20

 

            Sudah seminggu Afif, Aco, dan Elok mulai masuk kelas. Kelas paling dasar yang harus mereka ikuti adalah bahasa mandarin. Elok sempat bertanya-tanya mengapa harus mandarin? Apakah mereka akan jadi TKI di Tiongkok? Karena dalam bayangannya bukan seperti ini.

            ”Ini yakin bahasa mandarin?” Elok masih ragu-ragu sebelum kelas dimulai. Elok duduk di belakang Afif, sedang Aco berada di kursi sebelah kanan Elok. Aco hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Anehnya mereka rela membayar untuk ada di kelas ini.

            Seorang perempuan dengan rambut dicepol rapi masuk ke ruangan. Dihadiri sekitar 16 peserta kelas ini seharusnya menarik. Perempuan yang mengaku sebagai tutor itu memperkenalkan diri dan langsung saja memulai materi tanpa menjelaskan sebenarnya kelas apa ini. Seingat Elok ia mendaftar untuk kelas pekerja.

            Deretan angka-angka terpampang di papan tulis, tutor mengajari bagaimana cara membacanya. Keempat belas orang lain seolah bersemangat mengikuti, kecuali Elok yang masih belum tercerahkan. Elok seperti menyesali ide Afif yang ujung-ujungnya tidaklah jelas. Elok berencana protes setelah ini, ingin marah-marah, atau mungkin mengamuk pada Afif.

            Akhirnya kelas berakhir setelah hampir 2 jam, mereka berlomba-lomba keluar ruangan. Tiba di lobby Elok sudah geram dan hendak bergegas mengumpat pada Afif, namun aksi itu tertahan oleh seorang resepsionis yang langsung mencegat para siswa.

            Di atas meja sudah tercetak billing pembayaran kelas, nilainya tidak sedikit, dan ternyata saat pendaftaran awal mereka sudah menandatangani komitmen untuk akan mengikuti kelas itu hingga 24 bulan. Ketiga orang itu terdiam sejenak, hal impulsif yang mereka lakukan ternyata berbuah masam. Itu bukanlah waktu yang sedikit, tetapi tak bisa ditarik mundur.

            ”Ini harus ya?” Elok bertanya polos.

            ”Iya kak, ini sudah terdaftar ya.” Reserpsionis menunjukkan halaman daftar nama yang di atasnya tertulis Dinas Penyalur Tenaga Kerja. Elok tak bisa banyak berpikir, ia mengeluarkan ponsel dan mencatat nomor rekening yang akan ia transfer. Aco dan Afif hanya mengekori Elok.

            ”Tersandera, bukan waktu singkat. Yakin nih kita bakal konsisten?” Elok pasrah.

            ”Harus.” Afif sebagai pencetus ide ini masih berapi-api optimis akan menyelesaikan kelas hingga berhasil. Elok dan Aco saling bertatapan, ada keraguan muncul disana. Walaupun tak sampai hati mereka sampaikan.

 

**

            Sejak awal berhubungan, Elok dan Aco seringkali membuka ponsel satu sama lain. Lebih tepatnya sejak Aco mendapati pesan Gardana tempo hari. Aco juga beberapa kali membalas pesan dari rekan kantor yang terbiasa memerintah Elok seenaknya. Tidak sedikit rekan-rekan di kantor yang mulai menggunjingkan hal itu.

            Elok pun sama, akhirnya ia jadi lebih tertarik membuka ponsel Aco. Dimulai dari kontak BBM.

            Alice said ”Oh gitu cara mainnya.”

            Alice changed display picture.

            Sebuah gambar siluet seorang laki-laki dan perempuan berlatar laut yang saling berhadapan. Elok berpikir sejenak. Lelaki ini tampak tidaklah asing, dari posture, gaya rambut, hingga garis muka jelas sekali Elok mengenalinya. Elok kemudian membuka histori pesan kontak itu, namun kosong. Elok kemudian teringat panggilan tak terjawab tempo hari, Alice, nama yang sama. Dadanya seketika sesak, ada yang mengganjal namun ia belum cukup amunisi untuk mencecar Aco dengan pertanyaan-pertanyaan menohok.

            Lalu entah mengapa Elok menemukan hal lain, whatsapp. Aplikasi yang tak pernah Elok pikir ada di ponsel Aco, lebih tepatnya aplikasi itu tersembunyi, hanya muncul saat dilakukan pencarian. Elok memberanikan diri membukanya, dan terkunci, ia beberapa kali mencoba pola-pola yang mungkin Aco pakai, dan ternyata berhasil terbuka. Tidak banyak pesan disana, hanya ada beberapa grup obrolan terkait pekerjaan dan 1 kontak yang terakhir berkirim pesan sejam yang lalu, Alice.

            ”Sebentar lagi aku ketemu dia, jangan chat dulu.” Pesan itu dikirim Aco. Lalu Elok berselancar ke pesan-pesan sebelumnya, Elok muak melihatnya. Pesan-pesan saling merayu yang Elok pikir tidak selayaknya ditulis oleh seorang perempuan yang hendak menikah, Elok tak tahan lagi. Tangisnya pecah sebelum sempat bertanya pada Aco.

            Aco berhenti menatap ponsel Elok yang ada di tangannya, perhatiannya tiba-tiba tersita pada Elok.

            ”Kenapa?” Aco bertanya dengan halus. Elok melemparkan ponsel Aco ke arah Aco dan mendarat di sofa. Aco bergegas memeriksanya. Sebuah pesan panjang yang lupa ia hapus, pesan yang ia sadar pasti menyakiti Elok.

            ”Dia udah mau nikah sayang, aku cuma berusaha baik aja sebagai temen.” Aco berkilah.

            ”Baik? Sinting kamu ya?” Elok berteriak kencang dan menangis sejadi-jadinya.

            ”Alice? Pantes kamu obsess banget sama film itu, kamu obsess jadi vampire, bisa terbang.” Elok benar-benar muak mengingat itu.

            ”Kamu mulai ngaco ya.” Aco kini juga meninggikan suaranya.

            ”Kenapa? Nggak ngerasa? Niat banget ngirim pesan biar nggak ngechat dulu saat kita ketemu. Oh main belakang?” Elok menyapu air matanya sambil terus meluapkan kekesalannya. Aco masih mengelak, tak sekalipun ia merasa bersalah. Ia semakin marah ketika Elok menjadi-jadi.

            ”Kamu drama banget sumpah.” Kalimat Aco yang membuat Elok jengah dan memilih pulang. Elok keluar cafe dalam keadaan menangis dan memesan taksi. Aco mencoba menahannya namun gagal.

            Setibanya di kamar, Elok langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia menangis hingga tertidur. Ponselnya terus berdering, namun Elok memilih melemparkannya ke dinding hingga batterynya terlepas.

Keesokan harinya saat terbangun, mata Elok sembab, kepalanya pusing karena terlalu banyak menangis, ia ragu-ragu harus masuk kerja atau tidak, tetapi ia ingat banyak hal yang harus ia lakukan hari ini, dengan berat hati Elok memaksa tubuhnya berjalan ke kamar mandi. Ia berharap air dingin ini mampu meringankan rasa sedihnya.

Saat keluar dari pintu gerbang, Elok mendapati Aco sudah berdiri disana. Elok berusaha untuk terus melajukan motornya, namun ia urungkan. Wajah Aco yang tampak memelas seakan memintanya untuk berhenti.

”Kenapa nggak dibales? Aku kepikiran.” Suara Aco terdengar lemas. Sangat jauh berbeda dengan suaranya semalam.

”Bales apa?” Elok berpura-pura.

”Mana HP mu?” Aco kini tampak tegas. Elok seketika membuka tasnya. Ia mengeluarkan ponselnya yang memang tak ia buka sejak semalam.

Disana Elok dapati, Aco mengirim pesan berkali-kali tanda ia menyesal dan meyakinkan Elok bahwa ini salah paham.

”Ini bukan salah paham.” Elok masih belum terima.

”Kamu harus denger dulu. Dia yang hubungi aku duluan.” Aco semakin berkilah.

”Aku sudah bilang kalau sudah ada kamu, tapi dia minta waktu sampai hari H dia nikah.” Aco tampak punya alasan yang payah.

”Terus kamu mau? Gila ya?” Elok semakin geram.

”Kalian teleponan setiap malem? Terus kamu dengan sok sucinya ngelarang-ngelarang aku?” Elok melirihkan suaranya.

”Kamu yang terbukti teleponan kan? Bukan aku?” Aco benar-benar mengelak, tak satupun tuduhan Elok ia akui. Pagi itu perdebatan mereka tak menemukan titik temu, Elok berangkat ke kantor lebih dahulu dengan perasaan marah, sedang Aco meminta izin ke atasannya untuk datang terlambat.

           

 

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...