17

 

            Di sebuah acara hajatan di kampung, Ajeng menghabiskan seharian penuh disana. Tak sengaja Ajeng bertemu dengan Gardana yang juga tengah membantu. Gardana menghampiri Ajeng dan mencium tangan.

            ”Sehat nak?” Dengan ramah Ajeng menyapa Gardana yang sudah ia anggap anak sendiri.

            ”Sehat ibu, alhamdulillah. Ibu sehat?” Gardana senyum sembari menundukkan bahunya.

            ”Sehat lah, kamu belum ada ketemu Elok? Katanya kamu mau nyusul?” Ajeng mengingat cerita Elok saat awal anak perempuannya itu izin untuk merantau. Salah satu cara menenangkan ibunya, Elok membawa nama Gardana.

            ”Belum bu, rencana saya disini dulu ada yang dikerjain.” Gardana enggan membahas lebih banyak.

            ”Eh bentar.” Ajeng mengeluarkan ponselnya. Ia berinisiatif menelepon Elok. Hanya di dering kedua, Elok sudah mengangkat panggilannya.

            ”Ibuuuuu.” Dari layar tampak Elok tengah senyum cerah kepada Ajeng.

            ”Dimana nduk?” Ajeng mengamati sekeliling Elok yang sepertinya cukup ramai.

            ”Lagi istirahat ibu, ini ada temenku.” Elok mengarahkan kameranya pada Aco dan Afif yang tengah menyantap makanan. Aco dan Afif langsung saja tersenyum melihat ke arah Ajeng. Ajeng lalu mengarahkan ponselnya pada Gardana.

            ”Ibu ketemu pacarmu.” Wajah Gardana tampak kurang nyaman dengan sikap Ajeng. Raut wajah Elok berubah. Gardana pun tersenyum kecut. Tak lupa Aco pun tiba-tiba terdiam. Keadaan itu benar-benar canggung, yang merasa tak terjadi apa-apa hanya Ajeng, ia bersemangat melihat anaknya.

            ”Kata dia bentar lagi mau nyusul kesana.” Ajeng tertawa berbicara dengan Elok sembari menunjuk Gardana.

            ”Iya ibu.” Elok menjawab seadanya.

            ”Ya udah, bye, ibu lanjut rewang dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan.

            Suasana canggung berlanjut di meja kantin siang itu. Afif masih lahap memakan sepiring nasi campur, Aco tampak tak ingin bicara, Elok pun memilih diam saja. Mereka bertiga berlaku demikian hingga waktu makan siang berakhir.

 

**

 

            ”Aku sudah putus bu.” Sejak siang Elok mengirimi Ajeng pesan. Ajeng hanya membaca saja, ia tak menjawab. Sampai akhirnya sore hari barulah Ajeng menanggapi.

            “Ibu tadi ngobrol banyak sama dia.”

            ”Bahas apa aja?” Elok penasaran.

            ”Zidane salah satunya.” Ajeng membalas. Elok hanya menanggapi dengan emoticon menangis.

            ”Ya kalau itu memang bagus buat kamu nggak apa-apa.” Ajeng menuliskan itu dengan sedikit kecewa, ia sudah lama mengenal Gardana dan merasa lelaki itu yang paling pas buat Elok.

            ”Makasih bu.” Hanya itu yang bisa Elok kirimkan. Ajeng tiba-tiba menelepon.

            ”Kenalin lah Zidane sama ibu.” Ajeng berusaha akrab.

            ”Aco bu panggilannya.” Elok mengoreksi.

            ”Kok Aco?” Ajeng tampak bingung.

            ”Entah.” Elok mengangkat bahu.

            ”Nanti telepon ibu ya kalau lagi sama Zidane, ibu pengen kenal. Yawes nduk, ibu mau mandi dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan. Elok merasa sedikit lega.

 

**

 

            ”Ibuku pengen tau kamu.” Elok mengirim pesan ke Aco. Aco tiba-tiba melakukan panggilan video.

            ”Sudah kamu ceritain?” Aco langsung membahas itu.

            “Sudah.” Elok menjawab sambil meletakkan ponselnya di meja dan mengambil pemotong kuku.

            ”Responnya?” Aco penasaran.

            ”Baik-baik aja. Nanti malam kita telepon ya.” Elok bermaksud menelepon Ajeng saat makan malam bersama Aco. Aco langsung setuju.

            Malam itu mereka berdua sudah bersiap menghadapi Ajeng. Entah  apa yang akan Ajeng katakan, yang pasti Elok sudah siap akan itu. Di sisi lain Aco pun merencanakan hal yang sama. Ia ingin mengenalkan Elok pada mamminya. Mereka berdua seolah meyakinkan diri untuk serius. Melibatkan keluarga bagi Elok bukan hal sepele, pun bagi Aco.

 

**

 

            Di sebuah meja makan bundar kecil, Sanna dan Fatiyah berbincang sembari membuat kapurung dan menonton TV. Mereka berdua sibuk membahas kabar terbaru pesohor yang muncul akhir-akhir ini. Sedang Andara sedang fokus mengerjakan PR, ia berkali-kali meminta bantuan Fatiyah tetapi kakaknya itu enggan membantu.

            ”Pelit.” Andara merajuk, ia seperti mengemis sejak sejam yang lalu.

            ”Masih sibuk.” Fatiyah menjawab ketus sembari terus fokus pada adonan sagu. Sanna tak banyak berkomentar, ia seringkali melihat kedua anaknya itu tidak akur. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi, Aco.

            ”Iye’ nak.” Sanna mengangkat panggilan Aco.

            ”Sedang apa mammi?” Wajah Aco muncul di layar, Sanna meletakkan ponselnya di atas meja bersandar pada tempat sendok, ia lanjut dengan adonan sagunya.

            ”Masih buat ini.” Sanna mengangkat sedikit tangannya ke arah kamera ponsel.

            ”Sudah kita makan?” Aco bingung memulai apa yang ingin ia sampaikan.

            “Belum pi, sebentar lagi. Kita dimana kah?” Sanna tampak melihat tempat Aco duduk saat ini.

            ”Di tempat makan. Mau kukenalkan temanku.” Aco menyorot kamera ponsel ke arah Elok.

            ”Halo bu.” Elok melambaikan tangannya tersenyum kikuk.

            ”Halo.” Ramah Sanna membalas salam itu. Walaupun di dalam hati Sanna ada hal yang sedikit mengganjal terkait ini.

            ”Teman kerja Aco?” Sanna bermaksud berbasa-basi.

            ”Iya bu.” Elok menjawab malu-malu. Dari sana Sanna menyadari, ini bukan hanya sekadar teman. Lalu bagaimana dengan Ratih? Satu-satunya perempuan yang jua ia tau bersama Aco cukup lama.

            Malam itu seperti lembaran baru, Aco dan Elok mendeklarasikan sesuatu yang baru, lebih jauh dari yang mereka bayangkan, mengenalkan ke orang tua masing-masing.

 

**

 

            Tanda-tanda yang tak ingin Ratih percaya kini terlihat jelas, datang lebih awal, lebih menyesakkan, ia siap tak siap, tetapi harus. Ratih merasa terkhianati, tetapi pada kenyataannya ia yang ingin melakukannya lebih dulu. Ia dihancurkan oleh rasa bersalahnya sendiri, yang membuat kini ia tampak menyedihkan. Aco tak sesedih itu ia tinggalkan.

            ”Kak.” Fatiyah mengirimi Ratih pesan. Ratih melihat pemberitahuan itu dan langsung membalasnya.

            ”Iya dek.” Ratih membalas dengan hati berdegup kencang, perasaannya tidak nyaman, firasatnya buruk.

            ”Kenapa dengan kak Aco?” Pesan itu membuat air mata Ratih runtuh. Tak kuat ia menjawab pertanyaan mantan calon adik iparnya itu.

            ”Kakakmu sudah cerita?” Ratih bertanya balik.

            ”Nggak kak, cuma lihat IG sama BBMnya kak Aco.” Perasaan Ratih benar-benar porak-poranda. Ia seketika langsung membuat pencarian nama Aco di instagram. Muncul satu akun baru bernama Aco disana. Akun privat dengan foto profil Aco dan seorang perempuan. Ratih semakin terisak. Tak puas dengan itu, ia lanjut melihat pembaruan dari status BBM Aco, dan ia dapati Aco mengunggah fotonya bersama seorang perempuan. Ratih mengumpat dalam hati, ia langsung mengganti bio di BBMnya yang awalnya tertulis nama Aco, menjadi kosong. Perempuan itu pun menghapus foto profil bersama Aco. Ia bnyak berpikir untuk mengirim pesan ke Aco tentang kekecewaannya, tetapi urung, ia merasa tak berhak. Ratih membenamkan wajahnya di bantal dan berteriak kencang, ia menangis dan mengumpat sejadi-jadinya, tak ia pedulikan barangkali ada yang mendengar. Ia kehilangan kendali, perasaan campur aduk menguasai Ratih, sampai akhirnya ia  beranikan diri mengirim pesan yang ia revisi berulang-ulang.

            ”Nggak bisa ya nunggu sebentar lagi?” Pesan itu dalam sekali Ratih pikirkan, namun entah mengapa, Aco tak membalasnya dengan sedemikian dalam.

16

 

            Sore itu di hari sabtu, Aco dan Elok mengelilingi jantung kota Balikpapan. Sepanjang jalan mereka banyak berbincang, walaupun terkadang suara satu sama lain tidak terlalu terdengar, tetapi mereka terus saja berusaha banyak bicara. Mengomentari hal-hal yang mereka lihat, membicarakan tempat-tempat favorite, keduanya hanyut dalam cerita hingga dalam kondisi ini lagi-lagi keduanya terjebak dalam bincang wisata masa lalu. Aco dengan Ratih, sedang sudah tentu Elok dengan Gardana. Sekilas, mereka seakan sudah menerima dua nama itu masuk dalam topik obrolan, tetapi dalam hati terdalam keduanya seperti menyimpan resah. Ada ketidaknyamanan saat mengingat dua nama itu. Elok sangat terusik, mengingat bagaimana Aco berpisah bukan karena sudah tak saling cinta, tetapi karena perjodohan. Sedang Aco sangat tidak senang mendengar nama Gardana, karena beberapa kali Elok tak sengaja tampak berbinar-binar membahas lelaki itu. Lelaki yang Elok akui pernah membuat dia merasa sangat bahagia di masa lalu. Tetapi, tampak di permukaan keduanya terlihat baik-baik saja. Tak ada cemburu, tak jua keberatan. Mereka bertingkah dewasa mengahadapi itu.

Setelah merasa cukup lelah, mereka mampir di sebuah cafe dekat mall dan bersantai dengan memesan kopi dan kudapan. Di salah satu sudutnya, terdapat rak buku yang bisa bebas dibaca oleh pengunjung. Elok menghampiri rak tersebut, lalu melihat-lihat beberapa judul.

”Eclipse?” Aco sudah berdiri di belakang Elok.

”Yup. Kamu suka?” Elok bertanya.

”Nonton filmnya.” Aco menjawab.

”Yah siapa yang nggak tau Cullen family.” Elok tersenyum.

”Aku selalu berangan-angan bisa hidup selama itu.” Aco berhayal.

”Bisa terbang juga?” Elok menambahkan.

”Pasti. Aku pengen bisa jadi hero. Keren kan?” Aco berpose. Elok terkekeh.

”Semacam menyelinap di jendela cewek yang kamu suka gitu?” Elok tertawa geli.

”Ide yang nggak buruk.” Aco tersenyum mnjawab itu.

Setelah kopi dan kudapan siap, mereka kembali ke tempat. Elok membuka-buka beberapa halaman di salah satu novel, sedang Aco meminjam ponsel Elok untuk bermain game. Saat mode pesawat dimatikan, tiba-tiba ada pesan masuk di line. Aco tak sengaja membukanya. Gardana, lengkap dengan history chat mereka di malam sebelumnya. Kali ini lelaki itu mengirim gambar sebuah buku catatan yang tertinggal di studionya.

”Nih ada chat.” Elok berhenti menatap novel di tangannya dan meraih ponselnya.

”Oh ini, buku catatanku ketinggalan berarti.” Elok menjawab setengah deg-degan.

”Nih.” Elok mengembalikan ponselnya pada Aco seolah tak terjadi apa-apa. Ia lalu lanjut membaca novel.

Line dibuka Aco hingga history terbawah. Banyak chat yang ia jelajahi hingga membuatnya kesal sendiri. Ia pun lalu mengalihkan penjelajahannya ke media di line. Ada banyak sekali foto yang saling mereka berdua kirimkan semasa pacaran, di begitu banyak momen, Aco kali ini sulit menahan rasa kesalnya.

”Aku mau kamu hapus.” Aco berbicara dengan masih melihat layar ponsel.

”Hapus apa?” Elok bertanya juga sambil menatap novel.

”Your ex. Too many his photo here.” Aco meletakkan ponsel Elok di meja dengan sedikit melemparkannya.

”Ok nanti kuhapus.” Elok mengiyakan saja. Mereka ada disana hingga senja, lalu memutuskan pulang sebelum gelap.

Sesebal apapun Aco pada Elok, ada satu hal yang pasti ia lakukan untuk Elok. Memasangkan helm. Itu hal kecil yang membuat Elok risih sekaligus senang.

 

**

 

            Malam itu, seperti biasa Aco menelepon Elok sebelum tidur. Untuk kali pertama Aco menyampaikan ketidaksukaannya pada Gardana.

            ”Aku mau semua foto yang di sosmed dihapus juga. Semua yang ada dianya.” Aco menyatakan itu dengan tegas.

            ”Oke. Tapi kalau foto event yang ramai-ramai aku nggak akan hapus.” Elok meminta keringanan.

            ”Kenapa? Dihapuslah! Atau kamu masih mau ingat-ingat dia?” Suara Aco kali ini dengan nada meninggi.

            ”Bukan gitu, itu kenang-kenangan.” Elok beralasan.

            ”Pokoknya hapus! Kalau nggak bla bla bla” Aco membuat ultimatum ini dan itu. Elok memilih mengiyakan saja.

            Setelah pamit tidur, Elok mencari sebuah SD card dan menyalin semua foto yang dimaksud Aco ingin dihapus. Elok memang melenyapkan itu dari ponsel dan laptopnya, tetapi ia masih punya salinannya di sebuah SD card dan ia selipkan di balik susunan pakaian di lemarinya, ia bungkus dengan kertas dan ditempel dengan lakban. Sebuah cara putus asa yang bisa dilakukan Elok. Sejak saat itu pembahasan tentang foto sudah tak lagi dipermasalahkan.

 

**

 

            Afif sudah kembali dari luar kota, ia sudah tidak kaget saat mendengar desas-desus tentang kedua kawannya.

            ”Official?” Afif bertanya langsung pada Aco.

            ”Apaan sih. Berteman doang.” Aco mengelak.

            ”Lah itu apaan di IG?” Afif tak percaya.

            “Ya deket aja, belum jadian.” Aco beralasan.

            ”Gantung?” Afif benar-benar penasaran.

            ”Nggak ada tembak-tembakan pokoknya.” Aco tersenyum.

            ”Iya paham, langsung jadi gitu aja kan? Iya dewasa.” Afif berbicara dengan nada mengejek.

            ”Senyum-senyum mulu pasangan baru.” Bu Santi berdiri di depan mesin fotokopi sembari melihat ke arah Aco dan Afif.

            ”Jelas bu.” Afif menjawab, telunjuknya ia arahkan ke Aco yang duduk di sampingnya. Bu Santi tersenyum. Aco melihat ke arah Afif dan Bu Santi bergantian, pura-pura tak sadar bahwa ia lah yang dimaksud.

            Elok berjalan menuju mesin fotokopi membawa setumpuk dokumen di kedua tangannya.

            ”Dateng nih ceweknya.” Bu Santi berbicara pelan.

            ”Mbak El mau ngopi?” Bu Santi bertanya sambil senyum-senyum.

            ”Iya bu.” Elok mengangguk, sambil sesekali ekor matanya mengarah ke meja Aco.

            ”Oh silakan mbak, kalau perlu bantu Mas Aco bilang ya.” Bu Santi tiba-tiba berkomentar demikian. Elok pura-pura bingung.

            ”Iya kan co?” Bu Santi melihat ke arah Aco dengan intimidatif. Aco memasang ekspresi bingung.

            ”Jawab iya dulu!” Bu Santi semakin intimidatif.

            “Iya deh iya.” Aco pasrah. Bu Santi bersorak girang tak jelas, hingga beberapa karyawan lain melihat ke arah mereka. Dinda dan Safira saling pandang dengan kode yang dipahami keduanya. Jenni terlihat jijik melihat pemandangan itu. Dharma, Iyan, dan Tigor saling pandang sekaligus mengonfirmasi hasil taruhan mereka tempo hari. Suasana di ruangan itu benar-benar membuat Elok dan Aco menjadi kurang nyaman. Sudah jelas, banyak yang tak senang dengan hubungan itu.

 

**

 

            Setiap selasa malam, Aco punya kegiatan bermain futsal. Sejak hubungannya dan Elok terbuka untuk umum, Aco tak segan mengajak Elok ke lapangan. Elok pun memilih tak malu lagi untuk menampakkan diri sebagai kekasih Aco. Tetapi malam itu Elok kelelahan. Ia memilih untuk tidak ikut menemani Aco.

            ”Cuma sebentar kok mainnya.” Di balik telepon Aco masih membujuk.

            ”Aku ngantuk banget.” Elok masih menolak ikut.

            ”Kamu mau langsung tidur? Jam segini?” Aco bertanya tak percaya.

            “Iya sayang, aku ngantuk banget.” Elok membuat agar suaranya terdengar lemas.

            ”Kamu mau telponan sama siapa?” Aco bertanya curiga. Ia ingat history panggilan Elok tempo hari dengan Gardana.

            ”Nggak ada.” Elok mengelak.

            ”Kamu mau ngobrol sama mantanmu? Atau mau telpon Dharma yang entah bahas apa.” Aco mengeluarkan unek-uneknya. Elok langsung merasa bersalah.

            “Aku nggak bahas macem-macem kok, dia cuma kasih tau kalau dia lulus, udah itu aja.” Elok menjelaskan.

            “Yakin? Nggak ada alasan lain?” Aco terus memojokkan.

            ”Iya.” Elok menjawab tegas.

            ”Dharma?” Aco mengalihkan topik.

            ”Dia bahas kamu deketin Dinda.” Elok menjawab pelan.

            ”Oh shit. Mereka gila ya? Sepasang sama-sama halu.” Aco terdengar kesal. Elok memilih diam.

            ”Aku nggak suka kamu ngobrol sama dia.” Aco berbicara dengan penuh penekanan.

            ”Iya, udah nggak lagi.” Elok memilih pasrah saja.

            ”Aku ke tempatmu sekarang.” Aco mematikan panggilan itu.

            Beberapa menit kemudian Aco mengirim pesan.

            ”Aku di depan.” Elok bergegas keluar menghampiri kekasihnya. Aco menyodorkan ponselnya dan langsung mengambil ponsel Elok. Malam itu dengan pasrah Elok membiarkan mereka bertukar ponsel. Entah apa yang dipikirkan kekasihnya, yang jelas terasa Aco takut Elok menelepon orang lain selama dia futsal, dan itu terasa aneh bagi Elok. Kekhawatiran berlebihan, yang anehnya Elok nikmati.

 

**

 

            Pukul 23.30 WITA ponsel Aco berbunyi, sebuah panggilan dari kontak bernama Alice, entah siapa.

15

 

            Ragu, ragu-ragu, keragu-raguan, semua sama bukan? Mulai ragu, dan tengah ragu-ragu, hingga menghadapi keragu-raguan. Beberapa malam terakhir seperti banyak ragu dan kerabatnya muncul. Menyangsikan keputusan menjalin hubungan terlalu awal, menyalahkan diri yang jatuh cinta sedemikian cepat, ingin menganulir, ingin mundur saja, tetapi mengapa rasanya kepalang tanggung? Ada rasa berat yang menahan Elok untuk melakukan itu.

            ”Kurang?” Aco memecah lamunan Elok, malam itu di warung coto mereka berdua makan malam bersama seperti biasanya. Aco memotongkan ketupat, menuangkan sambal dan kecap, memeraskan jeruk nipis di mangkuk Elok. Aco pun mengambil sebungkus kacang goreng dan kerupuk melinjo tambahan dari meja sebelah. Segelas teh hangat juga sudah tiba siap diminum. Elok tak pernah diperlakukan demikian.

            ”Kok diem aja dari tadi?” Aco bertanya sembari memakan coto di hadapannya.

            “Nggak apa-apa, laper.” Elok menjawab sembari tersenyum. Ia berusaha menutupi pikiran yang mengganggu.

            ”Kurang sambelnya?” Aco memastikan.

            ”Pas kok.” Elok kembali tersenyum. Aco mengangguk.

            Elok menatap lelaki di depannya, bulir-bulir keringat menetes. Aco seringkali keringatan ketika makan. Lelaki itu tampak lahap, hingga Elok mulai mencoba membuka obrolan.

            ”Kamu pernah deket sama siapa aja di kantor?” Elok membuka dengan hal yang mengganggunya akhir-akhir ini.

            ”Nggak ada, kan aku sama Ratih.” Aco menjawab santai.

            ”Kalian nggak pernah putus?” Elok penasaran.

            ”Nggak pernah.” Aco menjawab dengan yakin sembari menggeleng.

            ”Kenapa?” Aco bertanya balik.

            ”Nggak, ada yang bilang kamu pernah deket sama Safira? Emang iya?” Elok bertanya serius.

            ”Safira? Nggak ada sih. Dia kan sama Mas Juan?” Aco kembali menjawab dengan santai. Elok terdiam.

            ”Siapa yang bilang?” Aco bertanya lagi.

            ”Dia sendiri.” Elok menjawab pelan.

            ”Apa dia bilang?” Aco penasaran.

            ”Kamu deketin dia sampai dia risih dan lapor ke Mas Juan.” Elok menceritakan kembali apa yang ia dengar saat makan siang.

            ”GR banget.” Aco hanya menanggapi singkat, sambil tersenyum kecil.

            ”Jadi nggak pernah?” Elok kembali memastikan.

            ”Nggak pernah.” Aco masih menjawab santai.

            “Kalau Jenni?” Elok berganti objek.

            ”Kok dia?” Aco terlihat bingung.

            “Katanya kamu sering godain dia, ganggu-ganggu dia sampai dia risih dan jauhin kamu.” Elok kembali mengulang hal yang ia dengar. Aco tertawa kali ini. Ia terlihat amat geli.

            ”Gila ya, ngarang banget.” Aco masih tertawa geli.

            ”Ini kata siapa lagi?” Aco bertanya lagi.

            ”Dia sendiri.” Elok menjawab pelan.

            ”Mereka kenapa sih?” Aco terus menampakkan wajah geli yang membuat Elok merasa sia-sia melanjutkan topik ini. Walaupun Elok masih menyisakan 1 nama.

            ”Kamu percaya mereka?” Aco bertanya sambil masih tertawa kecil. Elok mengangkat pundak, tanda tak tahu.

            ”Kamu lihat aja kelakuan mereka, mungkin nggak kalau aku suka?” Aco mengarahkan Elok pada kesimpulan yang ia mau.

            ”Safira emang ke-GR-an, beberapa kali dia bilang andai dia belum sama Mas Juan dia mungkin bisa sama aku. Tapi aku nggak nanggepin.” Aco menyampaikan itu dengan meyakinkan.

            ”Jenni? El menurutmu dia tipeku? Mungkin nggak aku suka cewek kayak dia?” Aco menatap Elok dengan intimidatif.

            ”Mungkin aja.” Elok menjawab polos.

            ”Kamu nggak kenal aku berarti. El, nggak mungkin aku suka cewek sepasif itu. Bukan tipeku. Dan kalau dia bilang aku godain dia, sumpah itu hal paling aneh yang aku denger. Asli Jenni parah.” Aco berbicara sambil menggelengkan kepalanya.

            Elok tak punya tenaga lagi untuk membalas ucapan Aco, dengan beberapa argumen itu saja Elok merasa masuk akal apa yang Aco sampaikan.

            ”Yang penting sekarang kita.” Aco melihat Elok dalam-dalam. Elok menunduk, tak bisa ia melihat wajah itu terlalu lama. Aco mengusap-usap punggung tangan Elok.

            Usai mereka pulang dan kembali ke kost masing-masing, Aco menelepon Elok. Rutinitas itu benar-benar mereka lakukan setiap malam.

            ”Sudah siapin minum?” Aco dari layar ponsel..

            ”Sudah.” Elok menjawab sembari memperlihatkan sebotol air mineral.

            ”Aku sekarang pakai instagram.” Aco memperlihatkan akun instagramnya yang baru ia buat. Elok tersenyum, itu hal yang ia sarankan pada Aco sebelumnya.

            ”Boleh nggak fotonya ini?” Aco memperlihatkan foto mereka berdua saat mereka makan berdua di warung coto, foto itu yang ia pasang sebagai profile instagramnya.

            ”Boleh.” Elok mengangguk saja. Elok melihat akunnya, lalu mengikuti dan mengunjungi profile kekasihnya itu. Beberapa orang sudah ia ikuti, yaitu om, tante, sepupu dan adik-adiknya. Tetapi saat melihat kolom pengikut, ada beberapa kawan kerja yang sudah mengikuti Aco.

            ”Yakin nggak apa-apa fotonya?” Elok baru tersadar.

            ”Nggak apa-apa.” Aco santai.

            ”Ada Mas Iyan.” Maksud Elok di kolom pengikut.

            ”Ya nggak apa-apa mereka tau, masa mau sembunyi-sembunyi terus?” Aco terlihat yakin. Hati Elok menghangat, seharusnya sedari awal tak perlu ia ragukan kekasihnya itu. Kalaupun benar ia pernah dekat dengan siapapun sebelumnya, bukankah itu sudah masa lalu? Dan Elok tak punya hak menghakimi itu. Elok mulai meyakinkan diri untuk tidak lagi mempermasalahkan hal itu. Persetan dengan Safira, Jenni, Dinda, semuanya ia tak peduli. Ia hanya ingin fokus pada Aco.

 

**

 

            Malam itu usai menutup telepon Aco, Elok membuka Line. Disana ada pesan dari Gardana. Pesan beberapa menit lalu yang belum Elok baca.

            ”Udah tidur?” Elok membuka pesan itu, tetapi ia enggan membalasnya. Menyadari Elok membaca pesannya, Gardana mengirim pesan tambahan.

            ”Boleh telepon bentar?” Belum sempat Elok membalas, Gardana sudah menelepon.

            ”Iya.” Elok sedikit gugup.

            ”Apa kabar?” Gardana bertanya lirih sedikit berbisik.

            ”Sehat. Kamu?” Elok bertanya balik.

            ”Sehat, alhamdulillah aku sudah lulus.” Gardana menyampaikan kabar baik itu dengan senyum getir.

            ”Alhamdulillah. Sudah tau mau lanjut kemana?” Elok berbasa-basi.

            ”Belum tau, tapi kayaknya kerja.” Gardana menjawab hati-hati.

            ”Good luck ya.” Elok terus berbasa-basi. Ia seperti ingin segera mengakhiri panggilan ini.

            ”Gimana sama Zidane?” Gardana mengetahui nama asli Aco.

            ”Baik kok.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Elok.

            ”Oh ya aku denger kamu sekantor sama Dharma ya.” Gardana membuat Elok semakin ingin menghindari topik ini.

            ”Iya.” Elok menjawab pelan.

            ”Ya udah, lanjut aja kalau mau tidur. Jaga kesehatan.” Elok bergegas menutup panggilan itu. Ia merasa tak enak dengan Gardana, ia pun merasa bersalah dengan Aco, ia merasa sudah membohongi Dharma, semuanya membuat ia gelisah. Malam itu ia sulit tidur, banyak hal yang mengganjal pikirannya.

 

**

 

            Setelah jam kerja berakhir, Elok pulang lebih dulu. Aco masih ada agenda rapat dan belum ada tanda-tanda hendak pulang. Sesampainya di kamar, Elok menerima panggilan dari Dharma, awalnya Elok mengira ini terkait pekerjaan.

            ”Halo, iya.”

            ”Lagi dimana El?” Suara Dharma terdengar jelas.

            ”Udah di kost, kenapa?” Elok menjawab cepat.

            ”El, kamu serius sama cowok itu?” Dharma bertanya dengan tegas.

            ”Kamu nggak tau tabiatnya?” Dharma semakin meninggi.

            ”Iya aku udah denger kok dia pernah deketin Dinda ya?” Elok menjawab santai.

            ”Terus kenapa kamu lanjut?” Dharma terdengar marah.

            ”Makasih ya udah khawatir, aku juga masih cari tau gimana dia sebenernya.” Elok mencoba terdengar welcome dengan nasihat Dharma. Walaupun dalam hatinya ia sudah bertekad untuk tidak mendengarkan apapun.

14

 

            Hari jumat pada umumnya menjadi hari santai bagi hampir seluruh karyawan. Selain jam istrirahat yang cukup lama karena sholat jumat, juga karena jadwal rapat seringkali kosong di hari tersebut. Elok pun berangkat kerja dengan perasaan ringan, karena sabtu-minggu ia akan bersantai menikmati libur. Berjalan dari tempat parkir hingga naik ke ruangan Elok sengaja tetap mengenakan penyuara telinga. Musik slow mengalun membawa Elok pada perasaan damai dan relaks. Beberapa kawan yang ia jumpai di lift hanya ia sapa dengan senyum atau lambaian tangan. Tak ada satu suara pun yang ia biarkan mendistrak rasa bahagianya pagi ini, atasannya sekalipun. Elok tiba di ruangan, meletakkan tas, menyalakan komputer, kemudian ke toilet untuk merapikan rambut dan riasannya. Setelah usai ia ke pantry untuk membuat segelas kopi. Elok masih enggan melepaskan musik di telinganya, hingga Dharma menyapanya di pantry.

            ”Kapan rencana pulang El?”

            ”Pulang kemana?” Elok tersenyum.

            ”Ke Kuala.” Dharma menunjuk ke arah barat.

            ”Mungkin akhir tahun.” Elok tampak ragu-ragu.

            ”Lama banget. Nggak kangen abang?” Dharma tersenyum, Elok pun turut tersenyum, ia paham maksud kawannya itu. Sebelum Elok bekerja, Gardana pernah beberapa kali membawa Elok ke kampung halamannya, dan bertemu Dharma disana. Saat tiba di kantor ini, Elok baru sadar jika Dharma satu kantor dengannya, karena lebih seringnya Dharma tugas di luar kota.

            ”Masih kan?” Dharma memastikan. Elok menggangguk saja sembari tetap tersenyum. Ia seperti tak ingin menjawab dengan gamblang. Biar saja ini menggantung saja. Biar mereka yang menyimpulkan sendiri. Mungkin itulah yang dipikirkan Elok.

            Seperti sudah mendapatkan jawaban yang ia mau, Dharma berlalu meninggalkan pantry. Elok tiba-tiba merasakan tubuhnya lemas. Jantungnya berdegub kencang seperti tengah meluapkan rasa bersalah. Pikirannya tak jelas berlarian ke sudut-sudut kemungkinan yang ia benci. Entah mengapa.

Perasaan kacau itu tiba-tiba buyar saat Afif menelepon.

“Halo iya.”

“Bantu cek jadwal meeting sama team legal kapan El?” Dari jauh Afif terdengar terburu-buru. Elok bergegas ke mejanya.

            ”Selasa, jam 2 siang.” Setelah melihat jadwal yang ada di komputernya.

            ”Bantu re-schedule dong. Selasa ada keperluan mendadak nih.” Afif meminta pada Elok.

            ”Maunya kapan? Karena Pak Abu yang minta di hari itu.” Elok mengingat-ingat saat Pak Abu kebingungan mengatur jadwalnya dengan team legal.

            ”Pak Abu mah gampang, yang penting kan hasilnya.” Afif tetap ingin jadwal diubah. Elok patuh, ia coba menghubungi team legal dan mendapatkan jadwal sesuai keinginan Afif, mundur 2 minggu.

            “Oke sudah aman.” Elok mengakhiri telepon.

            ”Siapa?” Aco sudah berdiri di hadapan Elok dan menanyakan yang ia telepon.

            ”Afif.” Elok menjawab sambil menutup ponselnya.

            ”Ngapain dia?” Aco bertanya lagi dengan nada yang membuat Elok kurang nyaman.

            ”Minta bantu re-schedule meeting doang.” Elok menjawab dingin.

            “Kok ke kamu, kan bisa ke adminnya.” Pertanyaan Aco mulai intimidatif. Elok tak bisa menjawab lagi.

            “Lain kali arahin ke Dinda aja, jangan kamu yang kerjain.” Aco mengucapkan itu dengan penuh penekanan, lalu meninggalkan meja Elok dan berjalan menuju toilet. Elok masih tak memahami situasi yang baru terjadi. Ia seakan ditegur untuk hal yang bukan kesalahannya. Tetapi ia tak punya jawaban untuk membela diri. Tetapi ia juga kesal dengan sikap Aco yang seakan memojokkannya. Tetapi-tetapi yang lain yang membuat Elok merasa hari itu ada sisi lain Aco yang baru ia lihat.

            Dari jauh ternyata Dharma mengamati situasi itu, wajah Aco yang intens melihat ke arah Elok, Elok yang tampak menjawab dengan takut-takut, semua itu terasa janggal bagi Dharma.

 

**

 

            Lama Elok tampak menganggur, tak terasa bell istirahat siang berbunyi. Seisi ruangan berebut keluar untuk makan siang. Elok masih berdiam diri di meja, ia masih bingung hendak makan apa hari ini. Beberapa kawan perempuan mengajaknya makan bersama, Elok menolak dengan halus. Karena siang ini bebar-benar istirahat panjang dan sayang jika hanya tinggal di ruangan.

            ”Ayok El, kita mau makan kepiting.” Safira yang keluar dari toilet mengajak Elok. Safira seperti orang terakhir yang ada di ruangan. Para lelaki sudah menuju masjid untuk sholat jumat.

            ”Dimana?” Elok bertanya dengan kurang semangat.

            ”Arah Manggar, yuk. Udah pada nunggu di bawah.” Safira meyakinkan. Seperti kena hipnotis Elok mengikuti ajak Safira.

            Di depan kantor sudah berkumpul sekitar 4 orang termasuk Bu Santi. Mereka menunggu Jenni mengambil mobil di parkiran.

            ”Tumben mbak mau ikut.” Bu Santi sedikit kaget melihat Elok. Saat Jenni tiba pun ia kaget melihat Elok yang tiba-tiba mau bergabung makan siang dengan mereka.

            Tiba di salah satu restaurant seafood, mereka sudah siap memesan menu combo yang bisa dimakan bersama. Saat menunggu makanan datang, masing-masing dari mereka sudah sibuk mengobrol. Yang tersisa hanya Elok dan Safira yang diam saling berpandangan. Mereka canggung, seperti ada yang ingin ditanyakan.

            ”Kemana libur kemaren El? Katanya kamu pulang ya?” Safira berbasa-basi. Elok tak siap mendengar pertanyaan itu. Ia kewalahan dan hanya memilih tersenyum dan mengangguk.

            ”Pulang kampung El? Ada acara apa?” Dinda ikut bertanya.

            ”Berapa jam sih El kalau dari sini?” Bu Santi juga turut menambahkan.

            ”Sekitar 8 jam bu.” Hanya pertanyaan Bu Santi yang dijawab Elok.

            ”Jauh ya? Capek banget.” Bu Santi menanggapi.

            “Denger-denger kamu dideketin Aco?” Tanpa basa-basi Jenni bertanya.

            ”Hah? Nggak.” Dengan spontan Elok menjawab. Dalam situasi itu seperti tidak tepat jika ia jawab dengan jujur.

            ”Iya janganlah ya.” Bu Santi terkekeh. Elok memilih tidak bertanya lebih lanjut.

            ”semua orang juga dideketin masalahnya.” Jenni menimpali Bu Santi sambil tertawa.

            ”Masa iya?” Bu Santi bertanya polos.

            ”Iya lah. Nih nih nih korbannya.” Jenni menunjuk Dinda, Safira, dan dirinya sendiri. Bu Santi terdiam tak lagi berkomentar, Elok pun sama namun kepalanya tiba-tiba dipenuhi banyak pertanyaan. Hatinya sedikit terluka. Kembali ada sisi lain yang sepertinya tidak ia ketahui dari kekasihnya itu. Atau mungkin ia memang belum mengenal lelaki Aco? Menyelesaikan makan siang dan kembali ke kantor dengan perasaan yang kurang nyaman.

 

**

 

            Elok tiba di kantor 5 menit setelah bel masuk. Aco sudah ada di mejanya. Aco sedikit terkejut melihat Elok datang bersama gerombolan ibu-ibu yang sedari awal ia wanti-wanti agar tidak Elok dekati. Pun setahu Aco, Elok juga tidak nyaman bergabung dengan gerombolan itu. Aco spontan langsung bertanya pada Elok.

            ”Darimana?” Aco mengirim pesan. Di mejanya Elok tampak membuka komputer dan sudah mulai bekerja.

            ”PING!” Aco mengirim pesan lagi. Elok masih belum membalas.

            ”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

”PING!”

            ”PING!”

            Terus saja Ao mengirim pesan, tak terlihat Elok membalasnya atau sekadar membacanya. Aco tidak sabar menunggu, ia pun beranjak dari kursi dan menghampiri Elok.

            ”Mana Hapemu?” Wajah Aco tampak marah, Elok yang tengah membuat laporan seketika langsung merogoh ponselnya di dompet yang tadi ia bawa.

            ”Kenapa?” Elok bertanya sembari membuka ponselnya.

            ”Balas itu.” Aco melotot kepada Elok, suaranya pelan namun penuh penekanan. Wajahnya merah padam seolah kesalahan Elok amat fatal. Elok bergegas membalas pesan itu.

            ”Manggar. Makan kepiting.” Elok membalas.

            ”Sama mereka?” Aco kembali memastikan.

            ”Iya.” Elok membalas singkat.

            ”Kenapa? Tumben?” Aco kesal.

            ”Kenapa? Sesekali aja.” Elok membalas cepat.

            ”Terakhir ya, jangan lagi.” Aco melarang.

            ”Kenapa emang?” Elok bertanya.

            ”Mereka penggosip. Isinya ghibah kan pasti?” Aco curiga. Elok ingin sekali membahas dengan Aco yang tadi ia dengar, namun ia enggan karena masih merasa sakit hati dengan itu. Lebih tepatnya ia tak siap mendengar jawaban Aco. Ia memilih mengakhiri obrolan itu dengan mengiyakan kemauan Aco.

 

           

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...