Seminggu terakhir, Aco seperti
hilang. Ia muncul di kantor pagi hari, menghilang setelahnya,
kembali di jam-jam menjelang pulang, lalu tak ada kabar hingga malam. Terus
berulang seperti itu hingga Elok gelisah.
”Dia
nggak ada ke tempatmu?” Elok mencoba bertanya pada Afif. Afif menggeleng.
”Yang
pacarnya siapa sih?” Afif curiga.
”Kalian
berantem?” Lanjut Afif. Kini giliran Elok yang menggeleng.
”Terus
kenapa nggak nanya dia?” Afif mengernyit.
”Ya
nggak enak aja nanya-nanya.” Elok menjawab datar.
”Nggak
enak? Kamu?” Afif semakin merasa aneh.
”Kalian putus?” Kini
tatapan Afif lebih intens. Elok mengangkat bahu tanda tak tahu.
”Nggak
bener.” Afif geleng-geleng.
”Aku
duluan ya.” Elok bergegas ke parkiran meninggalkan Afif di depan ruangan.
Macet
sepulang kantor tak berhasil mendistraksi pikiran Elok, matanya fokus membelah jalan,
salip kiri-kanan, tetapi isi kepalanya tetap Aco, hatinya pun masih tak tenang.
Di simpang terakhir sebelum menuju kost, Elok memilih putar balik dan mengarah kembali
ke jalan utama. Ia yakin sekali harus menuruti kemauannya kali ini. Pulang
dengan membawa perasaan ini hanya akan membuat ia gelisah lebih lama, dan yang
pasti tak akan lebih baik.
Tiba di
depan gerbang kost Aco, Elok berusaha menghubungi Aco, tetapi tak berhasil. Ia
lalu meminta izin pada penjaga kost untuk bisa memanggil Aco. Lelaki itu
akhirnya muncul masih mengenakan pakaian yang ia kenakan bekerta tadi siang.
”Kenapa
kesini?” Aco berjalan ke arah Elok, dengan ponsel di tangan yang terpasang
headset. Elok bertanya-tanya seharusnya ia bisa ditelepon.
”Nomormu
sibuk?” Elok curiga.
”Iya,
lagi telepon Fatiyah.” Aco menunjukkan ponselnya, walaupun yang tampak di layar
nomor tanpa nama.
”Kamu
kenapa?” Elok bertanya dengan hati-hati.
”Nggak
ada apa-apa.” Aco menjawab sekenanya.
”Lagi
ada masalah?” Elok bergetar menanyakan itu. Aco menggeleng.
”Yakin?”
Elok masih sangsi. Aco mengangguk.
”Ya udah
kalau gitu, cuma mau mastiin aja sih.” Elok bingung bagaimana mengemas
pertanyaan yang beberapa hari ini mengusik kepalanya. Elok berbalik, ia memilih
pulang.
Saat
tiba di depan gerbang, Aco mengirim pesan.
”Nanti
malam aku telpon.” Seketika perasaan Elok membaik. Ia menangis pulang dari
tempat itu. Ia lajukan kemudi motornya dengan kencang berharap segera tiba di
kost dan bersiap mendengar cerita Aco.
Selepas
isya, Aco menepati janjinya menelpon Elok. Mereka berbincang canggung, tak
punya celah untuk langsung ke topik yang ingin Elok dengar. Yang justru keluar
dari mulut Aco kebingungannya mengapa Elok tiba-tiba penasaran dengan
keadaannya.
”Sudah
nggak boleh ya?” Elok tersinggung.
”Bukan
gitu, tapi nggak biasanya.” Aco mencoba menjelaskan.
”Aku
ngerasa ada yang beda.” Elok memastikan.
”Mammiku
nikah lagi.” Hening seketika. Elok bingung bagaimana harus merespon, sedang Aco
masih tak melanjutkan ucapannya. Jeda sekitar beberapa detik hingga akhirnya Aco
kembali melanjutkan.
”Sama
orang nggak jelas, mantan pacar mungkin, atau siapalah itu. Yang pasti aku
nggak suka.” Aco berbicara dengan suara cukup tertekan.
”Mungkin beliau butuh temen.” Elok
mencoba menghibur.
“Kami masih
kurang?” Aco terdengar kecewa.
”Beda.”
Elok mencoba membela Sanna.
”Apa
bedanya? Dan aku nggak suka kenapa mammi harus bohong. Bener-bener nggak
ngerti.” Helaan nafas putus asa terdengar jelas di sana. Elok tak punya jawaban
lagi. Ia hanya coba memahami.
Perbincangan
mereka malam itu terasa personal dan mendalam, Aco dengan gamblang berkisah
tentang mammi dan lelaki yang mendadak kini jadi ayahnya itu. Hampir tak ada
alasan menyukai lelaki itu, tapi kita bisa apa? Pernikahan sudah terjadi.
Tepat
jam 10 malam, Elok pamit tidur. Mereka mengakhiri obrolan itu dengan berjanji
besok saling membangunkan saat pagi.
**
Pagi itu
Aco menjemput Elok, mereka berangkat ke kantor bersama. Tiba di kantor 15 menit
sebelum bel masuk adalah waktu paling pas. Tidak terburu-buru dan punya waktu
membaca email-email yang masuk setelah jam kantor kemarin, ia juga punya waktu
untuk menulis to do list hari ini, sempurna.
”Nanti jam
9 ke ruangan saya ya.” Pak Sujiwa menghampiri Elok sebelum kemudian berlalu
menuju toilet. Elok mengiyakan. Perasaannya tak enak. Ia takut harinya telah
tiba. Bisa jadi ini benar-benar jadi bulan terakhir ia bekerja di sini. Perasaan
saat ia habis kontrak di kantor sebelumnya seperti masih membekas dan
menimbulkan trauma tersendiri bagi Elok. Rasanya pedih sekali. Elok tidak siap.
”Aku
dipanggil Pak Sujiwa pagi ini.” Elok mengirim pesan pada Aco.
”Semangat.”
Aco lekas membalas pesan itu, lalu menghampiri Elok di mejanya.
”Kapan?”
Aco tampak antusias.
”Jam 9.”
Elok sedikit berbisik. Ia menyadari Pak Sujiwa belum keluar dari toilet.
”Semoga
hasilnya bagus.” Aco mengepalkan tangan kanannya bersemangat. Elok tersenyum.
Menunggu
hingga jam 9 seperti lama sekali. Elok antara tak siap, namun juga tak sabar. Ia
tak punya banyak pilihan tetapi ia tak ingin memilih juga, bagaimana
menjelaskannya? Elok benar-benar kebingungan. Ia banyak minum, menarik nafas
dalam-dalam, keluar masuk toilet, terus berulang hingga benar-benar sampai jam
9 teng.
**
Bukan
kali pertama, tetapi ruangan HC tak seperti biasanya. Terasa asing dan lebih
dingin, mengintimidasi dan membuat hilang kendali. Elok berharap semoga tak ada
sesi bicara, karena suara gemetar tentu akan sulit ia hindari.
”Hasil evaluasinya sudah keluar
mbak.” Pak Sujiwa tampak serius dan tak berbasa-basi.
”Tanda
tangan di sini ya.” Sebuah lembaran yang Elok tak berani membacanya. Ia hanya
berpikir, ini surat putus kontrak atau surat pengalaman kerja, atau bisa jadi
hal lainnya, jamsostek, atau entah surat apa yang memungkinkan ditanda-tangani
saat habis kontrak.
”Nanti ada
perbedaan benefit mbak, ada tambahan tunjangan dan asuransi kesehatan.” Elok
melongo, ia lihat dengan saksama secarik kertas di depannya. Ia baca ulang
barangkali ada kata tidak atau bukan atau yang lainnya yang memungkinkan ada
kesalahan baca atau kesalahan makna, tetap tak ditemukan Elok kata-kata itu. Ya
benar, ia permanent. Matanya hampir saja copot.
”Selamat
mbak.” Pak Sujiwa menyalami Elok.
”Makasih
pak.” Elok lanjut berdiri dan keluar dari ruangan itu dengan syok. Wajahnya
yang kaget tak bisa ia sembunyikan, Pak Sujiwa hanya merasa aneh mengapa Elok
tak tampak senang.
Elok
berlari ke toilet, ia duduk di atas kloset mencoba memahami yang ia hadapi hari
ini. Masih seperti mimpi. Lekas ia mengirip kabar baik ini pada Aco.
”Aku
permanent.”
”Selamat sayangku.” Aco lekas
membalas pesan itu.
“Nanti mau
makan apa?” Elok bersemangat.
”Kepiting
asap.” Makanan kesukaan Aco.
”Oke bos.” Elok tersenyum kecil.
Jam makan
siang hari itu mereka pergi berdua, ke restoran kepiting tak jauh dari kantor.
”Kamu
kelihatan seneng banget.” Aco tersenyum melihat kekasihnya itu. Elok
mengangguk, ia tak perlu kata apapun untuk mengonfirmasi perkataan Aco. Yap,
dia sesenang itu.
”Terus apa rencanamu?” Aco tampak antusias.
“Aku pengen
kerja serius.” Jawaban
Elok itu tak disambut baik oleh Aco.
“Asal nggak
berlebihan.” Aco mengangkat telunjuknya.
”Siap
bosku.” Elok menjawab patuh.