18

 

            Sedikit banyak Elok kini mulai menjadi pendengar. Keluh kesah kisah tentang kehidupannya kini mulai ia pinggirkan sejenak. Ia semangat mendengar kisah latar belakang Aco, asal-usul, kehidupan masa kecil, Aco ceritakan pada Elok sebanyak mungkin. Elok seperti mendapati pena yang siap ia tuliskan di bukunya yang kosong. Setiap detil cerita Aco membawa Elok pada imajinasi mengagumkan tentang lelaki itu, tak heran jika tak satupun orang berhasil menghasutnya. Setiap kata yang keluar dari bibir Aco seperti sebuah karya sastra, indah sekali. Elok berandai, jika dengan itu ia ingin hidup, maka selamanya memang benar-benar tak pernah cukup.

            ”Sama aku aja ya.” Kalimat yang tanpa sengaja Elok lontarkan, dengan nada rendah dan tatapan sendu, Elok menatap Aco yang tengah menjeda ceritanya. Aco terdiam, tak siap dengan kalimat itu, ia hanya menatap balik perempuan di depannya yang berkaca-kaca.

            ”Pattering.” Aco tersenyum sembari mengusap pipi Elok, Perempuan itu memang tampak semakin emosional. Elok tak menjawab apapun, ia hanya sesekali mendongak agar air matanya tidak tumpah ruah.

            ”Kenapa?” Aco kebingungan. Elok meraih tangan Aco dan menggenggamnya erat.

            ”Sama aku aja.” Sekali lagi kalimat itu yang keluar. Elok mengucapkannya sembari menangis, Aco tak mampu melihat itu, spontan Aco mendekap perempuan di hadapannya dengan sekuat tenaga. Elok menghamburkan tangis dalam dekapan itu. Tangis yang tak mampu ia jelaskan mengapa.

            ”Iya, sama kamu aja.” Aco mengucapkan itu dengan penuh perasaan, tak pernah ia menjalani hal sesingkat ini, dari mengenal hingga jatuh cinta, dari jatuh hingga terperosok paksa, Elok datang di kehidupannya seperti jebakan, ada yang ia lupakan dari bagaimana ia mencintai seseorang, Elok benar-benar pengecualian.

            Elok pun mulai paham, mengapa perasaannya pada Aco sedemikian. Aco seperti gambaran dirinya sendiri. Banyak hal yang harus ia lewati hingga menjadi dirinya yang hari ini. Hidup yang tidak terlalu ramah, harapan keluarga yang setinggi awan, karir yang tidak terlalu cemerlang, tetapi semua mata mengarah padanya seakan segala macam masalah di dunia ini mampu terselesaikan dengan punggungnya.

            Di layar ponsel Aco muncul pop up pesan dari kontak bernama Alice.

            “Nggak bisa ya nunggu sebentar lagi?”

 

**

 

            Sedari pagi, Elok sudah dipenuhi daftar pekerjaan yang harus ia lakukan. Bersiap mengenakan penutup kepala, sarung tangan, masker serta pakaian yang nyaman Elok mulai bersiap menuju gudang untuk mempersiapkan audit. Elok ditemani seorang cleaning service yang membantu mengangkat kotak-kotak berisi dokumen untuk dipindah dan dibersihkan. Elok bertugas memberi arahan dan mengatur mana saja dokumen yang akan diperlukan. Kondisi gudang yang berdebu, ruangan yang pengap tanpa jendela, membuat Elok harus rutin keluar ruangan untuk menghidup udara segar.

            ”Ngapain?” Dengan wajah setengah tersenyum Aco melihat Elok yang muncul di lorong sekitar Gudang.

            “Milah dokumen.” Elok menyeka keringat di wajahnya.

            ”Nih.” Aco menyodorkan sekaleng minuman dingin, sekaligus Aco membuka penutupnya. Elok dengan mata berbinar meminum itu sambil terengah-engah.

            ”Capek banget?” Elok mengangguk dengan muka memelas.

            ”Kasiaaan. Nanti jadi keluar?” Aco mengonfirmasi janji mereka semalam. Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum, lalu berjalan menuju ruangan, Aco terus di posisi mundur agar bisa melihat Elok hingga ujung koridor.

            Tanpa Aco sadari, ada Safira disana. Safira melihat Aco melambaikan tangan dan tersenyum sebelum berbelok. Safira berjalan agak cepat penasaran dengan siapa yang ada di sana dan menjumpai Elok yang berdiri mematung dengan pakaian tempur, Safira seketika merasakan ketidaknyamanan. Ada egonya yang terlukai, entah apa.

 

**

 

            Malam itu di sebuah kedai nasi goreng, Aco dan Elok harus dengan sabar mendengarkan kegalauan Afif. Ia putus dengan Fitri.

            ”Ya gimana lagi, itu maunya dia.” Afif terlihat pasrah.

            ”Udah coba bujuk?” Elok mencoba masuk ke cerita Afif dengan sudut pandang perempuan.

            ”Udah. Ya dia ngotot mau batal aja pokoknya.” Afif tampak terpukul.

            ”Ya udah nggak usah dipaksa lagi, cewek mah banyak.” Aco mengucap itu dengan niat bercanda. Elok melihat ke arah Aco, entah mengapa ia terganggu dengan kata-kata itu. Bahkan kini Elok mulai cemburu dengan kalimat semacam itu.

            Lepas cerita banyak tentang Fitri, tiba-tiba Afif loncat pada sebuah kalimat.

            ”Masa iya kita mau gini-gini aja co? Nggak pengen gitu jalan-jalan keluar? Siapa tau kita bisa sukses.”

            Sesuatu yang benar-benar tiba-tiba dari Afif. Aco mencoba menggali apa yang dimaksud kawannya itu. Aco memaku fokusnya ke wajah Afif, tampak antusias ingin tahu lebih.

            ”Lihat.” Afif membuka sesuatu di ponselnya. Lalu menunjukkannya pada Aco dan Elok. Seperti iklan sebuah tempat kursus penyalur tenaga kerja.

            ”Mau jadi TKW?” Aco spontan bertanya.

            ”TKI kali.” Afif mengoreksi.

            ”W mah buat dia doang.” Afif menunjuk Elok.

            “Ini maksudnya gimana?” Aco penasaran.

            Afif mengubah posisi duduk, tubuhnya ia geser lebih condong pada Aco dan Elok, ia antusias ingin menyampaikan ide ini.

            ”Jadi kita daftar disini, nanti ada kelas gitu belajar bahasa, belajar apapun buat dapet beasiswa dan kerja gitu.” Afif terus mengoceh berusaha membuat Aco dan Elok tertarik.

            ”Kalau mau jadi pemain bola gitu bisa?” Aco bertanya polos.

            ”Nggak bisa lah gilak.” Afif menarik ponsel di tangannya, hampir saja ia memukul Aco.

            ”Kapan pendaftarannya?” Elok tampak tertarik.

            ”Bulan depan. Ini ada pilihan kelas-kelasnya.” Afif menunjukkan kepada Elok. Elok membaca setiap detil pilihan-pilihan kelas yang ada disana, dari kelas pekerja non skill hingga profesi tertentu.

            ”Boleh juga sih.” Elok terkonfirmasi masuk dalam iklan Afif.

            ”Boleh deh ntar dicoba. Kapan kita ke kantornya?” Aco pun sama.

            ”Minggu ini gimana?” Afif seperti sudah teramat siap. Hari itu mereka sepakat akan mencoba, entah nantinya akan menjadi apa. Afif yang tengah putus cinta merasa perlu pergi sejauh-jauhnya, Elok yang ingin sekali berhasil dalam hidup merasa perlu banyak belajar, Aco yang melihat Elok penuh semangat merasa perlu menjadi pendukung terdepan. Aco mengingat bagaimana setiap hari kekasihnya itu bekerja, bagaimana ia juga ingin membuat beban itu lebih ringan, ia ingin sekali melihat Elok hidup lebih nyaman.

 

**

 

            Di perjalanan pulang selepas bekerja, Aco mengajak Elok berkeliling sekaligus mencari makan malam, lalu mereka mampir di sebuah warung bubur yang buka 24 jam. Disana mereka saling bercerita tentang keinginan mereka di hari kemudian. Elok yang matanya berbinar-binar menceritakan bagaimana ia ingin menjadi penulis. Aco yang kemudian menjadi pendengar setia. Keduanya seperti sudah rela menjalani rencana baru dalam hidup mereka. Belajar.

            Setiap kali Aco menceritakan kepedihan dalam hidupnya, Elok seperti merasakan satu tingkat jatuh cinta. Elok seperti mencintai kepedihan itu, ia senang dengan lelaki yang hidupnya tak mudah. Elok senang dengan lelaki yang berjuang. Jadi, seberapa sering cerita pedih itu sampai ke Elok, maka perasaan Elok sebanyak itu pula bertambah.

 

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...