Memasuki babak
baru dalam kehidupan, Elok merantau. Perusahaan yang pertama kali memakan umpan
di kailnya, meloloskan ia wawancara, membiarkan dia diterima bekerja, Elok
berjanji pada dirinya sendiri. ”Apapun yang terjadi, aku akan setia disini.” Ia
harus kuat membersamai rezim, memaklumi kebatilan, menahan amarah, bersikap
tangguh, anti cengeng, semua hal-hal yang sudah ia dapat sebelum dipecat, ia
akan perbaiki penuh di kantor baru. Sejarah tidak boleh terulang, dedikasi
tinggi itu harus, idealisme buang jauh-jauh, ego jangan dipelihara, takaran
tinggi terhadap diri kesampingkan selamanya, harus patuh sepatuh-patuhnya,
profesional menjadi keset, mewujudkan cita-cita pemilik. Itulah misinya.
Office Assistant, job tittle yang ia
dapat. Tak lama ia menerima Job Desc, yang isinya beberapa task, cukup general,
namun terlihat sederhana.
- Reception
duties
- File
management
- Office
supplies
- Data
entry
- Document
preparation
- General
administrative tasks
- Project
support
Elok senyum-senyum membaca itu,
seolah ini angin segar bahwa tekadnya untuk mengabdi sepertinya akan teramini.
”Sudah
clear bu? Atau ada pertanyaan?” Staff HC mengonfirmasi.
“Cukup
pak.” Elok tersenyum tipis. Ia lalu diarahkan menuju ruangannya.
Disanalah Elok melihat ruangan
besar berisi kubikal-kubikal yang jika ditotal berisi lebih dari 20 orang.
Cukup gaduh dan berisik. Hentakan stempel, dering telepon, ketikan keyboard,
langkah kaki, mesin fotocopy, suara-suara bersaut-sautan menambah ramai ruangan
itu. Elok diarahkan Pak Sujiwa untuk berkenalan ke setiap meja. Menyebut nama,
berjabat tangan dan tersenyum, standar perkenalan pada umumnya. Ada yang
menyambut Elok dengan hangat, ada pula yang dingin bukan kepalang. Beberapa diantaranya
tampak tak terima saat Elok menyebutkan namanya, entah seperti kontras dengan
wajahnya, atau karena hal lain. Sayangnya Elok menyadari hal itu.
Setelah berkeliling ke semua
sudut, akhirnya Elok diantar ke meja kerjanya. Di sudut ruangan, tepat sebelum
masuk ke arah toilet, di sebuah meja kecil di belakang kubikal yang ramai,
disitulah tempat Elok duduk. Seperti terasing dari yang lain, tidak setara. Elok paham barangkali ini karena ia anak baru.
Ia maklum ya wajarlah mungkin belum ada meja kosong di tempat yang lebih baik.
Walaupun perasaan baik itu, dibantah sendiri oleh benak Elok. Ia melihat
sederet meja kubikal yang kosong tak berpenghuni. Di lain kesempatan ia juga
mengamati lanyard yang dikenakan karyawan lain berbeda warna dengan yang ia
pakai. Setelah beberapa jam ia duduk dan diperkenalkan dengan pekerjaannya,
barulah Elok sadar bahwa bahkan namanya tak masuk dalam struktur organisasi. Dari
11 ribu karyawan seluruh Indonesia, bahkan nama Elok tak ada. Pikiran Elok yang
bersemangat melihat job desc tadi seketika ditampar kenyataan.
Tugas pertama yang harus ia
kerjakan adalah general tasks alias fotocopy, scan, mengirim dan menerima fax, menerima
dan membalas email, mengatur jadwal rapat, menyiapkan dokumen, mengatur
akomodasi hotel dan tiket pesawat untuk perjalanan bisnis, membersihkan minuman
tumpah, membuat kopi, andai jika ada mungkin Elok juga akan diminta mengecor
lantai, memasang plavon, serabutan. Dan yang tidak kalah menyebalkan ialah Elok
seperti penjaga toilet. Siapapun yang keluar masuk toilet akan melihat Elok,
entah saat hendak masuk atau saat keluar. Silih berganti setiap harinya manusia
lalu lalang.
Pagi itu menjelang jam istirahat.
”Penuh ya di dalam?” Elok ditanya
salah seorang yang lewat. Suaranya yang merdu mengendap di telinga. Lelaki itu
berpenampilan klimis, rambut tertata, pakaian licin, tubuh tinggi tegap dengan
kulit kecokelatan berdiri di depan Elok. Matanya yang bulat dan barisan giginya
yang rapi mencuri sorot mata Elok. Seperti akan bersarang di dalam ingatan
selamanya.
”Nggak liat.” Elok menjawab
datar. Lelaki itu tersenyum, lalu berlalu. Elok menggali memorinya, ia yakin
baru melihat lelaki itu hari ini.
”Mbak, bantu buat salinannya ya. Masing-masing
3 rangkap, bagian cover sama tanda tangan pastikan berwarna, klip 45 derajat,
taruh di meja saya sebelum jam 12.” Bu Santi membawakan dokumen setebal ruas
ibu jari untuk difotokopi. Elok melihat jam, hanya tinggal 12 menit sebelum jam
istirahat, ia bergegas ke mesin fotokopi. Baru sekitar seperempat dokumen,
tiba-tiba ada seseorang menginterupsi pergerakan Elok.
”Permisi mbak.” Lelaki yang
sebelumnya menyapa Elok di depan toilet, ia mengambil kertas hasil print, tersenyum,
lalu pergi. Elok melihat punggung lelaki itu dari pantulan jendela kaca, ia duduk
di sebuah kubikal kosong tepat di belakang mesin fotokopi.
Bu Santi kembali dari toilet, dan
menanyakan progressnya.
”Belum ya?”
”Sebentar lagi bu.”
”Oke, saya tunggu di meja ya.”
Elok mengangguk.
Tak lama lelaki itu kembali
mendatangi mesin fotokopi, mengambil hasil print. Lalu berbasa-basi.
”Baru ya mbak?”
”Iya.” Elok tersenyum.
”Semoga betah ya.” Lelaki itu pun
kembali tersenyum.
”Aamiin. Mas baru juga? Baru
kelihatan soalnya.”
”Baru pindah ruangan.”
”Ohh.” Elok mengangguk.
”Aco.” Lelaki itu mengulurkan tangan.
”Elok.” Elok menyambutnya. Mereka
saling tersenyum.
”Duluan.” Aco meninggalkan area
fotokopi. Elok mengangguk.
Dilihat dari tempat ia duduk, Aco
bekerja di divisi plant. Satu team dengan Afif, kawan pertama Elok di kantor.
Afif tinggal di komplek dekat dengan tempat kost Elok. Mereka terkadang berangkat
ke kantor atau makan siang bersama.
”Bawa bekel?” Afif menghampiri
Elok.
”Nggak, tadi kesiangan.”
”Bareng nggak?”
”Hold
a sec.” Elok ke mejanya mengambil ponsel dan dompet.
Tiba di kantin, Afif dan Elok
memesan nasi goreng, Afif lalu duduk di kursi kosong di teras kantin. Elok
mengekorinya. Disana sudah ada Aco yang duduk sendirian menghadap jalan.
”Udah kenal kan ya?” Afif menunjuk Elok dan Aco bergantian.
“Udah.” Jawab mereka kompak hampir
berbarengan.
”Dia temen seangkatan aku el.”
”Oh ya? Berarti seumuran?” Yang
artinya juga sama dengan Elok.
”Nggak, dia di atas kita 3 tahun.”
”Iya aku telat kuliah.” Aco menimpali.
Mereka bertiga menjadi sering
pergi bersama, atau terkadang hanya Aco dan Afif, atau Elok dan Afif, dan tak
jarang Elok hanya berdua dengan Aco. Tidak sulit mereka untuk akrab, karena
keduanya cukup luwes untuk bergaul.
”Pendahulu kamu nggak pernah ada
yang lama loh el.”
”Oh ya? Kok bisa?”
”Ya kebanyakan nggak betah.”
”Karena kerjaannya ya?”
”Hmmm.” Aco mengangguk.
”Semoga aku betah deh.” Elok
tersenyum.
”Semoga ya. Kamu udah ketemu Pak
Dewan?” Aco antusias.
”Pak
Dewan yang mana?” Elok bingung.
“Kadiv, yang duduk di ruangan
ujung.” Elok mencoba mengingat ruangan ujung yang dimaksud.
”Oh yang di dalam?”
”Iya.”
”Ada orangnya?” Elok bingung
karena sedari awal melihat ruangan itu kosong.
”Ada el, ya Pak Dewan itu. Tapi
kayaknya dia emang lagi nggak di sini sih. Tunggu aja dia dateng. Boooom.” Aco bersemangat.
”Emang doi kenapa?” Elok
penasaran.
”Tunggu aja.”
”Dih.”
Aco tertawa geli melihat wajah
Elok yang sangat ingin tau.
No comments:
Post a Comment