Malam itu Elok
bergelut dengan perasaannya, ia benci sesedih ini. Mengapa satu nama itu amat
mengganggu? Bukankah itu sudah terjadi dan Elok mengerti Aco bahkan tak mungkin
bisa mengubah masa lalunya. Tapi, lagi-lagi, mengapa ia harus resah dengan masa
lalu Aco? Elok sampai berdoa berkali-kali dalam hatinya, ia meminta dengan
sungguh-sungguh pada Tuhan, agar diberikan pasangan yang tak pernah punya
hubungan sebelumnya, atau seseorang yang tak punya mantan, atau mungkin
setidaknya seseorang yang tak punya hubungan selama itu, serumit itu, sedalam
itu, Elok benci keadaan ini. Di menit berbeda, Elok juga bertarung dengan
logikanya, seusia Aco bukankah wajar punya kehidupan lain sebelum ini, ia sudah
hidup lebih lama sebelum mengenal Elok, banyak orang silih berganti yang hadir
di kehidupan Aco, dan itu tak apa-apa bukan? Andaikan perasaan itu yang
terakhir kali memenuhi benak Elok, mungkin ia bisa tenang dan tertidur dengan
mudahnya. Sayangnya, ia masih harus berperang melawan satu dua kemungkinan yang
ia cari-cari, kemungkinan yang menyakitinya, kemungkinan-kemungkinan yang
seperti silet, menyisakan sayatan-sayatan kecil yang teramat perih. Mengapa
mencintai seseorang semenyedihkan ini?
Hari itu
cuaca di kota Balikpapan sedang hujan, beberapa hari terakhir terasa tidak
menentu, Aco dan Elok terpaksa bertemu di kelas bahasa mandarin pukul 3 sore.
Elok sudah menimbang-nimbang untuk tidak hadir kali ini, tetapi di menit-menit
terakhir ia merasa sayang. Ia berpikir mungkin ini memang benar jalan untuk ia
memulai kehidupan baru. Persis seperti dugaannya, ia tak mampu bersikap cuek
pada Aco. Hanya perlu sekali sapa, Aco sudah bisa meluluhkan hati Elok, gadis
itu tersihir, entah dari frekuensi suara yang mana.
”Aku
cuti minggu kedua. Kamu mau ikut?” Aco duduk tepat di samping Elok, ia setengah
berbisik. Elok mendengar Aco, tetapi ia tak menoleh. Elok terdiam sejenak,
berpikir sebelum ia mengonfirmasi pertanyaan Aco.
”Aku mau
kenalin sama mammi.” Aco melanjutkan ajakannya.
”Ke
kampungmu?” Elok masih belum menyadari sepenuhnya ajakan itu. Aco mengangguk.
”Makassar?”
Elok masih memastikan.
”Iya,
tapi nanti lanjut ke rumahku di kampung.” Ide itu terdengar renyah di telinga
Elok, hatinya menghangat, dikenalkan pada keluarga pasangan adalah hal yang tak
pernah ia bayangkan sebelumnya, dan Aco adalah orang pertama. Dalam bayangan
bodoh Elok, ia sudah terbayang apa yang akan dilakukan disana, bagaimana nanti
ia berinteraksi dengan keluarga besar Aco, bagaimana ia berkenalan dengan semua
orang yang bernama Andi itu, dan bagaimana nanti mereka akan menggelar pernikahan
adat. Jauh sekali Elok berpikir. Menyadari pemikirannya yang sudah terlalu
sesat, Elok lekas-lekas menyadarkan diri.
”Tapi
bantu aku izin ke ibuku ya.” Elok berusaha menjawab dengan santai, walaupun
rasa bahagia dalam hatinya seakan berebut ingin tumpah dan membuat wajahnya
memerah. Aco mengangguk, mereka lalu merencanakan hari libur tambahan untuk
izin pada orang tua Elok.
Seminggu
sebelum keberangkatan, Elok sudah mengajukan cuti ke atasannya, tidak berselang
lama kabar bahwa mereka merencanakan cuti bersama sudah terdengar. Lalu di
sela-sela jam istirahat, tiba-tiba Juan menghampiri Elok.
”Kalau
belum dilamar, kalau bisa jangan ikut ke rumah orang tua pacar.” Nasihat
tiba-tiba, yang membuat Elok tak bisa berkomentar. Ia hanya senyum dan ingin
menjawab iya saja agar tidak perlu ada nasihat lanjutan. Selain Juan,
sepertinya ada beberapa orang lagi yang ingin menyampaikan sesuatu pada Elok
terkait rencana kepergiannya ini, tetapi sebelum mereka buka suara, Elok sudah
langsung coba menghindar. Baginya ini semacam pembuktian Aco, bahwa lelaki itu
serius. Setidaknya itulah yang Elok tanam di pikirannya agar ia tenang.
Hari
seperti lekas berganti, setelah Aco izin pada Ajeng, ia terlebih dahulu terbang
ke Makassar, dan Elok menyusul seminggu setelahnya. Elok masih memikirkan
bagaimana nanti ia bertemu dengan keluarga Aco. Ia takut tak bisa menjaga
sikap, ia takut terlihat punya banyak kekurangan, ia takut tidak diterima.
Ketakutan-ketakutan yang seketika ditepis Aco. Lelaki itu memang pandai
menenangkan Elok. Bagi Elok, beberapa hal memang menjadi terasa lebih mudah
saat ada Aco.
Untuk
pertama kalinya Elok menginjakan kaki ke Pulau Sulawesi. Ia masih belum bisa
banyak berpikir. Menghadapi mammi seperti yang seringkali Aco ceritakan seakan
membuat perasaan berbeda. Mammi Sanna, seseorang yang dalam bayangan Elok
sangat amat sempurna. Perempuan pekerja keras yang bisa menghidupi Aco dan
adik-adiknya dengan kekuatannya sendiri Punggung Sanna teramat kuat untuk
menanggung beban kehidupan ini, dan ia mampu. Aco manusia pertama yang
sedemikian rupa mengelu-elukan ibunya, dan Elok salut akan itu. Di Bandara,
beberapa kali Elok melihat ponselnya, ia membuka galeri dan mengamati wajah
Sanna, membayangkan apa yang sudah dilewati wanita cantik itu di masa mudanya,
membayangkan semua cerita-cerita Aco melekat, membuat Elok tersentuh, Sanna
benar-benar cantik, tidak mirip dengan Aco yang sepertinya memang lebih mirip
Jalal.
Dari
kejauhan muncul seorang lelaki mengenakan jersey Real Madrid. Seketika Elok
tersenyum melihat itu, seseorang yang ia tunggu-tunggu menjemputnya. Aco
langsung meraih trolley yang dipegang Elok, lalu mengelus-elus rambut Elok
sambil tersenyum.
”Jauh ya?” Aco tersenyum
dan seakan mengerti bahwa Elok kelelahan. Elok mengangguk manja.
Sembari
meletakkan tangan kirinya di pundak Elok, Aco berjalan mendorong trolley menuju
parkiran. Keduanya tak banyak bicara namun beberapa kali saling menatap satu
sama lain seakan mereka berbicara dengan tatapan itu. Tak luput, senyum di antara
keduanya tak kunjung pudar. Siapapun yang melihat itu pasti menyadari, kedua
orang ini sedang benar-benar kasmaran.
**
Tiba di
kediaman Puang Takko di Toddopuli, Elok sudah disambut keluarga besar Aco. Satu-persatu
ia salami, Elok berusaha mengingat wajah-wajah itu, merekam potret setiap orang
di kepalanya, lalu lanjut mengingat setiap nama yang disebutkan, benar saja,
semua bernama depan Andi, dan semua orang tua disana dipanggil Puang, katanya
ini panggilan untuk bangsawan bugis. Elok hanya bisa menggangguk dan patuh
saja. Ia memanggil semuanya dengan sebutan Puang, terkecuali Sanna. Elok sedari
awal sudah diperkenalkan Aco dengan panggilan mammi. Malam itu, adalah malam
dimana Elok bisa mengamati keluarga Aco. Keluarga yang hangat, akrab, dan sepertinya
tidak akan sulit membaur di keluarga itu, seperti itulah Elok berpikir.
**
Kabar
Elok datang ke Sulawesi terdengar Ratih, pantas saja ia merasakan ada kegelisahan
seharian ini. Ternyata ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Di BBM, Binar,
kekasih Gemma, membagikan foto ketika makan malam dengan keluarga Aco, dan
terdapat Elok disana. Duduk di sebelah Aco dengan senyum lebar, Ratih ingat
sekali ia pernah ada di posisi itu. Dadanya terasa sesak, ia berusaha
menyangkal rasa cemburunya, tetapi sulit ia menyangkal bahwa ia sakit hati
melihat itu. Baru beberapa bulan Aco bahkan tak enggan membawa perempuan baru
ke keluarganya.
”Cepet
ya?” Setelah beberapa menit Ratih terdiam melihat itu, ia tak bisa menahan diri
untuk tidak mengomentari apa yang ia lihat. Ratih mengirim pesan pada Binar.
”Sabar
ya kak. Hiks” Binar mencoba bersimpati.
”Kapan dia
datang dek?” Ratih tampak sangat ingin tahu.
”Barusan
kak.” Binar menjawab singkat.
”Sampai
berapa lama infonya?” Ratih masih penasaran.
”Kurang
tau kak, tapi kayaknya lama. Besok mereka ke Bone.” Ratih tak menjawab pesan
itu. Perasaan kecewanya berlapis. Bahkan, di hubungannya yang sangat lama ini,
tak sekalipun Aco berinisiatif membawanya ke kampung halaman Aco. Mereka tak
sejauh itu. Apakah ini artinya Aco benar-benar serius dengan Elok?
No comments:
Post a Comment