Seperti
genggaman kosong yang hanya berisi dendam. Aku benci kepada hidup, aku marah
akan keadaan, kukutuk penguasa, kupeluk erat ego walaupun miskin, tinggi sekali
aku menakar diri, tak seorang pun berhak merendahkan impianku. – Elok
”Kamu
ngapain aja seharian? Begini doang salah?” Dilemparkannya setumpuk kertas
berisi dokumen yang ada di meja, dokumen yang memang seharusnya dikirimkan pagi
itu ke kantor pusat.
”Kalau
berangkat kerja cuma numpang makan siang doang, nggak usah kerja. Rakus, tapi
kerja nggak becus.” Sambil memunggungi Elok, Pak Oka berjalan menuju
ruangannya.
”Mbak,
maaf ya. Aku lupa.” Gemetar Jane merasa bersalah pada Elok, karena hari itu ia
yang bertugas mengirimkan dokumen. Ia bergegas merapikan kertas-kertas yang
berantakan tadi, lalu bersiap membawanya ke kantor ekspedisi.
Elok masih mematung, pikirannya
berkeliaran di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Elok ingin sekali
menaburkan bubuk gatal di pakaian Pak Oka, memberinya obat pencahar, mengisi
sepatunya dengan lebah, menarik kursinya saat hendak duduk, memasukkan cicak di
kopinya, mencelupkan sikat giginya di kloset, menyabotase alarm, memasang
penjepit tikus di bawah meja, dan hal-hal lain hingga yang mengarah kriminal
pernah tersirat di kepala Elok. Ia balas dendam pada atasannya, walaupun hanya
di pikirannya.
Pak Oka orang yang kompeten,
tetapi sulit sekali menyukainya. Ia orang yang kaku, padahal usianya masih
muda. Elok cenderung melawan, walaupun lebih banyak ia pendam. Statusnya
sebagai karyawan kontrak membuatnya tidak punya banyak pilihan. Sejak hari
pertama Elok bergabung di kantor ini, Pak Oka adalah yang paling ia benci. Elok
selalu berdoa agar Pak Oka dipecat, sayangnya doa itu berbalik kepadanya.
Pagi itu Elok harus menelan pil
pahit, putus kontrak.
”Alasannya apa pak?” Elok
berusaha mencari tau kekurangannya.
”Mungkin belum rejeki aja mbak.”
Jawaban yang Elok tidak puas mendengarnya. Ia lebih terima jika ia putus
kontrak karena hubungannya dengan Pak Oka yang kurang baik atau kinerjanya yang
buruk, dibanding jawaban tadi. Bukan jawaban manusia.
Elok mengemas barangnya, hanya
tinggal seminggu ia masuk kerja setelah itu ia harus terima menjadi
pengangguran. Ia harus terpaksa meninggalkan pekerjaan yang susah payah ia
dapatkan. Dan ia pun harus berpisah dari Jane, yang 5 bulan terakhir magang di
kantor ini dan di bawah pengawasan Elok. Mereka cukup akrab dan Jane salah satu
kawan curhat yang baik bagi Elok.
Rekan-rekan di divisi, membuat
pesta kecil-kecilan untuk perpisahan Elok. Mereka memesan makanan, memasang
dekorasi, dan membuat momen sambutan yang salah satunya menampilkan Pak Oka,
atasan Elok. Seperti ingin menyakiti Elok berkali-kali, Pak Oka memberikan
kejutan hari itu.
”Saya meminta maaf dengan tulus
apabila selama ini ada salah, dan terima kasih atas kontribusinya selama ini.”
Semua bertepuk tangan mendengar itu, sebuah hal langka yang keluar dari mulut
manusia angkuh seperti Pak Oka.
”Terutama kontribusinya dalam
mengajari Jane, karena sekarang walaupun Elok putus kontrak, penggantinya sudah
kita dapat tanpa perlu diajari lagi.” Seisi ruangan tercengang, hening,
ekspresi Elok dan Jane menjadi sorotan. Jane yang merasa tidak nyaman, Elok
yang tampak sekali kecewa.
”Terima kasih.” Pak Oka
mengakhiri sambutan itu, tanpa disambut respon apapun dari yang lain. Mereka
berbisik-bisik dan menilai bahwa Pak Oka jahat. Elok kehilangan muka, ia tak
bergerak dari posisinya dan menahan diri untuk tidak menangis. Jane berlari ke
toilet, ia menangis disana. Tak terpikirkan olehnya bahwa tawaran dari HC tempo
hari adalah bagian dari menggantikan Elok, senior yang ia hormati. Sedang sudah
pasti banyak orang yang melihat dirinya rendah, bisa saja termasuk Elok, dan
itu wajar bukan?
Jangankan makan, Elok yang
kehilangan muka tak punya tenaga untuk membuka mulut. Salah satu temannya,
Dawiya, mengajak Elok untuk keluar. Seperti udara segar, Dawiya muncul bak
pahlawan.
”Kan aku udah bilang, kalau mau
jadi penurut, ya jadi penurut selamanya, kalau perlu jadi penjilat. Tapi kalau
mau membangkang, harus totalitas, jangan setengah-setengah, akhirnya kamu
diremehkan. Pura-pura baik, akrab sama yang lain, baik-baikin atasan kadang
juga perlu. Kalau mau idealis, nggak bisa jadi karyawan.” Nasihat Dawiya
sepanjang jalan. Elok mendengar itu, namun tak menanggapi apapun. Ia bersandar
di jendela mobil, melihat bayangan pohon-pohon akasia yang membuat jalanan
teduh. Sedang Dawiya membagi fokusnya pada kemudi, radio, dan mengomel. Sebuah
skill yang laki-laki belum tentu punya.
Kesal dengan perlakuan Pak Oka,
tidaklah seberapa. Selain itu ada hal lain yang membuat Elok gusar selama ini
jika ia menganggur. Ibu, ipar, dan keponakan-keponakannya. Sejak ayah dan
abangnya meninggal, Elok memang menopang kebutuhan di rumah itu. Sebagai bentuk
baktinya kepada abang yang sudah membatu ia sekolah hingga kuliah, Elok merasa
punya kewajiban untuk merawat dan memastikan keponakan-keponakannya juga bisa sekolah
dan kuliah. Ibunya sudah tua, sedang iparnya bekerja sebagai pekerja harian di
penatu, 1 keponakannya masih TK, sedang kakaknya kelas 6 SD. Memang hanya Elok
yang punya penghasilan tetap. Ia hanya berharap bisa mulai menabung agar 2
keponakannya itu bisa lulus kuliah dan bekerja.
”Ya sudahlah nak, mungkin
rejekinya sudah habis disitu.” Tanggapan ibunda Elok. Mirip dengan apa yang
Elok dengar dari staff HC, bukan jawaban manusia.
”Semoga lekas dapat gantinya.”
”Aamiin” Hampir seisi rumah
mengaminkan. Mereka yang selalu berkumpul di ruang tengah selepas isya itu
sudah menggelar kasur. Ibu yang menunggu sinetron favorit, ipar yang sedang
menyetrika, Elok yang sibuk dengan ponselnya, dan dua kakak beradik yang sedang
belajar sambil bertengkar. Rumah yang diisi 5 perempuan itu memang hanya punya
2 kamar, 1 digunakan untuk ruang sholat, dan 1 lagi untuk ruang pakaian, mereka
lebih senang tidur di ruang tengah, berjejer.
Hari pertama Elok menganggur, ia
sudah gelisah dan mulai keluar rumah. Pergi ke rumah salah satu kawan SMAnya
yang sedang libur kerja, Elok menanyakan lowongan pekerjaan. Kawannya pun
menyarankan satu tempat.
”Iya itu lagi rekrutmen, coba aja
cek di websitenya.” Elok langsung membuka ponsel dan membuka website yang
dimaksud Abigail.
”Penipuan nggak nih?” Elok
meragu.
”Nggak gilak, itu resmi gimana
sih.” Abigail nyolot.
”Oke
bos, nyiapin CV dulu.”
”Jangan lupa update pengalaman
kerja, itu ngaruh banget.”
”Iya, nggak usah dikasih tau itu
mah.”
”Idih.” Abigail menyeringai.
Usai menyiapkan berkas-berkas,
Elok mulai menyebar lamaran. Bukan hanya yang disarankan Abigail, tetapi juga
beberapa tempat lain. Ia merasa perlu punya banyak kail untuk cepat mendapatkan
ikan. Dan benar saja, salah satu dari perusahaan yang ia apply memanggilnya.
Wawancara pertama, gagal. Wawancara
kedua, ketiga, dan seterusnya selalu gagal. Entah dimana masalahnya. Elok
percaya diri punya amunisi cukup untuk ragam posisi, resumenya baik, pendidikan
oke, pengalaman tidak kurang, penampilan tidak terlalu buruk, komunikasi
lancar, tapi nasib belum berpihak. Hingga akhirnya ia punya inisiatif untuk
mencari pekerjaan di kota lain, merantau. Sebuah ide yang muncul dari
keputusasaan. Dan ia takut menyampaikan ide ini kepada ibunya. Elok sangat amat
yakin bakal ditentang. Dibayangkannya wajah ibunya yang pasti akan marah
mendengar ini. Tetapi ia tetap mencoba.
”Bolehkah aku merantau bu?”
”Boleh.” Jawaban yang Elok
harapkan sekaligus tidak. Ia tak sangka ibunya punya lampu hijau bahkan biru
jika memungkinkan. Elok merasa nada bicara ibunya malah seakan menyuruh Elok
untuk merantau.
”Cepat pergi kerja nak!” Itu yang
ada di pikiran Elok. Sedih bukan?
No comments:
Post a Comment