3

 

            Jika mengingat bagaimana Aco dan Afif saling mengenal, mungkin Elok tidak akan menyangka mereka akan bisa akrab. Aco mulai berkuliah setelah bekerja 3 tahun di kantor ini sebagai office assistant, lalu ia sempat resign untuk lanjut kuliah di Makasar. Disanalah ia bertemu Afif. Ayah Afif seorang tentara, sedang ibunya pegawai kementrian. Mereka terbiasa berpindah-pindah sejak Afif kecil. Dan saat Afif SMA, ayahnya tengah bertugas di Palopo dan ibunya melanjutkan study di Aussie. Afif berkuliah di Makasar agar bisa dipantau. Ia tinggal bersama nenek dan seorang ART.

            Memasuki semester pertama, Aco dan Afif seringkali bertemu. Afif yang bersuara keras dan senang ribut, Aco yang lebih banyak diam tapi emosian. Pernah suatu ketika Afif membuat candaan yang membuat Aco marah. Ia melempar ular hijau kecil di kelas dan membuat seisi kelas panik. Saat itu Aco sedang sibuk mempersiapkan presentasi. Dan ular yang dibawa Afif terlempar ke meja Aco. Aco tidak banyak bersuara, ia hanya berdiri dan memasukkan ular itu di tas Afif. Afif marah, dan menantang Aco berkelahi, Aco dengan segenap tenaga meninju hidung Afif hingga berdarah. Seminggu kemudian ayah Afif datang ke kampus dan mencari Aco, Aco menghadapinya saja walaupun ia merasa sepertinya akan ditampar.

            ”Kamu pukul anak saya?”

            ”Iya.”

            ”Berani kamu?”

            ”Dia yang duluan.”

            ”Kamu nggak pernah diajarin orang tua sopan santun?”

            ”Saya yatim.”

            ”Itu bukan alasan untuk jadi preman.” Aco terdiam. Ayah Afif berdiri dan mendekat ke arah Aco. Aco menatap ayah Afif dengan kepala tegak, dan sesekali melihat ke arah Afif yang berdiri di samping. Wajah Aco tak terlihat gentar sedikit pun.

            ”Kalau sekali lagi saya dengar kalian berkelahi, saya patahkan kaki kalian berdua.” Raut wajahnya merah padam menahan amarah, lalu ayah Afif pergi meninggalkan ruangan. Semenjak hari itu Aco dan Afif tak pernah lagi saling sapa, bahkan saat satu kelompok saat ada tugas hingga mereka lulus. Mereka memilih saling menghindar dan menjaga jarak.

            Beruntungnya, saat lulus dari teknik pertambangan, Aco dan Afif lolos di perusahaan yang sama setelah mengikuti job fair di kampus. Mereka harus terima hidup sekamar saat masa pendidikan selama setahun di Palembang, lalu mereka teken kontrak untuk ditempatkan dimana saja, dan Balikpapan jadi penempatan keduanya.

            Afif cukup beruntung, sebulan paska ditempatkan di Balikpapan, ayah dan ibunya pun pindah ke Balikpapan. Ayahnya pensiun, ibunya resign, mereka memutuskan untuk melanjutkan usaha dengan membuka bimbingan belajar di Balikpapan. Sebagai anak tunggal, Afif cukup beruntung punya orang tua yang perhatian, hampir setiap hari ia harus menanggapi pertanyaan ayah atau ibunya seputar kesehariannya, entah di kantor atau di luar kantor. Hubungannya dengan Fitri pun tidak luput dari turut campur kedua orang tuanya. Fitri ialah anak dari pensiunan tentara kawan sejawat ayahnya. Dan sebagai bentuk baktinya, Afif tidak menolak perjodohan itu. Fitri rela pindah dari Gorontalo dan mencari kerja di Kalimantan agar bisa dekat dengan Afif. Afif pun selalu meluangkan waktu untuk berkunjung ke Samarinda, tempat kerja Fitri yang berjarak 3 jam dari Balikpapan. Mereka resmi bertunangan dan berencana menikah setahun lagi, setelah merasa benar-benar siap.

            Sedang Aco, ia masih bersama Andi Ratih, perempuan yang menarik-ulurnya sejak SMK. Sudah bertahun-tahun Aco seperti orang gila menghadapi perasaannya yang diterbang-hempaskan oleh gadis itu. Di satu waktu ia seperti merasa sangat beruntung, di waktu yang lain ia seperti dibuat menjadi bodoh karena dikecewakan. Dalam hal apapun, Aco selalu merasa kecil dibanding lelaki-lelaki lain yang dekat dengan Andi Ratih. Setidaknya itulah yang diceritakan Afif pada Elok hari itu, saat mereka makan malam sepulang kerja.

            ”Dari tadi kah?” Aco tiba-tiba datang dan menepuk pundak Afif. Di depannya Elok sudah lahap menikmati sepiring nasi goreng. Ponsel Aco berdering berkali-kali, ia membiarkannya.

            ”Kelahi lagi kuliat-liat.” Afif meledek.

            ”Nggak lah.” Aco tersenyum. Elok mengangkat wajahnya yang sedari tadi fokus ke nasi goreng. Mereka tak sengaja saling melihat, matanya kemudian saling berlarian salah tingkah.

            ”Atau sudah putus lagi?” Afif menoleh curiga ke arah Aco.

            “Apaan sih.” Aco tersenyum.

            “Kamu tau el, dia putus nyambung putus nyambung sama cewek yang sama terus. Sampe capek aku lihatnya.” Afif bercerita antusias.

            ”Bagus lah berarti awet dong.” Elok menjawab sambil tersenyum.

            ”Apaan? Sakit jiwa yang ada.” Afif keras menjawab Elok.

            ”Nggak gitu ya.” Aco menyanggah.

            ”Emang susah ya kalau udah kepatil, mau gimana juga modelannya tetep aja dipertahanin.” Afif semakin julid. Elok hanya bisa tersenyum walau penasaran. Tiba-tiba ponsel Elok berbunyi.

            ”Iya halo bu.”

            ”Lagi makan bu.”

            ”Oh iya siap bu.”

            ”Bisa kok, jam berapa?”

            ”Bisa bu, aman. Nanti saya kesana.”

            ”Iya selamat malam.”

            Telepon terputus.

            ”Siapa?” Aco bertanya.

            ”Bu Santi?”

            ”Kenapa?” Afif bertanya.

            ”Minta data aja sih.” Elok menjawab santai.

            ”Terus kenapa perlu kamu kesana?” Aco penasaran.

            ”Sekalian bantu buat reportnya bareng-bareng.” Elok menjawab.

            ”Gila ya, besok sabtu el.” Afif marah.

            ”Aman kok aku nggak ada kegiatan.” Elok masih santai.

            ”Kalau nggak ada mending temenin aku ke Samarinda, datengin Fitri.”

            ”Ogah jadi obat nyamuk.” Elok menolak.

            ”Nih sama dia, biar nggak nyamuk-nyamuk banget.” Afif menunjuk Aco.

            ”Aku sih bisa-bisa aja.” Aco sepakat. Mereka berdua memutuskan tanpa persetujuan Elok lebih dahulu. Tiba-tiba Afif menelpon Bu Santi.

            ”Malam bu, besok izin Elok belum bisa ke tempat ibu ya. Ada acara mendadak.”

            ”Siap, terima kasih bu.”

            Telepon ditutup.

            ”Gila ya?” Elok mengernyit.

            ”Harus gitu.”

            ”Kita udah bela-belain kamu izin jangan sampai besok berubah pikiran ya.” Afif memastikan.

 

**

 

            Pagi-pagi sekali Afif sudah siap di depan kost Elok, memakai T-shirt dan celana pendek Afif siap bertemu Fitri. Elok masih sibuk dengan rambut basahnya, ia tidak sempat mengeringkan karena Afif sudah terlalu pagi tiba di kostnya.

            ”Udah gila emang janjian jam berapa berangkat jam berapa.” Elok marah saat masuk ke dalam mobil. Ia mengeluarkan pouch berisi make upnya, lalu lanjut bersolek.

            ”El, kalau kujodohin sama Aco mau nggak?” Afif tiba-tiba. Elok tergelak, mascara nyaris saja masuk ke matanya.

            ”Emang udah gila ya?” Elok keberatan.

            ”Kalian cocok tau.”

            ”Tau darimana?”

            ”Ya kelihatannya gitu.”

            ”Sotoy.”

            ”Beneran el. Daripada Aco nggak jelas sama pacar hayalannya itu.” Afif menatap lurus ke jalan sambil bercerita.

            ”Kenapa emang pacarnya?”

            ”Pokoknya kalau diceritain batu juga nangis.”

            ”Dih, yang bener lah fif.”

            ”Beneran. Tapi nggak usahlah kuceritain. Biar nanti pacarmu aja yang cerita.”

            “Hah?” Elok spontan mencubit lengan Afif.

            ”Ngawur banget.” Suara Elok meninggi.

            ”Ya anggap aja doa, Inget omonganku ya.” Afif tertawa.

            Tak terasa mereka sampai di kost Aco. Aco keluar dari gerbang, mengenakan kaos putih bergambar Nirvana, celana denim, dan sepatu kets membuatnya tampak rapi. Elok menahan diri berlama-lama melihat ke arah itu, menoleh ia ke arah lain.

            ”Jangan salting gilak.” Afif tertawa keras.

            ”Lumayan kan dia? Walaupun nggak seganteng aku?” Afif narsis.

            ”Najis.”

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...