Kalau kamu berharap orang lain akan
bisa bersikap sesuai dengan apa yang selalu diharapkan, maka sebenarnya dunia
ini hanya akan berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada
usaha yang lebih keras, semua orang saling baik dan membiarkan orang lain meraih
segalanya lebih awal. Kita tidak akan sibuk dengan menerka-nerka, tak ada area
abu-abu, semua berjalan pada putih dan lapang sekali melihat apapun, terang
benderang tak ada kegelapan. Namun, sejak awal semuanya tidak diciptakan
demikian. Sisi hitam dan putih dibiarkan hidup hingga lebih banyak manusia
nyaman di area abu-abu, sisi yang bisa saja menyakiti kita tanpa disengaja.
Hari-hari ini siapapun bisa melakukan itu.
Aco
bangun pagi-pagi sekali, ia sudah sibuk membersihkan rumah dari lantai hingga
jendela-jendela. Elok belum tampak keluar kamar. Sedang Sanna sedang di dapur
membuat sarapan. Dari luar Fatiyah berteriak memanggil Sanna, ia membawakan
ponsel karena ada panggilan.
”Iye
nak, apa kabar?” Ratih yang sudah tak tenang beberapa hari ini memberanikan
diri menelepon Sanna. Sementara Sanna seakan paham akan telepon ini. Ia
berusaha agar tidak membahas Elok yang sudah 3 hari ini menginap di rumahnya.
”Berapa
hari dia disana mammi?” Ratih memang tidak sabaran, ia langsung saja bertanya.
Sanna enggan membahas, tetapi mau tidak mau ia harus menjawab.
”2
minggu nak. Acaramu kapan?” Sanna mengalihkan pertanyaan.
”Ditunda
mammi, harusnya bulan depan.” Di luar apa yang Sanna pikirkan.
”Kenapa?”
Sanna penasaran.
”Masih
ragu-ragu, dan kayaknya lebih baik ditunda.” Sanna merasa lega sekaligus
bingung dengan ini. Ia termasuk orang yang menyukai Ratih, bahkan ia tak pernah
berpikir bahwa gadis itu akan dijodohkan. Selama ini ia melihat Aco dan Ratih
teramat cocok. Tetapi, pesan itulah yang sepertinya ingin disampaikan Ratih,
bahwa ia belum yakin akan menikah, perjodohan itu belum benar-benar terjadi,
dan ia seperti menyiratkan masih punya kemungkinan bersama Aco.
Setelah
panggilan pagi itu, Ratih kembali tak segan untuk menghubungi Sanna. Ia pun tak
ragu-ragu menanyakan tentang Aco dan Elok. Tak hanya pada Sanna, Ratih pun kembali
dekat dengan adik-adik Aco. Hingga mau tak mau, Aco menyadari itu. Sama seperti
Sanna, Aco tampak lega mendengar kabar pernikahan perempuan itu ditunda. Tetapi
bagaimana dengan Elok.
**
Beberapa
vendor sudah dibatalkan, cincin dan uang panai sudah dikembalikan, keluarga
besar belum kembali bertemu setelah pembatalan ini. Nurdin enggan berusaha
lebih lagi, sepertinya perjodohan ini memang tidak akan berhasil, sesederhana
itu pemikiran Nurdin. Lelaki itu memilih menghabiskan waktu berlibur ke Makau
untuk beberapa hari. Kedua orang tuanya akhirnya pun tak ingin ambil pusing,
mereka justru masih berhubungan baik dengan kedua orang tua Ratih. Mencoba
untuk memahami bahwa Ratih masih labil dan perlu waktu. Hanya itu yang bisa
dipercaya kedua keluarga itu.
”Kamu
dimana?” Pesan masuk dari Ratih. Nurdin belum berminat membalas pesan itu, apalagi
ingat pertengkaran tempo hari.
”Ini mau
bener-bener batal?” Ratih kembali mengirim pesan. Nurdin bingung membaca pesan itu.
“Kalau nggak
jawab berarti iya.” Nurdin
hanya membacanya dari pop up pesan.
“Bahkan kamu
sama sekali nggak perjuangin aku.” Nurdin mengingat-ingat, yang saat itu ingin
menunda adalah Ratih, tetapi kenapa sekarang perempuan itu mempertanyakan
sikapnya?
”Oke aku
akan bilang ke keluarga kalau kamu emang mau batalkan.” Nurdin muak, Ratih semakin drama. Pesan
Ratih semakin membuat Nurdin yakin sebaiknya memang tidak mengiyakan ini dari
awal. Ia seperti dibuat seolah-olah ia yang jahat, padahal Ratih lah yang
selalu menghindar dan ragu, hingga akhirnya ingin menunda. Nurdin pun masih
maklum saat Ratih masih menulis nama Aco di profil BBMnya, bahkan beberapa kali
Ratih kedapatan menulis sesuatu tentang Aco yang bahkan saat itu ia dan Ratih
sudah bertunangan, tetapi Nurdin merasa tak perlu mempermasalahkan itu. Ratih
lah yang selalu berusaha menyulut perdebatan antar mereka, seperti mencari-cari
bahan untuk bertengkar dan ujung-ujungnya merasa tersakiti. Nurdin memilih
mengabaikan pesan itu hingga kemudian Ratih menghapusnya.
**
Kampung
yang selama ini hanya ia dengar, yang biasanya ia hanya bisa berimajinasi kali
ini benar-bisa ia lihat secara nyata, kampung yang cukup nyaman dijadikan
tempat tinggal. Rumah-rumah panggung yang tampak kokoh, orang-orang ramah yang
saling sapa setiap kali berpapasan, keluarga dekat yang terasa sangat akrab dan
menyatu, banyak hal yang membuat Elok takjub. Aco pulang kampung seperti sesuatu
yang istimewa di kampung, Sanna libur ke kebun, keluarga silih berganti datang
untuk melihat Aco, berkenalan dengan Elok, dan mereka sibuk memasak bersama
atau sekadar berkumpul biasa. Hari itu semua sedang asik berkumpul membuat
kapurung. Elok duduk di depan sebaskom adonan yang siap dibentuk. Ia mencoba
membaur dengan ibu-ibu yang hampir semuanya menggunakan bahasa bugis. Elok
hanya paham beberapa istilah, itupun jarang ia dengar di percakapan hari itu.
Semua terasa asing.
”Diam-diam
saja dari tadi?” Dengan dialek kentalnya Puang Ola bertanya pada Elok. Elok
tersenyum saja, sadar kalau memang ia sedari tadi tidak paham apa yang
dibicarakan.
”Nda mengerti
dia.” Sanna tersenyum dan mencoba membantu Elok.
”Eee anak
Puang Ame nda mengerti bahasa sini?” Semua
terdiam. Elok bingung apa yang dimaksud. Fatiyah yang duduk di depan
Elok tampak mencolek-colek Puang Ola. Sementara yang lainnya canggung. Tiba-tiba
ponsel Sanna berbunyi tepat di samping Elok, muncul pop up pesan dari seseorang
yang tidak asing.
A.Ratih Baru : Iya
mammi, sampai ketemu di MKS.
Dada
Elok berdegup kencang, tak beraturan, sedikit sesak, penasaran, ia hanya berdoa
semoga bukan Ratih yang ia tahu. Lekas-lekas ia mengalihkan pandangan kembali
ke adonan di depannya dengan mimik muka yang sulit sekali ia sembunyikan. Belum
lagi saat ia mengingat kata-kata Puang Ola saat menyebut Puang Ame, sejauh
ingatan Elok itu kemungkinan besar orang tua Ratih, yang juga sudah dikenal
lama di kampung. Tetapi Elok menahan diri untuk tidak tampak kecewa. Ia hanya terus
berdoa agar situasi ini lekas berakhir, ia bisa beranjak ke kamar atau tempat
lain yang bisa membuatnya lebih nyaman dan tenang. Aco bahkan tak terlihat dimana
rimbanya.
Setelah
semua matang, keluarga laki-laki mulai berdatangan dan makan bersama. Aco
barulah tiba berbarengan dengan yang lainnya. Dari sudut kanan ruangan Aco melihat-lihat
ke arah Elok yang tampak sibuk, Elok melihatnya sesekali, tapi tatapan itu
terasa hambar, Aco sadar ada yang salah dengan Elok, entah apalagi. Kini Aco
pun berada di ketidaknyamanan, ia tak sabar segera berbicara dengan Elok dan
menanyakan ada apa. Aco mengambil ponsel dan mengirim pesan, Elok tak terlihat berniat
membacanya. Dengan perasaan tak tenang, Aco menunggu acara ini segera berakhir.
No comments:
Post a Comment