4

 

            Gardana, adik kelas Elok di kampus yang juga menjadi kekasih resminya selama setahun terakhir. Mereka dekat sejak awal semester Gardana masuk ke kampus, tetapi hanya sebatas teman. Gardana seperti orang baik di mata Elok yang sulit sekali ia abaikan. Elok merasakan bunga-bunga setiap ke kampus, bahkan saat dimasa sulit. Gardana benar-benar sosok sempurna selayaknya seorang laki-laki, sampai saat Elok memasuki masa-masa tugas akhir, Gardana dengan setia menemaninya menyelesaikan itu hingga mereka semakin intens bertemu dan akhirnya berpacaran.

            Saat Elok memutuskan merantau, sayangnya Gardana tidak pernah dilibatkan akan hal itu. Bahkan mungkin keputusan-keputusan besar dalam hidup Elok tidak pernah mempertimbangkan Gardana di dalamnya. Elok merasa kekasihnya itu tidaklah punya cukup suara untuk menentukan sesuatu dalam hidupnya. Seminggu setelah keputusan itu sudah bulat, setelah proses rekrutmen terjadi, barulah Elok memberi tahu Gardana, bukan untuk meminta izin, tetapi pemberitahuan saja. Perang dingin di antara mereka terjadi kala itu, tidak terelakkan. Gardana yang tak pernah marah, hanya bisa diam saja melihat Elok hendak pergi. Walaupun komunikasi keduanya via telepon sudah jelas menggambarkan bagaimana kemarahan Gardana.

            ”Harus banget pergi sekarang?” Tanya Gardana lirih. Di balik telepon Elok tak menjawab.

            ”Kenapa nggak tunggu aku lulus? Aku minta waktu 6 bulan lagi, kita berangkat sama-sama.” Lelaki pendiam itu terdengar amat terpukul.

            ”Keluargaku nggak bisa nunggu, aku harus kerja.” Elok menjelaskan.

            ”Aku sebentar lagi lulus, aku janji bener-bener 6 bulan lagi. Aku nggak mau kita jauh. Aku perlu kamu sampai aku lulus.” Lelaki itu memohon. Elok tak punya jawaban, ia hanya yakin harus pergi. Sejak itulah hubungan mereka tak lagi baik-baik saja. Elok mencoba meminta maaf, namun tak sekalipun ia bisa mendapat jawaban dari lelaki itu. Sampai akhirnya di bulan kedua kepindahan Elok, kekasihnya itu menelepon.

            ”Aku minta maaf selama ini egois.” Gardana membuka obrolan. Spontan Elok menangis. Tak tahan ia mendengar suara yang sudah membuatnya tidak keruan akhir-akhir ini. Mereka berbaikan, tetapi komunikasi sudah tidak lagi sama. Sedikit dingin, dan berkurang intensitasnya. Yang membuat Elok bahagia hanya 1, janji kekasihnya itu untuk berkunjung beberapa bulan lagi. Seperti panas terik yang disiram air, Elok merasa amat lega.

 

**

 

            Perjalanan ke Samarinda hari itu cukup menyenangkan. Afif sudah meminta Fitri menyiapkan list tempat makan enak, agar mereka bisa langsung makan setibanya disana. Fitri bersemangat mengirimkan list yang diminta, Elok bertugas mengkurasi untuk memilik mana yang paling recommended. Aco bertugas memverifikasi karena ia yang paling mengenal tempat ini. Saat sibuk membicarakan tempat makan, tiba-tiba Gardana menelepon.

            ”Halo.”

            ”Lagi dimana? Jadi ke Samarinda?” Tanya Gardana.

            ”Iya, ni lagi di jalan.”

            ”Sama siapa aja jadinya?”

            ”Ini sama Afif & Aco.” Kebetulan Elok sudah pernah menceritakan 2 teman barunya itu. Gardana mengubah telepon menjadi video call.

            ”Sayang lihat.” Dari layar tampak Gardana bersama Abigail di tempat makan. Mereka bersepupu.

            ”El, tolong nih bocah ngerjain ini doang nggak kelar-kelar.” Sembari Abigail menunjukkan laptop yang tampak berisi skripsi.

            ”Nitip tolong ajarin bi.” Elok meminta.

            ”Ogah banget, biarin aja dia diusir dari rumah.” Abigail dan Elok tertawa bersamaan.

            ”Siniin nggak.” Gardana merebut ponselnya dari tangan Abigail.

            ”Aku lanjut dulu ya. Love you.” Elok menanggapinya dengan senyum, akhirnya telepon ditutup.

            Setelah telepon ditutup Elok melihat ke arah jendela, ia enggan menjawab jika Afif maupun Aco bertanya tentang telepon barusan, siapa yang menelepon, ataupun pertanyaan lain. Bahkan ia merasa tak enak dengan Aco, entah mengapa.

            Tiba di Samarinda, Fitri sudah siap menghambur peluk kepada Afif. Afif yang biasanya tampak kaku dan keras, terlihat berbeda saat bertemu tunangannya. Aco merasa geli, Elok merasakan keanehan, seperti melihat Afif yang lain.

            ”Kenalin pacarnya Aco.” Afif memperkenalkan Elok kepada Fitri.

            ”Oh ya? Fitri.” Fitri menyodorkan tangan.

            ”Elok, tapi bukan pacarnya.” Elok menunjuk Aco. Aco tersipu, tetapi wajahnya ia arahkan ke tempat lain.

            Seperti tahu bahwa masing-masing dari mereka memiliki pasangan, Aco dan Elok beberapa kali mencoba saling menjaga jarak. Saat Afif berseloroh tentang kecocokan mereka pun, baik Aco maupun Elok memilih untuk menghindari situasi dan mencoba mengubah topik. Ada sekat yang entah mengapa langsung terasa, mereka terasa jauh dan tidak mungkin.

 

**

            Almarhum Mahesh, kakak kandung Elok tumbuh besar disaat ayah mereka masih sehat. Ia anak kesayangan ibu, yang sepanjang hidupnya seperti diberkahi kemudahan. Ibunya selalu bilang, Mahesh lahir membawa rezeki. Ayahnya menjadi PNS, sedang ibunya sukses berjualan toko kelontong pada masanya. Sayangnya, cerita itu selalu diikuti kelahiran Elok yang membuat keadaan berubah sebaliknya. Ayah Elok meninggal saat Elok berusia 2 hari, gagal jantung. Setelah itu semua berubah. Toko kelontong tak lagi menguntungkan, mereka hidup dari uang pensiunan ayahnya, dan begitulah mereka hidup sepanjang tahun, seadanya, hingga Mahesh lulus kuliah. Elok ingat sekali, saat itu sempat terjadi perdebatan sengit di rumah karena Mahesh ingin sekali kuliah kedokteran, sedang biaya sudah pasti tidak ada. Ibunya memaksa hendak menjual rumah, tetapi Mahesh menolak. Abangnya itu merelakan impiannya karena keadaan. Ia memilih untuk mengambil jurusan Pendidikan yang biayanya saat itu jelas paling murah dibanding jurusan lainnya. Jadilah Mahesh Sarjana Pendidikan di bidang Fisika.

            Ketika Mahesh sudah bekerja dan menikah, ia pun membiayai kuliah Elok. Tetapi nasib berkata lain, setelah Elok lulus abangnya meninggal karena sakit, gagal jantung. Masih di masa berkabung, Ranu, istri Mahesh membawa kedua anaknya pindah di rumah Elok dan ibunya. Mereka sepakat tinggal berlima. Ranu terlihat seperti orang linglung paska peninggalan suaminya. Ia tak mau keluar rumah hingga minggu kelima, akibatnya ia dipecat dari kantor tempat ia bekerja. Elok dan ibunya paham mengenai situasi itu, dan mereka membiarkan saja Ranu berdiam diri di rumah. Mau tidak mau Elok gencar mencari kerja, saat ia diterima bekerja, seisi rumah seperti langsung menggantungkan hidup pada Elok. Apapun kebutuhan di rumah itu, Elok lah solusinya. Ranu akhirnya mulai bekerja setelah 6 bulan menganggur, ia diterima di penatu milik tetangga. Pekerjaannya harian, dihitung berdasarkan jumlah pakaian yang dicuci dan setrika, gajinya tak seberapa, tetapi cukup membantu Elok untuk bayar listrik dan uang saku Hapsari dan Denok, kedua anaknya.

            Saat ini Elok masih rutin mengirim uang ke keluarganya, ia dengan senang hati melakukan itu, tetapi satu hal yang membuat ia masih khawatir. Ia takut kalau-kalau nanti saat Hapsari dan Denok masuk kuliah ia belum punya tabungan untuk itu. Elok hanya takut tak bisa memenuhi janjinya pada Mahesh. Janji yang sudah dipegangnya, memastikan keponakannya bisa berkuliah.

No comments:

Post a Comment

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...