Enggan
bertengkar di rumah, Aco membawa Elok ke sebuah tempat, Terowongan Sumpang
Labbu yang juga sudah sering Elok dengar dari Aco. Di atas terowongan mereka
berdebat, Elok hampir menangis, Aco berulang kali mengucapkan kalimat yang
sama.
”Sekarang bukan masanya kita
permasalahin itu. Kita
sudah saling kenal keluarga, tinggal gimana kita maintain aja hubungannya.” Aco
setengah putus asa, amarah Elok seperti membuncah.
“Kalian masih komunikasi, bahkan
ke mammi? Dia sengaja?” Suara Elok setengah ia tahan.
”Dia
sudah mau nikah sayang.” Aco kembali mengulang kalimat yang sama sekali tidak
menenangkan Elok.
”Justru itu kenapa dia masih
nggak tau malu? Harusnya dia urus kehidupannya sendiri.” Elok semakin hilang
kendali, suaranya semakin berat.
”Kalaupun dia mau balik sama aku,
belum tentu keluargaku mau. Dia sudah sama orang lain, ya sudah. Kamu
berlebihan sayang.” Aco menarik lengan Elok, ia tak tahu apa lagi yang bisa
dilakukan agar Elok tenang.
”Telpon dia sekarang, bilang
nggak akan ganggu kamu lagi.” Sulit sekali bagi Elok berpikir jernih.
”Dia pasti akan ketawa kalau
lihat kita begini.” Aco menarik nafas panjang, ia benar-benar putus asa.
”Kamu masih peduli pendapatnya?” Seperti
kerasukan setan, Elok meminta Aco melakukan yang ia mau. Aco mengambil ponsel
di dalam sakunya, lalu memanggil sebuah nomor. Tampak di layar, bahkan nomor
itu tidak disimpan di kontak Aco, seperti nomor yang ia bisa hapal, bahkan
seingat Elok Aco tak pernah menghapal nomornya. Elok kehabisan akal melihat kedua
orang ini. Semakin ia merasa tidak mengenal Aco.
”Halo, iya.” Suara Ratih terdengar
dari pengeras suara.
”Pacarku mau kamu nggak usah hubungi
aku sama keluargaku lagi.” Aco langsung dengan lantang mengucapkan itu.
Terlihat Aco menahan malu, tetapi tekanan dari Elok membuatnya terpaksa.
”Oh iya, kita sudah nggak ada
apa-apa kan.” Ratih menjawab tenang. Terdengar ada rasa menang disana. Elok
cemburu? Artinya ia
tak cukup percaya diri. Mungkin seperti itulah kesan yang didapat Ratih.
Elok
seperti menyesal meminta itu pada Aco, tak jua rasa lega ia dapat walaupun Aco
sudah menelpon Ratih di depannya. Ia justru semakin gelisah, apalagi saat ingat
bagaimana Aco dengan mudahnya mengingat nomor ponsel Ratih, entah ini sudah panggilan
ke berapa, bisa jadi semua terjadi setelah Aco bersama Elok. Perasaan
Elok berkecamuk hingga hari terakhir ia ada di kampung itu.
**
Aco dan
Elok menuju Makassar pagi itu, dengan mengendarai motor mereka melewati jalanan
berkelok Bone-Makassar dengan pemandangan yang luar biasa indah.
”Mau
mampir ke taman kupu-kupu?” Aco bertanya pada Elok.
”Boleh, belum
tentu nanti aku bisa kesini lagi.” Elok menjawab dengan sarkas. Aco paham
maksud itu.
”Berarti
kamu pikir nggak akan kesini lagi? Sama aja kamu pikir kita nggak akan
sama-sama?” Aco mencoba menegaskan. Elok terdiam. Ingin sekali iya mengamini
perkataan Aco, tetapi lebih jauh ia berharap bisa kembali ke tempat ini terus
dan terus.
”Bisa
nggak kita tenang sebentar aja? Kamu selalu mikir yang nggak-nggak.” Suara Aco
terdengar lembut, ia menarik tangan kiri Elok dan menggenggamnya sambil
mengendarai motor. Elok tak berontak, ada perasaan hangat saat itu. Amarah Elok
seperti mereda.
Tiba di
Bantimurung, Aco memarkirkan motornya. Sepanjang memasuki area, mereka disambut
banyak kupu-kupu. Aco merangkul Elok, kemudian menggandengnya, tak henti mereka
saling berpegangan satu sama lain.
”Sama
aku aja ya.” Aco membisikkan itu pada Elok, kalimat yang justru sering Elok
ucapkan hari itu terdengar dari mulut Aco. Kupu-kupu yang memenuhi tempat itu, seakan
juga memenuhi hati dua sejoli itu. Di saat seperti ini, yang tersisa hanya
perasaan yakin dan berharap bisa bersama orang yang sama selamanya.
**
Menyisakan
sehari untuk beristirahat, Elok sengaja mematikan ponselnya. Ia membenamkan
diri di atas kasur dan memutar lagu-lagu dari pemutar musik miliknya. Sekitar
pukul 3 sore, ibu kost datang mengetuk pintu kamar Elok.
”Mbak,
ada yang nyari.” Elok keluar kamar dan mengekori ibu kost. Di teras sudah menunggu
2 anak kecil dengan tas lengkap.
”Loh kok
di sini dek?” Elok menghambur peluk pada Denok dan Hapsari.
”Ikut mbah.”
Hapsari menunjuk Ajeng yang berdiri di ujung teras, Ajeng teralihkan anggrek
bulan yang cantik dengan beragam warna.
”Ibu
telpon kamu nggak aktif.” Ajeng berjalan ke arah Elok, memberikan peluk.
”Ayok masuk.” Elok bergegas
membawa mereka ke kamar agar bisa mengobrol dengan leluasa.
”Nginap ya?”
Elok berbicara dengan Denok. Denok geleng-geleng.
”Mbakmu
beneran nggak pulang.” Ajeng masih terdengar sedih.
”Dah
biarin aja bu, anggap aja sudah ilang.” Elok kesal mengingat iparnya itu.
”Kasihan
bocah-bocah.” Ajeng
melihat ke arah Denok & Hapsari.
“Kan ada aku
bu.” Elok menunjuk dirinya sendiri dengan tegas.
”Mau
kamu ngurusin mereka?” Ajeng bertanya serius.
”Mau.”
Elok menjawab tanpa berpikir.
”Alhamdulillah.”
Ajeng terdengar lega, tetapi mimik mukanya tak bisa menyembunyikan keraguannya
pada jawaban Elok.
”Ibu sebenernya
pengen kamu di kampung aja, biar bantu ibu jaga mereka. Kadang ibu kewalahan
lo, mana kaki sering kumat.” Ajeng sembari memijat-mijat kakinya pelan.
”Kenapa
nggak ibu aja yang pindah kesini. Jadi aku juga masih bisa kerja.” Elok ikut
memijat kaki Ajeng.
”Ya kita lihat nanti lah.” Ajeng
masih ragu memikirkan tempat tinggal jika harus keluar dari kampung.
Malam
itu Ajeng dan kedua cucunya menginap di kamar kost Elok, mereka banyak
berbincang. Keresahan-keresahan Ajeng tumpah malam itu, Elok pun sama. Menceritakan
hidup, merencanakan esok, semua terasa ringan saat beban itu dibagi.
**
Mendengar
kabar Ajeng menginap, pagi-pagi sekali Aco sudah tiba di kost Elok. Membawakan kue-kue
untuk sarapan, Aco menyalami Ajeng.
”Sehat
bu?”
”Alhamdulillah
sehat.”
”Kami
berangkat dulu bu.” Elok muncul dan langsung berpamitan sebelum sempat Aco
berbincang dengan Ajeng lebih banyak.
”Kok
buru-buru?” Aco penasaran.
”Jangan
ngobrol dulu sama ibu, dia lagi sensi.” Elok mulai mengoceh semua cerita yang
semalam ia bahas dengan ibu. Sepanjang jalan menuju kantor Aco mendengarkan
dengan khidmat. Hingga sampai pada cerita rencana pindah Ajeng dan keluarga.
”Kamu
yakin bawa mereka kesini?” Elok mengangguk.
”Kamu aja belum settle sayang.” Aco
mencoba realistis.
“Ya siapa tau
setelah ini kerjaanku bagus.” Elok coba optimis.
”Aamiin.” Aco mencoba percaya saja,
ia tak ingin mengacaukan optimisme Elok.
Setibanya di
kantor, Elok baru mulai berpikir. Sepertinya apa yang ia yakini tadi, tidak
serta-merta akan mudah. Melihat memo yang ada di layar komputernya, tumpukan
kertas-kertas yang menunggu dikerjakan, agenda meeting, serta
pekerjaan-pekerjaan dadakan lain yang biasanya timbul tenggelam membuat Elok
kewalahan sebelum memulai. Mengandalkan pekerjaan ini untuk menyambung hidup
dengan kedua keponakan yang masih sekolah. Sudah tentu ia harus berusaha lebih
keras, lebih tekun, lebih tangguh. Jika satu dua kali ia harus menangis, maka
ia harus bangkit lagi ribuan kali. Seperti itulah pikiran berisik Elok pagi
itu.