23

 

            Enggan bertengkar di rumah, Aco membawa Elok ke sebuah tempat, Terowongan Sumpang Labbu yang juga sudah sering Elok dengar dari Aco. Di atas terowongan mereka berdebat, Elok hampir menangis, Aco berulang kali mengucapkan kalimat yang sama.

”Sekarang bukan masanya kita permasalahin itu. Kita sudah saling kenal keluarga, tinggal gimana kita maintain aja hubungannya.” Aco setengah putus asa, amarah Elok seperti membuncah.

“Kalian masih komunikasi, bahkan ke mammi? Dia sengaja?” Suara Elok setengah ia tahan.

”Dia sudah mau nikah sayang.” Aco kembali mengulang kalimat yang sama sekali tidak menenangkan Elok.

”Justru itu kenapa dia masih nggak tau malu? Harusnya dia urus kehidupannya sendiri.” Elok semakin hilang kendali, suaranya semakin berat.

”Kalaupun dia mau balik sama aku, belum tentu keluargaku mau. Dia sudah sama orang lain, ya sudah. Kamu berlebihan sayang.” Aco menarik lengan Elok, ia tak tahu apa lagi yang bisa dilakukan agar Elok tenang.

”Telpon dia sekarang, bilang nggak akan ganggu kamu lagi.” Sulit sekali bagi Elok berpikir jernih.

”Dia pasti akan ketawa kalau lihat kita begini.” Aco menarik nafas panjang, ia benar-benar putus asa.

”Kamu masih peduli pendapatnya?” Seperti kerasukan setan, Elok meminta Aco melakukan yang ia mau. Aco mengambil ponsel di dalam sakunya, lalu memanggil sebuah nomor. Tampak di layar, bahkan nomor itu tidak disimpan di kontak Aco, seperti nomor yang ia bisa hapal, bahkan seingat Elok Aco tak pernah menghapal nomornya. Elok kehabisan akal melihat kedua orang ini. Semakin ia merasa tidak mengenal Aco.

”Halo, iya.” Suara Ratih terdengar dari pengeras suara.

”Pacarku mau kamu nggak usah hubungi aku sama keluargaku lagi.” Aco langsung dengan lantang mengucapkan itu. Terlihat Aco menahan malu, tetapi tekanan dari Elok membuatnya terpaksa.

”Oh iya, kita sudah nggak ada apa-apa kan.” Ratih menjawab tenang. Terdengar ada rasa menang disana. Elok cemburu? Artinya ia tak cukup percaya diri. Mungkin seperti itulah kesan yang didapat Ratih.

Elok seperti menyesal meminta itu pada Aco, tak jua rasa lega ia dapat walaupun Aco sudah menelpon Ratih di depannya. Ia justru semakin gelisah, apalagi saat ingat bagaimana Aco dengan mudahnya mengingat nomor ponsel Ratih, entah ini sudah panggilan ke berapa, bisa jadi semua terjadi setelah Aco bersama Elok. Perasaan Elok berkecamuk hingga hari terakhir ia ada di kampung itu.

 

**

 

            Aco dan Elok menuju Makassar pagi itu, dengan mengendarai motor mereka melewati jalanan berkelok Bone-Makassar dengan pemandangan yang luar biasa indah.

            ”Mau mampir ke taman kupu-kupu?” Aco bertanya pada Elok.

            ”Boleh, belum tentu nanti aku bisa kesini lagi.” Elok menjawab dengan sarkas. Aco paham maksud itu.

            ”Berarti kamu pikir nggak akan kesini lagi? Sama aja kamu pikir kita nggak akan sama-sama?” Aco mencoba menegaskan. Elok terdiam. Ingin sekali iya mengamini perkataan Aco, tetapi lebih jauh ia berharap bisa kembali ke tempat ini terus dan terus.

            ”Bisa nggak kita tenang sebentar aja? Kamu selalu mikir yang nggak-nggak.” Suara Aco terdengar lembut, ia menarik tangan kiri Elok dan menggenggamnya sambil mengendarai motor. Elok tak berontak, ada perasaan hangat saat itu. Amarah Elok seperti mereda.

            Tiba di Bantimurung, Aco memarkirkan motornya. Sepanjang memasuki area, mereka disambut banyak kupu-kupu. Aco merangkul Elok, kemudian menggandengnya, tak henti mereka saling berpegangan satu sama lain.

            ”Sama aku aja ya.” Aco membisikkan itu pada Elok, kalimat yang justru sering Elok ucapkan hari itu terdengar dari mulut Aco. Kupu-kupu yang memenuhi tempat itu, seakan juga memenuhi hati dua sejoli itu. Di saat seperti ini, yang tersisa hanya perasaan yakin dan berharap bisa bersama orang yang sama selamanya.

 

**

 

            Menyisakan sehari untuk beristirahat, Elok sengaja mematikan ponselnya. Ia membenamkan diri di atas kasur dan memutar lagu-lagu dari pemutar musik miliknya. Sekitar pukul 3 sore, ibu kost datang mengetuk pintu kamar Elok.

            ”Mbak, ada yang nyari.” Elok keluar kamar dan mengekori ibu kost. Di teras sudah menunggu 2 anak kecil dengan tas lengkap.

            ”Loh kok di sini dek?” Elok menghambur peluk pada Denok dan Hapsari.

            ”Ikut mbah.” Hapsari menunjuk Ajeng yang berdiri di ujung teras, Ajeng teralihkan anggrek bulan yang cantik dengan beragam warna.

            ”Ibu telpon kamu nggak aktif.” Ajeng berjalan ke arah Elok, memberikan peluk.

            ”Ayok masuk.” Elok bergegas membawa mereka ke kamar agar bisa mengobrol dengan leluasa.

            ”Nginap ya?” Elok berbicara dengan Denok. Denok geleng-geleng.

            ”Mbakmu beneran nggak pulang.” Ajeng masih terdengar sedih.

            ”Dah biarin aja bu, anggap aja sudah ilang.” Elok kesal mengingat iparnya itu.

            ”Kasihan bocah-bocah.” Ajeng melihat ke arah Denok & Hapsari.

            “Kan ada aku bu.” Elok menunjuk dirinya sendiri dengan tegas.

            ”Mau kamu ngurusin mereka?” Ajeng bertanya serius.

            ”Mau.” Elok menjawab tanpa berpikir.

            ”Alhamdulillah.” Ajeng terdengar lega, tetapi mimik mukanya tak bisa menyembunyikan keraguannya pada jawaban Elok.

            ”Ibu sebenernya pengen kamu di kampung aja, biar bantu ibu jaga mereka. Kadang ibu kewalahan lo, mana kaki sering kumat.” Ajeng sembari memijat-mijat kakinya pelan.

            ”Kenapa nggak ibu aja yang pindah kesini. Jadi aku juga masih bisa kerja.” Elok ikut memijat kaki Ajeng.

            ”Ya kita lihat nanti lah.” Ajeng masih ragu memikirkan tempat tinggal jika harus keluar dari kampung.

            Malam itu Ajeng dan kedua cucunya menginap di kamar kost Elok, mereka banyak berbincang. Keresahan-keresahan Ajeng tumpah malam itu, Elok pun sama. Menceritakan hidup, merencanakan esok, semua terasa ringan saat beban itu dibagi.

 

**

 

            Mendengar kabar Ajeng menginap, pagi-pagi sekali Aco sudah tiba di kost Elok. Membawakan kue-kue untuk sarapan, Aco menyalami Ajeng.

            ”Sehat bu?”

            ”Alhamdulillah sehat.”

            ”Kami berangkat dulu bu.” Elok muncul dan langsung berpamitan sebelum sempat Aco berbincang dengan Ajeng lebih banyak.

            ”Kok buru-buru?” Aco penasaran.

            ”Jangan ngobrol dulu sama ibu, dia lagi sensi.” Elok mulai mengoceh semua cerita yang semalam ia bahas dengan ibu. Sepanjang jalan menuju kantor Aco mendengarkan dengan khidmat. Hingga sampai pada cerita rencana pindah Ajeng dan keluarga.

            ”Kamu yakin bawa mereka kesini?” Elok mengangguk.

            ”Kamu aja belum settle sayang.” Aco mencoba realistis.

            “Ya siapa tau setelah ini kerjaanku bagus.” Elok coba optimis.

            ”Aamiin.” Aco mencoba percaya saja, ia tak ingin mengacaukan optimisme Elok.

            Setibanya di kantor, Elok baru mulai berpikir. Sepertinya apa yang ia yakini tadi, tidak serta-merta akan mudah. Melihat memo yang ada di layar komputernya, tumpukan kertas-kertas yang menunggu dikerjakan, agenda meeting, serta pekerjaan-pekerjaan dadakan lain yang biasanya timbul tenggelam membuat Elok kewalahan sebelum memulai. Mengandalkan pekerjaan ini untuk menyambung hidup dengan kedua keponakan yang masih sekolah. Sudah tentu ia harus berusaha lebih keras, lebih tekun, lebih tangguh. Jika satu dua kali ia harus menangis, maka ia harus bangkit lagi ribuan kali. Seperti itulah pikiran berisik Elok pagi itu.

22

 

            Kalau kamu berharap orang lain akan bisa bersikap sesuai dengan apa yang selalu diharapkan, maka sebenarnya dunia ini hanya akan berjalan biasa-biasa saja. Tidak ada usaha yang lebih keras, semua orang saling baik dan membiarkan orang lain meraih segalanya lebih awal. Kita tidak akan sibuk dengan menerka-nerka, tak ada area abu-abu, semua berjalan pada putih dan lapang sekali melihat apapun, terang benderang tak ada kegelapan. Namun, sejak awal semuanya tidak diciptakan demikian. Sisi hitam dan putih dibiarkan hidup hingga lebih banyak manusia nyaman di area abu-abu, sisi yang bisa saja menyakiti kita tanpa disengaja. Hari-hari ini siapapun bisa melakukan itu.

            Aco bangun pagi-pagi sekali, ia sudah sibuk membersihkan rumah dari lantai hingga jendela-jendela. Elok belum tampak keluar kamar. Sedang Sanna sedang di dapur membuat sarapan. Dari luar Fatiyah berteriak memanggil Sanna, ia membawakan ponsel karena ada panggilan.

            ”Iye nak, apa kabar?” Ratih yang sudah tak tenang beberapa hari ini memberanikan diri menelepon Sanna. Sementara Sanna seakan paham akan telepon ini. Ia berusaha agar tidak membahas Elok yang sudah 3 hari ini menginap di rumahnya.

            ”Berapa hari dia disana mammi?” Ratih memang tidak sabaran, ia langsung saja bertanya. Sanna enggan membahas, tetapi mau tidak mau ia harus menjawab.

            ”2 minggu nak. Acaramu kapan?” Sanna mengalihkan pertanyaan.

            ”Ditunda mammi, harusnya bulan depan.” Di luar apa yang Sanna pikirkan.

            ”Kenapa?” Sanna penasaran.

            ”Masih ragu-ragu, dan kayaknya lebih baik ditunda.” Sanna merasa lega sekaligus bingung dengan ini. Ia termasuk orang yang menyukai Ratih, bahkan ia tak pernah berpikir bahwa gadis itu akan dijodohkan. Selama ini ia melihat Aco dan Ratih teramat cocok. Tetapi, pesan itulah yang sepertinya ingin disampaikan Ratih, bahwa ia belum yakin akan menikah, perjodohan itu belum benar-benar terjadi, dan ia seperti menyiratkan masih punya kemungkinan bersama Aco.

            Setelah panggilan pagi itu, Ratih kembali tak segan untuk menghubungi Sanna. Ia pun tak ragu-ragu menanyakan tentang Aco dan Elok. Tak hanya pada Sanna, Ratih pun kembali dekat dengan adik-adik Aco. Hingga mau tak mau, Aco menyadari itu. Sama seperti Sanna, Aco tampak lega mendengar kabar pernikahan perempuan itu ditunda. Tetapi bagaimana dengan Elok.

 

**

 

            Beberapa vendor sudah dibatalkan, cincin dan uang panai sudah dikembalikan, keluarga besar belum kembali bertemu setelah pembatalan ini. Nurdin enggan berusaha lebih lagi, sepertinya perjodohan ini memang tidak akan berhasil, sesederhana itu pemikiran Nurdin. Lelaki itu memilih menghabiskan waktu berlibur ke Makau untuk beberapa hari. Kedua orang tuanya akhirnya pun tak ingin ambil pusing, mereka justru masih berhubungan baik dengan kedua orang tua Ratih. Mencoba untuk memahami bahwa Ratih masih labil dan perlu waktu. Hanya itu yang bisa dipercaya kedua keluarga itu.

            ”Kamu dimana?” Pesan masuk dari Ratih. Nurdin belum berminat membalas pesan itu, apalagi ingat pertengkaran tempo hari.

            ”Ini mau bener-bener batal?” Ratih kembali mengirim pesan. Nurdin bingung membaca pesan itu.

            “Kalau nggak jawab berarti iya.” Nurdin hanya membacanya dari pop up pesan.

            “Bahkan kamu sama sekali nggak perjuangin aku.” Nurdin mengingat-ingat, yang saat itu ingin menunda adalah Ratih, tetapi kenapa sekarang perempuan itu mempertanyakan sikapnya?

            ”Oke aku akan bilang ke keluarga kalau kamu emang mau batalkan.” Nurdin muak, Ratih semakin drama. Pesan Ratih semakin membuat Nurdin yakin sebaiknya memang tidak mengiyakan ini dari awal. Ia seperti dibuat seolah-olah ia yang jahat, padahal Ratih lah yang selalu menghindar dan ragu, hingga akhirnya ingin menunda. Nurdin pun masih maklum saat Ratih masih menulis nama Aco di profil BBMnya, bahkan beberapa kali Ratih kedapatan menulis sesuatu tentang Aco yang bahkan saat itu ia dan Ratih sudah bertunangan, tetapi Nurdin merasa tak perlu mempermasalahkan itu. Ratih lah yang selalu berusaha menyulut perdebatan antar mereka, seperti mencari-cari bahan untuk bertengkar dan ujung-ujungnya merasa tersakiti. Nurdin memilih mengabaikan pesan itu hingga kemudian Ratih menghapusnya.

 

**

 

            Kampung yang selama ini hanya ia dengar, yang biasanya ia hanya bisa berimajinasi kali ini benar-bisa ia lihat secara nyata, kampung yang cukup nyaman dijadikan tempat tinggal. Rumah-rumah panggung yang tampak kokoh, orang-orang ramah yang saling sapa setiap kali berpapasan, keluarga dekat yang terasa sangat akrab dan menyatu, banyak hal yang membuat Elok takjub. Aco pulang kampung seperti sesuatu yang istimewa di kampung, Sanna libur ke kebun, keluarga silih berganti datang untuk melihat Aco, berkenalan dengan Elok, dan mereka sibuk memasak bersama atau sekadar berkumpul biasa. Hari itu semua sedang asik berkumpul membuat kapurung. Elok duduk di depan sebaskom adonan yang siap dibentuk. Ia mencoba membaur dengan ibu-ibu yang hampir semuanya menggunakan bahasa bugis. Elok hanya paham beberapa istilah, itupun jarang ia dengar di percakapan hari itu. Semua terasa asing.

            ”Diam-diam saja dari tadi?” Dengan dialek kentalnya Puang Ola bertanya pada Elok. Elok tersenyum saja, sadar kalau memang ia sedari tadi tidak paham apa yang dibicarakan.

            ”Nda mengerti dia.” Sanna tersenyum dan mencoba membantu Elok.

            ”Eee anak Puang Ame nda mengerti bahasa sini?” Semua terdiam. Elok bingung apa yang dimaksud. Fatiyah yang duduk di depan Elok tampak mencolek-colek Puang Ola. Sementara yang lainnya canggung. Tiba-tiba ponsel Sanna berbunyi tepat di samping Elok, muncul pop up pesan dari seseorang yang tidak asing.

A.Ratih Baru : Iya mammi, sampai ketemu di MKS.

            Dada Elok berdegup kencang, tak beraturan, sedikit sesak, penasaran, ia hanya berdoa semoga bukan Ratih yang ia tahu. Lekas-lekas ia mengalihkan pandangan kembali ke adonan di depannya dengan mimik muka yang sulit sekali ia sembunyikan. Belum lagi saat ia mengingat kata-kata Puang Ola saat menyebut Puang Ame, sejauh ingatan Elok itu kemungkinan besar orang tua Ratih, yang juga sudah dikenal lama di kampung. Tetapi Elok menahan diri untuk tidak tampak kecewa. Ia hanya terus berdoa agar situasi ini lekas berakhir, ia bisa beranjak ke kamar atau tempat lain yang bisa membuatnya lebih nyaman dan tenang. Aco bahkan tak terlihat dimana rimbanya.

            Setelah semua matang, keluarga laki-laki mulai berdatangan dan makan bersama. Aco barulah tiba berbarengan dengan yang lainnya. Dari sudut kanan ruangan Aco melihat-lihat ke arah Elok yang tampak sibuk, Elok melihatnya sesekali, tapi tatapan itu terasa hambar, Aco sadar ada yang salah dengan Elok, entah apalagi. Kini Aco pun berada di ketidaknyamanan, ia tak sabar segera berbicara dengan Elok dan menanyakan ada apa. Aco mengambil ponsel dan mengirim pesan, Elok tak terlihat berniat membacanya. Dengan perasaan tak tenang, Aco menunggu acara ini segera berakhir.

21

            Malam itu Elok bergelut dengan perasaannya, ia benci sesedih ini. Mengapa satu nama itu amat mengganggu? Bukankah itu sudah terjadi dan Elok mengerti Aco bahkan tak mungkin bisa mengubah masa lalunya. Tapi, lagi-lagi, mengapa ia harus resah dengan masa lalu Aco? Elok sampai berdoa berkali-kali dalam hatinya, ia meminta dengan sungguh-sungguh pada Tuhan, agar diberikan pasangan yang tak pernah punya hubungan sebelumnya, atau seseorang yang tak punya mantan, atau mungkin setidaknya seseorang yang tak punya hubungan selama itu, serumit itu, sedalam itu, Elok benci keadaan ini. Di menit berbeda, Elok juga bertarung dengan logikanya, seusia Aco bukankah wajar punya kehidupan lain sebelum ini, ia sudah hidup lebih lama sebelum mengenal Elok, banyak orang silih berganti yang hadir di kehidupan Aco, dan itu tak apa-apa bukan? Andaikan perasaan itu yang terakhir kali memenuhi benak Elok, mungkin ia bisa tenang dan tertidur dengan mudahnya. Sayangnya, ia masih harus berperang melawan satu dua kemungkinan yang ia cari-cari, kemungkinan yang menyakitinya, kemungkinan-kemungkinan yang seperti silet, menyisakan sayatan-sayatan kecil yang teramat perih. Mengapa mencintai seseorang semenyedihkan ini?

            Hari itu cuaca di kota Balikpapan sedang hujan, beberapa hari terakhir terasa tidak menentu, Aco dan Elok terpaksa bertemu di kelas bahasa mandarin pukul 3 sore. Elok sudah menimbang-nimbang untuk tidak hadir kali ini, tetapi di menit-menit terakhir ia merasa sayang. Ia berpikir mungkin ini memang benar jalan untuk ia memulai kehidupan baru. Persis seperti dugaannya, ia tak mampu bersikap cuek pada Aco. Hanya perlu sekali sapa, Aco sudah bisa meluluhkan hati Elok, gadis itu tersihir, entah dari frekuensi suara yang mana.

            ”Aku cuti minggu kedua. Kamu mau ikut?” Aco duduk tepat di samping Elok, ia setengah berbisik. Elok mendengar Aco, tetapi ia tak menoleh. Elok terdiam sejenak, berpikir sebelum ia mengonfirmasi pertanyaan Aco.

            ”Aku mau kenalin sama mammi.” Aco melanjutkan ajakannya.

            ”Ke kampungmu?” Elok masih belum menyadari sepenuhnya ajakan itu. Aco mengangguk.

            ”Makassar?” Elok masih memastikan.

            ”Iya, tapi nanti lanjut ke rumahku di kampung.” Ide itu terdengar renyah di telinga Elok, hatinya menghangat, dikenalkan pada keluarga pasangan adalah hal yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, dan Aco adalah orang pertama. Dalam bayangan bodoh Elok, ia sudah terbayang apa yang akan dilakukan disana, bagaimana nanti ia berinteraksi dengan keluarga besar Aco, bagaimana ia berkenalan dengan semua orang yang bernama Andi itu, dan bagaimana nanti mereka akan menggelar pernikahan adat. Jauh sekali Elok berpikir. Menyadari pemikirannya yang sudah terlalu sesat, Elok lekas-lekas menyadarkan diri.

            ”Tapi bantu aku izin ke ibuku ya.” Elok berusaha menjawab dengan santai, walaupun rasa bahagia dalam hatinya seakan berebut ingin tumpah dan membuat wajahnya memerah. Aco mengangguk, mereka lalu merencanakan hari libur tambahan untuk izin pada orang tua Elok.

            Seminggu sebelum keberangkatan, Elok sudah mengajukan cuti ke atasannya, tidak berselang lama kabar bahwa mereka merencanakan cuti bersama sudah terdengar. Lalu di sela-sela jam istirahat, tiba-tiba Juan menghampiri Elok.

            ”Kalau belum dilamar, kalau bisa jangan ikut ke rumah orang tua pacar.” Nasihat tiba-tiba, yang membuat Elok tak bisa berkomentar. Ia hanya senyum dan ingin menjawab iya saja agar tidak perlu ada nasihat lanjutan. Selain Juan, sepertinya ada beberapa orang lagi yang ingin menyampaikan sesuatu pada Elok terkait rencana kepergiannya ini, tetapi sebelum mereka buka suara, Elok sudah langsung coba menghindar. Baginya ini semacam pembuktian Aco, bahwa lelaki itu serius. Setidaknya itulah yang Elok tanam di pikirannya agar ia tenang.

            Hari seperti lekas berganti, setelah Aco izin pada Ajeng, ia terlebih dahulu terbang ke Makassar, dan Elok menyusul seminggu setelahnya. Elok masih memikirkan bagaimana nanti ia bertemu dengan keluarga Aco. Ia takut tak bisa menjaga sikap, ia takut terlihat punya banyak kekurangan, ia takut tidak diterima. Ketakutan-ketakutan yang seketika ditepis Aco. Lelaki itu memang pandai menenangkan Elok. Bagi Elok, beberapa hal memang menjadi terasa lebih mudah saat ada Aco.

            Untuk pertama kalinya Elok menginjakan kaki ke Pulau Sulawesi. Ia masih belum bisa banyak berpikir. Menghadapi mammi seperti yang seringkali Aco ceritakan seakan membuat perasaan berbeda. Mammi Sanna, seseorang yang dalam bayangan Elok sangat amat sempurna. Perempuan pekerja keras yang bisa menghidupi Aco dan adik-adiknya dengan kekuatannya sendiri Punggung Sanna teramat kuat untuk menanggung beban kehidupan ini, dan ia mampu. Aco manusia pertama yang sedemikian rupa mengelu-elukan ibunya, dan Elok salut akan itu. Di Bandara, beberapa kali Elok melihat ponselnya, ia membuka galeri dan mengamati wajah Sanna, membayangkan apa yang sudah dilewati wanita cantik itu di masa mudanya, membayangkan semua cerita-cerita Aco melekat, membuat Elok tersentuh, Sanna benar-benar cantik, tidak mirip dengan Aco yang sepertinya memang lebih mirip Jalal.

            Dari kejauhan muncul seorang lelaki mengenakan jersey Real Madrid. Seketika Elok tersenyum melihat itu, seseorang yang ia tunggu-tunggu menjemputnya. Aco langsung meraih trolley yang dipegang Elok, lalu mengelus-elus rambut Elok sambil tersenyum.

            ”Jauh ya?” Aco tersenyum dan seakan mengerti bahwa Elok kelelahan. Elok mengangguk manja.

            Sembari meletakkan tangan kirinya di pundak Elok, Aco berjalan mendorong trolley menuju parkiran. Keduanya tak banyak bicara namun beberapa kali saling menatap satu sama lain seakan mereka berbicara dengan tatapan itu. Tak luput, senyum di antara keduanya tak kunjung pudar. Siapapun yang melihat itu pasti menyadari, kedua orang ini sedang benar-benar kasmaran.

 

**

 

            Tiba di kediaman Puang Takko di Toddopuli, Elok sudah disambut keluarga besar Aco. Satu-persatu ia salami, Elok berusaha mengingat wajah-wajah itu, merekam potret setiap orang di kepalanya, lalu lanjut mengingat setiap nama yang disebutkan, benar saja, semua bernama depan Andi, dan semua orang tua disana dipanggil Puang, katanya ini panggilan untuk bangsawan bugis. Elok hanya bisa menggangguk dan patuh saja. Ia memanggil semuanya dengan sebutan Puang, terkecuali Sanna. Elok sedari awal sudah diperkenalkan Aco dengan panggilan mammi. Malam itu, adalah malam dimana Elok bisa mengamati keluarga Aco. Keluarga yang hangat, akrab, dan sepertinya tidak akan sulit membaur di keluarga itu, seperti itulah Elok berpikir.

 

**

 

            Kabar Elok datang ke Sulawesi terdengar Ratih, pantas saja ia merasakan ada kegelisahan seharian ini. Ternyata ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Di BBM, Binar, kekasih Gemma, membagikan foto ketika makan malam dengan keluarga Aco, dan terdapat Elok disana. Duduk di sebelah Aco dengan senyum lebar, Ratih ingat sekali ia pernah ada di posisi itu. Dadanya terasa sesak, ia berusaha menyangkal rasa cemburunya, tetapi sulit ia menyangkal bahwa ia sakit hati melihat itu. Baru beberapa bulan Aco bahkan tak enggan membawa perempuan baru ke keluarganya.

            ”Cepet ya?” Setelah beberapa menit Ratih terdiam melihat itu, ia tak bisa menahan diri untuk tidak mengomentari apa yang ia lihat. Ratih mengirim pesan pada Binar.

            ”Sabar ya kak. Hiks” Binar mencoba bersimpati.

            ”Kapan dia datang dek?” Ratih tampak sangat ingin tahu.

            ”Barusan kak.” Binar menjawab singkat.

            ”Sampai berapa lama infonya?” Ratih masih penasaran.

            ”Kurang tau kak, tapi kayaknya lama. Besok mereka ke Bone.” Ratih tak menjawab pesan itu. Perasaan kecewanya berlapis. Bahkan, di hubungannya yang sangat lama ini, tak sekalipun Aco berinisiatif membawanya ke kampung halaman Aco. Mereka tak sejauh itu. Apakah ini artinya Aco benar-benar serius dengan Elok?

20

 

            Sudah seminggu Afif, Aco, dan Elok mulai masuk kelas. Kelas paling dasar yang harus mereka ikuti adalah bahasa mandarin. Elok sempat bertanya-tanya mengapa harus mandarin? Apakah mereka akan jadi TKI di Tiongkok? Karena dalam bayangannya bukan seperti ini.

            ”Ini yakin bahasa mandarin?” Elok masih ragu-ragu sebelum kelas dimulai. Elok duduk di belakang Afif, sedang Aco berada di kursi sebelah kanan Elok. Aco hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Anehnya mereka rela membayar untuk ada di kelas ini.

            Seorang perempuan dengan rambut dicepol rapi masuk ke ruangan. Dihadiri sekitar 16 peserta kelas ini seharusnya menarik. Perempuan yang mengaku sebagai tutor itu memperkenalkan diri dan langsung saja memulai materi tanpa menjelaskan sebenarnya kelas apa ini. Seingat Elok ia mendaftar untuk kelas pekerja.

            Deretan angka-angka terpampang di papan tulis, tutor mengajari bagaimana cara membacanya. Keempat belas orang lain seolah bersemangat mengikuti, kecuali Elok yang masih belum tercerahkan. Elok seperti menyesali ide Afif yang ujung-ujungnya tidaklah jelas. Elok berencana protes setelah ini, ingin marah-marah, atau mungkin mengamuk pada Afif.

            Akhirnya kelas berakhir setelah hampir 2 jam, mereka berlomba-lomba keluar ruangan. Tiba di lobby Elok sudah geram dan hendak bergegas mengumpat pada Afif, namun aksi itu tertahan oleh seorang resepsionis yang langsung mencegat para siswa.

            Di atas meja sudah tercetak billing pembayaran kelas, nilainya tidak sedikit, dan ternyata saat pendaftaran awal mereka sudah menandatangani komitmen untuk akan mengikuti kelas itu hingga 24 bulan. Ketiga orang itu terdiam sejenak, hal impulsif yang mereka lakukan ternyata berbuah masam. Itu bukanlah waktu yang sedikit, tetapi tak bisa ditarik mundur.

            ”Ini harus ya?” Elok bertanya polos.

            ”Iya kak, ini sudah terdaftar ya.” Reserpsionis menunjukkan halaman daftar nama yang di atasnya tertulis Dinas Penyalur Tenaga Kerja. Elok tak bisa banyak berpikir, ia mengeluarkan ponsel dan mencatat nomor rekening yang akan ia transfer. Aco dan Afif hanya mengekori Elok.

            ”Tersandera, bukan waktu singkat. Yakin nih kita bakal konsisten?” Elok pasrah.

            ”Harus.” Afif sebagai pencetus ide ini masih berapi-api optimis akan menyelesaikan kelas hingga berhasil. Elok dan Aco saling bertatapan, ada keraguan muncul disana. Walaupun tak sampai hati mereka sampaikan.

 

**

            Sejak awal berhubungan, Elok dan Aco seringkali membuka ponsel satu sama lain. Lebih tepatnya sejak Aco mendapati pesan Gardana tempo hari. Aco juga beberapa kali membalas pesan dari rekan kantor yang terbiasa memerintah Elok seenaknya. Tidak sedikit rekan-rekan di kantor yang mulai menggunjingkan hal itu.

            Elok pun sama, akhirnya ia jadi lebih tertarik membuka ponsel Aco. Dimulai dari kontak BBM.

            Alice said ”Oh gitu cara mainnya.”

            Alice changed display picture.

            Sebuah gambar siluet seorang laki-laki dan perempuan berlatar laut yang saling berhadapan. Elok berpikir sejenak. Lelaki ini tampak tidaklah asing, dari posture, gaya rambut, hingga garis muka jelas sekali Elok mengenalinya. Elok kemudian membuka histori pesan kontak itu, namun kosong. Elok kemudian teringat panggilan tak terjawab tempo hari, Alice, nama yang sama. Dadanya seketika sesak, ada yang mengganjal namun ia belum cukup amunisi untuk mencecar Aco dengan pertanyaan-pertanyaan menohok.

            Lalu entah mengapa Elok menemukan hal lain, whatsapp. Aplikasi yang tak pernah Elok pikir ada di ponsel Aco, lebih tepatnya aplikasi itu tersembunyi, hanya muncul saat dilakukan pencarian. Elok memberanikan diri membukanya, dan terkunci, ia beberapa kali mencoba pola-pola yang mungkin Aco pakai, dan ternyata berhasil terbuka. Tidak banyak pesan disana, hanya ada beberapa grup obrolan terkait pekerjaan dan 1 kontak yang terakhir berkirim pesan sejam yang lalu, Alice.

            ”Sebentar lagi aku ketemu dia, jangan chat dulu.” Pesan itu dikirim Aco. Lalu Elok berselancar ke pesan-pesan sebelumnya, Elok muak melihatnya. Pesan-pesan saling merayu yang Elok pikir tidak selayaknya ditulis oleh seorang perempuan yang hendak menikah, Elok tak tahan lagi. Tangisnya pecah sebelum sempat bertanya pada Aco.

            Aco berhenti menatap ponsel Elok yang ada di tangannya, perhatiannya tiba-tiba tersita pada Elok.

            ”Kenapa?” Aco bertanya dengan halus. Elok melemparkan ponsel Aco ke arah Aco dan mendarat di sofa. Aco bergegas memeriksanya. Sebuah pesan panjang yang lupa ia hapus, pesan yang ia sadar pasti menyakiti Elok.

            ”Dia udah mau nikah sayang, aku cuma berusaha baik aja sebagai temen.” Aco berkilah.

            ”Baik? Sinting kamu ya?” Elok berteriak kencang dan menangis sejadi-jadinya.

            ”Alice? Pantes kamu obsess banget sama film itu, kamu obsess jadi vampire, bisa terbang.” Elok benar-benar muak mengingat itu.

            ”Kamu mulai ngaco ya.” Aco kini juga meninggikan suaranya.

            ”Kenapa? Nggak ngerasa? Niat banget ngirim pesan biar nggak ngechat dulu saat kita ketemu. Oh main belakang?” Elok menyapu air matanya sambil terus meluapkan kekesalannya. Aco masih mengelak, tak sekalipun ia merasa bersalah. Ia semakin marah ketika Elok menjadi-jadi.

            ”Kamu drama banget sumpah.” Kalimat Aco yang membuat Elok jengah dan memilih pulang. Elok keluar cafe dalam keadaan menangis dan memesan taksi. Aco mencoba menahannya namun gagal.

            Setibanya di kamar, Elok langsung menghempaskan tubuhnya di kasur. Ia menangis hingga tertidur. Ponselnya terus berdering, namun Elok memilih melemparkannya ke dinding hingga batterynya terlepas.

Keesokan harinya saat terbangun, mata Elok sembab, kepalanya pusing karena terlalu banyak menangis, ia ragu-ragu harus masuk kerja atau tidak, tetapi ia ingat banyak hal yang harus ia lakukan hari ini, dengan berat hati Elok memaksa tubuhnya berjalan ke kamar mandi. Ia berharap air dingin ini mampu meringankan rasa sedihnya.

Saat keluar dari pintu gerbang, Elok mendapati Aco sudah berdiri disana. Elok berusaha untuk terus melajukan motornya, namun ia urungkan. Wajah Aco yang tampak memelas seakan memintanya untuk berhenti.

”Kenapa nggak dibales? Aku kepikiran.” Suara Aco terdengar lemas. Sangat jauh berbeda dengan suaranya semalam.

”Bales apa?” Elok berpura-pura.

”Mana HP mu?” Aco kini tampak tegas. Elok seketika membuka tasnya. Ia mengeluarkan ponselnya yang memang tak ia buka sejak semalam.

Disana Elok dapati, Aco mengirim pesan berkali-kali tanda ia menyesal dan meyakinkan Elok bahwa ini salah paham.

”Ini bukan salah paham.” Elok masih belum terima.

”Kamu harus denger dulu. Dia yang hubungi aku duluan.” Aco semakin berkilah.

”Aku sudah bilang kalau sudah ada kamu, tapi dia minta waktu sampai hari H dia nikah.” Aco tampak punya alasan yang payah.

”Terus kamu mau? Gila ya?” Elok semakin geram.

”Kalian teleponan setiap malem? Terus kamu dengan sok sucinya ngelarang-ngelarang aku?” Elok melirihkan suaranya.

”Kamu yang terbukti teleponan kan? Bukan aku?” Aco benar-benar mengelak, tak satupun tuduhan Elok ia akui. Pagi itu perdebatan mereka tak menemukan titik temu, Elok berangkat ke kantor lebih dahulu dengan perasaan marah, sedang Aco meminta izin ke atasannya untuk datang terlambat.

           

 

19

 

            Pertengahan tahun ini sudah dianggarkan untuk renovasi kantor. Dan, hari ini mulai giliran ruangan Elok. Mereka mulai berkemas untuk pindah sementara ke lantai 1, mungkin hanya sekitar beberapa hari karena renovasi kecil-kecilan.

            ”Kenapa nggak sekalian renov total sih?” Daniel merasa kesal karena yang ia dengar hanya dilakukan perbaikan-perbaikan pada plavon dan dinding, sementara Daniel merasa banyak sudut ruangan itu yang perlu perbaikan, dari bidet yang rusak di toilet pria, furniture yang ketinggalan jaman, barang-barang di pantry yang beberapa tidak layak pakai, banyak.

            ”Ini aja sudah sukur, aku udah sebulan terpaksa nadahin ember di depan jendela karena bocor.” Tiko menimpali.

            ”Bisa-bisanya mereka biarin dinding rembes di dekat pot.” Afif tak mau kalah.

            Aco masih sibuk menggeser beberapa lemari kecil untuk memindahkan kabel-kabel di bawah mejanya. Ia hanya menjadi pendengar keluhan kawan-kawannya. Setelah usai, Aco melihat ke arah toilet, lebih tepatnya ke meja Elok, kekasihnya itu masih sibuk dengan bertumpuk-tumpuk dokumen yang entah mau diapakan. Aco menghampirinya.

            ”Udah kelar?” Aco bermaksud menanyakan persiapan Elok pindah sementara.

            ”Belum, masih ngerjain ini ditunggu Pak Tiko.” Tampak di atas meja berkas-berkas perizinan untuk pembukaan lahan. Elok memeriksa lembar demi lembar memastikan tidak ada kekeliruan disana. Tiba-tiba Tiko menghampiri Elok.

            ”Kalau udah selesai bantu simpen dulu ya, terus nitip belikan kopi di bawah.” Elok tidak menjawab, hanya menerima selembar uang 100 ribu. Aco melihat ke arah Tiko dengan tatapan kurang senang, namun Tiko berlalu tanpa menoleh. Aco kemudian menarik Elok keluar ruangan.

            ”Sering dia nyuruh kamu?” Aco tampak marah.

            ”Nggak juga, cuma kadang nitip.” Elok menjawab santai.

            ”Kamu tau arti nitip nggak?” Suara Aco meninggi.

            ”Nitip itu kalau kamu sekalian kesana, terus dia nitip. Kalau ini namanya nyuruh, merintah, emang kamu kacung?” Suara Aco semakin tinggi. Elok tersinggung, namun tak bisa menjawab.

            ”Aku sudah bilang ke kamu jangan terlalu becanda sama orang, aku nggak suka kamu diremehin. Terbukti kan?” Aco terus berbicara dengan keras sampai sepertinya seorang cleaning service yang berdiri di depan pintu bisa mendengarnya.

            ”Nggak ada salahnya kubelikan, kan kita juga mau turun.” Elok berusaha membela diri.

            ”Sekali lagi kulihat dia perintah-perintah kamu, kupukul dia, nggak peduli aku.” Aco menurunkan suaranya tetapi penuh penekanan. Elok sudah beberapa kali menyaksikan Aco seperti ini. Hingga rasanya terbiasa.

**

 

            Desa Kuala Timur sedang gempar dengan hilangnya Ranu. Perempuan dewasa yang diyakini tidaklah mungkin diculik atau dibawa setan, hampir semua orang percaya bahwa Ranu memang minggat. Tetapi Ajeng dengan perasaan terpukul tetap percaya menantunya itu tak mungkin berlaku demikian. Bahkan Ajeng memilih menjauhi orang-orang yang tetap ngeyel bilang kalau Ranu kabur dengan lelaki lain. Ajeng menyimpan ini beberapa hari hingga ia ta kuat dan berusaha memberi tahu Elok.

            ”Sudah hampir seminggu mbakmu nggak pulang.” Ajeng memulai topik itu dengan nada pelan namun terasa menyedihkan sekali.

            ”Nah kan, aku sudah bilang Mbak Ranu nggak sebaik itu.” Elok langsung naik darah.

            ”Kenapa semua orang nyalahin ibu ya? Padahal belum tentu mbakmu kabur, bisa jadi dia dihipnotis orang atau kena guna-guna.” Ajeng terdengar konyol namun tetap terasa pedih di setiap ucapannya. Elok ingin sekali tetap dengan opininya terkait Ranu yang tidak baik-baik saja, tetapi ia coba tahan.

            ”Ibuk harus piye?” Kini Ajeng terdengar lemas, suaranya semakin parau.

            ”Nggak usah dipikir bu, yang penting ibu sehat.” Elok berusaha menenangkan namun masih dengan nada yang tegas.

            ”Ibuk kasihan sama bocah-bocah.” Mengingat Denok dan Hapsari membuat Elok mulai mencoba berada di posisi ibunya. Elok diam sejenak sebelum merespon.

            ”Ibuk juga kasihan sama kamu. Semua-semua kamu.” Mulai terasa semakin putus asa. Elok tak bisa banyak memberi Solusi, ia pun buntu.

            “Sudah seminggu masa nggak ada nelpon sih bu?” Elok masih penasaran sekaligus kesal. Ajeng tak menjawab.

            ”Masa lupa anak?” Elok kini kesal. Ajeng tak jua menjawab.

            ”Pokoknya biarin aja dia nggak pulang buk, ngak usah diarep-arep.” Elok benar-benar emosi.

            ”Ibu mau lapor polisi.” kalimat itu serta-merta langsung dipatahkan Elok.

            ”Lho ngapain? Jelas-jelas dia selalu gini bu, tapi mungkin baru kali ini lebih lama. Dia nggak mungkin diculik bu.” Elok kebingungan mengatur kata demi kata agar mudah dimengerti ibunya. Ia kehabisan akal, ibunya sudah dibutakan oleh kakak iparnya itu.

            ”Pokoknya ibu mau lapor, Pak RT bisa bantu ibu.” Ajeng seolah yakin ini akan berhasil.

            ”Yo terserah ibuk, yang penting aku nggak ikut-ikut.” Elok tak sudi terlibat dengan Ranu. Perempuan problematik yang anehnya amat sangat disukai Ajeng. Perbincangan mereka malam itu tak ada titik temu. Elok menutup panggilan dibanding harus sakit hati mengingat perlakuan Ranu pada keluarganya.

 

**

 

            Sabtu pagi saat tak punya agenda apapun, Elok masih bermalas-malasan di kasur. Rutinitas yang pasti tak mungkin terlewat adalah menghubungi Aco, seperti sebuah keharusan dan kebutuhan yang tak mungkin ia lewatkan. Saat baru hendak menelpon kekasihnya itu tiba-tiba Elok menerima telepon dari Abigail.

            ”Udah denger ceri kakakmu belum?” Sudah Elok duga, Abigail akan membahas ini.

            ”Udah, ibuk semalem telepon.” Elok menjawab lemas.

            “Udah gilak emang itu cewek, dia kabur jadi gundiknya perangkat desa sebelah.” Abigail terdengar meyakinkan.

            ”Siapa?” Elok geram tetapi penasaran.

            ”Bapaknya Tomi.” Elok langsung mengingat-ingat anak kecil kawannya dulu yang biasa bertemu saat pertandingan antar kampung dan pesantren kilat di masjid kecamatan.

            ”Kok bisa?” Mata Elok hampir keluar mendengar itu. Abigail kemudian bercerita panjang lebar sampai membuat Elok mual.

            ”Banyak yang lihat mbakmu di rumahnya, terus beberapa kali diantar ke kota. Kata sopir travel bilangnya istri kedua, tapi kok mukanya nggak asing.” Abigail terus nyerocos.

            ”Semua orang kasihan sama ibukmu tapi nggak tega mau ngomong, padahal kan tinggal bilang aja nggak apa-apa to?” Abigail seperti sedang mencari pembenaran argumennya. Elok tak bisa banyak berkomentar, isi kepalanya penuh sesak dengan skenario-skenario liar yang bisa jadi akan ia lakukan jika ia pulang nanti., Elok memastikan Ranu tidak akan pernah selamat dari amukannya.

            ”Pokoknya El, kamu harus bertindak. Kasihan ibukmu ngasuh Denok sama Hapsari, malah mboknya kawin lagi.” Abigail seperti provokator.

            Sampai pada satu titik, Elok bernafas dengan ketakutannya sendiri. Ranu benar-benar menjadi bumerang di keluarga. Sudah lama ia ingin menunjukkan ini pada ibunya, tetapi tak pernah punya kesempatan.

18

 

            Sedikit banyak Elok kini mulai menjadi pendengar. Keluh kesah kisah tentang kehidupannya kini mulai ia pinggirkan sejenak. Ia semangat mendengar kisah latar belakang Aco, asal-usul, kehidupan masa kecil, Aco ceritakan pada Elok sebanyak mungkin. Elok seperti mendapati pena yang siap ia tuliskan di bukunya yang kosong. Setiap detil cerita Aco membawa Elok pada imajinasi mengagumkan tentang lelaki itu, tak heran jika tak satupun orang berhasil menghasutnya. Setiap kata yang keluar dari bibir Aco seperti sebuah karya sastra, indah sekali. Elok berandai, jika dengan itu ia ingin hidup, maka selamanya memang benar-benar tak pernah cukup.

            ”Sama aku aja ya.” Kalimat yang tanpa sengaja Elok lontarkan, dengan nada rendah dan tatapan sendu, Elok menatap Aco yang tengah menjeda ceritanya. Aco terdiam, tak siap dengan kalimat itu, ia hanya menatap balik perempuan di depannya yang berkaca-kaca.

            ”Pattering.” Aco tersenyum sembari mengusap pipi Elok, Perempuan itu memang tampak semakin emosional. Elok tak menjawab apapun, ia hanya sesekali mendongak agar air matanya tidak tumpah ruah.

            ”Kenapa?” Aco kebingungan. Elok meraih tangan Aco dan menggenggamnya erat.

            ”Sama aku aja.” Sekali lagi kalimat itu yang keluar. Elok mengucapkannya sembari menangis, Aco tak mampu melihat itu, spontan Aco mendekap perempuan di hadapannya dengan sekuat tenaga. Elok menghamburkan tangis dalam dekapan itu. Tangis yang tak mampu ia jelaskan mengapa.

            ”Iya, sama kamu aja.” Aco mengucapkan itu dengan penuh perasaan, tak pernah ia menjalani hal sesingkat ini, dari mengenal hingga jatuh cinta, dari jatuh hingga terperosok paksa, Elok datang di kehidupannya seperti jebakan, ada yang ia lupakan dari bagaimana ia mencintai seseorang, Elok benar-benar pengecualian.

            Elok pun mulai paham, mengapa perasaannya pada Aco sedemikian. Aco seperti gambaran dirinya sendiri. Banyak hal yang harus ia lewati hingga menjadi dirinya yang hari ini. Hidup yang tidak terlalu ramah, harapan keluarga yang setinggi awan, karir yang tidak terlalu cemerlang, tetapi semua mata mengarah padanya seakan segala macam masalah di dunia ini mampu terselesaikan dengan punggungnya.

            Di layar ponsel Aco muncul pop up pesan dari kontak bernama Alice.

            “Nggak bisa ya nunggu sebentar lagi?”

 

**

 

            Sedari pagi, Elok sudah dipenuhi daftar pekerjaan yang harus ia lakukan. Bersiap mengenakan penutup kepala, sarung tangan, masker serta pakaian yang nyaman Elok mulai bersiap menuju gudang untuk mempersiapkan audit. Elok ditemani seorang cleaning service yang membantu mengangkat kotak-kotak berisi dokumen untuk dipindah dan dibersihkan. Elok bertugas memberi arahan dan mengatur mana saja dokumen yang akan diperlukan. Kondisi gudang yang berdebu, ruangan yang pengap tanpa jendela, membuat Elok harus rutin keluar ruangan untuk menghidup udara segar.

            ”Ngapain?” Dengan wajah setengah tersenyum Aco melihat Elok yang muncul di lorong sekitar Gudang.

            “Milah dokumen.” Elok menyeka keringat di wajahnya.

            ”Nih.” Aco menyodorkan sekaleng minuman dingin, sekaligus Aco membuka penutupnya. Elok dengan mata berbinar meminum itu sambil terengah-engah.

            ”Capek banget?” Elok mengangguk dengan muka memelas.

            ”Kasiaaan. Nanti jadi keluar?” Aco mengonfirmasi janji mereka semalam. Elok kembali mengangguk. Aco tersenyum, lalu berjalan menuju ruangan, Aco terus di posisi mundur agar bisa melihat Elok hingga ujung koridor.

            Tanpa Aco sadari, ada Safira disana. Safira melihat Aco melambaikan tangan dan tersenyum sebelum berbelok. Safira berjalan agak cepat penasaran dengan siapa yang ada di sana dan menjumpai Elok yang berdiri mematung dengan pakaian tempur, Safira seketika merasakan ketidaknyamanan. Ada egonya yang terlukai, entah apa.

 

**

 

            Malam itu di sebuah kedai nasi goreng, Aco dan Elok harus dengan sabar mendengarkan kegalauan Afif. Ia putus dengan Fitri.

            ”Ya gimana lagi, itu maunya dia.” Afif terlihat pasrah.

            ”Udah coba bujuk?” Elok mencoba masuk ke cerita Afif dengan sudut pandang perempuan.

            ”Udah. Ya dia ngotot mau batal aja pokoknya.” Afif tampak terpukul.

            ”Ya udah nggak usah dipaksa lagi, cewek mah banyak.” Aco mengucap itu dengan niat bercanda. Elok melihat ke arah Aco, entah mengapa ia terganggu dengan kata-kata itu. Bahkan kini Elok mulai cemburu dengan kalimat semacam itu.

            Lepas cerita banyak tentang Fitri, tiba-tiba Afif loncat pada sebuah kalimat.

            ”Masa iya kita mau gini-gini aja co? Nggak pengen gitu jalan-jalan keluar? Siapa tau kita bisa sukses.”

            Sesuatu yang benar-benar tiba-tiba dari Afif. Aco mencoba menggali apa yang dimaksud kawannya itu. Aco memaku fokusnya ke wajah Afif, tampak antusias ingin tahu lebih.

            ”Lihat.” Afif membuka sesuatu di ponselnya. Lalu menunjukkannya pada Aco dan Elok. Seperti iklan sebuah tempat kursus penyalur tenaga kerja.

            ”Mau jadi TKW?” Aco spontan bertanya.

            ”TKI kali.” Afif mengoreksi.

            ”W mah buat dia doang.” Afif menunjuk Elok.

            “Ini maksudnya gimana?” Aco penasaran.

            Afif mengubah posisi duduk, tubuhnya ia geser lebih condong pada Aco dan Elok, ia antusias ingin menyampaikan ide ini.

            ”Jadi kita daftar disini, nanti ada kelas gitu belajar bahasa, belajar apapun buat dapet beasiswa dan kerja gitu.” Afif terus mengoceh berusaha membuat Aco dan Elok tertarik.

            ”Kalau mau jadi pemain bola gitu bisa?” Aco bertanya polos.

            ”Nggak bisa lah gilak.” Afif menarik ponsel di tangannya, hampir saja ia memukul Aco.

            ”Kapan pendaftarannya?” Elok tampak tertarik.

            ”Bulan depan. Ini ada pilihan kelas-kelasnya.” Afif menunjukkan kepada Elok. Elok membaca setiap detil pilihan-pilihan kelas yang ada disana, dari kelas pekerja non skill hingga profesi tertentu.

            ”Boleh juga sih.” Elok terkonfirmasi masuk dalam iklan Afif.

            ”Boleh deh ntar dicoba. Kapan kita ke kantornya?” Aco pun sama.

            ”Minggu ini gimana?” Afif seperti sudah teramat siap. Hari itu mereka sepakat akan mencoba, entah nantinya akan menjadi apa. Afif yang tengah putus cinta merasa perlu pergi sejauh-jauhnya, Elok yang ingin sekali berhasil dalam hidup merasa perlu banyak belajar, Aco yang melihat Elok penuh semangat merasa perlu menjadi pendukung terdepan. Aco mengingat bagaimana setiap hari kekasihnya itu bekerja, bagaimana ia juga ingin membuat beban itu lebih ringan, ia ingin sekali melihat Elok hidup lebih nyaman.

 

**

 

            Di perjalanan pulang selepas bekerja, Aco mengajak Elok berkeliling sekaligus mencari makan malam, lalu mereka mampir di sebuah warung bubur yang buka 24 jam. Disana mereka saling bercerita tentang keinginan mereka di hari kemudian. Elok yang matanya berbinar-binar menceritakan bagaimana ia ingin menjadi penulis. Aco yang kemudian menjadi pendengar setia. Keduanya seperti sudah rela menjalani rencana baru dalam hidup mereka. Belajar.

            Setiap kali Aco menceritakan kepedihan dalam hidupnya, Elok seperti merasakan satu tingkat jatuh cinta. Elok seperti mencintai kepedihan itu, ia senang dengan lelaki yang hidupnya tak mudah. Elok senang dengan lelaki yang berjuang. Jadi, seberapa sering cerita pedih itu sampai ke Elok, maka perasaan Elok sebanyak itu pula bertambah.

 

60 Hari Bercerita

5

  Drama perpisahan untuk kali pertama dalam keluarga rumah atap rumbia ini dimulai. Di bawah langit pagi nan cerah itu kesedihan ibunda Aco ...