1

            Seperti genggaman kosong yang hanya berisi dendam. Aku benci kepada hidup, aku marah akan keadaan, kukutuk penguasa, kupeluk erat ego walaupun miskin, tinggi sekali aku menakar diri, tak seorang pun berhak merendahkan impianku. – Elok

            ”Kamu ngapain aja seharian? Begini doang salah?” Dilemparkannya setumpuk kertas berisi dokumen yang ada di meja, dokumen yang memang seharusnya dikirimkan pagi itu ke kantor pusat.

            ”Kalau berangkat kerja cuma numpang makan siang doang, nggak usah kerja. Rakus, tapi kerja nggak becus.” Sambil memunggungi Elok, Pak Oka berjalan menuju ruangannya.

            ”Mbak, maaf ya. Aku lupa.” Gemetar Jane merasa bersalah pada Elok, karena hari itu ia yang bertugas mengirimkan dokumen. Ia bergegas merapikan kertas-kertas yang berantakan tadi, lalu bersiap membawanya ke kantor ekspedisi.

Elok masih mematung, pikirannya berkeliaran di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Elok ingin sekali menaburkan bubuk gatal di pakaian Pak Oka, memberinya obat pencahar, mengisi sepatunya dengan lebah, menarik kursinya saat hendak duduk, memasukkan cicak di kopinya, mencelupkan sikat giginya di kloset, menyabotase alarm, memasang penjepit tikus di bawah meja, dan hal-hal lain hingga yang mengarah kriminal pernah tersirat di kepala Elok. Ia balas dendam pada atasannya, walaupun hanya di pikirannya.

Pak Oka orang yang kompeten, tetapi sulit sekali menyukainya. Ia orang yang kaku, padahal usianya masih muda. Elok cenderung melawan, walaupun lebih banyak ia pendam. Statusnya sebagai karyawan kontrak membuatnya tidak punya banyak pilihan. Sejak hari pertama Elok bergabung di kantor ini, Pak Oka adalah yang paling ia benci. Elok selalu berdoa agar Pak Oka dipecat, sayangnya doa itu berbalik kepadanya.

Pagi itu Elok harus menelan pil pahit, putus kontrak.

”Alasannya apa pak?” Elok berusaha mencari tau kekurangannya.

”Mungkin belum rejeki aja mbak.” Jawaban yang Elok tidak puas mendengarnya. Ia lebih terima jika ia putus kontrak karena hubungannya dengan Pak Oka yang kurang baik atau kinerjanya yang buruk, dibanding jawaban tadi. Bukan jawaban manusia.

Elok mengemas barangnya, hanya tinggal seminggu ia masuk kerja setelah itu ia harus terima menjadi pengangguran. Ia harus terpaksa meninggalkan pekerjaan yang susah payah ia dapatkan. Dan ia pun harus berpisah dari Jane, yang 5 bulan terakhir magang di kantor ini dan di bawah pengawasan Elok. Mereka cukup akrab dan Jane salah satu kawan curhat yang baik bagi Elok.

Rekan-rekan di divisi, membuat pesta kecil-kecilan untuk perpisahan Elok. Mereka memesan makanan, memasang dekorasi, dan membuat momen sambutan yang salah satunya menampilkan Pak Oka, atasan Elok. Seperti ingin menyakiti Elok berkali-kali, Pak Oka memberikan kejutan hari itu.

”Saya meminta maaf dengan tulus apabila selama ini ada salah, dan terima kasih atas kontribusinya selama ini.” Semua bertepuk tangan mendengar itu, sebuah hal langka yang keluar dari mulut manusia angkuh seperti Pak Oka.

”Terutama kontribusinya dalam mengajari Jane, karena sekarang walaupun Elok putus kontrak, penggantinya sudah kita dapat tanpa perlu diajari lagi.” Seisi ruangan tercengang, hening, ekspresi Elok dan Jane menjadi sorotan. Jane yang merasa tidak nyaman, Elok yang tampak sekali kecewa.

”Terima kasih.” Pak Oka mengakhiri sambutan itu, tanpa disambut respon apapun dari yang lain. Mereka berbisik-bisik dan menilai bahwa Pak Oka jahat. Elok kehilangan muka, ia tak bergerak dari posisinya dan menahan diri untuk tidak menangis. Jane berlari ke toilet, ia menangis disana. Tak terpikirkan olehnya bahwa tawaran dari HC tempo hari adalah bagian dari menggantikan Elok, senior yang ia hormati. Sedang sudah pasti banyak orang yang melihat dirinya rendah, bisa saja termasuk Elok, dan itu wajar bukan?

Jangankan makan, Elok yang kehilangan muka tak punya tenaga untuk membuka mulut. Salah satu temannya, Dawiya, mengajak Elok untuk keluar. Seperti udara segar, Dawiya muncul bak pahlawan.

”Kan aku udah bilang, kalau mau jadi penurut, ya jadi penurut selamanya, kalau perlu jadi penjilat. Tapi kalau mau membangkang, harus totalitas, jangan setengah-setengah, akhirnya kamu diremehkan. Pura-pura baik, akrab sama yang lain, baik-baikin atasan kadang juga perlu. Kalau mau idealis, nggak bisa jadi karyawan.” Nasihat Dawiya sepanjang jalan. Elok mendengar itu, namun tak menanggapi apapun. Ia bersandar di jendela mobil, melihat bayangan pohon-pohon akasia yang membuat jalanan teduh. Sedang Dawiya membagi fokusnya pada kemudi, radio, dan mengomel. Sebuah skill yang laki-laki belum tentu punya.

Kesal dengan perlakuan Pak Oka, tidaklah seberapa. Selain itu ada hal lain yang membuat Elok gusar selama ini jika ia menganggur. Ibu, ipar, dan keponakan-keponakannya. Sejak ayah dan abangnya meninggal, Elok memang menopang kebutuhan di rumah itu. Sebagai bentuk baktinya kepada abang yang sudah membatu ia sekolah hingga kuliah, Elok merasa punya kewajiban untuk merawat dan memastikan keponakan-keponakannya juga bisa sekolah dan kuliah. Ibunya sudah tua, sedang iparnya bekerja sebagai pekerja harian di penatu, 1 keponakannya masih TK, sedang kakaknya kelas 6 SD. Memang hanya Elok yang punya penghasilan tetap. Ia hanya berharap bisa mulai menabung agar 2 keponakannya itu bisa lulus kuliah dan bekerja.

”Ya sudahlah nak, mungkin rejekinya sudah habis disitu.” Tanggapan ibunda Elok. Mirip dengan apa yang Elok dengar dari staff HC, bukan jawaban manusia.

”Semoga lekas dapat gantinya.”

”Aamiin” Hampir seisi rumah mengaminkan. Mereka yang selalu berkumpul di ruang tengah selepas isya itu sudah menggelar kasur. Ibu yang menunggu sinetron favorit, ipar yang sedang menyetrika, Elok yang sibuk dengan ponselnya, dan dua kakak beradik yang sedang belajar sambil bertengkar. Rumah yang diisi 5 perempuan itu memang hanya punya 2 kamar, 1 digunakan untuk ruang sholat, dan 1 lagi untuk ruang pakaian, mereka lebih senang tidur di ruang tengah, berjejer.

Hari pertama Elok menganggur, ia sudah gelisah dan mulai keluar rumah. Pergi ke rumah salah satu kawan SMAnya yang sedang libur kerja, Elok menanyakan lowongan pekerjaan. Kawannya pun menyarankan satu tempat.

”Iya itu lagi rekrutmen, coba aja cek di websitenya.” Elok langsung membuka ponsel dan membuka website yang dimaksud Abigail.

”Penipuan nggak nih?” Elok meragu.

”Nggak gilak, itu resmi gimana sih.” Abigail nyolot.

”Oke bos, nyiapin CV dulu.”

”Jangan lupa update pengalaman kerja, itu ngaruh banget.”

”Iya, nggak usah dikasih tau itu mah.”

”Idih.” Abigail menyeringai.

Usai menyiapkan berkas-berkas, Elok mulai menyebar lamaran. Bukan hanya yang disarankan Abigail, tetapi juga beberapa tempat lain. Ia merasa perlu punya banyak kail untuk cepat mendapatkan ikan. Dan benar saja, salah satu dari perusahaan yang ia apply memanggilnya.

Wawancara pertama, gagal. Wawancara kedua, ketiga, dan seterusnya selalu gagal. Entah dimana masalahnya. Elok percaya diri punya amunisi cukup untuk ragam posisi, resumenya baik, pendidikan oke, pengalaman tidak kurang, penampilan tidak terlalu buruk, komunikasi lancar, tapi nasib belum berpihak. Hingga akhirnya ia punya inisiatif untuk mencari pekerjaan di kota lain, merantau. Sebuah ide yang muncul dari keputusasaan. Dan ia takut menyampaikan ide ini kepada ibunya. Elok sangat amat yakin bakal ditentang. Dibayangkannya wajah ibunya yang pasti akan marah mendengar ini. Tetapi ia tetap mencoba.

”Bolehkah aku merantau bu?”

”Boleh.” Jawaban yang Elok harapkan sekaligus tidak. Ia tak sangka ibunya punya lampu hijau bahkan biru jika memungkinkan. Elok merasa nada bicara ibunya malah seakan menyuruh Elok untuk merantau.

”Cepat pergi kerja nak!” Itu yang ada di pikiran Elok. Sedih bukan?


No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...