17

 

            Di sebuah acara hajatan di kampung, Ajeng menghabiskan seharian penuh disana. Tak sengaja Ajeng bertemu dengan Gardana yang juga tengah membantu. Gardana menghampiri Ajeng dan mencium tangan.

            ”Sehat nak?” Dengan ramah Ajeng menyapa Gardana yang sudah ia anggap anak sendiri.

            ”Sehat ibu, alhamdulillah. Ibu sehat?” Gardana senyum sembari menundukkan bahunya.

            ”Sehat lah, kamu belum ada ketemu Elok? Katanya kamu mau nyusul?” Ajeng mengingat cerita Elok saat awal anak perempuannya itu izin untuk merantau. Salah satu cara menenangkan ibunya, Elok membawa nama Gardana.

            ”Belum bu, rencana saya disini dulu ada yang dikerjain.” Gardana enggan membahas lebih banyak.

            ”Eh bentar.” Ajeng mengeluarkan ponselnya. Ia berinisiatif menelepon Elok. Hanya di dering kedua, Elok sudah mengangkat panggilannya.

            ”Ibuuuuu.” Dari layar tampak Elok tengah senyum cerah kepada Ajeng.

            ”Dimana nduk?” Ajeng mengamati sekeliling Elok yang sepertinya cukup ramai.

            ”Lagi istirahat ibu, ini ada temenku.” Elok mengarahkan kameranya pada Aco dan Afif yang tengah menyantap makanan. Aco dan Afif langsung saja tersenyum melihat ke arah Ajeng. Ajeng lalu mengarahkan ponselnya pada Gardana.

            ”Ibu ketemu pacarmu.” Wajah Gardana tampak kurang nyaman dengan sikap Ajeng. Raut wajah Elok berubah. Gardana pun tersenyum kecut. Tak lupa Aco pun tiba-tiba terdiam. Keadaan itu benar-benar canggung, yang merasa tak terjadi apa-apa hanya Ajeng, ia bersemangat melihat anaknya.

            ”Kata dia bentar lagi mau nyusul kesana.” Ajeng tertawa berbicara dengan Elok sembari menunjuk Gardana.

            ”Iya ibu.” Elok menjawab seadanya.

            ”Ya udah, bye, ibu lanjut rewang dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan.

            Suasana canggung berlanjut di meja kantin siang itu. Afif masih lahap memakan sepiring nasi campur, Aco tampak tak ingin bicara, Elok pun memilih diam saja. Mereka bertiga berlaku demikian hingga waktu makan siang berakhir.

 

**

 

            ”Aku sudah putus bu.” Sejak siang Elok mengirimi Ajeng pesan. Ajeng hanya membaca saja, ia tak menjawab. Sampai akhirnya sore hari barulah Ajeng menanggapi.

            “Ibu tadi ngobrol banyak sama dia.”

            ”Bahas apa aja?” Elok penasaran.

            ”Zidane salah satunya.” Ajeng membalas. Elok hanya menanggapi dengan emoticon menangis.

            ”Ya kalau itu memang bagus buat kamu nggak apa-apa.” Ajeng menuliskan itu dengan sedikit kecewa, ia sudah lama mengenal Gardana dan merasa lelaki itu yang paling pas buat Elok.

            ”Makasih bu.” Hanya itu yang bisa Elok kirimkan. Ajeng tiba-tiba menelepon.

            ”Kenalin lah Zidane sama ibu.” Ajeng berusaha akrab.

            ”Aco bu panggilannya.” Elok mengoreksi.

            ”Kok Aco?” Ajeng tampak bingung.

            ”Entah.” Elok mengangkat bahu.

            ”Nanti telepon ibu ya kalau lagi sama Zidane, ibu pengen kenal. Yawes nduk, ibu mau mandi dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan. Elok merasa sedikit lega.

 

**

 

            ”Ibuku pengen tau kamu.” Elok mengirim pesan ke Aco. Aco tiba-tiba melakukan panggilan video.

            ”Sudah kamu ceritain?” Aco langsung membahas itu.

            “Sudah.” Elok menjawab sambil meletakkan ponselnya di meja dan mengambil pemotong kuku.

            ”Responnya?” Aco penasaran.

            ”Baik-baik aja. Nanti malam kita telepon ya.” Elok bermaksud menelepon Ajeng saat makan malam bersama Aco. Aco langsung setuju.

            Malam itu mereka berdua sudah bersiap menghadapi Ajeng. Entah  apa yang akan Ajeng katakan, yang pasti Elok sudah siap akan itu. Di sisi lain Aco pun merencanakan hal yang sama. Ia ingin mengenalkan Elok pada mamminya. Mereka berdua seolah meyakinkan diri untuk serius. Melibatkan keluarga bagi Elok bukan hal sepele, pun bagi Aco.

 

**

 

            Di sebuah meja makan bundar kecil, Sanna dan Fatiyah berbincang sembari membuat kapurung dan menonton TV. Mereka berdua sibuk membahas kabar terbaru pesohor yang muncul akhir-akhir ini. Sedang Andara sedang fokus mengerjakan PR, ia berkali-kali meminta bantuan Fatiyah tetapi kakaknya itu enggan membantu.

            ”Pelit.” Andara merajuk, ia seperti mengemis sejak sejam yang lalu.

            ”Masih sibuk.” Fatiyah menjawab ketus sembari terus fokus pada adonan sagu. Sanna tak banyak berkomentar, ia seringkali melihat kedua anaknya itu tidak akur. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi, Aco.

            ”Iye’ nak.” Sanna mengangkat panggilan Aco.

            ”Sedang apa mammi?” Wajah Aco muncul di layar, Sanna meletakkan ponselnya di atas meja bersandar pada tempat sendok, ia lanjut dengan adonan sagunya.

            ”Masih buat ini.” Sanna mengangkat sedikit tangannya ke arah kamera ponsel.

            ”Sudah kita makan?” Aco bingung memulai apa yang ingin ia sampaikan.

            “Belum pi, sebentar lagi. Kita dimana kah?” Sanna tampak melihat tempat Aco duduk saat ini.

            ”Di tempat makan. Mau kukenalkan temanku.” Aco menyorot kamera ponsel ke arah Elok.

            ”Halo bu.” Elok melambaikan tangannya tersenyum kikuk.

            ”Halo.” Ramah Sanna membalas salam itu. Walaupun di dalam hati Sanna ada hal yang sedikit mengganjal terkait ini.

            ”Teman kerja Aco?” Sanna bermaksud berbasa-basi.

            ”Iya bu.” Elok menjawab malu-malu. Dari sana Sanna menyadari, ini bukan hanya sekadar teman. Lalu bagaimana dengan Ratih? Satu-satunya perempuan yang jua ia tau bersama Aco cukup lama.

            Malam itu seperti lembaran baru, Aco dan Elok mendeklarasikan sesuatu yang baru, lebih jauh dari yang mereka bayangkan, mengenalkan ke orang tua masing-masing.

 

**

 

            Tanda-tanda yang tak ingin Ratih percaya kini terlihat jelas, datang lebih awal, lebih menyesakkan, ia siap tak siap, tetapi harus. Ratih merasa terkhianati, tetapi pada kenyataannya ia yang ingin melakukannya lebih dulu. Ia dihancurkan oleh rasa bersalahnya sendiri, yang membuat kini ia tampak menyedihkan. Aco tak sesedih itu ia tinggalkan.

            ”Kak.” Fatiyah mengirimi Ratih pesan. Ratih melihat pemberitahuan itu dan langsung membalasnya.

            ”Iya dek.” Ratih membalas dengan hati berdegup kencang, perasaannya tidak nyaman, firasatnya buruk.

            ”Kenapa dengan kak Aco?” Pesan itu membuat air mata Ratih runtuh. Tak kuat ia menjawab pertanyaan mantan calon adik iparnya itu.

            ”Kakakmu sudah cerita?” Ratih bertanya balik.

            ”Nggak kak, cuma lihat IG sama BBMnya kak Aco.” Perasaan Ratih benar-benar porak-poranda. Ia seketika langsung membuat pencarian nama Aco di instagram. Muncul satu akun baru bernama Aco disana. Akun privat dengan foto profil Aco dan seorang perempuan. Ratih semakin terisak. Tak puas dengan itu, ia lanjut melihat pembaruan dari status BBM Aco, dan ia dapati Aco mengunggah fotonya bersama seorang perempuan. Ratih mengumpat dalam hati, ia langsung mengganti bio di BBMnya yang awalnya tertulis nama Aco, menjadi kosong. Perempuan itu pun menghapus foto profil bersama Aco. Ia bnyak berpikir untuk mengirim pesan ke Aco tentang kekecewaannya, tetapi urung, ia merasa tak berhak. Ratih membenamkan wajahnya di bantal dan berteriak kencang, ia menangis dan mengumpat sejadi-jadinya, tak ia pedulikan barangkali ada yang mendengar. Ia kehilangan kendali, perasaan campur aduk menguasai Ratih, sampai akhirnya ia  beranikan diri mengirim pesan yang ia revisi berulang-ulang.

            ”Nggak bisa ya nunggu sebentar lagi?” Pesan itu dalam sekali Ratih pikirkan, namun entah mengapa, Aco tak membalasnya dengan sedemikian dalam.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...