21

            Malam itu Elok bergelut dengan perasaannya, ia benci sesedih ini. Mengapa satu nama itu amat mengganggu? Bukankah itu sudah terjadi dan Elok mengerti Aco bahkan tak mungkin bisa mengubah masa lalunya. Tapi, lagi-lagi, mengapa ia harus resah dengan masa lalu Aco? Elok sampai berdoa berkali-kali dalam hatinya, ia meminta dengan sungguh-sungguh pada Tuhan, agar diberikan pasangan yang tak pernah punya hubungan sebelumnya, atau seseorang yang tak punya mantan, atau mungkin setidaknya seseorang yang tak punya hubungan selama itu, serumit itu, sedalam itu, Elok benci keadaan ini. Di menit berbeda, Elok juga bertarung dengan logikanya, seusia Aco bukankah wajar punya kehidupan lain sebelum ini, ia sudah hidup lebih lama sebelum mengenal Elok, banyak orang silih berganti yang hadir di kehidupan Aco, dan itu tak apa-apa bukan? Andaikan perasaan itu yang terakhir kali memenuhi benak Elok, mungkin ia bisa tenang dan tertidur dengan mudahnya. Sayangnya, ia masih harus berperang melawan satu dua kemungkinan yang ia cari-cari, kemungkinan yang menyakitinya, kemungkinan-kemungkinan yang seperti silet, menyisakan sayatan-sayatan kecil yang teramat perih. Mengapa mencintai seseorang semenyedihkan ini?

            Hari itu cuaca di kota Balikpapan sedang hujan, beberapa hari terakhir terasa tidak menentu, Aco dan Elok terpaksa bertemu di kelas bahasa mandarin pukul 3 sore. Elok sudah menimbang-nimbang untuk tidak hadir kali ini, tetapi di menit-menit terakhir ia merasa sayang. Ia berpikir mungkin ini memang benar jalan untuk ia memulai kehidupan baru. Persis seperti dugaannya, ia tak mampu bersikap cuek pada Aco. Hanya perlu sekali sapa, Aco sudah bisa meluluhkan hati Elok, gadis itu tersihir, entah dari frekuensi suara yang mana.

            ”Aku cuti minggu kedua. Kamu mau ikut?” Aco duduk tepat di samping Elok, ia setengah berbisik. Elok mendengar Aco, tetapi ia tak menoleh. Elok terdiam sejenak, berpikir sebelum ia mengonfirmasi pertanyaan Aco.

            ”Aku mau kenalin sama mammi.” Aco melanjutkan ajakannya.

            ”Ke kampungmu?” Elok masih belum menyadari sepenuhnya ajakan itu. Aco mengangguk.

            ”Makassar?” Elok masih memastikan.

            ”Iya, tapi nanti lanjut ke rumahku di kampung.” Ide itu terdengar renyah di telinga Elok, hatinya menghangat, dikenalkan pada keluarga pasangan adalah hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan Aco adalah orang pertama. Dalam bayangan bodoh Elok, ia sudah terbayang apa yang akan dilakukan disana, bagaimana nanti ia berinteraksi dengan keluarga besar Aco, bagaimana ia berkenalan dengan semua orang yang bernama Andi itu, dan bagaimana nanti mereka akan menggelar pernikahan adat. Jauh sekali Elok berpikir. Menyadari pemikirannya yang sudah terlalu sesat, Elok lekas-lekas menyadarkan diri.

            ”Tapi bantu aku izin ke ibuku ya.” Elok berusaha menjawab dengan santai, walaupun rasa bahagia dalam hatinya seakan berebut ingin tumpah dan membuat wajahnya memerah. Aco mengangguk, mereka lalu merencanakan hari libur tambahan untuk izin pada orang tua Elok.

            Seminggu sebelum keberangkatan, Elok sudah mengajukan cuti ke atasannya, tidak berselang lama kabar bahwa mereka merencanakan cuti bersama sudah terdengar. Lalu di sela-sela jam istirahat, tiba-tiba Juan menghampiri Elok.

            ”Kalau belum dilamar, kalau bisa jangan ikut ke rumah orang tua pacar.” Nasihat tiba-tiba, yang membuat Elok tak bisa berkomentar. Ia hanya senyum dan ingin menjawab iya saja agar tidak perlu ada nasihat lanjutan. Selain Juan, sepertinya ada beberapa orang lagi yang ingin menyampaikan sesuatu pada Elok terkait rencana kepergiannya ini, tetapi sebelum mereka buka suara, Elok sudah langsung coba menghindar. Baginya ini semacam pembuktian Aco, bahwa lelaki itu serius. Setidaknya itulah yang Elok tanam di pikirannya agar ia tenang.

            Hari seperti lekas berganti, setelah Aco izin pada Ajeng, ia terlebih dahulu terbang ke Makassar, dan Elok menyusul seminggu setelahnya. Elok masih memikirkan bagaimana nanti ia bertemu dengan keluarga Aco. Ia takut tak bisa menjaga sikap, ia takut terlihat punya banyak kekurangan, ia takut tidak diterima. Ketakutan-ketakutan yang seketika ditepis Aco. Lelaki itu memang pandai menenangkan Elok. Bagi Elok, beberapa hal memang menjadi terasa lebih mudah saat ada Aco.

            Untuk pertama kalinya Elok menginjakan kaki ke Pulau Sulawesi. Ia masih belum bisa banyak berpikir. Menghadapi mammi seperti yang seringkali Aco ceritakan seakan membuat perasaan berbeda. Mammi Sanna, seseorang yang dalam bayangan Elok sangat amat sempurna. Perempuan pekerja keras yang bisa menghidupi Aco dan adik-adiknya dengan kekuatannya sendiri Punggung Sanna teramat kuat untuk menanggung beban kehidupan ini, dan ia mampu. Aco manusia pertama yang sedemikian rupa mengelu-elukan ibunya, dan Elok salut akan itu. Di Bandara, beberapa kali Elok melihat ponselnya, ia membuka galeri dan mengamati wajah Sanna, membayangkan apa yang sudah dilewati wanita cantik itu di masa mudanya, membayangkan semua cerita-cerita Aco melekat, membuat Elok tersentuh, Sanna benar-benar cantik, tidak mirip dengan Aco yang sepertinya memang lebih mirip Jalal.

            Dari kejauhan muncul seorang lelaki mengenakan jersey Real Madrid. Seketika Elok tersenyum melihat itu, seseorang yang ia tunggu-tunggu menjemputnya. Aco langsung meraih trolley yang dipegang Elok, lalu mengelus-elus rambut Elok sambil tersenyum.

            ”Jauh ya?” Aco tersenyum dan seakan mengerti bahwa Elok kelelahan. Elok mengangguk manja.

            Sembari meletakkan tangan kirinya di pundak Elok, Aco berjalan mendorong trolley menuju parkiran. Keduanya tak banyak bicara namun beberapa kali saling menatap satu sama lain seakan mereka berbicara dengan tatapan itu. Tak luput, senyum di antara keduanya tak kunjung pudar. Siapapun yang melihat itu pasti menyadari, kedua orang ini sedang benar-benar kasmaran.

 

**

 

            Tiba di kediaman Puang Takko di Toddopuli, Elok sudah disambut keluarga besar Aco. Satu-persatu ia salami, Elok berusaha mengingat wajah-wajah itu, merekam potret setiap orang di kepalanya, lalu lanjut mengingat setiap nama yang disebutkan, benar saja, semua bernama depan Andi, dan semua orang tua disana dipanggil Puang, katanya ini panggilan untuk bangsawan bugis. Elok hanya bisa menggangguk dan patuh saja. Ia memanggil semuanya dengan sebutan Puang, terkecuali Sanna. Elok sedari awal sudah diperkenalkan Aco dengan panggilan mammi. Malam itu, adalah malam dimana Elok bisa mengamati keluarga Aco. Keluarga yang hangat, akrab, dan sepertinya tidak akan sulit membaur di keluarga itu, seperti itulah Elok berpikir.

 

**

 

            Kabar Elok datang ke Sulawesi terdengar Ratih, pantas saja ia merasakan ada kegelisahan seharian ini. Ternyata ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Di BBM, Binar, kekasih Gemma, membagikan foto ketika makan malam dengan keluarga Aco, dan terdapat Elok disana. Duduk di sebelah Aco dengan senyum lebar, Ratih ingat sekali ia pernah ada di posisi itu. Dadanya terasa sesak, ia berusaha menyangkal rasa cemburunya, tetapi sulit ia menyangkal bahwa ia sakit hati melihat itu. Baru beberapa bulan Aco bahkan tak enggan membawa perempuan baru ke keluarganya.

            ”Cepet ya?” Setelah beberapa menit Ratih terdiam melihat itu, ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari apa yang ia lihat. Ratih mengirim pesan pada Binar.

            ”Sabar ya kak. Hiks” Binar mencoba bersimpati.

            ”Kapan dia datang dek?” Ratih tampak sangat ingin tahu.

            ”Barusan kak.” Binar menjawab singkat.

            ”Sampai berapa lama infonya?” Ratih masih penasaran.

            ”Kurang tau kak, tapi kayaknya lama. Besok mereka ke Bone.” Ratih tak menjawab pesan itu. Perasaan kecewanya berlapis. Bahkan, di hubungannya yang sangat lama ini, tak sekalipun Aco berinisiatif membawanya ke kampung halaman Aco. Mereka tak sejauh itu. Apakah ini artinya Aco benar-benar serius dengan Elok?

20

 

            Sudah seminggu Afif, Aco, dan Elok mulai masuk kelas. Kelas paling dasar yang harus mereka ikuti adalah bahasa mandarin. Elok sempat bertanya-tanya mengapa harus mandarin? Apakah mereka akan jadi TKI di Tiongkok? Karena dalam bayangannya bukan seperti ini.

            ”Ini yakin bahasa mandarin?” Elok masih ragu-ragu sebelum kelas dimulai. Elok duduk di belakang Afif, sedang Aco berada di kursi sebelah kanan Elok. Aco hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Anehnya mereka rela membayar untuk ada di kelas ini.

            Seorang perempuan dengan rambut dicepol rapi masuk ke ruangan. Dihadiri sekitar 16 peserta kelas ini seharusnya menarik. Perempuan yang mengaku sebagai tutor itu memperkenalkan diri dan langsung saja memulai materi tanpa menjelaskan sebenarnya kelas apa ini. Seingat Elok ia mendaftar untuk kelas pekerja.

            Deretan angka-angka terpampang di papan tulis, tutor mengajari bagaimana cara membacanya. Keempat belas orang lain seolah bersemangat mengikuti, kecuali Elok yang masih belum tercerahkan. Elok seperti menyesali ide Afif yang ujung-ujungnya tidaklah jelas. Elok berencana protes setelah ini, ingin marah-marah, atau mungkin mengamuk pada Afif.

            Akhirnya kelas berakhir setelah hampir 2 jam, mereka berlomba-lomba keluar ruangan. Tiba di lobby Elok sudah geram dan hendak bergegas mengumpat pada Afif, namun aksi itu tertahan oleh seorang resepsionis yang langsung mencegat para siswa.

            Di atas meja sudah tercetak billing pembayaran kelas, nilainya tidak sedikit, dan ternyata saat pendaftaran awal mereka sudah menandatangani komitmen untuk akan mengikuti kelas itu hingga 24 bulan. Ketiga orang itu terdiam sejenak, hal impulsif yang mereka lakukan ternyata berbuah masam. Itu bukanlah waktu yang sedikit, tetapi tak bisa ditarik mundur.

            ”Ini harus ya?” Elok bertanya polos.

            ”Iya kak, ini sudah terdaftar ya.” Reserpsionis menunjukkan halaman daftar nama yang di atasnya tertulis Dinas Penyalur Tenaga Kerja. Elok tak bisa banyak berpikir, ia mengeluarkan ponsel dan mencatat nomor rekening yang akan ia transfer. Aco dan Afif hanya mengekori Elok.

            ”Tersandera, bukan waktu singkat. Yakin nih kita bakal konsisten?” Elok pasrah.

            ”Harus.” Afif sebagai pencetus ide ini masih berapi-api optimis akan menyelesaikan kelas hingga berhasil. Elok dan Aco saling bertatapan, ada keraguan muncul disana. Walaupun tak sampai hati mereka sampaikan.

 

**

            Sejak awal berhubungan, Elok dan Aco seringkali membuka ponsel satu sama lain. Lebih tepatnya sejak Aco mendapati pesan Gardana tempo hari. Aco juga beberapa kali membalas pesan dari rekan kantor yang terbiasa memerintah Elok seenaknya. Tidak sedikit rekan-rekan di kantor yang mulai menggunjingkan hal itu.

            Elok pun sama, akhirnya ia jadi lebih tertarik membuka ponsel Aco. Dimulai dari kontak BBM.

            Alice said ”Oh gitu cara mainnya.”

            Alice changed display picture.

            Sebuah gambar siluet seorang laki-laki dan perempuan berlatar laut yang saling berhadapan. Elok berpikir sejenak. Lelaki ini tampak tidaklah asing, dari posture, gaya rambut, hingga garis muka jelas sekali Elok mengenalinya. Elok kemudian membuka histori pesan kontak itu, namun kosong. Elok kemudian teringat panggilan tak terjawab tempo hari, Alice, nama yang sama. Dadanya seketika sesak, ada yang mengganjal namun ia belum cukup amunisi untuk mencecar Aco dengan pertanyaan-pertanyaan menohok.

            Lalu entah mengapa Elok menemukan hal lain, whatsapp. Aplikasi yang tak pernah Elok pikir ada di ponsel Aco, lebih tepatnya aplikasi itu tersembunyi, hanya muncul saat dilakukan pencarian. Elok memberanikan diri membukanya, dan terkunci, ia beberapa kali mencoba pola-pola yang mungkin Aco pakai, dan ternyata berhasil terbuka. Tidak banyak pesan disana, hanya ada beberapa grup obrolan terkait pekerjaan dan 1 kontak yang terakhir berkirim pesan sejam yang lalu, Alice.

            ”Sebentar lagi aku ketemu dia, jangan chat dulu.” Pesan itu dikirim Aco. Lalu Elok berselancar ke pesan-pesan sebelumnya, Elok muak melihatnya. Pesan-pesan saling merayu yang Elok pikir tidak selayaknya ditulis oleh seorang perempuan yang hendak menikah, Elok tak tahan lagi. Tangisnya pecah sebelum sempat bertanya pada Aco.

            Aco berhenti menatap ponsel Elok yang ada di tangannya, perhatiannya tiba-tiba tersita pada Elok.

            ”Kenapa?” Aco bertanya dengan halus. Elok melemparkan ponsel Aco ke arah Aco dan mendarat di sofa. Aco bergegas memeriksanya. Sebuah pesan panjang yang lupa ia hapus, pesan yang ia sadar pasti menyakiti Elok.

            ”Dia udah mau nikah sayang, aku cuma berusaha baik aja sebagai temen.” Aco berkilah.

            ”Baik? Sinting kamu ya?” Elok berteriak kencang dan menangis sejadi-jadinya.

            ”Alice? Pantes kamu obsess banget sama film itu, kamu obsess jadi vampire, bisa terbang.” Elok benar-benar muak mengingat itu.

            ”Kamu mulai ngaco ya.” Aco kini juga meninggikan suaranya.

            ”Kenapa? Nggak ngerasa? Niat banget ngirim pesan biar nggak ngechat dulu saat kita ketemu. Oh main belakang?” Elok menyapu air matanya sambil terus meluapkan kekesalannya. Aco masih mengelak, tak sekalipun ia merasa bersalah. Ia semakin marah ketika Elok menjadi-jadi.

            ”Kamu drama banget sumpah.” Kalimat Aco yang membuat Elok jengah dan memilih pulang. Elok keluar cafe dalam keadaan menangis dan memesan taksi. Aco mencoba menahannya namun gagal.

            Setibanya di kamar, Elok langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia menangis hingga tertidur. Ponselnya terus berdering, namun Elok memilih melemparkannya ke dinding hingga batterynya terlepas.

Keesokan harinya saat terbangun, mata Elok sembab, kepalanya pusing karena terlalu banyak menangis, ia ragu-ragu harus masuk kerja atau tidak, tetapi ia ingat banyak hal yang harus ia lakukan hari ini, dengan berat hati Elok memaksa tubuhnya berjalan ke kamar mandi. Ia berharap air dingin ini mampu meringankan rasa sedihnya.

Saat keluar dari pintu gerbang, Elok mendapati Aco sudah berdiri disana. Elok berusaha untuk terus melajukan motornya, namun ia urungkan. Wajah Aco yang tampak memelas seakan memintanya untuk berhenti.

”Kenapa nggak dibales? Aku kepikiran.” Suara Aco terdengar lemas. Sangat jauh berbeda dengan suaranya semalam.

”Bales apa?” Elok berpura-pura.

”Mana HP mu?” Aco kini tampak tegas. Elok seketika membuka tasnya. Ia mengeluarkan ponselnya yang memang tak ia buka sejak semalam.

Disana Elok dapati, Aco mengirim pesan berkali-kali tanda ia menyesal dan meyakinkan Elok bahwa ini salah paham.

”Ini bukan salah paham.” Elok masih belum terima.

”Kamu harus denger dulu. Dia yang hubungi aku duluan.” Aco semakin berkilah.

”Aku sudah bilang kalau sudah ada kamu, tapi dia minta waktu sampai hari H dia nikah.” Aco tampak punya alasan yang payah.

”Terus kamu mau? Gila ya?” Elok semakin geram.

”Kalian teleponan setiap malem? Terus kamu dengan sok sucinya ngelarang-ngelarang aku?” Elok melirihkan suaranya.

”Kamu yang terbukti teleponan kan? Bukan aku?” Aco benar-benar mengelak, tak satupun tuduhan Elok ia akui. Pagi itu perdebatan mereka tak menemukan titik temu, Elok berangkat ke kantor lebih dahulu dengan perasaan marah, sedang Aco meminta izin ke atasannya untuk datang terlambat.

           

 

19

 

            Pertengahan tahun ini sudah dianggarkan untuk renovasi kantor. Dan, hari ini mulai giliran ruangan Elok. Mereka mulai berkemas untuk pindah sementara ke lantai 1, mungkin hanya sekitar beberapa hari karena renovasi kecil-kecilan.

            ”Kenapa nggak sekalian renov total sih?” Daniel merasa kesal karena yang ia dengar hanya dilakukan perbaikan-perbaikan pada plavon dan dinding, sementara Daniel merasa banyak sudut ruangan itu yang perlu perbaikan, dari bidet yang rusak di toilet pria, furniture yang ketinggalan jaman, barang-barang di pantry yang beberapa tidak layak pakai, banyak.

            ”Ini aja sudah sukur, aku udah sebulan terpaksa nadahin ember di depan jendela karena bocor.” Tiko menimpali.

            ”Bisa-bisanya mereka biarin dinding rembes di dekat pot.” Afif tak mau kalah.

            Aco masih sibuk menggeser beberapa lemari kecil untuk memindahkan kabel-kabel di bawah mejanya. Ia hanya menjadi pendengar keluhan kawan-kawannya. Setelah usai, Aco melihat ke arah toilet, lebih tepatnya ke meja Elok, kekasihnya itu masih sibuk dengan bertumpuk-tumpuk dokumen yang entah mau diapakan. Aco menghampirinya.

            ”Udah kelar?” Aco bermaksud menanyakan persiapan Elok pindah sementara.

            ”Belum, masih ngerjain ini ditunggu Pak Tiko.” Tampak di atas meja berkas-berkas perizinan untuk pembukaan lahan. Elok memeriksa lembar demi lembar memastikan tidak ada kekeliruan disana. Tiba-tiba Tiko menghampiri Elok.

            ”Kalau udah selesai bantu simpen dulu ya, terus nitip belikan kopi di bawah.” Elok tidak menjawab, hanya menerima selembar uang 100 ribu. Aco melihat ke arah Tiko dengan tatapan kurang senang, namun Tiko berlalu tanpa menoleh. Aco kemudian menarik Elok keluar ruangan.

            ”Sering dia nyuruh kamu?” Aco tampak marah.

            ”Nggak juga, cuma kadang nitip.” Elok menjawab santai.

            ”Kamu tau arti nitip nggak?” Suara Aco meninggi.

            ”Nitip itu kalau kamu sekalian kesana, terus dia nitip. Kalau ini namanya nyuruh, merintah, emang kamu kacung?” Suara Aco semakin tinggi. Elok tersinggung, namun tak bisa menjawab.

            ”Aku sudah bilang ke kamu jangan terlalu becanda sama orang, aku nggak suka kamu diremehin. Terbukti kan?” Aco terus berbicara dengan keras sampai sepertinya seorang cleaning service yang berdiri di depan pintu bisa mendengarnya.

            ”Nggak ada salahnya kubelikan, kan kita juga mau turun.” Elok berusaha membela diri.

            ”Sekali lagi kulihat dia perintah-perintah kamu, kupukul dia, nggak peduli aku.” Aco menurunkan suaranya tetapi penuh penekanan. Elok sudah beberapa kali menyaksikan Aco seperti ini. Hingga rasanya terbiasa.

**

 

            Desa Kuala Timur sedang gempar dengan hilangnya Ranu. Perempuan dewasa yang diyakini tidaklah mungkin diculik atau dibawa setan, hampir semua orang percaya bahwa Ranu memang minggat. Tetapi Ajeng dengan perasaan terpukul tetap percaya menantunya itu tak mungkin berlaku demikian. Bahkan Ajeng memilih menjauhi orang-orang yang tetap ngeyel bilang kalau Ranu kabur dengan lelaki lain. Ajeng menyimpan ini beberapa hari hingga ia ta kuat dan berusaha memberi tahu Elok.

            ”Sudah hampir seminggu mbakmu nggak pulang.” Ajeng memulai topik itu dengan nada pelan namun terasa menyedihkan sekali.

            ”Nah kan, aku sudah bilang Mbak Ranu nggak sebaik itu.” Elok langsung naik darah.

            ”Kenapa semua orang nyalahin ibu ya? Padahal belum tentu mbakmu kabur, bisa jadi dia dihipnotis orang atau kena guna-guna.” Ajeng terdengar konyol namun tetap terasa pedih di setiap ucapannya. Elok ingin sekali tetap dengan opininya terkait Ranu yang tidak baik-baik saja, tetapi ia coba tahan.

            ”Ibuk harus piye?” Kini Ajeng terdengar lemas, suaranya semakin parau.

            ”Nggak usah dipikir bu, yang penting ibu sehat.” Elok berusaha menenangkan namun masih dengan nada yang tegas.

            ”Ibuk kasihan sama bocah-bocah.” Mengingat Denok dan Hapsari membuat Elok mulai mencoba berada di posisi ibunya. Elok diam sejenak sebelum merespon.

            ”Ibuk juga kasihan sama kamu. Semua-semua kamu.” Mulai terasa semakin putus asa. Elok tak bisa banyak memberi Solusi, ia pun buntu.

            “Sudah seminggu masa nggak ada nelpon sih bu?” Elok masih penasaran sekaligus kesal. Ajeng tak menjawab.

            ”Masa lupa anak?” Elok kini kesal. Ajeng tak jua menjawab.

            ”Pokoknya biarin aja dia nggak pulang buk, ngak usah diarep-arep.” Elok benar-benar emosi.

            ”Ibu mau lapor polisi.” kalimat itu serta-merta langsung dipatahkan Elok.

            ”Lho ngapain? Jelas-jelas dia selalu gini bu, tapi mungkin baru kali ini lebih lama. Dia nggak mungkin diculik bu.” Elok kebingungan mengatur kata demi kata agar mudah dimengerti ibunya. Ia kehabisan akal, ibunya sudah dibutakan oleh kakak iparnya itu.

            ”Pokoknya ibu mau lapor, Pak RT bisa bantu ibu.” Ajeng seolah yakin ini akan berhasil.

            ”Yo terserah ibuk, yang penting aku nggak ikut-ikut.” Elok tak sudi terlibat dengan Ranu. Perempuan problematik yang anehnya amat sangat disukai Ajeng. Perbincangan mereka malam itu tak ada titik temu. Elok menutup panggilan dibanding harus sakit hati mengingat perlakuan Ranu pada keluarganya.

 

**

 

            Sabtu pagi saat tak punya agenda apapun, Elok masih bermalas-malasan di kasur. Rutinitas yang pasti tak mungkin terlewat adalah menghubungi Aco, seperti sebuah keharusan dan kebutuhan yang tak mungkin ia lewatkan. Saat baru hendak menelpon kekasihnya itu tiba-tiba Elok menerima telepon dari Abigail.

            ”Udah denger ceri kakakmu belum?” Sudah Elok duga, Abigail akan membahas ini.

            ”Udah, ibuk semalem telepon.” Elok menjawab lemas.

            “Udah gilak emang itu cewek, dia kabur jadi gundiknya perangkat desa sebelah.” Abigail terdengar meyakinkan.

            ”Siapa?” Elok geram tetapi penasaran.

            ”Bapaknya Tomi.” Elok langsung mengingat-ingat anak kecil kawannya dulu yang biasa bertemu saat pertandingan antar kampung dan pesantren kilat di masjid kecamatan.

            ”Kok bisa?” Mata Elok hampir keluar mendengar itu. Abigail kemudian bercerita panjang lebar sampai membuat Elok mual.

            ”Banyak yang lihat mbakmu di rumahnya, terus beberapa kali diantar ke kota. Kata sopir travel bilangnya istri kedua, tapi kok mukanya nggak asing.” Abigail terus nyerocos.

            ”Semua orang kasihan sama ibukmu tapi nggak tega mau ngomong, padahal kan tinggal bilang aja nggak apa-apa to?” Abigail seperti sedang mencari pembenaran argumennya. Elok tak bisa banyak berkomentar, isi kepalanya penuh sesak dengan skenario-skenario liar yang bisa jadi akan ia lakukan jika ia pulang nanti., Elok memastikan Ranu tidak akan pernah selamat dari amukannya.

            ”Pokoknya El, kamu harus bertindak. Kasihan ibukmu ngasuh Denok sama Hapsari, malah mboknya kawin lagi.” Abigail seperti provokator.

            Sampai pada satu titik, Elok bernafas dengan ketakutannya sendiri. Ranu benar-benar menjadi bumerang di keluarga. Sudah lama ia ingin menunjukkan ini pada ibunya, tetapi tak pernah punya kesempatan.

18

 

            Sedikit banyak Elok kini mulai menjadi pendengar. Keluh kesah kisah tentang kehidupannya kini mulai ia pinggirkan sejenak. Ia semangat mendengar kisah latar belakang Aco, asal-usul, kehidupan masa kecil, Aco ceritakan pada Elok sebanyak mungkin. Elok seperti mendapati pena yang siap ia tuliskan di bukunya yang kosong. Setiap detil cerita Aco membawa Elok pada imajinasi mengagumkan tentang lelaki itu, tak heran jika tak satupun orang berhasil menghasutnya. Setiap kata yang keluar dari bibir Aco seperti sebuah karya sastra, indah sekali. Elok berandai, jika dengan itu ia ingin hidup, maka selamanya memang benar-benar tak pernah cukup.

            ”Sama aku aja ya.” Kalimat yang tanpa sengaja Elok lontarkan, dengan nada rendah dan tatapan sendu, Elok menatap Aco yang tengah menjeda ceritanya. Aco terdiam, tak siap dengan kalimat itu, ia hanya menatap balik perempuan di depannya yang berkaca-kaca.

            ”Pattering.” Aco tersenyum sembari mengusap pipi Elok, Perempuan itu memang tampak semakin emosional. Elok tak menjawab apapun, ia hanya sesekali mendongak agar air matanya tidak tumpah ruah.

            ”Kenapa?” Aco kebingungan. Elok meraih tangan Aco dan menggenggamnya erat.

            ”Sama aku aja.” Sekali lagi kalimat itu yang keluar. Elok mengucapkannya sembari menangis, Aco tak mampu melihat itu, spontan Aco mendekap perempuan di hadapannya dengan sekuat tenaga. Elok menghamburkan tangis dalam dekapan itu. Tangis yang tak mampu ia jelaskan mengapa.

            ”Iya, sama kamu aja.” Aco mengucapkan itu dengan penuh perasaan, tak pernah ia menjalani hal sesingkat ini, dari mengenal hingga jatuh cinta, dari jatuh hingga terperosok paksa, Elok datang di kehidupannya seperti jebakan, ada yang ia lupakan dari bagaimana ia mencintai seseorang, Elok benar-benar pengecualian.

            Elok pun mulai paham, mengapa perasaannya pada Aco sedemikian. Aco seperti gambaran dirinya sendiri. Banyak hal yang harus ia lewati hingga menjadi dirinya yang hari ini. Hidup yang tidak terlalu ramah, harapan keluarga yang setinggi awan, karir yang tidak terlalu cemerlang, tetapi semua mata mengarah padanya seakan segala macam masalah di dunia ini mampu terselesaikan dengan punggungnya.

            Di layar ponsel Aco muncul pop up pesan dari kontak bernama Alice.

            “Nggak bisa ya nunggu sebentar lagi?”

 

**

 

            Sedari pagi, Elok sudah dipenuhi daftar pekerjaan yang harus ia lakukan. Bersiap mengenakan penutup kepala, sarung tangan, masker serta pakaian yang nyaman Elok mulai bersiap menuju gudang untuk mempersiapkan audit. Elok ditemani seorang cleaning service yang membantu mengangkat kotak-kotak berisi dokumen untuk dipindah dan dibersihkan. Elok bertugas memberi arahan dan mengatur mana saja dokumen yang akan diperlukan. Kondisi gudang yang berdebu, ruangan yang pengap tanpa jendela, membuat Elok harus rutin keluar ruangan untuk menghidup udara segar.

            ”Ngapain?” Dengan wajah setengah tersenyum Aco melihat Elok yang muncul di lorong sekitar Gudang.

            “Milah dokumen.” Elok menyeka keringat di wajahnya.

            ”Nih.” Aco menyodorkan sekaleng minuman dingin, sekaligus Aco membuka penutupnya. Elok dengan mata berbinar meminum itu sambil terengah-engah.

            ”Capek banget?” Elok mengangguk dengan muka memelas.

            ”Kasiaaan. Nanti jadi keluar?” Aco mengonfirmasi janji mereka semalam. Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum, lalu berjalan menuju ruangan, Aco terus di posisi mundur agar bisa melihat Elok hingga ujung koridor.

            Tanpa Aco sadari, ada Safira disana. Safira melihat Aco melambaikan tangan dan tersenyum sebelum berbelok. Safira berjalan agak cepat penasaran dengan siapa yang ada di sana dan menjumpai Elok yang berdiri mematung dengan pakaian tempur, Safira seketika merasakan ketidaknyamanan. Ada egonya yang terlukai, entah apa.

 

**

 

            Malam itu di sebuah kedai nasi goreng, Aco dan Elok harus dengan sabar mendengarkan kegalauan Afif. Ia putus dengan Fitri.

            ”Ya gimana lagi, itu maunya dia.” Afif terlihat pasrah.

            ”Udah coba bujuk?” Elok mencoba masuk ke cerita Afif dengan sudut pandang perempuan.

            ”Udah. Ya dia ngotot mau batal aja pokoknya.” Afif tampak terpukul.

            ”Ya udah nggak usah dipaksa lagi, cewek mah banyak.” Aco mengucap itu dengan niat bercanda. Elok melihat ke arah Aco, entah mengapa ia terganggu dengan kata-kata itu. Bahkan kini Elok mulai cemburu dengan kalimat semacam itu.

            Lepas cerita banyak tentang Fitri, tiba-tiba Afif loncat pada sebuah kalimat.

            ”Masa iya kita mau gini-gini aja co? Nggak pengen gitu jalan-jalan keluar? Siapa tau kita bisa sukses.”

            Sesuatu yang benar-benar tiba-tiba dari Afif. Aco mencoba menggali apa yang dimaksud kawannya itu. Aco memaku fokusnya ke wajah Afif, tampak antusias ingin tahu lebih.

            ”Lihat.” Afif membuka sesuatu di ponselnya. Lalu menunjukkannya pada Aco dan Elok. Seperti iklan sebuah tempat kursus penyalur tenaga kerja.

            ”Mau jadi TKW?” Aco spontan bertanya.

            ”TKI kali.” Afif mengoreksi.

            ”W mah buat dia doang.” Afif menunjuk Elok.

            “Ini maksudnya gimana?” Aco penasaran.

            Afif mengubah posisi duduk, tubuhnya ia geser lebih condong pada Aco dan Elok, ia antusias ingin menyampaikan ide ini.

            ”Jadi kita daftar disini, nanti ada kelas gitu belajar bahasa, belajar apapun buat dapet beasiswa dan kerja gitu.” Afif terus mengoceh berusaha membuat Aco dan Elok tertarik.

            ”Kalau mau jadi pemain bola gitu bisa?” Aco bertanya polos.

            ”Nggak bisa lah gilak.” Afif menarik ponsel di tangannya, hampir saja ia memukul Aco.

            ”Kapan pendaftarannya?” Elok tampak tertarik.

            ”Bulan depan. Ini ada pilihan kelas-kelasnya.” Afif menunjukkan kepada Elok. Elok membaca setiap detil pilihan-pilihan kelas yang ada disana, dari kelas pekerja non skill hingga profesi tertentu.

            ”Boleh juga sih.” Elok terkonfirmasi masuk dalam iklan Afif.

            ”Boleh deh ntar dicoba. Kapan kita ke kantornya?” Aco pun sama.

            ”Minggu ini gimana?” Afif seperti sudah teramat siap. Hari itu mereka sepakat akan mencoba, entah nantinya akan menjadi apa. Afif yang tengah putus cinta merasa perlu pergi sejauh-jauhnya, Elok yang ingin sekali berhasil dalam hidup merasa perlu banyak belajar, Aco yang melihat Elok penuh semangat merasa perlu menjadi pendukung terdepan. Aco mengingat bagaimana setiap hari kekasihnya itu bekerja, bagaimana ia juga ingin membuat beban itu lebih ringan, ia ingin sekali melihat Elok hidup lebih nyaman.

 

**

 

            Di perjalanan pulang selepas bekerja, Aco mengajak Elok berkeliling sekaligus mencari makan malam, lalu mereka mampir di sebuah warung bubur yang buka 24 jam. Disana mereka saling bercerita tentang keinginan mereka di hari kemudian. Elok yang matanya berbinar-binar menceritakan bagaimana ia ingin menjadi penulis. Aco yang kemudian menjadi pendengar setia. Keduanya seperti sudah rela menjalani rencana baru dalam hidup mereka. Belajar.

            Setiap kali Aco menceritakan kepedihan dalam hidupnya, Elok seperti merasakan satu tingkat jatuh cinta. Elok seperti mencintai kepedihan itu, ia senang dengan lelaki yang hidupnya tak mudah. Elok senang dengan lelaki yang berjuang. Jadi, seberapa sering cerita pedih itu sampai ke Elok, maka perasaan Elok sebanyak itu pula bertambah.

 

17

 

            Di sebuah acara hajatan di kampung, Ajeng menghabiskan seharian penuh disana. Tak sengaja Ajeng bertemu dengan Gardana yang juga tengah membantu. Gardana menghampiri Ajeng dan mencium tangan.

            ”Sehat nak?” Dengan ramah Ajeng menyapa Gardana yang sudah ia anggap anak sendiri.

            ”Sehat ibu, alhamdulillah. Ibu sehat?” Gardana senyum sembari menundukkan bahunya.

            ”Sehat lah, kamu belum ada ketemu Elok? Katanya kamu mau nyusul?” Ajeng mengingat cerita Elok saat awal anak perempuannya itu izin untuk merantau. Salah satu cara menenangkan ibunya, Elok membawa nama Gardana.

            ”Belum bu, rencana saya disini dulu ada yang dikerjain.” Gardana enggan membahas lebih banyak.

            ”Eh bentar.” Ajeng mengeluarkan ponselnya. Ia berinisiatif menelepon Elok. Hanya di dering kedua, Elok sudah mengangkat panggilannya.

            ”Ibuuuuu.” Dari layar tampak Elok tengah senyum cerah kepada Ajeng.

            ”Dimana nduk?” Ajeng mengamati sekeliling Elok yang sepertinya cukup ramai.

            ”Lagi istirahat ibu, ini ada temenku.” Elok mengarahkan kameranya pada Aco dan Afif yang tengah menyantap makanan. Aco dan Afif langsung saja tersenyum melihat ke arah Ajeng. Ajeng lalu mengarahkan ponselnya pada Gardana.

            ”Ibu ketemu pacarmu.” Wajah Gardana tampak kurang nyaman dengan sikap Ajeng. Raut wajah Elok berubah. Gardana pun tersenyum kecut. Tak lupa Aco pun tiba-tiba terdiam. Keadaan itu benar-benar canggung, yang merasa tak terjadi apa-apa hanya Ajeng, ia bersemangat melihat anaknya.

            ”Kata dia bentar lagi mau nyusul kesana.” Ajeng tertawa berbicara dengan Elok sembari menunjuk Gardana.

            ”Iya ibu.” Elok menjawab seadanya.

            ”Ya udah, bye, ibu lanjut rewang dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan.

            Suasana canggung berlanjut di meja kantin siang itu. Afif masih lahap memakan sepiring nasi campur, Aco tampak tak ingin bicara, Elok pun memilih diam saja. Mereka bertiga berlaku demikian hingga waktu makan siang berakhir.

 

**

 

            ”Aku sudah putus bu.” Sejak siang Elok mengirimi Ajeng pesan. Ajeng hanya membaca saja, ia tak menjawab. Sampai akhirnya sore hari barulah Ajeng menanggapi.

            “Ibu tadi ngobrol banyak sama dia.”

            ”Bahas apa aja?” Elok penasaran.

            ”Zidane salah satunya.” Ajeng membalas. Elok hanya menanggapi dengan emoticon menangis.

            ”Ya kalau itu memang bagus buat kamu nggak apa-apa.” Ajeng menuliskan itu dengan sedikit kecewa, ia sudah lama mengenal Gardana dan merasa lelaki itu yang paling pas buat Elok.

            ”Makasih bu.” Hanya itu yang bisa Elok kirimkan. Ajeng tiba-tiba menelepon.

            ”Kenalin lah Zidane sama ibu.” Ajeng berusaha akrab.

            ”Aco bu panggilannya.” Elok mengoreksi.

            ”Kok Aco?” Ajeng tampak bingung.

            ”Entah.” Elok mengangkat bahu.

            ”Nanti telepon ibu ya kalau lagi sama Zidane, ibu pengen kenal. Yawes nduk, ibu mau mandi dulu.” Ajeng mengakhiri panggilan. Elok merasa sedikit lega.

 

**

 

            ”Ibuku pengen tau kamu.” Elok mengirim pesan ke Aco. Aco tiba-tiba melakukan panggilan video.

            ”Sudah kamu ceritain?” Aco langsung membahas itu.

            “Sudah.” Elok menjawab sambil meletakkan ponselnya di meja dan mengambil pemotong kuku.

            ”Responnya?” Aco penasaran.

            ”Baik-baik aja. Nanti malam kita telepon ya.” Elok bermaksud menelepon Ajeng saat makan malam bersama Aco. Aco langsung setuju.

            Malam itu mereka berdua sudah bersiap menghadapi Ajeng. Entah  apa yang akan Ajeng katakan, yang pasti Elok sudah siap akan itu. Di sisi lain Aco pun merencanakan hal yang sama. Ia ingin mengenalkan Elok pada mamminya. Mereka berdua seolah meyakinkan diri untuk serius. Melibatkan keluarga bagi Elok bukan hal sepele, pun bagi Aco.

 

**

 

            Di sebuah meja makan bundar kecil, Sanna dan Fatiyah berbincang sembari membuat kapurung dan menonton TV. Mereka berdua sibuk membahas kabar terbaru pesohor yang muncul akhir-akhir ini. Sedang Andara sedang fokus mengerjakan PR, ia berkali-kali meminta bantuan Fatiyah tetapi kakaknya itu enggan membantu.

            ”Pelit.” Andara merajuk, ia seperti mengemis sejak sejam yang lalu.

            ”Masih sibuk.” Fatiyah menjawab ketus sembari terus fokus pada adonan sagu. Sanna tak banyak berkomentar, ia seringkali melihat kedua anaknya itu tidak akur. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi, Aco.

            ”Iye’ nak.” Sanna mengangkat panggilan Aco.

            ”Sedang apa mammi?” Wajah Aco muncul di layar, Sanna meletakkan ponselnya di atas meja bersandar pada tempat sendok, ia lanjut dengan adonan sagunya.

            ”Masih buat ini.” Sanna mengangkat sedikit tangannya ke arah kamera ponsel.

            ”Sudah kita makan?” Aco bingung memulai apa yang ingin ia sampaikan.

            “Belum pi, sebentar lagi. Kita dimana kah?” Sanna tampak melihat tempat Aco duduk saat ini.

            ”Di tempat makan. Mau kukenalkan temanku.” Aco menyorot kamera ponsel ke arah Elok.

            ”Halo bu.” Elok melambaikan tangannya tersenyum kikuk.

            ”Halo.” Ramah Sanna membalas salam itu. Walaupun di dalam hati Sanna ada hal yang sedikit mengganjal terkait ini.

            ”Teman kerja Aco?” Sanna bermaksud berbasa-basi.

            ”Iya bu.” Elok menjawab malu-malu. Dari sana Sanna menyadari, ini bukan hanya sekadar teman. Lalu bagaimana dengan Ratih? Satu-satunya perempuan yang jua ia tau bersama Aco cukup lama.

            Malam itu seperti lembaran baru, Aco dan Elok mendeklarasikan sesuatu yang baru, lebih jauh dari yang mereka bayangkan, mengenalkan ke orang tua masing-masing.

 

**

 

            Tanda-tanda yang tak ingin Ratih percaya kini terlihat jelas, datang lebih awal, lebih menyesakkan, ia siap tak siap, tetapi harus. Ratih merasa terkhianati, tetapi pada kenyataannya ia yang ingin melakukannya lebih dulu. Ia dihancurkan oleh rasa bersalahnya sendiri, yang membuat kini ia tampak menyedihkan. Aco tak sesedih itu ia tinggalkan.

            ”Kak.” Fatiyah mengirimi Ratih pesan. Ratih melihat pemberitahuan itu dan langsung membalasnya.

            ”Iya dek.” Ratih membalas dengan hati berdegup kencang, perasaannya tidak nyaman, firasatnya buruk.

            ”Kenapa dengan kak Aco?” Pesan itu membuat air mata Ratih runtuh. Tak kuat ia menjawab pertanyaan mantan calon adik iparnya itu.

            ”Kakakmu sudah cerita?” Ratih bertanya balik.

            ”Nggak kak, cuma lihat IG sama BBMnya kak Aco.” Perasaan Ratih benar-benar porak-poranda. Ia seketika langsung membuat pencarian nama Aco di instagram. Muncul satu akun baru bernama Aco disana. Akun privat dengan foto profil Aco dan seorang perempuan. Ratih semakin terisak. Tak puas dengan itu, ia lanjut melihat pembaruan dari status BBM Aco, dan ia dapati Aco mengunggah fotonya bersama seorang perempuan. Ratih mengumpat dalam hati, ia langsung mengganti bio di BBMnya yang awalnya tertulis nama Aco, menjadi kosong. Perempuan itu pun menghapus foto profil bersama Aco. Ia bnyak berpikir untuk mengirim pesan ke Aco tentang kekecewaannya, tetapi urung, ia merasa tak berhak. Ratih membenamkan wajahnya di bantal dan berteriak kencang, ia menangis dan mengumpat sejadi-jadinya, tak ia pedulikan barangkali ada yang mendengar. Ia kehilangan kendali, perasaan campur aduk menguasai Ratih, sampai akhirnya ia  beranikan diri mengirim pesan yang ia revisi berulang-ulang.

            ”Nggak bisa ya nunggu sebentar lagi?” Pesan itu dalam sekali Ratih pikirkan, namun entah mengapa, Aco tak membalasnya dengan sedemikian dalam.

16

 

            Sore itu di hari sabtu, Aco dan Elok mengelilingi jantung kota Balikpapan. Sepanjang jalan mereka banyak berbincang, walaupun terkadang suara satu sama lain tidak terlalu terdengar, tetapi mereka terus saja berusaha banyak bicara. Mengomentari hal-hal yang mereka lihat, membicarakan tempat-tempat favorite, keduanya hanyut dalam cerita hingga dalam kondisi ini lagi-lagi keduanya terjebak dalam bincang wisata masa lalu. Aco dengan Ratih, sedang sudah tentu Elok dengan Gardana. Sekilas, mereka seakan sudah menerima dua nama itu masuk dalam topik obrolan, tetapi dalam hati terdalam keduanya seperti menyimpan resah. Ada ketidaknyamanan saat mengingat dua nama itu. Elok sangat terusik, mengingat bagaimana Aco berpisah bukan karena sudah tak saling cinta, tetapi karena perjodohan. Sedang Aco sangat tidak senang mendengar nama Gardana, karena beberapa kali Elok tak sengaja tampak berbinar-binar membahas lelaki itu. Lelaki yang Elok akui pernah membuat dia merasa sangat bahagia di masa lalu. Tetapi, tampak di permukaan keduanya terlihat baik-baik saja. Tak ada cemburu, tak jua keberatan. Mereka bertingkah dewasa mengahadapi itu.

Setelah merasa cukup lelah, mereka mampir di sebuah cafe dekat mall dan bersantai dengan memesan kopi dan kudapan. Di salah satu sudutnya, terdapat rak buku yang bisa bebas dibaca oleh pengunjung. Elok menghampiri rak tersebut, lalu melihat-lihat beberapa judul.

”Eclipse?” Aco sudah berdiri di belakang Elok.

”Yup. Kamu suka?” Elok bertanya.

”Nonton filmnya.” Aco menjawab.

”Yah siapa yang nggak tau Cullen family.” Elok tersenyum.

”Aku selalu berangan-angan bisa hidup selama itu.” Aco berhayal.

”Bisa terbang juga?” Elok menambahkan.

”Pasti. Aku pengen bisa jadi hero. Keren kan?” Aco berpose. Elok terkekeh.

”Semacam menyelinap di jendela cewek yang kamu suka gitu?” Elok tertawa geli.

”Ide yang nggak buruk.” Aco tersenyum mnjawab itu.

Setelah kopi dan kudapan siap, mereka kembali ke tempat. Elok membuka-buka beberapa halaman di salah satu novel, sedang Aco meminjam ponsel Elok untuk bermain game. Saat mode pesawat dimatikan, tiba-tiba ada pesan masuk di line. Aco tak sengaja membukanya. Gardana, lengkap dengan history chat mereka di malam sebelumnya. Kali ini lelaki itu mengirim gambar sebuah buku catatan yang tertinggal di studionya.

”Nih ada chat.” Elok berhenti menatap novel di tangannya dan meraih ponselnya.

”Oh ini, buku catatanku ketinggalan berarti.” Elok menjawab setengah deg-degan.

”Nih.” Elok mengembalikan ponselnya pada Aco seolah tak terjadi apa-apa. Ia lalu lanjut membaca novel.

Line dibuka Aco hingga history terbawah. Banyak chat yang ia jelajahi hingga membuatnya kesal sendiri. Ia pun lalu mengalihkan penjelajahannya ke media di line. Ada banyak sekali foto yang saling mereka berdua kirimkan semasa pacaran, di begitu banyak momen, Aco kali ini sulit menahan rasa kesalnya.

”Aku mau kamu hapus.” Aco berbicara dengan masih melihat layar ponsel.

”Hapus apa?” Elok bertanya juga sambil menatap novel.

”Your ex. Too many his photo here.” Aco meletakkan ponsel Elok di meja dengan sedikit melemparkannya.

”Ok nanti kuhapus.” Elok mengiyakan saja. Mereka ada disana hingga senja, lalu memutuskan pulang sebelum gelap.

Sesebal apapun Aco pada Elok, ada satu hal yang pasti ia lakukan untuk Elok. Memasangkan helm. Itu hal kecil yang membuat Elok risih sekaligus senang.

 

**

 

            Malam itu, seperti biasa Aco menelepon Elok sebelum tidur. Untuk kali pertama Aco menyampaikan ketidaksukaannya pada Gardana.

            ”Aku mau semua foto yang di sosmed dihapus juga. Semua yang ada dianya.” Aco menyatakan itu dengan tegas.

            ”Oke. Tapi kalau foto event yang ramai-ramai aku nggak akan hapus.” Elok meminta keringanan.

            ”Kenapa? Dihapuslah! Atau kamu masih mau ingat-ingat dia?” Suara Aco kali ini dengan nada meninggi.

            ”Bukan gitu, itu kenang-kenangan.” Elok beralasan.

            ”Pokoknya hapus! Kalau nggak bla bla bla” Aco membuat ultimatum ini dan itu. Elok memilih mengiyakan saja.

            Setelah pamit tidur, Elok mencari sebuah SD card dan menyalin semua foto yang dimaksud Aco ingin dihapus. Elok memang melenyapkan itu dari ponsel dan laptopnya, tetapi ia masih punya salinannya di sebuah SD card dan ia selipkan di balik susunan pakaian di lemarinya, ia bungkus dengan kertas dan ditempel dengan lakban. Sebuah cara putus asa yang bisa dilakukan Elok. Sejak saat itu pembahasan tentang foto sudah tak lagi dipermasalahkan.

 

**

 

            Afif sudah kembali dari luar kota, ia sudah tidak kaget saat mendengar desas-desus tentang kedua kawannya.

            ”Official?” Afif bertanya langsung pada Aco.

            ”Apaan sih. Berteman doang.” Aco mengelak.

            ”Lah itu apaan di IG?” Afif tak percaya.

            “Ya deket aja, belum jadian.” Aco beralasan.

            ”Gantung?” Afif benar-benar penasaran.

            ”Nggak ada tembak-tembakan pokoknya.” Aco tersenyum.

            ”Iya paham, langsung jadi gitu aja kan? Iya dewasa.” Afif berbicara dengan nada mengejek.

            ”Senyum-senyum mulu pasangan baru.” Bu Santi berdiri di depan mesin fotokopi sembari melihat ke arah Aco dan Afif.

            ”Jelas bu.” Afif menjawab, telunjuknya ia arahkan ke Aco yang duduk di sampingnya. Bu Santi tersenyum. Aco melihat ke arah Afif dan Bu Santi bergantian, pura-pura tak sadar bahwa ia lah yang dimaksud.

            Elok berjalan menuju mesin fotokopi membawa setumpuk dokumen di kedua tangannya.

            ”Dateng nih ceweknya.” Bu Santi berbicara pelan.

            ”Mbak El mau ngopi?” Bu Santi bertanya sambil senyum-senyum.

            ”Iya bu.” Elok mengangguk, sambil sesekali ekor matanya mengarah ke meja Aco.

            ”Oh silakan mbak, kalau perlu bantu Mas Aco bilang ya.” Bu Santi tiba-tiba berkomentar demikian. Elok pura-pura bingung.

            ”Iya kan co?” Bu Santi melihat ke arah Aco dengan intimidatif. Aco memasang ekspresi bingung.

            ”Jawab iya dulu!” Bu Santi semakin intimidatif.

            “Iya deh iya.” Aco pasrah. Bu Santi bersorak girang tak jelas, hingga beberapa karyawan lain melihat ke arah mereka. Dinda dan Safira saling pandang dengan kode yang dipahami keduanya. Jenni terlihat jijik melihat pemandangan itu. Dharma, Iyan, dan Tigor saling pandang sekaligus mengonfirmasi hasil taruhan mereka tempo hari. Suasana di ruangan itu benar-benar membuat Elok dan Aco menjadi kurang nyaman. Sudah jelas, banyak yang tak senang dengan hubungan itu.

 

**

 

            Setiap selasa malam, Aco punya kegiatan bermain futsal. Sejak hubungannya dan Elok terbuka untuk umum, Aco tak segan mengajak Elok ke lapangan. Elok pun memilih tak malu lagi untuk menampakkan diri sebagai kekasih Aco. Tetapi malam itu Elok kelelahan. Ia memilih untuk tidak ikut menemani Aco.

            ”Cuma sebentar kok mainnya.” Di balik telepon Aco masih membujuk.

            ”Aku ngantuk banget.” Elok masih menolak ikut.

            ”Kamu mau langsung tidur? Jam segini?” Aco bertanya tak percaya.

            “Iya sayang, aku ngantuk banget.” Elok membuat agar suaranya terdengar lemas.

            ”Kamu mau telponan sama siapa?” Aco bertanya curiga. Ia ingat history panggilan Elok tempo hari dengan Gardana.

            ”Nggak ada.” Elok mengelak.

            ”Kamu mau ngobrol sama mantanmu? Atau mau telpon Dharma yang entah bahas apa.” Aco mengeluarkan unek-uneknya. Elok langsung merasa bersalah.

            “Aku nggak bahas macem-macem kok, dia cuma kasih tau kalau dia lulus, udah itu aja.” Elok menjelaskan.

            “Yakin? Nggak ada alasan lain?” Aco terus memojokkan.

            ”Iya.” Elok menjawab tegas.

            ”Dharma?” Aco mengalihkan topik.

            ”Dia bahas kamu deketin Dinda.” Elok menjawab pelan.

            ”Oh shit. Mereka gila ya? Sepasang sama-sama halu.” Aco terdengar kesal. Elok memilih diam.

            ”Aku nggak suka kamu ngobrol sama dia.” Aco berbicara dengan penuh penekanan.

            ”Iya, udah nggak lagi.” Elok memilih pasrah saja.

            ”Aku ke tempatmu sekarang.” Aco mematikan panggilan itu.

            Beberapa menit kemudian Aco mengirim pesan.

            ”Aku di depan.” Elok bergegas keluar menghampiri kekasihnya. Aco menyodorkan ponselnya dan langsung mengambil ponsel Elok. Malam itu dengan pasrah Elok membiarkan mereka bertukar ponsel. Entah apa yang dipikirkan kekasihnya, yang jelas terasa Aco takut Elok menelepon orang lain selama dia futsal, dan itu terasa aneh bagi Elok. Kekhawatiran berlebihan, yang anehnya Elok nikmati.

 

**

 

            Pukul 23.30 WITA ponsel Aco berbunyi, sebuah panggilan dari kontak bernama Alice, entah siapa.

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...