Pertengahan
tahun ini sudah dianggarkan untuk renovasi kantor. Dan, hari ini mulai giliran
ruangan Elok. Mereka mulai berkemas untuk pindah sementara ke lantai 1, mungkin
hanya sekitar beberapa hari karena renovasi kecil-kecilan.
”Kenapa
nggak sekalian renov total sih?” Daniel merasa kesal karena yang ia dengar
hanya dilakukan perbaikan-perbaikan pada plavon dan dinding, sementara Daniel
merasa banyak sudut ruangan itu yang perlu perbaikan, dari bidet yang rusak di
toilet pria, furniture yang ketinggalan jaman, barang-barang di pantry yang
beberapa tidak layak pakai, banyak.
”Ini aja
sudah sukur, aku udah sebulan terpaksa nadahin ember di depan jendela karena
bocor.” Tiko menimpali.
”Bisa-bisanya
mereka biarin dinding rembes di dekat pot.” Afif tak mau kalah.
Aco
masih sibuk menggeser beberapa lemari kecil untuk memindahkan kabel-kabel di
bawah mejanya. Ia hanya menjadi pendengar keluhan kawan-kawannya. Setelah usai,
Aco melihat ke arah toilet, lebih tepatnya ke meja Elok, kekasihnya itu masih
sibuk dengan bertumpuk-tumpuk dokumen yang entah mau diapakan. Aco
menghampirinya.
”Udah
kelar?” Aco bermaksud menanyakan persiapan Elok pindah sementara.
”Belum,
masih ngerjain ini ditunggu Pak Tiko.” Tampak di atas meja berkas-berkas
perizinan untuk pembukaan lahan. Elok memeriksa lembar demi lembar memastikan
tidak ada kekeliruan disana. Tiba-tiba Tiko menghampiri Elok.
”Kalau
udah selesai bantu simpen dulu ya, terus nitip belikan kopi di bawah.” Elok
tidak menjawab, hanya menerima selembar uang 100 ribu. Aco melihat ke arah Tiko
dengan tatapan kurang senang, namun Tiko berlalu tanpa menoleh. Aco kemudian
menarik Elok keluar ruangan.
”Sering
dia nyuruh kamu?” Aco tampak marah.
”Nggak
juga, cuma kadang nitip.” Elok menjawab santai.
”Kamu
tau arti nitip nggak?” Suara Aco meninggi.
”Nitip
itu kalau kamu sekalian kesana, terus dia nitip. Kalau ini namanya nyuruh,
merintah, emang kamu kacung?” Suara Aco semakin tinggi. Elok tersinggung, namun
tak bisa menjawab.
”Aku
sudah bilang ke kamu jangan terlalu becanda sama orang, aku nggak suka kamu
diremehin. Terbukti kan?” Aco terus berbicara dengan keras sampai sepertinya
seorang cleaning service yang berdiri di depan pintu bisa mendengarnya.
”Nggak
ada salahnya kubelikan, kan kita juga mau turun.” Elok berusaha membela diri.
”Sekali
lagi kulihat dia perintah-perintah kamu, kupukul dia, nggak peduli aku.” Aco
menurunkan suaranya tetapi penuh penekanan. Elok sudah beberapa kali
menyaksikan Aco seperti ini. Hingga rasanya terbiasa.
**
Desa
Kuala Timur sedang gempar dengan hilangnya Ranu. Perempuan dewasa yang diyakini
tidaklah mungkin diculik atau dibawa setan, hampir semua orang percaya bahwa Ranu
memang minggat. Tetapi Ajeng dengan perasaan terpukul tetap percaya menantunya
itu tak mungkin berlaku demikian. Bahkan Ajeng memilih menjauhi orang-orang
yang tetap ngeyel bilang kalau Ranu kabur dengan lelaki lain. Ajeng menyimpan
ini beberapa hari hingga ia ta kuat dan berusaha memberi tahu Elok.
”Sudah hampir seminggu mbakmu nggak
pulang.” Ajeng memulai topik itu dengan nada pelan namun terasa
menyedihkan sekali.
”Nah
kan, aku sudah bilang Mbak Ranu nggak sebaik itu.” Elok langsung naik darah.
”Kenapa
semua orang nyalahin ibu ya? Padahal belum tentu mbakmu kabur, bisa jadi dia
dihipnotis orang atau kena guna-guna.” Ajeng terdengar konyol namun tetap
terasa pedih di setiap ucapannya. Elok ingin sekali tetap dengan opininya
terkait Ranu yang tidak baik-baik saja, tetapi ia coba tahan.
”Ibuk harus piye?” Kini
Ajeng terdengar lemas, suaranya semakin parau.
”Nggak
usah dipikir bu, yang penting ibu sehat.” Elok berusaha menenangkan namun masih
dengan nada yang tegas.
”Ibuk
kasihan sama bocah-bocah.” Mengingat Denok dan Hapsari membuat Elok mulai mencoba
berada di posisi ibunya. Elok diam sejenak sebelum merespon.
”Ibuk
juga kasihan sama kamu. Semua-semua kamu.” Mulai terasa semakin putus asa. Elok tak bisa banyak
memberi Solusi, ia pun buntu.
“Sudah seminggu masa nggak ada
nelpon sih bu?” Elok masih penasaran sekaligus kesal. Ajeng tak menjawab.
”Masa lupa
anak?” Elok kini kesal. Ajeng tak jua menjawab.
”Pokoknya
biarin aja dia nggak pulang buk, ngak usah diarep-arep.” Elok benar-benar
emosi.
”Ibu mau
lapor polisi.” kalimat itu serta-merta langsung dipatahkan Elok.
”Lho ngapain? Jelas-jelas
dia selalu gini bu, tapi mungkin baru kali ini lebih lama. Dia nggak mungkin
diculik bu.” Elok kebingungan mengatur kata demi kata agar mudah dimengerti
ibunya. Ia kehabisan akal, ibunya sudah dibutakan oleh kakak iparnya itu.
”Pokoknya
ibu mau lapor, Pak RT bisa bantu ibu.” Ajeng seolah yakin ini akan berhasil.
”Yo
terserah ibuk, yang penting aku nggak ikut-ikut.” Elok tak sudi terlibat dengan
Ranu. Perempuan problematik yang anehnya amat sangat disukai Ajeng. Perbincangan
mereka malam itu tak ada titik temu. Elok menutup panggilan dibanding harus
sakit hati mengingat perlakuan Ranu pada keluarganya.
**
Sabtu
pagi saat tak punya agenda apapun, Elok masih bermalas-malasan di kasur.
Rutinitas yang pasti tak mungkin terlewat adalah menghubungi Aco, seperti
sebuah keharusan dan kebutuhan yang tak mungkin ia lewatkan. Saat baru hendak
menelpon kekasihnya itu tiba-tiba Elok menerima telepon dari Abigail.
”Udah
denger ceri kakakmu belum?” Sudah Elok duga, Abigail akan membahas ini.
”Udah, ibuk semalem telepon.” Elok
menjawab lemas.
“Udah gilak
emang itu cewek, dia kabur jadi gundiknya perangkat desa sebelah.” Abigail
terdengar meyakinkan.
”Siapa?”
Elok geram tetapi penasaran.
”Bapaknya
Tomi.” Elok langsung mengingat-ingat anak kecil kawannya dulu yang biasa
bertemu saat pertandingan antar kampung dan pesantren kilat di masjid
kecamatan.
”Kok
bisa?” Mata Elok hampir keluar mendengar itu. Abigail kemudian bercerita
panjang lebar sampai membuat Elok mual.
”Banyak
yang lihat mbakmu di rumahnya, terus beberapa kali diantar ke kota. Kata sopir
travel bilangnya istri kedua, tapi kok mukanya nggak asing.” Abigail terus
nyerocos.
”Semua
orang kasihan sama ibukmu tapi nggak tega mau ngomong, padahal kan tinggal
bilang aja nggak apa-apa to?” Abigail seperti sedang mencari pembenaran
argumennya. Elok tak bisa banyak berkomentar, isi kepalanya penuh sesak dengan
skenario-skenario liar yang bisa jadi akan ia lakukan jika ia pulang nanti.,
Elok memastikan Ranu tidak akan pernah selamat dari amukannya.
”Pokoknya
El, kamu harus bertindak. Kasihan ibukmu ngasuh Denok sama Hapsari, malah mboknya
kawin lagi.” Abigail seperti provokator.
Sampai
pada satu titik, Elok bernafas dengan ketakutannya sendiri. Ranu benar-benar
menjadi bumerang di keluarga. Sudah lama ia ingin menunjukkan ini pada ibunya,
tetapi tak pernah punya kesempatan.
No comments:
Post a Comment