19

 

            Pertengahan tahun ini sudah dianggarkan untuk renovasi kantor. Dan, hari ini mulai giliran ruangan Elok. Mereka mulai berkemas untuk pindah sementara ke lantai 1, mungkin hanya sekitar beberapa hari karena renovasi kecil-kecilan.

            ”Kenapa nggak sekalian renov total sih?” Daniel merasa kesal karena yang ia dengar hanya dilakukan perbaikan-perbaikan pada plavon dan dinding, sementara Daniel merasa banyak sudut ruangan itu yang perlu perbaikan, dari bidet yang rusak di toilet pria, furniture yang ketinggalan jaman, barang-barang di pantry yang beberapa tidak layak pakai, banyak.

            ”Ini aja sudah sukur, aku udah sebulan terpaksa nadahin ember di depan jendela karena bocor.” Tiko menimpali.

            ”Bisa-bisanya mereka biarin dinding rembes di dekat pot.” Afif tak mau kalah.

            Aco masih sibuk menggeser beberapa lemari kecil untuk memindahkan kabel-kabel di bawah mejanya. Ia hanya menjadi pendengar keluhan kawan-kawannya. Setelah usai, Aco melihat ke arah toilet, lebih tepatnya ke meja Elok, kekasihnya itu masih sibuk dengan bertumpuk-tumpuk dokumen yang entah mau diapakan. Aco menghampirinya.

            ”Udah kelar?” Aco bermaksud menanyakan persiapan Elok pindah sementara.

            ”Belum, masih ngerjain ini ditunggu Pak Tiko.” Tampak di atas meja berkas-berkas perizinan untuk pembukaan lahan. Elok memeriksa lembar demi lembar memastikan tidak ada kekeliruan disana. Tiba-tiba Tiko menghampiri Elok.

            ”Kalau udah selesai bantu simpen dulu ya, terus nitip belikan kopi di bawah.” Elok tidak menjawab, hanya menerima selembar uang 100 ribu. Aco melihat ke arah Tiko dengan tatapan kurang senang, namun Tiko berlalu tanpa menoleh. Aco kemudian menarik Elok keluar ruangan.

            ”Sering dia nyuruh kamu?” Aco tampak marah.

            ”Nggak juga, cuma kadang nitip.” Elok menjawab santai.

            ”Kamu tau arti nitip nggak?” Suara Aco meninggi.

            ”Nitip itu kalau kamu sekalian kesana, terus dia nitip. Kalau ini namanya nyuruh, merintah, emang kamu kacung?” Suara Aco semakin tinggi. Elok tersinggung, namun tak bisa menjawab.

            ”Aku sudah bilang ke kamu jangan terlalu becanda sama orang, aku nggak suka kamu diremehin. Terbukti kan?” Aco terus berbicara dengan keras sampai sepertinya seorang cleaning service yang berdiri di depan pintu bisa mendengarnya.

            ”Nggak ada salahnya kubelikan, kan kita juga mau turun.” Elok berusaha membela diri.

            ”Sekali lagi kulihat dia perintah-perintah kamu, kupukul dia, nggak peduli aku.” Aco menurunkan suaranya tetapi penuh penekanan. Elok sudah beberapa kali menyaksikan Aco seperti ini. Hingga rasanya terbiasa.

**

 

            Desa Kuala Timur sedang gempar dengan hilangnya Ranu. Perempuan dewasa yang diyakini tidaklah mungkin diculik atau dibawa setan, hampir semua orang percaya bahwa Ranu memang minggat. Tetapi Ajeng dengan perasaan terpukul tetap percaya menantunya itu tak mungkin berlaku demikian. Bahkan Ajeng memilih menjauhi orang-orang yang tetap ngeyel bilang kalau Ranu kabur dengan lelaki lain. Ajeng menyimpan ini beberapa hari hingga ia ta kuat dan berusaha memberi tahu Elok.

            ”Sudah hampir seminggu mbakmu nggak pulang.” Ajeng memulai topik itu dengan nada pelan namun terasa menyedihkan sekali.

            ”Nah kan, aku sudah bilang Mbak Ranu nggak sebaik itu.” Elok langsung naik darah.

            ”Kenapa semua orang nyalahin ibu ya? Padahal belum tentu mbakmu kabur, bisa jadi dia dihipnotis orang atau kena guna-guna.” Ajeng terdengar konyol namun tetap terasa pedih di setiap ucapannya. Elok ingin sekali tetap dengan opininya terkait Ranu yang tidak baik-baik saja, tetapi ia coba tahan.

            ”Ibuk harus piye?” Kini Ajeng terdengar lemas, suaranya semakin parau.

            ”Nggak usah dipikir bu, yang penting ibu sehat.” Elok berusaha menenangkan namun masih dengan nada yang tegas.

            ”Ibuk kasihan sama bocah-bocah.” Mengingat Denok dan Hapsari membuat Elok mulai mencoba berada di posisi ibunya. Elok diam sejenak sebelum merespon.

            ”Ibuk juga kasihan sama kamu. Semua-semua kamu.” Mulai terasa semakin putus asa. Elok tak bisa banyak memberi Solusi, ia pun buntu.

            “Sudah seminggu masa nggak ada nelpon sih bu?” Elok masih penasaran sekaligus kesal. Ajeng tak menjawab.

            ”Masa lupa anak?” Elok kini kesal. Ajeng tak jua menjawab.

            ”Pokoknya biarin aja dia nggak pulang buk, ngak usah diarep-arep.” Elok benar-benar emosi.

            ”Ibu mau lapor polisi.” kalimat itu serta-merta langsung dipatahkan Elok.

            ”Lho ngapain? Jelas-jelas dia selalu gini bu, tapi mungkin baru kali ini lebih lama. Dia nggak mungkin diculik bu.” Elok kebingungan mengatur kata demi kata agar mudah dimengerti ibunya. Ia kehabisan akal, ibunya sudah dibutakan oleh kakak iparnya itu.

            ”Pokoknya ibu mau lapor, Pak RT bisa bantu ibu.” Ajeng seolah yakin ini akan berhasil.

            ”Yo terserah ibuk, yang penting aku nggak ikut-ikut.” Elok tak sudi terlibat dengan Ranu. Perempuan problematik yang anehnya amat sangat disukai Ajeng. Perbincangan mereka malam itu tak ada titik temu. Elok menutup panggilan dibanding harus sakit hati mengingat perlakuan Ranu pada keluarganya.

 

**

 

            Sabtu pagi saat tak punya agenda apapun, Elok masih bermalas-malasan di kasur. Rutinitas yang pasti tak mungkin terlewat adalah menghubungi Aco, seperti sebuah keharusan dan kebutuhan yang tak mungkin ia lewatkan. Saat baru hendak menelpon kekasihnya itu tiba-tiba Elok menerima telepon dari Abigail.

            ”Udah denger ceri kakakmu belum?” Sudah Elok duga, Abigail akan membahas ini.

            ”Udah, ibuk semalem telepon.” Elok menjawab lemas.

            “Udah gilak emang itu cewek, dia kabur jadi gundiknya perangkat desa sebelah.” Abigail terdengar meyakinkan.

            ”Siapa?” Elok geram tetapi penasaran.

            ”Bapaknya Tomi.” Elok langsung mengingat-ingat anak kecil kawannya dulu yang biasa bertemu saat pertandingan antar kampung dan pesantren kilat di masjid kecamatan.

            ”Kok bisa?” Mata Elok hampir keluar mendengar itu. Abigail kemudian bercerita panjang lebar sampai membuat Elok mual.

            ”Banyak yang lihat mbakmu di rumahnya, terus beberapa kali diantar ke kota. Kata sopir travel bilangnya istri kedua, tapi kok mukanya nggak asing.” Abigail terus nyerocos.

            ”Semua orang kasihan sama ibukmu tapi nggak tega mau ngomong, padahal kan tinggal bilang aja nggak apa-apa to?” Abigail seperti sedang mencari pembenaran argumennya. Elok tak bisa banyak berkomentar, isi kepalanya penuh sesak dengan skenario-skenario liar yang bisa jadi akan ia lakukan jika ia pulang nanti., Elok memastikan Ranu tidak akan pernah selamat dari amukannya.

            ”Pokoknya El, kamu harus bertindak. Kasihan ibukmu ngasuh Denok sama Hapsari, malah mboknya kawin lagi.” Abigail seperti provokator.

            Sampai pada satu titik, Elok bernafas dengan ketakutannya sendiri. Ranu benar-benar menjadi bumerang di keluarga. Sudah lama ia ingin menunjukkan ini pada ibunya, tetapi tak pernah punya kesempatan.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...