22

 

            Kalau kamu berharap orang lain akan bisa bersikap sesuai dengan apa yang selalu diharapkan, maka sebenarnya dunia ini hanya akan berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada usaha yang lebih keras, semua orang saling baik dan membiarkan orang lain meraih segalanya lebih awal. Kita tidak akan sibuk dengan menerka-nerka, tak ada area abu-abu, semua berjalan pada putih dan lapang sekali melihat apapun, terang benderang tak ada kegelapan. Namun, sejak awal semuanya tidak diciptakan demikian. Sisi hitam dan putih dibiarkan hidup hingga lebih banyak manusia nyaman di area abu-abu, sisi yang bisa saja menyakiti kita tanpa disengaja. Hari-hari ini siapapun bisa melakukan itu.

            Aco bangun pagi-pagi sekali, ia sudah sibuk membersihkan rumah dari lantai hingga jendela-jendela. Elok belum tampak keluar kamar. Sedang Sanna sedang di dapur membuat sarapan. Dari luar Fatiyah berteriak memanggil Sanna, ia membawakan ponsel karena ada panggilan.

            ”Iye nak, apa kabar?” Ratih yang sudah tak tenang beberapa hari ini memberanikan diri menelepon Sanna. Sementara Sanna seakan paham akan telepon ini. Ia berusaha agar tidak membahas Elok yang sudah 3 hari ini menginap di rumahnya.

            ”Berapa hari dia disana mammi?” Ratih memang tidak sabaran, ia langsung saja bertanya. Sanna enggan membahas, tetapi mau tidak mau ia harus menjawab.

            ”2 minggu nak. Acaramu kapan?” Sanna mengalihkan pertanyaan.

            ”Ditunda mammi, harusnya bulan depan.” Di luar apa yang Sanna pikirkan.

            ”Kenapa?” Sanna penasaran.

            ”Masih ragu-ragu, dan kayaknya lebih baik ditunda.” Sanna merasa lega sekaligus bingung dengan ini. Ia termasuk orang yang menyukai Ratih, bahkan ia tak pernah berpikir bahwa gadis itu akan dijodohkan. Selama ini ia melihat Aco dan Ratih teramat cocok. Tetapi, pesan itulah yang sepertinya ingin disampaikan Ratih, bahwa ia belum yakin akan menikah, perjodohan itu belum benar-benar terjadi, dan ia seperti menyiratkan masih punya kemungkinan bersama Aco.

            Setelah panggilan pagi itu, Ratih kembali tak segan untuk menghubungi Sanna. Ia pun tak ragu-ragu menanyakan tentang Aco dan Elok. Tak hanya pada Sanna, Ratih pun kembali dekat dengan adik-adik Aco. Hingga mau tak mau, Aco menyadari itu. Sama seperti Sanna, Aco tampak lega mendengar kabar pernikahan perempuan itu ditunda. Tetapi bagaimana dengan Elok.

 

**

 

            Beberapa vendor sudah dibatalkan, cincin dan uang panai sudah dikembalikan, keluarga besar belum kembali bertemu setelah pembatalan ini. Nurdin enggan berusaha lebih lagi, sepertinya perjodohan ini memang tidak akan berhasil, sesederhana itu pemikiran Nurdin. Lelaki itu memilih menghabiskan waktu berlibur ke Makau untuk beberapa hari. Kedua orang tuanya akhirnya pun tak ingin ambil pusing, mereka justru masih berhubungan baik dengan kedua orang tua Ratih. Mencoba untuk memahami bahwa Ratih masih labil dan perlu waktu. Hanya itu yang bisa dipercaya kedua keluarga itu.

            ”Kamu dimana?” Pesan masuk dari Ratih. Nurdin belum berminat membalas pesan itu, apalagi ingat pertengkaran tempo hari.

            ”Ini mau bener-bener batal?” Ratih kembali mengirim pesan. Nurdin bingung membaca pesan itu.

            “Kalau nggak jawab berarti iya.” Nurdin hanya membacanya dari pop up pesan.

            “Bahkan kamu sama sekali nggak perjuangin aku.” Nurdin mengingat-ingat, yang saat itu ingin menunda adalah Ratih, tetapi kenapa sekarang perempuan itu mempertanyakan sikapnya?

            ”Oke aku akan bilang ke keluarga kalau kamu emang mau batalkan.” Nurdin muak, Ratih semakin drama. Pesan Ratih semakin membuat Nurdin yakin sebaiknya memang tidak mengiyakan ini dari awal. Ia seperti dibuat seolah-olah ia yang jahat, padahal Ratih lah yang selalu menghindar dan ragu, hingga akhirnya ingin menunda. Nurdin pun masih maklum saat Ratih masih menulis nama Aco di profil BBMnya, bahkan beberapa kali Ratih kedapatan menulis sesuatu tentang Aco yang bahkan saat itu ia dan Ratih sudah bertunangan, tetapi Nurdin merasa tak perlu mempermasalahkan itu. Ratih lah yang selalu berusaha menyulut perdebatan antar mereka, seperti mencari-cari bahan untuk bertengkar dan ujung-ujungnya merasa tersakiti. Nurdin memilih mengabaikan pesan itu hingga kemudian Ratih menghapusnya.

 

**

 

            Kampung yang selama ini hanya ia dengar, yang biasanya ia hanya bisa berimajinasi kali ini benar-bisa ia lihat secara nyata, kampung yang cukup nyaman dijadikan tempat tinggal. Rumah-rumah panggung yang tampak kokoh, orang-orang ramah yang saling sapa setiap kali berpapasan, keluarga dekat yang terasa sangat akrab dan menyatu, banyak hal yang membuat Elok takjub. Aco pulang kampung seperti sesuatu yang istimewa di kampung, Sanna libur ke kebun, keluarga silih berganti datang untuk melihat Aco, berkenalan dengan Elok, dan mereka sibuk memasak bersama atau sekadar berkumpul biasa. Hari itu semua sedang asik berkumpul membuat kapurung. Elok duduk di depan sebaskom adonan yang siap dibentuk. Ia mencoba membaur dengan ibu-ibu yang hampir semuanya menggunakan bahasa bugis. Elok hanya paham beberapa istilah, itupun jarang ia dengar di percakapan hari itu. Semua terasa asing.

            ”Diam-diam saja dari tadi?” Dengan dialek kentalnya Puang Ola bertanya pada Elok. Elok tersenyum saja, sadar kalau memang ia sedari tadi tidak paham apa yang dibicarakan.

            ”Nda mengerti dia.” Sanna tersenyum dan mencoba membantu Elok.

            ”Eee anak Puang Ame nda mengerti bahasa sini?” Semua terdiam. Elok bingung apa yang dimaksud. Fatiyah yang duduk di depan Elok tampak mencolek-colek Puang Ola. Sementara yang lainnya canggung. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi tepat di samping Elok, muncul pop up pesan dari seseorang yang tidak asing.

A.Ratih Baru : Iya mammi, sampai ketemu di MKS.

            Dada Elok berdegup kencang, tak beraturan, sedikit sesak, penasaran, ia hanya berdoa semoga bukan Ratih yang ia tahu. Lekas-lekas ia mengalihkan pandangan kembali ke adonan di depannya dengan mimik muka yang sulit sekali ia sembunyikan. Belum lagi saat ia mengingat kata-kata Puang Ola saat menyebut Puang Ame, sejauh ingatan Elok itu kemungkinan besar orang tua Ratih, yang juga sudah dikenal lama di kampung. Tetapi Elok menahan diri untuk tidak tampak kecewa. Ia hanya terus berdoa agar situasi ini lekas berakhir, ia bisa beranjak ke kamar atau tempat lain yang bisa membuatnya lebih nyaman dan tenang. Aco bahkan tak terlihat dimana rimbanya.

            Setelah semua matang, keluarga laki-laki mulai berdatangan dan makan bersama. Aco barulah tiba berbarengan dengan yang lainnya. Dari sudut kanan ruangan Aco melihat-lihat ke arah Elok yang tampak sibuk, Elok melihatnya sesekali, tapi tatapan itu terasa hambar, Aco sadar ada yang salah dengan Elok, entah apalagi. Kini Aco pun berada di ketidaknyamanan, ia tak sabar segera berbicara dengan Elok dan menanyakan ada apa. Aco mengambil ponsel dan mengirim pesan, Elok tak terlihat berniat membacanya. Dengan perasaan tak tenang, Aco menunggu acara ini segera berakhir.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...