2

 

            Memasuki babak baru dalam kehidupan, Elok merantau. Perusahaan yang pertama kali memakan umpan di kailnya, meloloskan ia wawancara, membiarkan dia diterima bekerja, Elok berjanji pada dirinya sendiri. ”Apapun yang terjadi, aku akan setia disini.” Ia harus kuat membersamai rezim, memaklumi kebatilan, menahan amarah, bersikap tangguh, anti cengeng, semua hal-hal yang sudah ia dapat sebelum dipecat, ia akan perbaiki penuh di kantor baru. Sejarah tidak boleh terulang, dedikasi tinggi itu harus, idealisme buang jauh-jauh, ego jangan dipelihara, takaran tinggi terhadap diri kesampingkan selamanya, harus patuh sepatuh-patuhnya, profesional menjadi keset, mewujudkan cita-cita pemilik. Itulah misinya.

            Office Assistant, job tittle yang ia dapat. Tak lama ia menerima Job Desc, yang isinya beberapa task, cukup general, namun terlihat sederhana.

-       Reception duties

-       File management

-       Office supplies

-       Data entry

-       Document preparation

-       General administrative tasks

-       Project support

Elok senyum-senyum membaca itu, seolah ini angin segar bahwa tekadnya untuk mengabdi sepertinya akan teramini.

”Sudah clear bu? Atau ada pertanyaan?” Staff HC mengonfirmasi.

“Cukup pak.” Elok tersenyum tipis. Ia lalu diarahkan menuju ruangannya.

Disanalah Elok melihat ruangan besar berisi kubikal-kubikal yang jika ditotal berisi lebih dari 20 orang. Cukup gaduh dan berisik. Hentakan stempel, dering telepon, ketikan keyboard, langkah kaki, mesin fotocopy, suara-suara bersaut-sautan menambah ramai ruangan itu. Elok diarahkan Pak Sujiwa untuk berkenalan ke setiap meja. Menyebut nama, berjabat tangan dan tersenyum, standar perkenalan pada umumnya. Ada yang menyambut Elok dengan hangat, ada pula yang dingin bukan kepalang. Beberapa diantaranya tampak tak terima saat Elok menyebutkan namanya, entah seperti kontras dengan wajahnya, atau karena hal lain. Sayangnya Elok menyadari hal itu.

Setelah berkeliling ke semua sudut, akhirnya Elok diantar ke meja kerjanya. Di sudut ruangan, tepat sebelum masuk ke arah toilet, di sebuah meja kecil di belakang kubikal yang ramai, disitulah tempat Elok duduk. Seperti terasing dari yang lain, tidak setara.  Elok paham barangkali ini karena ia anak baru. Ia maklum ya wajarlah mungkin belum ada meja kosong di tempat yang lebih baik. Walaupun perasaan baik itu, dibantah sendiri oleh benak Elok. Ia melihat sederet meja kubikal yang kosong tak berpenghuni. Di lain kesempatan ia juga mengamati lanyard yang dikenakan karyawan lain berbeda warna dengan yang ia pakai. Setelah beberapa jam ia duduk dan diperkenalkan dengan pekerjaannya, barulah Elok sadar bahwa bahkan namanya tak masuk dalam struktur organisasi. Dari 11 ribu karyawan seluruh Indonesia, bahkan nama Elok tak ada. Pikiran Elok yang bersemangat melihat job desc tadi seketika ditampar kenyataan.

Tugas pertama yang harus ia kerjakan adalah general tasks alias fotocopy, scan, mengirim dan menerima fax, menerima dan membalas email, mengatur jadwal rapat, menyiapkan dokumen, mengatur akomodasi hotel dan tiket pesawat untuk perjalanan bisnis, membersihkan minuman tumpah, membuat kopi, andai jika ada mungkin Elok juga akan diminta mengecor lantai, memasang plavon, serabutan. Dan yang tidak kalah menyebalkan ialah Elok seperti penjaga toilet. Siapapun yang keluar masuk toilet akan melihat Elok, entah saat hendak masuk atau saat keluar. Silih berganti setiap harinya manusia lalu lalang.

Pagi itu menjelang jam istirahat.

”Penuh ya di dalam?” Elok ditanya salah seorang yang lewat. Suaranya yang merdu mengendap di telinga. Lelaki itu berpenampilan klimis, rambut tertata, pakaian licin, tubuh tinggi tegap dengan kulit kecokelatan berdiri di depan Elok. Matanya yang bulat dan barisan giginya yang rapi mencuri sorot mata Elok. Seperti akan bersarang di dalam ingatan selamanya.

”Nggak liat.” Elok menjawab datar. Lelaki itu tersenyum, lalu berlalu. Elok menggali memorinya, ia yakin baru melihat lelaki itu hari ini.

”Mbak, bantu buat salinannya ya. Masing-masing 3 rangkap, bagian cover sama tanda tangan pastikan berwarna, klip 45 derajat, taruh di meja saya sebelum jam 12.” Bu Santi membawakan dokumen setebal ruas ibu jari untuk difotokopi. Elok melihat jam, hanya tinggal 12 menit sebelum jam istirahat, ia bergegas ke mesin fotokopi. Baru sekitar seperempat dokumen, tiba-tiba ada seseorang menginterupsi pergerakan Elok.

”Permisi mbak.” Lelaki yang sebelumnya menyapa Elok di depan toilet, ia mengambil kertas hasil print, tersenyum, lalu pergi. Elok melihat punggung lelaki itu dari pantulan jendela kaca, ia duduk di sebuah kubikal kosong tepat di belakang mesin fotokopi.

Bu Santi kembali dari toilet, dan menanyakan progressnya.

”Belum ya?”

”Sebentar lagi bu.”

”Oke, saya tunggu di meja ya.” Elok mengangguk.

Tak lama lelaki itu kembali mendatangi mesin fotokopi, mengambil hasil print. Lalu berbasa-basi.

”Baru ya mbak?”

”Iya.” Elok tersenyum.

”Semoga betah ya.” Lelaki itu pun kembali tersenyum.

”Aamiin. Mas baru juga? Baru kelihatan soalnya.”

”Baru pindah ruangan.”

”Ohh.” Elok mengangguk.

”Aco.” Lelaki itu mengulurkan tangan.

”Elok.” Elok menyambutnya. Mereka saling tersenyum.

”Duluan.” Aco meninggalkan area fotokopi. Elok mengangguk.

Dilihat dari tempat ia duduk, Aco bekerja di divisi plant. Satu team dengan Afif, kawan pertama Elok di kantor. Afif tinggal di komplek dekat dengan tempat kost Elok. Mereka terkadang berangkat ke kantor atau makan siang bersama.

”Bawa bekel?” Afif menghampiri Elok.

”Nggak, tadi kesiangan.”

”Bareng nggak?”

”Hold a sec.” Elok ke mejanya mengambil ponsel dan dompet.

Tiba di kantin, Afif dan Elok memesan nasi goreng, Afif lalu duduk di kursi kosong di teras kantin. Elok mengekorinya. Disana sudah ada Aco yang duduk sendirian menghadap jalan.

”Udah kenal kan ya?” Afif menunjuk Elok dan Aco bergantian.

“Udah.” Jawab mereka kompak hampir berbarengan.

”Dia temen seangkatan aku el.”

”Oh ya? Berarti seumuran?” Yang artinya juga sama dengan Elok.

”Nggak, dia di atas kita 3 tahun.”

”Iya aku telat kuliah.” Aco menimpali.

Mereka bertiga menjadi sering pergi bersama, atau terkadang hanya Aco dan Afif, atau Elok dan Afif, dan tak jarang Elok hanya berdua dengan Aco. Tidak sulit mereka untuk akrab, karena keduanya cukup luwes untuk bergaul.

”Pendahulu kamu nggak pernah ada yang lama loh el.”

”Oh ya? Kok bisa?”

”Ya kebanyakan nggak betah.”

”Karena kerjaannya ya?”

”Hmmm.” Aco mengangguk.

”Semoga aku betah deh.” Elok tersenyum.

”Semoga ya. Kamu udah ketemu Pak Dewan?” Aco antusias.

”Pak Dewan yang mana?” Elok bingung.

“Kadiv, yang duduk di ruangan ujung.” Elok mencoba mengingat ruangan ujung yang dimaksud.

”Oh yang di dalam?”

”Iya.”

”Ada orangnya?” Elok bingung karena sedari awal melihat ruangan itu kosong.

”Ada el, ya Pak Dewan itu. Tapi kayaknya dia emang lagi nggak di sini sih. Tunggu aja dia dateng. Boooom.” Aco bersemangat.

”Emang doi kenapa?” Elok penasaran.

”Tunggu aja.”

”Dih.”

Aco tertawa geli melihat wajah Elok yang sangat ingin tau.

 

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...