Elok yang masih terjaga mengirim pesan pada Aco. Ia menyadari, memaksakan
diri untuk tidur dan berpura-pura tidak terjadi apapun tidak akan banyak
membantu. Cukup lama Elok menunggu Aco membalas pesannya, ia meyakini Aco pun
masih belum tidur. Ia bolak-balik memeriksa pesan itu, hingga akhirnya terbaca.
Aco langsung menelepon.
”Kenapa
belum tidur?” Suara Aco terdengar lembut, seperti orang berbeda dengan yang
beberapa jam lalu.
”Nggak
bisa.” Suara Elok parau.
”Istirahat,
besok kerja.” Kepala Aco memang mendingin, tetapi dadanya berdebar kencang.
”Aku
minta maaf.” Elok mengucapkannya dengan terbata.
”Aku
juga, aku keterlaluan ya?” Aco terdengar menyesal.
”Nggak,
aku ngerti kok maksudmu.” Elok mulai berpikir jernih.
”Aku
nggak pernah sekalipun berpikir kamu nggak akan berhasil. Justru karena aku
percaya kamu, aku ngerasa kamu nggak perlu berusaha sekeras itu.” Aco
benar-benar lembut mengucapkan itu. Elok terdiam.
”Aku
janji nggak akan bikin kamu susah.” Hati Elok menghangat mendengar itu, berapa
kalipun mereka bertengkar, Aco memang selalu berhasil membuat amarahnya mereda.
Atau mungkin memang ia tak pernah benar-benar marah pada Aco. Masih sama, Aco
tanpa celah bagi Elok.
**
Bertahun-tahun
lamanya semenjak Jalal berpulang, Sanna menjalani hari-hari sebagai ibu dan
menyambi sebagai pemetik kopi. Sekalipun Aco sudah berpenghasilan lumayan,
tidak jua semua kebutuhan Sanna dan anak-anaknya bisa ditanggung serta-merta
oleh Aco. Mungkin hanya kebutuhan pokok saja, asal bisa makan dan hidup layak,
selebihnya jika ada keperluan tambahan, keperluan sekolah untuk tugas,
patungan, ekstrakulikuler, uang jalan, menyumbang di acara hajatan, seragam
arisan, belum lagi keperluan dadakan yang lain yang seringkali tidak terduga.
Karena itulah Sanna masih perlu bekerja, agar tidak selalu memberatkan
putranya. Dalam proses Sanna menjalani hidup sebagai orang tua tunggal, ia
bertemu kembali dengan kenalan lama yang dahulu pernah menjadi kawannya di
organisasi remaja masjid saat Sanna masih bersekolah SMP di Maros, jauh sebelum
mengenal Jalal. Ialah Rokhani, anak lelaki dari orang tua asal Jawa Timur yang
merantau ke Sulawesi Selatan. Rokhani menghabiskan masa SD hingga SMA di Maros,
lalu ia merantau ke Kalimantan untuk waktu yang lama, dan setelah puluhan tahun
itu ia kembali ke Tanah Sulawesi namun berpindah ke Kabupaten Bone, bekerja
sebagai kuli bangunan untuk Haji Syarif, salah satu kontraktor bangunan ternama
di Bone. Masih menjadi pertanyaan, di usianya yang hampir 45 tahun Rokhani
belum menikah. Padahal jika dilihat-lihat ia tidaklah jelek, cenderung tampan,
wajahnya kearab-araban, badannya tinggi tegap, dan yang lebih penting sekalipun
ia bekerja di bawah terik dan gosong, Rokhani tetap terlihat menarik, ia cocok
dengan pakaian apapun. Tak jarang perempuan-perempuan dari yang muda hingga
berusia lanjut melihat Rokhani sebagai idola, objek untuk cuci mata.
Hari itu
sepulang Sanna dari kebun, ia mampir ke warung tepat di sebelah balai desa
untuk berbelanja sabun dan kapur barus. Saat menunggu Ibu Ratmi mengambilkan
kembalian, Sanna mendengar suara yang merdu sekali masuk ke telinganya. Suara
yang secara otomatis membuat Sanna dimanjakan dalam beberapa saat.
”Ada yang isi
20 bu?” Ucap lelaki itu sembari menunjuk rokok kretek yang ada dalam etalase.
“Habis om.” Bu
Ratmi menyahut.
Secara tidak
sadar, Sanna melihat wajah lelaki itu. Tidak asing pun tidak mudah pula ia
kenali. Garis mukanya benar-benar khas, apalagi sorot matanya, tak ada duanya.
Lelaki itu pun menyadari ia tengah diamati, lalu ia melakukan hal yang sama.
Benar saja, Sanna tidak banyak berubah. Wajahnya masih cantik dan mirip dengan
ia remaja. Jika pun dilombakan siapa yang akan lebih mudah dikenali, maka Sanna
lah jawabannya.
“Andi Sanna
Mardiat?” Dengan suara pelan nan ragu-ragu. Lama Sanna mencerna sapaan dari
lelaki itu. Sampai ia hanya bisa bertanya balik.
“Kita pernah
kenal dimana sebelumnya ya?” Sanna tersenyum sekaligus berpikir keras dimana ia
menjumpai lelaki beralis tebal itu.
“Masjid At-Thoyibbah Maros.”
Rokhani menjawab yakin.
“Masya Allah,
iya ya? Tahun berapa itu? Kita sudah lama di sini?” Sanna menjawab sekaligus
bertanya antusias.
“Sudah 5
bulanan di dekat Pasar Sentral. Rumahmu daerah mana?”
“Dekat dari
sini, kapan-kapan mampir.” Sanna berbasa-basi. Lalu tanpa ragu Rokhani meminta
nomor telepon Sanna.
No comments:
Post a Comment