Sudah seminggu Afif, Aco, dan Elok
mulai masuk kelas. Kelas paling dasar yang harus mereka ikuti adalah bahasa
mandarin. Elok sempat bertanya-tanya mengapa harus mandarin? Apakah mereka akan
jadi TKI di Tiongkok? Karena dalam bayangannya bukan seperti ini.
”Ini
yakin bahasa mandarin?” Elok masih ragu-ragu sebelum kelas dimulai. Elok duduk
di belakang Afif, sedang Aco berada di kursi sebelah kanan Elok. Aco hanya
mengangkat bahu tanda tak tahu. Anehnya mereka rela membayar untuk ada di kelas
ini.
Seorang
perempuan dengan rambut dicepol rapi masuk ke ruangan. Dihadiri sekitar 16
peserta kelas ini seharusnya menarik. Perempuan yang mengaku sebagai tutor itu
memperkenalkan diri dan langsung saja memulai materi tanpa menjelaskan
sebenarnya kelas apa ini. Seingat Elok ia mendaftar untuk kelas pekerja.
Deretan
angka-angka terpampang di papan tulis, tutor mengajari bagaimana cara
membacanya. Keempat belas orang lain seolah bersemangat mengikuti, kecuali Elok
yang masih belum tercerahkan. Elok seperti menyesali ide Afif yang
ujung-ujungnya tidaklah jelas. Elok berencana protes setelah ini, ingin
marah-marah, atau mungkin mengamuk pada Afif.
Akhirnya
kelas berakhir setelah hampir 2 jam, mereka berlomba-lomba keluar ruangan. Tiba
di lobby Elok sudah geram dan hendak bergegas mengumpat pada Afif, namun aksi
itu tertahan oleh seorang resepsionis yang langsung mencegat para siswa.
Di atas
meja sudah tercetak billing pembayaran kelas, nilainya tidak sedikit, dan
ternyata saat pendaftaran awal mereka sudah menandatangani komitmen untuk akan
mengikuti kelas itu hingga 24 bulan. Ketiga orang itu terdiam sejenak, hal
impulsif yang mereka lakukan ternyata berbuah masam. Itu bukanlah waktu yang
sedikit, tetapi tak bisa ditarik mundur.
”Ini
harus ya?” Elok bertanya polos.
”Iya
kak, ini sudah terdaftar ya.” Reserpsionis menunjukkan halaman daftar nama yang
di atasnya tertulis Dinas Penyalur Tenaga Kerja. Elok tak bisa banyak berpikir,
ia mengeluarkan ponsel dan mencatat nomor rekening yang akan ia transfer. Aco
dan Afif hanya mengekori Elok.
”Tersandera,
bukan waktu singkat. Yakin nih kita bakal konsisten?” Elok pasrah.
”Harus.”
Afif sebagai pencetus ide ini masih berapi-api optimis akan menyelesaikan kelas
hingga berhasil. Elok dan Aco saling bertatapan, ada keraguan muncul disana. Walaupun
tak sampai hati mereka sampaikan.
**
Sejak
awal berhubungan, Elok dan Aco seringkali membuka ponsel satu sama lain. Lebih
tepatnya sejak Aco mendapati pesan Gardana tempo hari. Aco juga beberapa kali
membalas pesan dari rekan kantor yang terbiasa memerintah Elok seenaknya. Tidak
sedikit rekan-rekan di kantor yang mulai menggunjingkan hal itu.
Elok pun
sama, akhirnya ia jadi lebih tertarik membuka ponsel Aco. Dimulai dari kontak BBM.
Alice said ”Oh gitu cara mainnya.”
Alice changed display picture.
Sebuah gambar siluet
seorang laki-laki dan perempuan berlatar laut yang saling berhadapan. Elok berpikir
sejenak. Lelaki ini tampak tidaklah asing, dari posture, gaya rambut, hingga
garis muka jelas sekali Elok mengenalinya. Elok kemudian membuka histori pesan
kontak itu, namun kosong. Elok kemudian teringat panggilan tak terjawab tempo
hari, Alice, nama yang sama. Dadanya seketika sesak, ada yang mengganjal namun
ia belum cukup amunisi untuk mencecar Aco dengan pertanyaan-pertanyaan menohok.
Lalu
entah mengapa Elok menemukan hal lain, whatsapp. Aplikasi yang tak pernah Elok
pikir ada di ponsel Aco, lebih tepatnya aplikasi itu tersembunyi, hanya muncul
saat dilakukan pencarian. Elok memberanikan diri membukanya, dan terkunci, ia
beberapa kali mencoba pola-pola yang mungkin Aco pakai, dan ternyata berhasil
terbuka. Tidak banyak pesan disana, hanya ada beberapa grup obrolan terkait
pekerjaan dan 1 kontak yang terakhir berkirim pesan sejam yang lalu, Alice.
”Sebentar
lagi aku ketemu dia, jangan chat dulu.” Pesan
itu dikirim Aco. Lalu Elok berselancar ke pesan-pesan sebelumnya, Elok
muak melihatnya. Pesan-pesan saling merayu yang Elok pikir tidak selayaknya
ditulis oleh seorang perempuan yang hendak menikah, Elok tak tahan lagi.
Tangisnya pecah sebelum sempat bertanya pada Aco.
Aco
berhenti menatap ponsel Elok yang ada di tangannya, perhatiannya tiba-tiba
tersita pada Elok.
”Kenapa?”
Aco bertanya dengan halus. Elok melemparkan ponsel Aco ke arah Aco dan mendarat
di sofa. Aco bergegas memeriksanya. Sebuah pesan panjang yang lupa ia hapus,
pesan yang ia sadar pasti menyakiti Elok.
”Dia
udah mau nikah sayang, aku cuma berusaha baik aja sebagai temen.” Aco berkilah.
”Baik? Sinting
kamu ya?” Elok berteriak kencang dan menangis sejadi-jadinya.
”Alice? Pantes kamu
obsess banget sama film itu, kamu obsess jadi vampire, bisa terbang.” Elok
benar-benar muak mengingat itu.
”Kamu
mulai ngaco ya.” Aco kini juga meninggikan suaranya.
”Kenapa?
Nggak ngerasa? Niat banget ngirim pesan biar nggak ngechat dulu saat kita
ketemu. Oh main belakang?” Elok menyapu air matanya sambil terus meluapkan
kekesalannya. Aco masih mengelak, tak sekalipun ia merasa bersalah. Ia semakin
marah ketika Elok menjadi-jadi.
”Kamu
drama banget sumpah.” Kalimat Aco yang membuat Elok jengah dan memilih pulang.
Elok keluar cafe dalam keadaan menangis dan memesan taksi. Aco mencoba
menahannya namun gagal.
Setibanya
di kamar, Elok langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia menangis hingga
tertidur. Ponselnya terus berdering, namun Elok memilih melemparkannya ke
dinding hingga batterynya terlepas.
Keesokan harinya saat terbangun,
mata Elok sembab, kepalanya pusing karena terlalu banyak menangis, ia ragu-ragu
harus masuk kerja atau tidak, tetapi ia ingat banyak hal yang harus ia lakukan
hari ini, dengan berat hati Elok memaksa tubuhnya berjalan ke kamar mandi. Ia berharap
air dingin ini mampu meringankan rasa sedihnya.
Saat keluar dari pintu gerbang,
Elok mendapati Aco sudah berdiri disana. Elok berusaha untuk terus melajukan
motornya, namun ia urungkan. Wajah Aco yang tampak memelas seakan memintanya
untuk berhenti.
”Kenapa nggak dibales? Aku
kepikiran.” Suara Aco terdengar
lemas. Sangat jauh berbeda dengan suaranya semalam.
”Bales apa?” Elok berpura-pura.
”Mana HP mu?” Aco kini tampak
tegas. Elok seketika membuka tasnya. Ia mengeluarkan ponselnya yang memang tak
ia buka sejak semalam.
Disana Elok dapati, Aco mengirim
pesan berkali-kali tanda ia menyesal dan meyakinkan Elok bahwa ini salah paham.
”Ini bukan salah paham.” Elok
masih belum terima.
”Kamu harus denger dulu. Dia yang
hubungi aku duluan.” Aco semakin berkilah.
”Aku sudah bilang kalau sudah ada
kamu, tapi dia minta waktu sampai hari H dia nikah.” Aco tampak punya alasan
yang payah.
”Terus kamu mau? Gila ya?” Elok semakin
geram.
”Kalian teleponan setiap malem?
Terus kamu dengan sok sucinya ngelarang-ngelarang aku?” Elok melirihkan
suaranya.
”Kamu yang terbukti teleponan
kan? Bukan aku?” Aco benar-benar mengelak, tak satupun tuduhan Elok ia akui. Pagi
itu perdebatan mereka tak menemukan titik temu, Elok berangkat ke kantor lebih
dahulu dengan perasaan marah, sedang Aco meminta izin ke atasannya untuk datang
terlambat.
No comments:
Post a Comment