Gardana, adik
kelas Elok di kampus yang juga menjadi kekasih resminya selama setahun
terakhir. Mereka dekat sejak awal semester Gardana masuk ke kampus, tetapi
hanya sebatas teman. Gardana seperti orang baik di mata Elok yang sulit sekali
ia abaikan. Elok merasakan bunga-bunga setiap ke kampus, bahkan saat dimasa
sulit. Gardana benar-benar sosok sempurna selayaknya seorang laki-laki, sampai
saat Elok memasuki masa-masa tugas akhir, Gardana dengan setia menemaninya
menyelesaikan itu hingga mereka semakin intens bertemu dan akhirnya berpacaran.
Saat
Elok memutuskan merantau, sayangnya Gardana tidak pernah dilibatkan akan hal
itu. Bahkan mungkin keputusan-keputusan besar dalam hidup Elok tidak pernah
mempertimbangkan Gardana di dalamnya. Elok merasa kekasihnya itu tidaklah punya
cukup suara untuk menentukan sesuatu dalam hidupnya. Seminggu setelah keputusan
itu sudah bulat, setelah proses rekrutmen terjadi, barulah Elok memberi tahu
Gardana, bukan untuk meminta izin, tetapi pemberitahuan saja. Perang dingin di
antara mereka terjadi kala itu, tidak terelakkan. Gardana yang tak pernah
marah, hanya bisa diam saja melihat Elok hendak pergi. Walaupun komunikasi
keduanya via telepon sudah jelas menggambarkan bagaimana kemarahan Gardana.
”Harus
banget pergi sekarang?” Tanya Gardana lirih. Di balik telepon Elok tak
menjawab.
”Kenapa
nggak tunggu aku lulus? Aku minta waktu 6 bulan lagi, kita berangkat
sama-sama.” Lelaki pendiam itu terdengar amat terpukul.
”Keluargaku
nggak bisa nunggu, aku harus kerja.” Elok menjelaskan.
”Aku
sebentar lagi lulus, aku janji bener-bener 6 bulan lagi. Aku nggak mau kita
jauh. Aku perlu kamu sampai aku lulus.” Lelaki itu memohon. Elok tak punya
jawaban, ia hanya yakin harus pergi. Sejak itulah hubungan mereka tak lagi
baik-baik saja. Elok mencoba meminta maaf, namun tak sekalipun ia bisa mendapat
jawaban dari lelaki itu. Sampai akhirnya di bulan kedua kepindahan Elok,
kekasihnya itu menelepon.
”Aku
minta maaf selama ini egois.” Gardana membuka obrolan. Spontan Elok menangis.
Tak tahan ia mendengar suara yang sudah membuatnya tidak keruan akhir-akhir
ini. Mereka berbaikan, tetapi komunikasi sudah tidak lagi sama. Sedikit dingin,
dan berkurang intensitasnya. Yang membuat Elok bahagia hanya 1, janji
kekasihnya itu untuk berkunjung beberapa bulan lagi. Seperti panas terik yang
disiram air, Elok merasa amat lega.
**
Perjalanan
ke Samarinda hari itu cukup menyenangkan. Afif sudah meminta Fitri menyiapkan
list tempat makan enak, agar mereka bisa langsung makan setibanya disana. Fitri
bersemangat mengirimkan list yang diminta, Elok bertugas mengkurasi untuk
memilik mana yang paling recommended. Aco bertugas memverifikasi karena ia yang
paling mengenal tempat ini. Saat sibuk membicarakan tempat makan, tiba-tiba
Gardana menelepon.
”Halo.”
”Lagi
dimana? Jadi ke Samarinda?” Tanya Gardana.
”Iya, ni
lagi di jalan.”
”Sama
siapa aja jadinya?”
”Ini
sama Afif & Aco.” Kebetulan Elok sudah pernah menceritakan 2 teman barunya
itu. Gardana mengubah telepon menjadi video call.
”Sayang
lihat.” Dari layar tampak Gardana bersama Abigail di tempat makan. Mereka
bersepupu.
”El, tolong
nih bocah ngerjain ini doang nggak kelar-kelar.” Sembari Abigail menunjukkan
laptop yang tampak berisi skripsi.
”Nitip
tolong ajarin bi.” Elok meminta.
”Ogah
banget, biarin aja dia diusir dari rumah.” Abigail dan Elok tertawa bersamaan.
”Siniin
nggak.” Gardana merebut ponselnya dari tangan Abigail.
”Aku
lanjut dulu ya. Love you.” Elok menanggapinya dengan senyum, akhirnya telepon
ditutup.
Setelah
telepon ditutup Elok melihat ke arah jendela, ia enggan menjawab jika Afif
maupun Aco bertanya tentang telepon barusan, siapa yang menelepon, ataupun
pertanyaan lain. Bahkan ia merasa tak enak dengan Aco, entah mengapa.
Tiba di
Samarinda, Fitri sudah siap menghambur peluk kepada Afif. Afif yang biasanya
tampak kaku dan keras, terlihat berbeda saat bertemu tunangannya. Aco merasa
geli, Elok merasakan keanehan, seperti melihat Afif yang lain.
”Kenalin
pacarnya Aco.” Afif memperkenalkan Elok kepada Fitri.
”Oh ya?
Fitri.” Fitri menyodorkan tangan.
”Elok,
tapi bukan pacarnya.” Elok menunjuk Aco. Aco tersipu, tetapi wajahnya ia
arahkan ke tempat lain.
Seperti
tahu bahwa masing-masing dari mereka memiliki pasangan, Aco dan Elok beberapa
kali mencoba saling menjaga jarak. Saat Afif berseloroh tentang kecocokan
mereka pun, baik Aco maupun Elok memilih untuk menghindari situasi dan mencoba
mengubah topik. Ada sekat yang entah mengapa langsung terasa, mereka terasa
jauh dan tidak mungkin.
**
Almarhum
Mahesh, kakak kandung Elok tumbuh besar disaat ayah mereka masih sehat. Ia anak
kesayangan ibu, yang sepanjang hidupnya seperti diberkahi kemudahan. Ibunya
selalu bilang, Mahesh lahir membawa rezeki. Ayahnya menjadi PNS, sedang ibunya
sukses berjualan toko kelontong pada masanya. Sayangnya, cerita itu selalu
diikuti kelahiran Elok yang membuat keadaan berubah sebaliknya. Ayah Elok
meninggal saat Elok berusia 2 hari, gagal jantung. Setelah itu semua berubah.
Toko kelontong tak lagi menguntungkan, mereka hidup dari uang pensiunan
ayahnya, dan begitulah mereka hidup sepanjang tahun, seadanya, hingga Mahesh
lulus kuliah. Elok ingat sekali, saat itu sempat terjadi perdebatan sengit di
rumah karena Mahesh ingin sekali kuliah kedokteran, sedang biaya sudah pasti
tidak ada. Ibunya memaksa hendak menjual rumah, tetapi Mahesh menolak. Abangnya
itu merelakan impiannya karena keadaan. Ia memilih untuk mengambil jurusan
Pendidikan yang biayanya saat itu jelas paling murah dibanding jurusan lainnya.
Jadilah Mahesh Sarjana Pendidikan di bidang Fisika.
Ketika
Mahesh sudah bekerja dan menikah, ia pun membiayai kuliah Elok. Tetapi nasib
berkata lain, setelah Elok lulus abangnya meninggal karena sakit, gagal
jantung. Masih di masa berkabung, Ranu, istri Mahesh membawa kedua anaknya
pindah di rumah Elok dan ibunya. Mereka sepakat tinggal berlima. Ranu terlihat
seperti orang linglung paska peninggalan suaminya. Ia tak mau keluar rumah
hingga minggu kelima, akibatnya ia dipecat dari kantor tempat ia bekerja. Elok
dan ibunya paham mengenai situasi itu, dan mereka membiarkan saja Ranu berdiam
diri di rumah. Mau tidak mau Elok gencar mencari kerja, saat ia diterima
bekerja, seisi rumah seperti langsung menggantungkan hidup pada Elok. Apapun
kebutuhan di rumah itu, Elok lah solusinya. Ranu akhirnya mulai bekerja setelah
6 bulan menganggur, ia diterima di penatu milik tetangga. Pekerjaannya harian,
dihitung berdasarkan jumlah pakaian yang dicuci dan setrika, gajinya tak
seberapa, tetapi cukup membantu Elok untuk bayar listrik dan uang saku Hapsari
dan Denok, kedua anaknya.
Saat ini
Elok masih rutin mengirim uang ke keluarganya, ia dengan senang hati melakukan
itu, tetapi satu hal yang membuat ia masih khawatir. Ia takut kalau-kalau nanti
saat Hapsari dan Denok masuk kuliah ia belum punya tabungan untuk itu. Elok hanya
takut tak bisa memenuhi janjinya pada Mahesh. Janji yang sudah dipegangnya, memastikan
keponakannya bisa berkuliah.
No comments:
Post a Comment