21

            Malam itu Elok bergelut dengan perasaannya, ia benci sesedih ini. Mengapa satu nama itu amat mengganggu? Bukankah itu sudah terjadi dan Elok mengerti Aco bahkan tak mungkin bisa mengubah masa lalunya. Tapi, lagi-lagi, mengapa ia harus resah dengan masa lalu Aco? Elok sampai berdoa berkali-kali dalam hatinya, ia meminta dengan sungguh-sungguh pada Tuhan, agar diberikan pasangan yang tak pernah punya hubungan sebelumnya, atau seseorang yang tak punya mantan, atau mungkin setidaknya seseorang yang tak punya hubungan selama itu, serumit itu, sedalam itu, Elok benci keadaan ini. Di menit berbeda, Elok juga bertarung dengan logikanya, seusia Aco bukankah wajar punya kehidupan lain sebelum ini, ia sudah hidup lebih lama sebelum mengenal Elok, banyak orang silih berganti yang hadir di kehidupan Aco, dan itu tak apa-apa bukan? Andaikan perasaan itu yang terakhir kali memenuhi benak Elok, mungkin ia bisa tenang dan tertidur dengan mudahnya. Sayangnya, ia masih harus berperang melawan satu dua kemungkinan yang ia cari-cari, kemungkinan yang menyakitinya, kemungkinan-kemungkinan yang seperti silet, menyisakan sayatan-sayatan kecil yang teramat perih. Mengapa mencintai seseorang semenyedihkan ini?

            Hari itu cuaca di kota Balikpapan sedang hujan, beberapa hari terakhir terasa tidak menentu, Aco dan Elok terpaksa bertemu di kelas bahasa mandarin pukul 3 sore. Elok sudah menimbang-nimbang untuk tidak hadir kali ini, tetapi di menit-menit terakhir ia merasa sayang. Ia berpikir mungkin ini memang benar jalan untuk ia memulai kehidupan baru. Persis seperti dugaannya, ia tak mampu bersikap cuek pada Aco. Hanya perlu sekali sapa, Aco sudah bisa meluluhkan hati Elok, gadis itu tersihir, entah dari frekuensi suara yang mana.

            ”Aku cuti minggu kedua. Kamu mau ikut?” Aco duduk tepat di samping Elok, ia setengah berbisik. Elok mendengar Aco, tetapi ia tak menoleh. Elok terdiam sejenak, berpikir sebelum ia mengonfirmasi pertanyaan Aco.

            ”Aku mau kenalin sama mammi.” Aco melanjutkan ajakannya.

            ”Ke kampungmu?” Elok masih belum menyadari sepenuhnya ajakan itu. Aco mengangguk.

            ”Makassar?” Elok masih memastikan.

            ”Iya, tapi nanti lanjut ke rumahku di kampung.” Ide itu terdengar renyah di telinga Elok, hatinya menghangat, dikenalkan pada keluarga pasangan adalah hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan Aco adalah orang pertama. Dalam bayangan bodoh Elok, ia sudah terbayang apa yang akan dilakukan disana, bagaimana nanti ia berinteraksi dengan keluarga besar Aco, bagaimana ia berkenalan dengan semua orang yang bernama Andi itu, dan bagaimana nanti mereka akan menggelar pernikahan adat. Jauh sekali Elok berpikir. Menyadari pemikirannya yang sudah terlalu sesat, Elok lekas-lekas menyadarkan diri.

            ”Tapi bantu aku izin ke ibuku ya.” Elok berusaha menjawab dengan santai, walaupun rasa bahagia dalam hatinya seakan berebut ingin tumpah dan membuat wajahnya memerah. Aco mengangguk, mereka lalu merencanakan hari libur tambahan untuk izin pada orang tua Elok.

            Seminggu sebelum keberangkatan, Elok sudah mengajukan cuti ke atasannya, tidak berselang lama kabar bahwa mereka merencanakan cuti bersama sudah terdengar. Lalu di sela-sela jam istirahat, tiba-tiba Juan menghampiri Elok.

            ”Kalau belum dilamar, kalau bisa jangan ikut ke rumah orang tua pacar.” Nasihat tiba-tiba, yang membuat Elok tak bisa berkomentar. Ia hanya senyum dan ingin menjawab iya saja agar tidak perlu ada nasihat lanjutan. Selain Juan, sepertinya ada beberapa orang lagi yang ingin menyampaikan sesuatu pada Elok terkait rencana kepergiannya ini, tetapi sebelum mereka buka suara, Elok sudah langsung coba menghindar. Baginya ini semacam pembuktian Aco, bahwa lelaki itu serius. Setidaknya itulah yang Elok tanam di pikirannya agar ia tenang.

            Hari seperti lekas berganti, setelah Aco izin pada Ajeng, ia terlebih dahulu terbang ke Makassar, dan Elok menyusul seminggu setelahnya. Elok masih memikirkan bagaimana nanti ia bertemu dengan keluarga Aco. Ia takut tak bisa menjaga sikap, ia takut terlihat punya banyak kekurangan, ia takut tidak diterima. Ketakutan-ketakutan yang seketika ditepis Aco. Lelaki itu memang pandai menenangkan Elok. Bagi Elok, beberapa hal memang menjadi terasa lebih mudah saat ada Aco.

            Untuk pertama kalinya Elok menginjakan kaki ke Pulau Sulawesi. Ia masih belum bisa banyak berpikir. Menghadapi mammi seperti yang seringkali Aco ceritakan seakan membuat perasaan berbeda. Mammi Sanna, seseorang yang dalam bayangan Elok sangat amat sempurna. Perempuan pekerja keras yang bisa menghidupi Aco dan adik-adiknya dengan kekuatannya sendiri Punggung Sanna teramat kuat untuk menanggung beban kehidupan ini, dan ia mampu. Aco manusia pertama yang sedemikian rupa mengelu-elukan ibunya, dan Elok salut akan itu. Di Bandara, beberapa kali Elok melihat ponselnya, ia membuka galeri dan mengamati wajah Sanna, membayangkan apa yang sudah dilewati wanita cantik itu di masa mudanya, membayangkan semua cerita-cerita Aco melekat, membuat Elok tersentuh, Sanna benar-benar cantik, tidak mirip dengan Aco yang sepertinya memang lebih mirip Jalal.

            Dari kejauhan muncul seorang lelaki mengenakan jersey Real Madrid. Seketika Elok tersenyum melihat itu, seseorang yang ia tunggu-tunggu menjemputnya. Aco langsung meraih trolley yang dipegang Elok, lalu mengelus-elus rambut Elok sambil tersenyum.

            ”Jauh ya?” Aco tersenyum dan seakan mengerti bahwa Elok kelelahan. Elok mengangguk manja.

            Sembari meletakkan tangan kirinya di pundak Elok, Aco berjalan mendorong trolley menuju parkiran. Keduanya tak banyak bicara namun beberapa kali saling menatap satu sama lain seakan mereka berbicara dengan tatapan itu. Tak luput, senyum di antara keduanya tak kunjung pudar. Siapapun yang melihat itu pasti menyadari, kedua orang ini sedang benar-benar kasmaran.

 

**

 

            Tiba di kediaman Puang Takko di Toddopuli, Elok sudah disambut keluarga besar Aco. Satu-persatu ia salami, Elok berusaha mengingat wajah-wajah itu, merekam potret setiap orang di kepalanya, lalu lanjut mengingat setiap nama yang disebutkan, benar saja, semua bernama depan Andi, dan semua orang tua disana dipanggil Puang, katanya ini panggilan untuk bangsawan bugis. Elok hanya bisa menggangguk dan patuh saja. Ia memanggil semuanya dengan sebutan Puang, terkecuali Sanna. Elok sedari awal sudah diperkenalkan Aco dengan panggilan mammi. Malam itu, adalah malam dimana Elok bisa mengamati keluarga Aco. Keluarga yang hangat, akrab, dan sepertinya tidak akan sulit membaur di keluarga itu, seperti itulah Elok berpikir.

 

**

 

            Kabar Elok datang ke Sulawesi terdengar Ratih, pantas saja ia merasakan ada kegelisahan seharian ini. Ternyata ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Di BBM, Binar, kekasih Gemma, membagikan foto ketika makan malam dengan keluarga Aco, dan terdapat Elok disana. Duduk di sebelah Aco dengan senyum lebar, Ratih ingat sekali ia pernah ada di posisi itu. Dadanya terasa sesak, ia berusaha menyangkal rasa cemburunya, tetapi sulit ia menyangkal bahwa ia sakit hati melihat itu. Baru beberapa bulan Aco bahkan tak enggan membawa perempuan baru ke keluarganya.

            ”Cepet ya?” Setelah beberapa menit Ratih terdiam melihat itu, ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari apa yang ia lihat. Ratih mengirim pesan pada Binar.

            ”Sabar ya kak. Hiks” Binar mencoba bersimpati.

            ”Kapan dia datang dek?” Ratih tampak sangat ingin tahu.

            ”Barusan kak.” Binar menjawab singkat.

            ”Sampai berapa lama infonya?” Ratih masih penasaran.

            ”Kurang tau kak, tapi kayaknya lama. Besok mereka ke Bone.” Ratih tak menjawab pesan itu. Perasaan kecewanya berlapis. Bahkan, di hubungannya yang sangat lama ini, tak sekalipun Aco berinisiatif membawanya ke kampung halaman Aco. Mereka tak sejauh itu. Apakah ini artinya Aco benar-benar serius dengan Elok?

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...