Tampilkan postingan dengan label Punggung. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Punggung. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Desember 2023

Pembuka Punggung

Hampir setiap malam, kulit, tubuh dan tulangku berperang melawan beku, jiwaku bermesraan dengan sedih, sedang hatiku kubiarkan merana ditemani isi kepala yang tengah mencari-cari luka apalagi selain ini? Hidup dalam penyesalan kemarin dan resah menyambut esok, aku nikmati. Terus-menerus aku membenci hari ini, hari dimana aku tak punya apa-apa, selain memori tentang kali terakhir kita bertengkar malam itu. Lagi-lagi andai itu tidak pernah terjadi.

            Aku meringkuk di atas karpet, membenamkan wajahku dalam selimut tebal, lalu kuputar suara hujan berharap aku bisa tidur nyenyak lebih cepat, namun sudah pasti gagal. Cara lain lagi kucoba menghitung domba persis seperti ajaran kartun favoritku sewaktu kecil agar lekas mengantuk, namun tak jua berhasil. Aku merasa semua upayaku akhir-akhir ini selalu gagal, dan kegagalan paling nyata ialah menemukan alasan yang bisa kuterima mengapa aku ditinggalkan?

            Aku seringkali mencoba berefleksi. Melihat diri di depan cermin, mengukur seberapa mungkin aku dipertahankan jika aku lebih cantik dari ini, menimbang-nimbang faktor penting yang sekiranya bisa membuatnya kembali, mencari-cari alasan yang tidaklah menghasilkan jawaban apapun namun membuatku semakin merasa rendah diri dan membenci diriku berkali-kali. Ya, aku memang tidak selayak itu. Tetapi, bukankah dia juga bukan siapa-siapa? Selain berhasil membuatku patah hati berjilid-jilid, kelebihannya apa lagi kira-kira? Tidak ada. Maksudku, tidak ada yang tidak kusuka. Hampir semua hal yang ada di dirinya adalah favoritku, caranya meninggalkanku misalnya.

            Jika kau tidak berkenan dengan buku ini, bukankah sudah kuperingatkan? Jangan biarkan aku jatuh cinta padamu.


Minggu, 21 Agustus 2022

Punggung Bab 1 - Si Kuning

Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco persis seperti mendung buatan yang memaksa suasana hati tak tenang.

“Akkatutuki’ nak.” Sembari mengulurkan tangan kanannya untuk disambut Aco sebagai salim perpisahan. Ia menahan air mata yang sedari subuh ingin tumpah-ruah. Ingin sekali ia memeluk putranya yang sudah semakin remaja itu, namun gengsi. Tidak, aku tidak boleh tampak sedih. Mungkin itulah mantra yang ada di benak ibunda Aco dan ia dengungkan dalam hati berkali-kali. Sementara di pinggir jalan besar tepat di depan rumah itu, seorang sopir yang akan membawa Aco menuju Kota Makassar sudah tidak sabar untuk melajukan kemudinya. 

“Ayo mi!”

Aco melangkahkan kaki memunggungi ibu, nenek, om, tante, dan adik-adiknya. Langkahnya berat, namun semangat. Dalam kepalanya bertarung kecemasan jauh dari ibu, dan gairah menghadapi lingkungan baru, tentunya pula semangat mengenakan putih abu-abu. Digendongnya ransel hitam polos bergantungan kunci bola berbahan plastik itu, ransel yang ia pakai ke sekolah sejak duduk di kelas VIII. Sedikit pudar warnanya, bekas jahitan tangan dengan benang berwarna biru malam di bagian resleting pun terlihat nyata, belum lagi robekan kecil di bagian bawah yang jika diamati sudah perlu pengganti. Namun, langkah Aco terlihat pasti, tidaklah baginya ransel yang butut itu menghalangi keinginannya untuk belajar di kota, menjadi cerdas, dan kemudian sukses.

Sekolah Menengah Kejuruan, alternatif sekolah paling diminati anak-anak dengan latar belakang keluarga seperti Aco. Kenapa? Karena dirasa di sekolah ini akan membentuk mereka untuk punya skill dan dasar untuk memasuki dunia kerja tanpa kuliah. Ya, ditekankan tanpa kuliah. Aco lagi-lagi tidak percaya diri bahwa 3 tahun setelah lulus dari SLTA ia akan mampu melanjutkan kuliah, lebih tepatnya ia tak ingin membebani ibundanya. Jadilah, SMK menjadi pilihan paling bijak anak berusia 15 tahun itu. 

Hari pertama masuk sekolah, Aco berangkat dari kediaman omnya di kawasan  Toddopuli dengan menggunakan angkot. Rambutnya yang baru kemarin jadi korban kebrutalan alat cukur Omnya Puang Takko terlihat amat rapi dengan bagian atas dilumurinya dengan gel sachet yang ia beli di warung serba ada dekat rumah. Ia juga tak lupa menyetrika seragam baru yang dibeli ibundanya di Eks Pasar Sentral Watampone dengan amat hati-hati, bagian lengannya licin sekali bak perosotan, setiap lipatan garisnya pun terlihat tegas dan presisi. Belum lagi sepatu hitam polos andalannya yang sudah usang tetapi masih tampak keren setelah disemir. Aco benar-benar terlihat percaya diri akan bertemu teman-teman baru di hari pertama sampai-sampai ia merasa GR ketika wanita setengah baya yang duduk tepat di depannya berkali-kali mencuri pandang ke arahnya.

**

Kagum Aco menginjakkan kaki di sekolah barunya. Benar-benar terlihat elok, bangunan-bangunan rapi terurus, fasilitas olahraga ada, lapangan basket bersama ringnya yang tinggi standard, lapangan futsal walaupun gawang tanpa jaring-jaring, pagar-pagar tinggi yang didesain untuk siswa-siswi yang gemar membolos, bagian paling Aco senangi ialah deretan pohon glodokan yang tersusun dan terpangkas rapi di berbagai penjuru sekolah. Ia memujinya dalam hati, tersenyum-senyum tak kenal malu karena tak kenal seorang pun.

“Ppoo…” Dari depan perpustakaan lelaki bertubuh gempal melambai-lambaikan tangan ke arah Aco hingga membuyarkan lamunannya. Lelaki tadi sangat mudah dikenali, kulitnya yang teramat gelap, badannya yang tidaklah mungil, wajahnya yang tak ada dua, mengarahkan Aco pada memori masa SDnya, Nyompa.

“Kapan kita datang?” Nyompa menyapa dengan girang hingga memukul punggung Aco dengan keras.

“2 hari lalu ppo. Belum sempat main ke rumah ta.” Aco merespon dengan semangat pula.

“Jurusan apa kita? Sudah ki dapat kelas?” 

“Belum pi. TKJ saya.”

“Widih, biar banyak perempuannya?”

“Tidak, saya lihat cuma TKJ yang akreditasinya A.”

“Tapi laki-laki harusnya ambil teknik mesin biar ada toh pengalaman tawuran.”

“Di masa depan tawuran bisa jarak jauh, baku hantam tidak ada harganya lagi, badik apalagi.”

“Lewat komputer maksudnya?”

“Bukan, lewat santet.” Aco dan sepupu jauhnya itu tertawa bersamaan. Lama mereka tidak bertemu, mungkin 3 tahun semenjak orang tua Nyompa dipindahtugaskan ke Kota Makassar.

 

**

 

Menumpang, begitulah kata yang tepat untuk menyebutkan posisi Aco di rumah itu. Harus pandai-pandailah membawa diri. Begitu pesan ibunya. Maka ketika hari berganti, minggu, bulan, dan tahun berlalu Aco pandai pun menyesuaikan diri di rumah itu. Tetapi, perasaannya mulai berkata sebaliknya. Berada di rumah itu sudah tidak seasik saat pertama kali. Bukan karena setiap malam Aco tidur hanya beralaskan tikar dan berbantal kapuk yang sudah usang. Bukan karena setiap pagi ia harus menimba air di sumur untuk memenuhi bak cuci. Bukan pula karena ia harus mulai kreatif memikirkan menu makan untuk omnya yang lelah sepulang bekerja. Bukan. Ia hanya sedih saat tidak bisa menyaksikan pertandingan tim sepakbola kesayangannya, real madrid. Memasuki tahun kedua ia hanya tau cerita setiap pertandingan El Real dari teman-teman di kelasnya, atau dari omnya di Bone yang dengan rajin mengirim SMS berapa skor pertandingan semalam. Aco pun hanya bisa senyum-senyum mengamati layar ponsel jika skor yang dikirimkan Puang Besse dari kampung adalah kemenangan Zidane dan kawan-kawan, atau ia akan murung seharian jika tim berdarah putih itu kalah. 

Hari itu, pagi-pagi sekali Aco menerima SMS dari Puang Besse, “Kalah 3-1”. Pesan itu langsung membuyarkan konsentrasi Aco, pikirannya mengawang tidak keruan, perasaannya resah tidak tahu arah, ia terus mengingat-ingat posisi El Real yang sudah disalip rival abadinya FCB. Ia pun tak terima mengapa harus kalah dari Deportivo. Ia merutuk seharian, menyalahkan entah siapa. Melihat buku ia kesal, lalu diacak-acak. Melihat tas ia kesal, dibuka tutup resleting padahal benangnya sudah hampir meronta-ronta ingin menyerah. Melihat pintu ia kesal, dibantingnya pintu walaupun tak berhasil karena terhalang bola. Melihat tiang listrik ia kesal, ditendang-tendangnya hingga kakinya sakit. Hingga, ia tiba di angkot, melihat kursi angkot pun ia masih kesal, ingin sekali ia injak-injak tetapi seketika urung ia lakukan. Perempuan berambut hitam panjang terikat ada disana, wajahnya yang oriental, senyumnya yang manis bak artis sinetron, sikap ramahnya yang langsung menyambut Aco dengan sapaan yang suaranya tak sedikitpun Aco dengar, Aco hanya terpana pada wajahnya, “Mabelo.” Desisnya pelan. Angin seolah menyapu rambut gadis itu, lampu-lampu gemerlapan tampak dari wajahnya, hati Aco menghangat menikmati pemandangan yang tak ia duga itu. Dag dig dug dirasakannya, walaupun ia tak tahu persis bagian mana yang bersuara. Ia hanya tahu, seluruh tubuhnya mulai bergetar, berdesir, bergemuruh, bergejolak, entahlah. 

Salah tingkah Aco sepanjang jalan, tak berani ia tatap perempuan itu. Tak ada sederajat pun ia berani menoleh, walaupun hatinya sangat ingin. Hati dan rasa kikuknya bergulat hebat saat ini, lagu Bang Haji Rhoma Irama Begadang yang terdengar dari radio angkot tak berhasil mendistrak pergolakan batinnya. Ia kehabisan nafas, oksigen seolah enggan berpihak padanya. Sampai akhirnya tanpa sadar angkot sudah beberapa kali berhenti, dan gadis itu sudah tak ada lagi di dalam angkot, entah di pemberhentian ke berapa. Aco pun langsung memukul-mukul kepalanya ketika melihat sekeliling dan menyadari ia sudah berada di tempat yang tak semestinya, dilihatnya tulisan di depan angkot. Bukan Toddopuli.

***

Di kantin Mbak Welis. Ratih dengan khidmat menikmati sepiring nasi goreng dengan warna kemerahan khas saos tomat palsu, di atasnya bertabur bawang goreng, suwiran ayam, dan telur dadar, tidak lupa Ratih membubuhkan sambal. Sesekali ia menyeruput segelas es jasjus berperisa jambu yang mengisi gelas plastik di depannya. 

Di kantin Bu Ola, Aco duduk termangu memegang segelas es teh Sisri Gulabatu, mengintip dengan malu-malu ke arah seorang wanita yang duduk di warung sebelahnya. Rambutnya hari ini tergerai dan ketika setiap helaian mengganggu wajahnya, ia selipkan rambutnya itu dibalik daun telinga. Disanalah, Aco bisa menikmati dengan lebih teliti. Wajahnya yang sedikit berkeringat, matanya yang tampak sendu, hidung mungilnya yang terkadang bergerak-gerak manja seolah ingin disentuh, bibirnya yang semakin memerah karena pedas, sempurnalah pemandangan Aco. Tanpa Aco sadar, di sebelahnya juga tengah duduk seorang siswa lain yang juga duduk persis seperti Aco, objek yang mereka lihat sama, apa yang mereka nikmati sama, hanya saja si lelaki ini memiliki pikiran berbeda. 

“Kau atau saya duluan yang bilang ke Andi Ratih? Dilihat saja, tidak akan tahu ji perasaannya.” Kaget Aco mendengar Ridwan, teman sekelasnya yang dengan tiba-tiba berkata demikian. Aco tersenyum malu-malu, Ridwan lebih jauh ingin tahu.

“Kalau penasaran, tanyakan kawan. Kalau suka, ungkapkanlah.” Aco mulai geli mendengar kata-kata temannya itu dan memilih untuk kabur setelah membayar segelas minuman yang belum ia hisap sedikitpun. 

Di perjalanan menuju kelas, Aco diikuti oleh Gau dan Daramang. 2 siswa dari kelas teknik mesin yang biasa bermain futsal bersama Aco saat istirahat. 

“Sore ini jangan lupa datang latihan, sekali-kali lah kita ikut.” Gau merangkul pundak Aco dengan sok akrab.

“Insya Allah kawan, sibuk aku di rumah.” Aco mengingat PRnya untuk ke pasar membeli ikan, memasak, mencuci pakaian, dan membersihkan rumah.

“Ayo lah sekali-kali, mau kukasi lihat kalau kita juga punya pemain andalan.” Daramang juga terus membujuk. Aco mulai sedikit ada perasaan ingin dan mempertimbangkan ajakan mereka. 

“Lihat nanti ya.”

Pukul 15.00 WITA, setelah menyelesaikan pekerjaan rumah Aco bersiap-siap ingin berangkat ke sekolah untuk bermain futsal dengan teman-temannya. Ia memakai kaos bola terbaiknya yang dilapis dengan jaket kain berwarna abu-abu favoritenya, tidak lupa celana pendek yang ia lapis dengan celana seragam pramuka, lalu kakinya dibungkus rapi dengan sepatu hitam Adidas andalannya. 

Tiba di sekolah, Gau & Daramang serta teman-teman lain berseragam rapi dengan kaos bola tim kesayangan Kota Makasar, PSM. Daramang berlari menghampiri Aco dengan semangat. Ia meminta Aco untuk bersiap-siap. Ternyata kali ini mereka harus melawan tim dari sekolah lain. Nyali Aco menciut, ia minder tatkala menunduk melihat kaos bola Real Madrid usang dibalik jaket yang ia kenakan. Ia pun enggan melepaskan celana pramuka yang melekat menutupi kakinya, lebih tepatnya ia enggan memamerkan celana kain yang biasa ia pakai menimba air itu untuk berlaga melawan sekolah lain. Belum lagi, ketika ia harus menjelaskan sepatunya. Lama ia berpikir dan akhirnya berakhir dengan terpaksa bermain. 

Sparing dengan tim dari sekolah lain bukan lagi sekedar permainan, tetapi lebih kepada pertahanan gengsi. Tak ada sosok Gau dan Daramang yang ramah terlihat, ia begitu garang menjatuhkan tim lawan dengan trik maupun terang-terangan. Cedera? Pikir esok lusa. Hari ini adalah menang. Begitulah keyakinannya. Sementara Aco tidak terbiasa dengan adu sikut dan tendang sembarang. Ia mengikuti aturan hingga tak jarang harus terpental. Hingga skor pertandingan berakhir dengan kemenangan tim lawan, dan Aco dan kawan-kawan hanya menang dalam membuat pelanggaran.

“Puas aku injak kakinya.” Gau tertawa cekikikan seakan tak gusar, berbeda sekali saat sebelum pertandingan ia selalu menggaung-gaungkan untuk menang. 

“Aku juga senang cedera kulihat betisnya, keras sekali tadi kita tendang.” Daramang menambahkan.

Aco yang tidak sepemikiran, langsung yakin bahwa ini adalah kali pertama dan terakhir ia mau ikut Gau dan Daramang untuk latihan di luar jam sekolah. Jera, batinnya. 

Tiba di rumah pukul 18.00, Aco heran ketika mendapati lampu-lampu di rumah menyala. Ia hanya bertanya-tanya, apakah ia yang lupa mematikan atau ada seseorang yang datang. Bergegas ia memasuki rumah, ternyata di ruang tamu Puang Takko sudah duduk disana. Kumisnya yang tebal, mimiknya yang tanpa senyum, serta sebatang rokok yang mengeluarkan asap mengebul, berhasil membuat Aco sedikit merinding. 

“Darimana?”

Puang Takko bertanya dengan nada biasa, datar, pelan, namun Aco semakin ketakutan.

“Ekskul puang.” Aco menjawab sebisanya.

Puang Takko berdiri, diraihnya sabuk di atas bufet. Di arahkannya pada kaki, dan punggung Aco berkali-kali. Amarahnya benar-benar membuncah. Puang Takko yang tenang tak ada disana. Ia terus memukul Aco tanpa berkata apapun, hingga pikiran Aco terus mencerna apa kesalahannya, dan bahkan ia masih belum terlalu sadar apa yang ia alami sekarang. 

“Kau mau bakar rumah ini?” Cuma itu yang keluar dari mulut om nya itu.

“Tidak puang. Tidak. Ampun puang.” Aco menghindar, menangis, menjawab, sekaligus berpikir kesalahan apa yang sampai membuatnya dianggap ingin membakar rumah. Puang Takko menarik kerah jakaet Aco, menyeretnya ke dapur, lalu memperlihatkan tutup panci yang meleleh hingga panci berisi rebusan ikan yang gosong. Ia lalu ingat, bahwa ia lupa mematikan kompor.

***

Udara malam terasa panas, namun hati Aco kedinginan. Ada sepi menggerogoti, jiwanya kosong tak tertolong, lukanya tidak nyata namun terasa. Pedih rasanya jika ingat apa yang dilakukan Puang Takko beberapa jam yang lalu. Menyesal ia ketika ingat kesalahannya. Dipukulnya kepala, dijambaknya rambut, berteriak rasanya batinnya ingin berontak, sakit sekali namun tak berani ia menangisi. Jendela dibiarkannya terbuka, nyamuk-nyamuk dengan ganas berebut masuk. Tak terasa lagi siku hingga lengannya jadi santapan empuk nyamuk-nyamuk penuh dahaga. 

Pikiran kacau Aco sudah mulai melanglang buana, dari ingatan beberapa jam lalu, hingga ingatan bertahun-tahun lalu. Aco teringat mendiang ayahnya. “Petta, apa kabar?” bisiknya. 

Kala itu di awal tahun 2004.

Sudah di minggu ketiga ayahanda Aco pulang dari luar kota untuk berdagang. Sebagai seorang pedagang kopi, ayahnya biasa pulang sebulan sekali itupun hanya di rumah sekitar 2 sampai 4 hari. Kali ini sedikit berbeda, ayahnya dalam keadaan sakit. Katanya malaria. Sejak di rumah, ibunda Aco memang lebih sibuk. Bangun lebih pagi, menyiapkan sarapan hingga seluruh keperluan Aco dan adik-adik sebelum berangkat sekolah, mengerjakan pekerjaan rumah, menyiapkan obat dan makanan untuk ayahnya, lalu pergi ke rumah tetangga bekerja sebagai buruh cuci pakaian

“Nak, nanti sebelum ke sekolah ambil es lilin jangan lupa ya. Buat uang saku kamu sama Gema.” Aco mengangguk. Ia memang terbiasa menjadi reseller es lilinnya Bu Ratmi di sekolah. Kata ayahnya hal itu bisa melatih Aco untuk jadi pedagang, dan ibunya bilang itu lumayan untuk tambahan uang saku. Tapi semenjak ayahnya sakit, es lilin satu-satunya sumber uang saku yang Aco dan Gema andalkan. Aco dan Gema bersekolah di SMP yang sama.

Sebagai reseller es lilin, Aco punya trik tersendiri untuk menghindari rasa malu saat menjualnya ke kelas-kelas. Mulai dari mengajak anak-anak osis berkumpul, lalu dengan sengaja meletakkan es lilin di atas meja, sampai mendatangi kelas-kelas yang pada jam kosong hanya diisi siswa perempuan. Karena ia pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan saat menawarkan es ke siswa laki-laki di sekolah. Dibully, hingga es lilinnya diambil tanpa dibayar.

Sementara Gema tak mau tau, ia harus mendapatkan jatah jajannya bagaimanapun keadaannya. Laku atau tidak laku es lilin itu. Aco pun berpikir keras agar sebelum jam istirahat pertama es lilin itu sudah ada pembeli. Pagi itu jam pelajaran padat, tidak ada guru yang terlambat ataupun pergi lebih cepat. Mereka semua disiplin datang dan pergi tepat waktu. Berkali-kali Aco melirik 1 termos es lilin yang belum laku satu pun itu. Lalu membayangkan Gema yang datang dengan penuh keringat setelah lelah bermain bola. Bisa saja ia haus, tetapi es lilin tidaklah cukup menghilangkan hausnya. Atau bagaimana kalau dia lapar. Berkecamuk rasa kasihan dan ketakutan bagaimana caranya menghadapi Gema.

Sampai akhirnya dengan memberanikan diri, Aco membolos dari kelas baca tulis Al-quran Pak Helmi. Mengantongi es lilin dalam plastik, mengendap-endap keluar kelas dan jika Pak Helmi bertanya ia sudah punya jawaban akan ke toilet. Begitulah rencananya. Sampai akhirnya Aco tiba  di depan kantin Mang Kumal.

“Mang, lihat matahari disana. Panas terik sampai daun-daun pun sembunyi karena merasa terintimidasi.” Aco berlagak menunjuk-nunjuk matahari yang sudah jelas muncul di belakang perpustakaan. 

“Terintimidasi apa co?” Ia bertanya-tanya. Aco baru sadar mungkin saja bahasanya terlalu pintar untuk Mang Kumal yang katanya tidak lulus SD. 

“Daun-daun merasa kalah mang.” 

“Daun melawan matahari, tidak pernah ada di dongeng mana pun.” Mang Kumal ternyata lebih kritis.

“Untuk itu mang, daun butuh pembelaan agar dia tetap segar, tegar, dan tidak takut.”

“Maksudmu daun diminumi es lilis yang kamu bawa di kantong plastik itu?” Mang Kumal tidak senaif perkiraan Aco.

“Daripada daun mending mamang saja yang minum es lilin. Agar segar, tegar, dan tidak takut menghadapi matahari.”

“Aku lebih takut padamu.” Mang Kumal mengambil uang dalam kresek hitam polos yang ia letakkan sembarangan di atas meja. 

“Berapa es lilin kau bawa?” 

“5 mang.”

“Mana yang lain?”

“Ada di kelas, aku takut membawa termos keluar.”

“Bawa ke hadapanku saat jam istirahat. Semuanya. Aku mau membuat semua orang sadar bahwa matahari harus dilawan.” Dengan nada yakin entah apa maksudnya.

“Baik mang.” Aco kembali ke kelas, meninggalkan 5 es lilin tadi untuk Mang Kumal, dan dengan resah menunggu jam istirahat pertama. 

Teng teng teng

Lonceng 3 kali berbunyi yang berarti jam istirahat tiba. Aco bergegas menenteng termos menuju kantin Mang Kumal. Kantin itu sudah penuh sesak dengan anak kelas 1 dan 2 yang sepertinya sebelum lonceng berbunyi sudah berani-berani duduk disana. Aco pun menunggu hingga sedikit lengang. Tapi tak jua lengang. Sementara menit-menit waktu istirahat hampir berakhir.

Mang Kumal lalu memanggilnya.

“Co, kesini lah. Bawa termosmu.” Aco beranjak menghampiri Mang Kumal di meja jualan. Mang Kumal mempersiapkan kertas putih dengan tulisan besar “Es Lilin Aco satuan Rp 200 beli 3 Rp 500 saja”. Ditempelnya tulisan itu di termos. Dalam sekejap es lilin yang biasa dijual dengan harga Rp 100 itu raib. Lalu Mang Kumal memberi Aco uang dengan hasil jualan. “Besok pagi bawa kesini aja es mu. Kujual dengan strategi marketingku. Walaupun tidak lulus SD, kemampuanku berdagang jauh lebih baik dibanding S3 marketing fren.” Mang Kumal bangga. Aco pun langsung berlari mencari Gema untuk dengan sombong membawakannya uang saku. Dari jauh ia melihat Gema tengah berlarian bermain bola di lapangan. Lalu, berlari ia ke arah Aco menyambar uang saku untuk dilarikan ke kantin dengan semangat.

“Nak, sudah ko makan?” Dari luar Puang Takko berteriak. Aco bergegas menghampiri, sembari mengubah rautnya agar terlihat baik-baik saja. Di atas meja bundar kecil tempat biasa mereka menaruh makanan dan makan, tersedia 2 mangkok bakso yang dibawa Puang Takko dari luar. Makanlah 2 orang om dan keponakan ini dengan rasa canggung, Aco masih tak enak, begitu pula omnya. Aco menyesal, begitu pula omnya. Mereka berdua menyesal, tetapi terlalu gengsi untuk membahasnya. 

“Nanti tukang TV datang. Biar bisa ta nonton bola.” Begitu omnya memulai obrolan. Aco bingung merespon apa, hingga ia mengangguk saja.

“Nda usah lagi tanya Puang Besse, bisa sudah nonton sendiri Zidane dari sini.” Sambung om nya lagi. Aco masih mematung, melihat ke arah Puang Takko hanya sesekali, lalu fokus lagi pada mangkok bakso yang sudah hampir kering itu. Padahal, pada saat itu hati Aco sedang ramai. Gemuruh tepuk tangan sedang menguasai batin dan kepalanya. Namun, terasa aneh jika ia tampak, senang, tersenyum, tertawa, bertepuk tangan, bersorak, apalagi jingkrak-jingkrak. Ganjil sekali rasanya. Puang Takko terlalu berwibawa untuk menyaksikan hal tidak punya adab seperti pikirannya. Sementara Puang Takko hatinya sedih ketika melihat Aco hanya diam, ia berpikir bahwa sikapnya tadi begitu keterlaluan. “Maaf nak.” Batinnya. 

**

Naik ke kelas 3, Aco mulai sibuk mempersiapkan uji laporan magang, uji kompetensi, dan ujian nasional. Sibuk sekali, hingga ia sering begadang dan tak jarang pulang hampir petang. Semangat ia ketika menghabiskan waktu di lab merakit PC, berpura-pura tidak tahu agar bisa bertanya pada Ratih, atau sekedar melihat perempuan itu dari dekat. Mereka semakin akrab, Ratih semakin sering mengajaknya bicara karena Aco pandai berpura-pura tidak sengaja bertemu di angkot padahal beda jurusan hanya untuk memastikan Ratih sampai dengan selamat. Atau Aco berpura-pura lupa mencatat agar Ratih meminjamkan buku catatan yang dalam semalam bisa ia pandangi berulang-ulang. Sibuk itu tidaklah berat ia rasa, karena hatinya lebih bahagia. 

Seperti biasa Aco selalu mencuci pakaiannya sepulang sekolah, ia paling tidak suka mengenakan pakaian bekas pakai yang berbau keringat sementara ia hanya punya satu. Rajin ia mencuci pakaian, menjemurnya, lalu ia setrika agar kering dengan sempurna. Memasuki kelas 3, pakaian Aco tidaklah lagi tampak putih, namun kuning. Beberapa temannya dengan santai memanggilnya si kuning. Aco tidak mengerti arti panggilan itu, namun ia selalu berpikir bahwa maksudnya bukanlah menghina. Dipanggil si kuning Aco tersenyum, dipanggil lagi ia tersenyum lagi, dipanggil berulang kali ia mulai diam, dipanggil dengan nada ejekan ia mulai tak tahan. 

Siang itu, jam pelajaran matematika kosong. Bapak ibu guru katanya sedang rapat. Anehnya, para siswa tidak dipulangkan lebih awal. Aco yang sedari pagi emosi dengan ejekan Kifli CS mulai memuncak amarahnya. Kifli mencolek bajunya, menyebutnya si kuning, lalu Aco murka. Berdiri ia, disambarnya buku pelajaran matematika di atas meja, setengah digulung, lalu dipukulkannya di wajah Kifli. Kaget lelaki hitam itu dengan serangan Aco. Tak pernah ia lihat si kuning yang ia olok bertahun-tahun ini marah. Ini kali pertama dan membuatnya tak punya kuda-kuda. 

“Diam kau bangsat!” Berteriak Aco hingga mengheningkan seisi kelas XII TKJ 1 itu. Sebagian ketakutan jika Kifli balik menyerang, sebagian lain justru menunggu momen itu datang. Kifli mematung di posisinya, masih sibuk menyadarkan kepalanya tentang apa yang ia alami barusan. Lalu Aco dengan langkah pasti mengayunkan kepalan tangannya pada Kifli. Hampir saja bogem itu mendarat, namun Aco menahannya. Tiba-tiba ia melihat Ratih yang duduk di salah satu sudut kelas, ia tak ingin Ratih melihatnya sebagai lelaki yang suka berkelahi. Lalu Aco menghentikan atraksinya.




to be cont...

Minggu, 31 Juli 2022

Punggung

Saling berselang-seling kutulis perihal Aco dan Gendis. Kisah cinta yang dibumbui latar belakang sedih di dalamnya. Porsi cerita masa kecil hingga porsi saat mereka bertemu, mungkin belum kutemukan komposisi yang pas. Harus berapa kata membahas masa lampau? Harus di bagian mana? Harus seberapa sering? Harus seberapa berpengaruh? Apa yang ingin ditonjolkan? Kehidupan sulitnya kah? Atau cintanya masa kini? Opsi pertama mungkin terasa lebih menarik. 


Aco, pemuda Bone yang berlatar sedih. Semua harus kubuat sedramatis mungkin agar apa pesan yang ingin disampaikan terasa.

Popular Posts