23

 

            Enggan bertengkar di rumah, Aco membawa Elok ke sebuah tempat, Terowongan Sumpang Labbu yang juga sudah sering Elok dengar dari Aco. Di atas terowongan mereka berdebat, Elok hampir menangis, Aco berulang kali mengucapkan kalimat yang sama.

”Sekarang bukan masanya kita permasalahin itu. Kita sudah saling kenal keluarga, tinggal gimana kita maintain aja hubungannya.” Aco setengah putus asa, amarah Elok seperti membuncah.

“Kalian masih komunikasi, bahkan ke mammi? Dia sengaja?” Suara Elok setengah ia tahan.

”Dia sudah mau nikah sayang.” Aco kembali mengulang kalimat yang sama sekali tidak menenangkan Elok.

”Justru itu kenapa dia masih nggak tau malu? Harusnya dia urus kehidupannya sendiri.” Elok semakin hilang kendali, suaranya semakin berat.

”Kalaupun dia mau balik sama aku, belum tentu keluargaku mau. Dia sudah sama orang lain, ya sudah. Kamu berlebihan sayang.” Aco menarik lengan Elok, ia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan agar Elok tenang.

”Telpon dia sekarang, bilang nggak akan ganggu kamu lagi.” Sulit sekali bagi Elok berpikir jernih.

”Dia pasti akan ketawa kalau lihat kita begini.” Aco menarik nafas panjang, ia benar-benar putus asa.

”Kamu masih peduli pendapatnya?” Seperti kerasukan setan, Elok meminta Aco melakukan yang ia mau. Aco mengambil ponsel di dalam sakunya, lalu memanggil sebuah nomor. Tampak di layar, bahkan nomor itu tidak disimpan di kontak Aco, seperti nomor yang ia bisa hapal, bahkan seingat Elok Aco tak pernah menghapal nomornya. Elok kehabisan akal melihat kedua orang ini. Semakin ia merasa tidak mengenal Aco.

”Halo, iya.” Suara Ratih terdengar dari pengeras suara.

”Pacarku mau kamu nggak usah hubungi aku sama keluargaku lagi.” Aco langsung dengan lantang mengucapkan itu. Terlihat Aco menahan malu, tetapi tekanan dari Elok membuatnya terpaksa.

”Oh iya, kita sudah nggak ada apa-apa kan.” Ratih menjawab tenang. Terdengar ada rasa menang disana. Elok cemburu? Artinya ia tak cukup percaya diri. Mungkin seperti itulah kesan yang didapat Ratih.

Elok seperti menyesal meminta itu pada Aco, tak jua rasa lega ia dapat walaupun Aco sudah menelpon Ratih di depannya. Ia justru semakin gelisah, apalagi saat ingat bagaimana Aco dengan mudahnya mengingat nomor ponsel Ratih, entah ini sudah panggilan ke berapa, bisa jadi semua terjadi setelah Aco bersama Elok. Perasaan Elok berkecamuk hingga hari terakhir ia ada di kampung itu.

 

**

 

            Aco dan Elok menuju Makassar pagi itu, dengan mengendarai motor mereka melewati jalanan berkelok Bone-Makassar dengan pemandangan yang luar biasa indah.

            ”Mau mampir ke taman kupu-kupu?” Aco bertanya pada Elok.

            ”Boleh, belum tentu nanti aku bisa kesini lagi.” Elok menjawab dengan sarkas. Aco paham maksud itu.

            ”Berarti kamu pikir nggak akan kesini lagi? Sama aja kamu pikir kita nggak akan sama-sama?” Aco mencoba menegaskan. Elok terdiam. Ingin sekali iya mengamini perkataan Aco, tetapi lebih jauh ia berharap bisa kembali ke tempat ini terus dan terus.

            ”Bisa nggak kita tenang sebentar aja? Kamu selalu mikir yang nggak-nggak.” Suara Aco terdengar lembut, ia menarik tangan kiri Elok dan menggenggamnya sambil mengendarai motor. Elok tak berontak, ada perasaan hangat saat itu. Amarah Elok seperti mereda.

            Tiba di Bantimurung, Aco memarkirkan motornya. Sepanjang memasuki area, mereka disambut banyak kupu-kupu. Aco merangkul Elok, kemudian menggandengnya, tak henti mereka saling berpegangan satu sama lain.

            ”Sama aku aja ya.” Aco membisikkan itu pada Elok, kalimat yang justru sering Elok ucapkan hari itu terdengar dari mulut Aco. Kupu-kupu yang memenuhi tempat itu, seakan juga memenuhi hati dua sejoli itu. Di saat seperti ini, yang tersisa hanya perasaan yakin dan berharap bisa bersama orang yang sama selamanya.

 

**

 

            Menyisakan sehari untuk beristirahat, Elok sengaja mematikan ponselnya. Ia membenamkan diri di atas kasur dan memutar lagu-lagu dari pemutar musik miliknya. Sekitar pukul 3 sore, ibu kost datang mengetuk pintu kamar Elok.

            ”Mbak, ada yang nyari.” Elok keluar kamar dan mengekori ibu kost. Di teras sudah menunggu 2 anak kecil dengan tas lengkap.

            ”Loh kok di sini dek?” Elok menghambur peluk pada Denok dan Hapsari.

            ”Ikut mbah.” Hapsari menunjuk Ajeng yang berdiri di ujung teras, Ajeng teralihkan anggrek bulan yang cantik dengan beragam warna.

            ”Ibu telpon kamu nggak aktif.” Ajeng berjalan ke arah Elok, memberikan peluk.

            ”Ayok masuk.” Elok bergegas membawa mereka ke kamar agar bisa mengobrol dengan leluasa.

            ”Nginap ya?” Elok berbicara dengan Denok. Denok geleng-geleng.

            ”Mbakmu beneran nggak pulang.” Ajeng masih terdengar sedih.

            ”Dah biarin aja bu, anggap aja sudah ilang.” Elok kesal mengingat iparnya itu.

            ”Kasihan bocah-bocah.” Ajeng melihat ke arah Denok & Hapsari.

            “Kan ada aku bu.” Elok menunjuk dirinya sendiri dengan tegas.

            ”Mau kamu ngurusin mereka?” Ajeng bertanya serius.

            ”Mau.” Elok menjawab tanpa berpikir.

            ”Alhamdulillah.” Ajeng terdengar lega, tetapi mimik mukanya tak bisa menyembunyikan keraguannya pada jawaban Elok.

            ”Ibu sebenernya pengen kamu di kampung aja, biar bantu ibu jaga mereka. Kadang ibu kewalahan lo, mana kaki sering kumat.” Ajeng sembari memijat-mijat kakinya pelan.

            ”Kenapa nggak ibu aja yang pindah kesini. Jadi aku juga masih bisa kerja.” Elok ikut memijat kaki Ajeng.

            ”Ya kita lihat nanti lah.” Ajeng masih ragu memikirkan tempat tinggal jika harus keluar dari kampung.

            Malam itu Ajeng dan kedua cucunya menginap di kamar kost Elok, mereka banyak berbincang. Keresahan-keresahan Ajeng tumpah malam itu, Elok pun sama. Menceritakan hidup, merencanakan esok, semua terasa ringan saat beban itu dibagi.

 

**

 

            Mendengar kabar Ajeng menginap, pagi-pagi sekali Aco sudah tiba di kost Elok. Membawakan kue-kue untuk sarapan, Aco menyalami Ajeng.

            ”Sehat bu?”

            ”Alhamdulillah sehat.”

            ”Kami berangkat dulu bu.” Elok muncul dan langsung berpamitan sebelum sempat Aco berbincang dengan Ajeng lebih banyak.

            ”Kok buru-buru?” Aco penasaran.

            ”Jangan ngobrol dulu sama ibu, dia lagi sensi.” Elok mulai mengoceh semua cerita yang semalam ia bahas dengan ibu. Sepanjang jalan menuju kantor Aco mendengarkan dengan khidmat. Hingga sampai pada cerita rencana pindah Ajeng dan keluarga.

            ”Kamu yakin bawa mereka kesini?” Elok mengangguk.

            ”Kamu aja belum settle sayang.” Aco mencoba realistis.

            “Ya siapa tau setelah ini kerjaanku bagus.” Elok coba optimis.

            ”Aamiin.” Aco mencoba percaya saja, ia tak ingin mengacaukan optimisme Elok.

            Setibanya di kantor, Elok baru mulai berpikir. Sepertinya apa yang ia yakini tadi, tidak serta-merta akan mudah. Melihat memo yang ada di layar komputernya, tumpukan kertas-kertas yang menunggu dikerjakan, agenda meeting, serta pekerjaan-pekerjaan dadakan lain yang biasanya timbul tenggelam membuat Elok kewalahan sebelum memulai. Mengandalkan pekerjaan ini untuk menyambung hidup dengan kedua keponakan yang masih sekolah. Sudah tentu ia harus berusaha lebih keras, lebih tekun, lebih tangguh. Jika satu dua kali ia harus menangis, maka ia harus bangkit lagi ribuan kali. Seperti itulah pikiran berisik Elok pagi itu.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...