Sedikit banyak
Elok kini mulai menjadi pendengar. Keluh kesah kisah tentang kehidupannya kini
mulai ia pinggirkan sejenak. Ia semangat mendengar kisah latar belakang Aco,
asal-usul, kehidupan masa kecil, Aco ceritakan pada Elok sebanyak mungkin. Elok
seperti mendapati pena yang siap ia tuliskan di bukunya yang kosong. Setiap
detil cerita Aco membawa Elok pada imajinasi mengagumkan tentang lelaki itu,
tak heran jika tak satupun orang berhasil menghasutnya. Setiap kata yang keluar
dari bibir Aco seperti sebuah karya sastra, indah sekali. Elok berandai, jika
dengan itu ia ingin hidup, maka selamanya memang benar-benar tak pernah cukup.
”Sama
aku aja ya.” Kalimat yang tanpa sengaja Elok lontarkan, dengan nada rendah dan
tatapan sendu, Elok menatap Aco yang tengah menjeda ceritanya. Aco terdiam, tak
siap dengan kalimat itu, ia hanya menatap balik perempuan di depannya yang
berkaca-kaca.
”Pattering.”
Aco tersenyum sembari mengusap pipi Elok, Perempuan itu memang tampak semakin
emosional. Elok tak menjawab apapun, ia hanya sesekali mendongak agar air
matanya tidak tumpah ruah.
”Kenapa?”
Aco kebingungan. Elok meraih tangan Aco dan menggenggamnya erat.
”Sama
aku aja.” Sekali lagi kalimat itu yang keluar. Elok mengucapkannya sembari
menangis, Aco tak mampu melihat itu, spontan Aco mendekap perempuan di
hadapannya dengan sekuat tenaga. Elok menghamburkan tangis dalam dekapan itu.
Tangis yang tak mampu ia jelaskan mengapa.
”Iya,
sama kamu aja.” Aco mengucapkan itu dengan penuh perasaan, tak pernah ia
menjalani hal sesingkat ini, dari mengenal hingga jatuh cinta, dari jatuh
hingga terperosok paksa, Elok datang di kehidupannya seperti jebakan, ada yang
ia lupakan dari bagaimana ia mencintai seseorang, Elok benar-benar
pengecualian.
Elok pun
mulai paham, mengapa perasaannya pada Aco sedemikian. Aco seperti gambaran
dirinya sendiri. Banyak hal yang harus ia lewati hingga menjadi dirinya yang
hari ini. Hidup yang tidak terlalu ramah, harapan keluarga yang setinggi awan,
karir yang tidak terlalu cemerlang, tetapi semua mata mengarah padanya seakan
segala macam masalah di dunia ini mampu terselesaikan dengan punggungnya.
Di layar
ponsel Aco muncul pop up pesan dari kontak bernama Alice.
“Nggak
bisa ya nunggu sebentar lagi?”
**
Sedari
pagi, Elok sudah dipenuhi daftar pekerjaan yang harus ia lakukan. Bersiap
mengenakan penutup kepala, sarung tangan, masker serta pakaian yang nyaman Elok
mulai bersiap menuju gudang untuk mempersiapkan audit. Elok ditemani seorang
cleaning service yang membantu mengangkat kotak-kotak berisi dokumen untuk
dipindah dan dibersihkan. Elok bertugas memberi arahan dan mengatur mana saja
dokumen yang akan diperlukan. Kondisi gudang yang berdebu, ruangan yang pengap tanpa
jendela, membuat Elok harus rutin keluar ruangan untuk menghidup udara segar.
”Ngapain?”
Dengan wajah setengah tersenyum Aco melihat Elok yang muncul di lorong sekitar
Gudang.
“Milah
dokumen.” Elok menyeka keringat di wajahnya.
”Nih.”
Aco menyodorkan sekaleng minuman dingin, sekaligus Aco membuka penutupnya. Elok
dengan mata berbinar meminum itu sambil terengah-engah.
”Capek
banget?” Elok mengangguk dengan muka memelas.
”Kasiaaan.
Nanti jadi keluar?” Aco mengonfirmasi janji mereka semalam. Elok kembali
mengangguk. Aco tersenyum, lalu berjalan menuju ruangan, Aco terus di posisi
mundur agar bisa melihat Elok hingga ujung koridor.
Tanpa
Aco sadari, ada Safira disana. Safira melihat Aco melambaikan tangan dan
tersenyum sebelum berbelok. Safira berjalan agak cepat penasaran dengan siapa
yang ada di sana dan menjumpai Elok yang berdiri mematung dengan pakaian
tempur, Safira seketika merasakan ketidaknyamanan. Ada egonya yang terlukai,
entah apa.
**
Malam
itu di sebuah kedai nasi goreng, Aco dan Elok harus dengan sabar mendengarkan
kegalauan Afif. Ia putus dengan Fitri.
”Ya
gimana lagi, itu maunya dia.” Afif
terlihat pasrah.
”Udah coba bujuk?” Elok mencoba
masuk ke cerita Afif dengan sudut pandang perempuan.
”Udah. Ya dia ngotot mau batal aja
pokoknya.” Afif tampak terpukul.
”Ya udah nggak usah dipaksa lagi,
cewek mah banyak.” Aco mengucap itu dengan niat bercanda. Elok melihat ke
arah Aco, entah mengapa ia terganggu dengan kata-kata itu. Bahkan kini Elok
mulai cemburu dengan kalimat semacam itu.
Lepas
cerita banyak tentang Fitri, tiba-tiba Afif loncat pada sebuah kalimat.
”Masa iya kita mau gini-gini aja co?
Nggak pengen gitu jalan-jalan keluar? Siapa tau kita bisa sukses.”
Sesuatu
yang benar-benar tiba-tiba dari Afif. Aco mencoba menggali apa yang dimaksud
kawannya itu. Aco memaku fokusnya ke wajah Afif, tampak antusias ingin tahu
lebih.
”Lihat.” Afif membuka sesuatu di ponselnya.
Lalu menunjukkannya pada Aco dan Elok. Seperti iklan sebuah tempat kursus
penyalur tenaga kerja.
”Mau
jadi TKW?” Aco spontan bertanya.
”TKI
kali.” Afif mengoreksi.
”W mah buat dia doang.” Afif
menunjuk Elok.
“Ini maksudnya
gimana?” Aco penasaran.
Afif
mengubah posisi duduk, tubuhnya ia geser lebih condong pada Aco dan Elok, ia antusias
ingin menyampaikan ide ini.
”Jadi
kita daftar disini, nanti ada kelas gitu belajar bahasa, belajar apapun buat
dapet beasiswa dan kerja gitu.” Afif terus mengoceh berusaha membuat Aco dan
Elok tertarik.
”Kalau
mau jadi pemain bola gitu bisa?” Aco bertanya polos.
”Nggak
bisa lah gilak.” Afif menarik ponsel di tangannya, hampir saja ia memukul Aco.
”Kapan pendaftarannya?”
Elok tampak tertarik.
”Bulan
depan. Ini ada pilihan kelas-kelasnya.” Afif menunjukkan kepada Elok. Elok
membaca setiap detil pilihan-pilihan kelas yang ada disana, dari kelas pekerja
non skill hingga profesi tertentu.
”Boleh
juga sih.” Elok terkonfirmasi masuk dalam iklan Afif.
”Boleh
deh ntar dicoba. Kapan kita ke kantornya?” Aco pun sama.
”Minggu
ini gimana?” Afif seperti sudah teramat siap. Hari itu mereka sepakat akan
mencoba, entah nantinya akan menjadi apa. Afif yang tengah putus cinta merasa
perlu pergi sejauh-jauhnya, Elok yang ingin sekali berhasil dalam hidup merasa
perlu banyak belajar, Aco yang melihat Elok penuh semangat merasa perlu menjadi
pendukung terdepan. Aco mengingat bagaimana setiap hari kekasihnya itu bekerja,
bagaimana ia juga ingin membuat beban itu lebih ringan, ia ingin sekali melihat
Elok hidup lebih nyaman.
**
Di
perjalanan pulang selepas bekerja, Aco mengajak Elok berkeliling sekaligus
mencari makan malam, lalu mereka mampir di sebuah warung bubur yang buka 24
jam. Disana mereka saling bercerita tentang keinginan mereka di hari kemudian.
Elok yang matanya berbinar-binar menceritakan bagaimana ia ingin menjadi
penulis. Aco yang kemudian menjadi pendengar setia. Keduanya seperti sudah rela
menjalani rencana baru dalam hidup mereka. Belajar.
Setiap
kali Aco menceritakan kepedihan dalam hidupnya, Elok seperti merasakan satu
tingkat jatuh cinta. Elok seperti mencintai kepedihan itu, ia senang dengan
lelaki yang hidupnya tak mudah. Elok senang dengan lelaki yang berjuang. Jadi,
seberapa sering cerita pedih itu sampai ke Elok, maka perasaan Elok sebanyak
itu pula bertambah.
No comments:
Post a Comment