Di sebuah
acara hajatan di kampung, Ajeng menghabiskan seharian penuh disana. Tak sengaja
Ajeng bertemu dengan Gardana yang juga tengah membantu. Gardana menghampiri
Ajeng dan mencium tangan.
”Sehat
nak?” Dengan ramah Ajeng menyapa Gardana yang sudah ia anggap anak sendiri.
”Sehat
ibu, alhamdulillah. Ibu sehat?” Gardana senyum sembari menundukkan bahunya.
”Sehat
lah, kamu belum ada ketemu Elok? Katanya kamu mau nyusul?” Ajeng mengingat
cerita Elok saat awal anak perempuannya itu izin untuk merantau. Salah satu cara
menenangkan ibunya, Elok membawa nama Gardana.
”Belum
bu, rencana saya disini dulu ada yang dikerjain.” Gardana enggan membahas lebih
banyak.
”Eh
bentar.” Ajeng mengeluarkan ponselnya. Ia berinisiatif menelepon Elok. Hanya di
dering kedua, Elok sudah mengangkat panggilannya.
”Ibuuuuu.”
Dari layar tampak Elok tengah senyum cerah kepada Ajeng.
”Dimana
nduk?” Ajeng mengamati sekeliling Elok yang sepertinya cukup ramai.
”Lagi
istirahat ibu, ini ada temenku.” Elok mengarahkan kameranya pada Aco dan Afif
yang tengah menyantap makanan. Aco dan Afif langsung saja tersenyum melihat ke
arah Ajeng. Ajeng lalu mengarahkan ponselnya pada Gardana.
”Ibu
ketemu pacarmu.” Wajah Gardana tampak kurang nyaman dengan sikap Ajeng. Raut
wajah Elok berubah. Gardana pun tersenyum kecut. Tak lupa Aco pun tiba-tiba
terdiam. Keadaan itu benar-benar canggung, yang merasa tak terjadi apa-apa
hanya Ajeng, ia bersemangat melihat anaknya.
”Kata
dia bentar lagi mau nyusul kesana.” Ajeng tertawa berbicara dengan Elok sembari
menunjuk Gardana.
”Iya
ibu.” Elok menjawab seadanya.
”Ya
udah, bye, ibu lanjut rewang dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan.
Suasana
canggung berlanjut di meja kantin siang itu. Afif masih lahap memakan sepiring
nasi campur, Aco tampak tak ingin bicara, Elok pun memilih diam saja. Mereka
bertiga berlaku demikian hingga waktu makan siang berakhir.
**
”Aku
sudah putus bu.” Sejak siang Elok mengirimi Ajeng pesan. Ajeng hanya membaca
saja, ia tak menjawab. Sampai akhirnya sore hari barulah Ajeng menanggapi.
“Ibu
tadi ngobrol banyak sama dia.”
”Bahas
apa aja?” Elok penasaran.
”Zidane salah satunya.” Ajeng
membalas. Elok hanya menanggapi dengan emoticon menangis.
”Ya
kalau itu memang bagus buat kamu nggak apa-apa.” Ajeng menuliskan itu dengan
sedikit kecewa, ia sudah lama mengenal Gardana dan merasa lelaki itu yang
paling pas buat Elok.
”Makasih
bu.” Hanya itu yang bisa Elok kirimkan. Ajeng tiba-tiba menelepon.
”Kenalin
lah Zidane sama ibu.” Ajeng berusaha akrab.
”Aco bu
panggilannya.” Elok mengoreksi.
”Kok
Aco?” Ajeng tampak bingung.
”Entah.”
Elok mengangkat bahu.
”Nanti
telepon ibu ya kalau lagi sama Zidane, ibu pengen kenal. Yawes nduk, ibu mau
mandi dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan. Elok merasa sedikit lega.
**
”Ibuku
pengen tau kamu.” Elok mengirim pesan ke Aco. Aco tiba-tiba melakukan panggilan
video.
”Sudah kamu ceritain?” Aco langsung
membahas itu.
“Sudah.” Elok
menjawab sambil meletakkan ponselnya di meja dan mengambil pemotong kuku.
”Responnya?”
Aco penasaran.
”Baik-baik
aja. Nanti malam kita telepon ya.” Elok bermaksud menelepon Ajeng saat makan malam
bersama Aco. Aco langsung setuju.
Malam
itu mereka berdua sudah bersiap menghadapi Ajeng. Entah apa yang akan Ajeng katakan, yang pasti Elok
sudah siap akan itu. Di sisi lain Aco pun merencanakan hal yang sama. Ia ingin
mengenalkan Elok pada mamminya. Mereka berdua seolah meyakinkan diri untuk
serius. Melibatkan keluarga bagi Elok bukan hal sepele, pun bagi Aco.
**
Di
sebuah meja makan bundar kecil, Sanna dan Fatiyah berbincang sembari membuat
kapurung dan menonton TV. Mereka berdua sibuk membahas kabar terbaru pesohor
yang muncul akhir-akhir ini. Sedang Andara sedang fokus mengerjakan PR, ia
berkali-kali meminta bantuan Fatiyah tetapi kakaknya itu enggan membantu.
”Pelit.”
Andara merajuk, ia seperti mengemis sejak sejam yang lalu.
”Masih
sibuk.” Fatiyah menjawab ketus sembari terus fokus pada adonan sagu. Sanna tak banyak
berkomentar, ia seringkali melihat kedua anaknya itu tidak akur. Tiba-tiba
ponsel Sanna berbunyi, Aco.
”Iye’
nak.” Sanna mengangkat panggilan Aco.
”Sedang
apa mammi?” Wajah Aco muncul di layar, Sanna meletakkan ponselnya di atas meja
bersandar pada tempat sendok, ia lanjut dengan adonan sagunya.
”Masih
buat ini.” Sanna mengangkat sedikit tangannya ke arah kamera ponsel.
”Sudah
kita makan?” Aco
bingung memulai apa yang ingin ia sampaikan.
“Belum pi,
sebentar lagi. Kita dimana kah?” Sanna tampak melihat tempat Aco duduk saat
ini.
”Di
tempat makan. Mau kukenalkan temanku.” Aco menyorot kamera ponsel ke arah Elok.
”Halo bu.”
Elok melambaikan tangannya tersenyum kikuk.
”Halo.”
Ramah Sanna membalas salam itu. Walaupun di dalam hati Sanna ada hal yang
sedikit mengganjal terkait ini.
”Teman
kerja Aco?” Sanna bermaksud berbasa-basi.
”Iya bu.”
Elok menjawab malu-malu. Dari sana Sanna menyadari, ini bukan hanya sekadar
teman. Lalu bagaimana dengan Ratih? Satu-satunya perempuan yang jua ia tau
bersama Aco cukup lama.
Malam
itu seperti lembaran baru, Aco dan Elok mendeklarasikan sesuatu yang baru,
lebih jauh dari yang mereka bayangkan, mengenalkan ke orang tua masing-masing.
**
Tanda-tanda
yang tak ingin Ratih percaya kini terlihat jelas, datang lebih awal, lebih
menyesakkan, ia siap tak siap, tetapi harus. Ratih merasa terkhianati, tetapi
pada kenyataannya ia yang ingin melakukannya lebih dulu. Ia dihancurkan oleh
rasa bersalahnya sendiri, yang membuat kini ia tampak menyedihkan. Aco tak
sesedih itu ia tinggalkan.
”Kak.”
Fatiyah mengirimi Ratih pesan. Ratih melihat pemberitahuan itu dan langsung
membalasnya.
”Iya
dek.” Ratih membalas dengan hati berdegup kencang, perasaannya tidak nyaman,
firasatnya buruk.
”Kenapa
dengan kak Aco?” Pesan itu membuat air mata Ratih runtuh. Tak kuat ia menjawab
pertanyaan mantan calon adik iparnya itu.
”Kakakmu
sudah cerita?” Ratih bertanya balik.
”Nggak
kak, cuma lihat IG sama BBMnya kak Aco.” Perasaan Ratih benar-benar porak-poranda.
Ia seketika langsung membuat pencarian nama Aco di instagram. Muncul satu akun
baru bernama Aco disana. Akun privat dengan foto profil Aco dan seorang
perempuan. Ratih semakin terisak. Tak puas dengan itu, ia lanjut melihat pembaruan
dari status BBM Aco, dan ia dapati Aco mengunggah fotonya bersama seorang
perempuan. Ratih mengumpat dalam hati, ia langsung mengganti bio di BBMnya yang
awalnya tertulis nama Aco, menjadi kosong. Perempuan itu pun menghapus foto
profil bersama Aco. Ia bnyak berpikir untuk mengirim pesan ke Aco tentang
kekecewaannya, tetapi urung, ia merasa tak berhak. Ratih membenamkan wajahnya
di bantal dan berteriak kencang, ia menangis dan mengumpat sejadi-jadinya, tak
ia pedulikan barangkali ada yang mendengar. Ia kehilangan kendali, perasaan
campur aduk menguasai Ratih, sampai akhirnya ia
beranikan diri mengirim pesan yang ia revisi berulang-ulang.
”Nggak
bisa ya nunggu sebentar lagi?” Pesan itu dalam sekali Ratih pikirkan, namun
entah mengapa, Aco tak membalasnya dengan sedemikian dalam.
No comments:
Post a Comment